Anda di halaman 1dari 35

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hidrothermal adalah larutan sisa magma yang bersifat “aqueous” sebagai

hasil differensiasi magma. Hidrothermal ini kaya akan logam-logam yang relative

ringan, dan merupakan sumber terbesar (90%) dari proses pembentukan endapan.

Berdasarkan cara pembentukan endapan, dikenal dua macam endapan

hidrothermal, yaitu :

1.  Cavity filing, mengisi lubang-lubang ( opening-opening ) yang sudah ada di

dalam batuan.

2.  Metasomatisme, mengganti unsur-unsur yang telah ada dalam batuan dengan

unsur-unsur baru dari larutan hidrothermal.

Sistem hidrotermal didefinisikan sebagai sirkulasi fluida panas ( 50° – >500°C ),

secara lateral dan vertikal pada temperatur dan tekanan yang bervariasi di bawah

permukaan bumi. Sistem ini mengandung dua komponen utama, yaitu sumber

panas dan fase fluida. Sirkulasi fluida hidrotermal menyebabkan himpunan

mineral pada batuan dinding menjadi tidak stabil dan cenderung menyesuaikan

kesetimbangan baru dengan membentuk himpunan mineral yang sesuai dengan

kondisi yang baru, yang dikenal sebagai alterasi ( ubahan ) hidrotermal. Endapan

mineral hidrotermal dapat terbentuk karena sirkulasi fluida hidrotermal yang

melindi ( leaching ), mentranspor, dan mengendapkan mineral-mineral baru

sebagai respon terhadap perubahan fisik maupun kimiawi ( Pirajno, 1992, dalam

Sutarto, 2004 ).
B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah dari Penetuan Tipe

Endapan Hidrotermal Daerah Buranga Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton

Utara Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi geologi yang mempengaruhi keberadaan hidrotermal

pada daerah Buranga Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara

Provinsi Sulawesi Tenggara?

2. Apa tipe endapan hidrotermal yang bekerja pada daerah Buranga

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi

Tenggara?

3. Bagaimana paragenesa pembentukan endapan hidrotermal Buranga

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi

Tenggara?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud pelaksaan penelitian Penetuan Tipe Endapan Hidrotermal Daerah

Buranga Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi

Tenggara adalah untuk mengetahui jenis endapan hidrotermal yang bekerja pada

daerah penelitian. Sedangkan tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk menentukan kondisi geologi yang mempengaruhi keberadaan

hidrotermal pada daerah Daerah Buranga Kecamatan Bonegunu

Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara.


2. Untuk menentukan tipe endapan yang ada pada Daerah Buranga

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi

Tenggara.

3. Menetukan paragenesa pembutukan hidrotermal pada Daerah Buranga

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi

Tenggara.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebgai berikut:

1. Bagi Keilmuan, diharapkan dapat menjadi referensi tambahan yang

bersifat ilmiah dan dapat dijadikan bahan pertimbangan dari pihak

fakultas untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi

hidrotermal pada daerah penelitian.

2. Bagi Institusi dan Pemerintah, diharapkan dapat menjadi acuan bagi

pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan dan peraturan tentang

keterdapatan hidrotermal pada daerah penelitian.

3. Bagi Masyarakat, diharapkan memberikan informasi mengenai kondisi

geologi dan potensi yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Geologi Regional

Daerah Buton telah lama dikenal sebagai daerah penghasil aspal

alam yang terdapat di Indonesia. Pulau Buton merupakan satu bagian dari

Kepulauan Tukangbesi-Buton, dimana para ahli geologi berpendapat

Kepulauan Tukangbesi- Buton ini sering bersentuhan dengan Mandala

Sulawesi Timur.

Mandala Sulawesi Timur terdiri dari gabungan batuan ultramafik,

mafik dan malihan, sedangkan Kepulauan Tukangbesi-Buton disusun oleh

kelompok batuan sedimen pinggiran benua serta oleh batuan malihan berumur

Permo- Karbon sebagai batuan alasnya. Menurut penyelidik terdahulu

yaitu N. Sikumbang dan P. Sanyoto, tektonik yang terdapat di Pulau

Buton terjadi beberapa kali yang dimulai sejak pra-Eosen. Pola tektonik yang

terdapat di Pulau Buton sukar untuk ditentukan yang disebabkan oleh seluruh

batuannya telah mengalami beberapa kali perlipatan dan penyesaran.

Gerak tektonik utama yang membentuk pola struktur hingga sekarang

diperkirakan terjadi pada Eosen-Oligosen yang membentuk struktur imbrikasi

berarah timurlaut–baratdaya. Tektonik ini kemungkinan menyebabkan pula

terjadinya sesar mendatar antara Buton Utara dan Buton Tengah sepanjang

Bubu- Matewe yang diperkirakan berhubungan dengan sesar mendatar Palu-

Koro. Kegiatan tektonik berikutnya terjadi antara Pliosen-Plistosen yang

mengakibatkan terlipatnya batuan pra-Pliosen.


`

Gambar 2.1 Peta Geologi Lembar Buton (sumber: Sikumbang,

1995)

1. Geomorfologi Regional

Buton dapat dibagi menjadi tiga zona berdasarkan fisiografi dan

geomorfologinya (Sikumbang dan Sanyoto, 1981 dan Davidson, 1991)

yang diakibatkan oleh pengaruh struktur dan litologi pada zona tersebut,

yaitu:

 Zona Buton Utara, yang didominasi oleh dataran rendah dan

punggungan pantai berbentuk tapal kuda dengan dikelilingi gunung-

gunung sepanjang utara, Barat, Timur dimana trend umum pegunungan

tersebut adalah baratlaut- tenggara. Zona Selatan terdiri dari lembah dan
punggungan berarah timur laut, kemudian ditandai dengan

berkembangnya hamparan daerah koral dan memperlihatkan topografi

karst.

 Zona Buton Tengah, didominasi oleh deretan pegunungan lebar

dibentuk dari barisan pegunungan yang sedikit melengkung sepanjang

Utara-Selatan dengan trend ke arah utara, sedangkan sepanjang pantai

barat terdiri dari topografi dengan relief rendah yang berarah timur-laut.

 Zona Buton Selatan, terdiri dari topografi yang berupa lembah dan

bukit dengan trend arah timurlaut, teras-teras terumbu yang terangkat

dan topografi karst yang berupa haystack (perbukitan gamping) dan

ditulang punggungi oleh Pegunungan Kapantoreh.

Penjelasan diatas dapat dilihat pada gambar berikut yang

menjelaskan tentang pembagian zona fisografi dan geomorfologi Pulau

Buton adalah sebagai berikut (ERI/Geoservices, 1990).

Gambar 2.2 Pembagian zona fisiografi dan provinsi geomorfologi


Pulau Buton (sumber: ERI/Geoservices, 1990)

2. Stratigrafi Regional

Daerah Buton disusun oleh satuan batuan yang dapat

dikelompokan ke dalam batuan Mesozoikum dan Kenozoikum. Kelompok

batuan Mesozoikum berumur Trias hingga Kapur Atas, sedangkan

kelompok Kenozoikum berumur Miosen dan Plistosen. Kelompok batuan

yang termasuk Mesozoikum terdiri atas Formasi Winto (Trw), Formasi

Ogena (Jo), Formasi Rumu (Jr) dan Formasi Tobelo (KTt) yang

diendapkan dari Trias hingga Kapur Akhir. Kelompok batuan sedimen

yang termasuk Kenozoikum kemudian menutupi sebagian besar Buton

yang terdiri atas Formasi Tondo (Tmtc), Formasi Sampolakosa (Tmps)

dan Formasi Wapulaka (Qpw) yang diendapkan pada Miosen Awal hingga

Plistosen.

 Formasi Winto (Trw)

Formasi Winto, merupakan formasi tertua yang tersingkap di

daerah Buton Utara, berumur Trias Akhir. Ciri litologinya terdiri

atas perselingan serpih, batupasir, konglomerat dan batugamping,

mengandung sisa tumbuhan, kayu terarangkan dan sisipan tipis batubara

dengan lingkungan pengendapan neritik tengah hingga neritik luar.

Formasi ini tersingkap utamanya akibat sesar naik dimana batas bagian

Baratdaya dan Timurlaut diperkirakan merupakan sesar normal.

 Formasi Tondo (Tmtc)

Formasi Tondo sebagian besar tersingkap di bagian selatan dan


sedikit di bagian utara yang dicirikan oleh perselingan antara

konglomerat, batupasir, batulanau dan batulempung, serta di bagian

bawah batugamping terumbu. Anggota batugamping Formasi Tondo

(Tmtl) dicirikan oleh batugamping terumbu, mengandung banyak

foraminifera bentos dan koral. Anggota ini menempati bagian paling

bawah dari Formasi Tondo yang kemudian ditutup oleh konglomerat

dan batupasir kerikilan. Bagian bawah formasi terdiri dari batugamping

terumbu yang dikenal sebagai Anggota Batugamping Formasi

Tondo. Kedua satuan batuan ini diperkirakan mempunyai hubungan

stratigrafi menjari yang berumur Miosen dan diendapkan pada

lingkungan neritik hingga batial bawah. Formasi Tondo mempunyai

hubungan tidak selaras dengan formasi dibawahnya yaitu Formasi

Winto, Formasi Ogena, Formasi Rumu dan Formasi Tobelo.

 Formasi Sampolakosa (Tmps)

Formasi Sampolakosa terutama terdiri atas napal dan batupasir

gampingan dengan sisipan kalkarenit berlapis tipis. Napal berwarna

abu-abu terang, kompak dan umumnya masif sampai berlapis,

dipisahkan oleh sisipan tipis kalkarenit. Formasi Sampolakosa

diendapkan pada lingkungan neritik hingga batial, dengan umur Miosen

Atas hingga Pliosen Bawah.

 Formasi Ogena (Jo)

Berumur Yura Bawah, terdiri atas batugamping berlapis baik,

berwarna kelabu dan ungu muda serta sisipan napal yang diendapkan
dalam lingkungan laut dalam.

 Formasi Rumu (Jr)

Terdiri atas kalsilutit, napal, batulumpur dan kalkarenit, berumur

Yura Atas dan hanya ditemukan di sekitar Gunung Rumu dengan

lingkungan pengendapan laut dalam.

 Formasi Tobelo (KTt)

Terdiri atas kalsilutit/mikrit dengan warna putih kekuningan,

kelabu terang hingga coklat muda, berlapis baik dan di beberapa

tempat terdapat lapisan atau konkresi rijang. Formasi ini berumur

Kapur Atas hingga Paleosen.

 Formasi Wapulaka (Qpw)

Terletak selaras diatas Formasi Sampolakosa akan tetapi pada

beberapa bagian menunjukkan hubungan tidak selaras. Batuan

penyusunnya terdiri atas batugamping terumbu ganggang dan koral,

memperlihatkan undak-undak pantai purba dan topografi karst,

endapan hancuran terumbu, batukapur, batugamping pasiran, batupasir

gampingan, batulempung dan napal kaya foraminifera plankton.

Formasi ini berumur Plistosen yang diendapkan dalam lingkungan

laguna-itoral. Aluvium merupakan endapan hasil rombakan saat ini

yang terdiri atas kerikil, kerakal, pasir lumpur dan gambut hasil

endapan sungai, rawa dan pantai.

Stratigrafi Buton menurut Davidson (1991) mengelompokan

stratigrafi ke dalam 4 kejadian tektonostratigrafi, yaitu sedimentasi pre-rift


yang terdiri dari Formasi Doole, Formasi Winto, Formasi Ogena;

sedimentasi Rift-Drift yang terdiri dari Formasi Rumu, Formasi Tobelo;

Sedimentasi Syn dan Post Orogenic yang terdiri dari Formasi Tondo

dan Formasi Sampolakosa; sedimentasi deformasi yang lebih muda

(Formasi Wapulaka).

Gambar 2.3 Kolom Stratigrafi Regional Pulau Buton (sumber: Davidson.


1991)

3. Struktur Regional

Struktur geologi adalah suatu struktur atau kondisi yang ada di

suatu daerah sebagai akibat terjadinya perubahan-perubahan pada batuan

oleh proses tektonik atau proses lainnya. Dengan terjadinya proses

tektonik, maka batuan maupun kerak bumi akan berubah susunannya dari
keadaan semula.

Buton dianggap sebagai suatu pecahan dari benua Australia-New

Guinea sama halnya dengan busur kepulauan Banda lainnya (Gambar 2.4).

Anggapan ini diperoleh dari adanya kesamaan pada kandungan fosil

yang berumur Mesozoik, terdapat 14 satuan litologi dalam stratigrafi

sebelum terjadi pemisahan, dan waktu pemisahan dengan busur kepulauan

Banda lainnya. Peristiwa tektonik yang terjadi menyebabkan terjadinya

struktur perlipatan berupa antiklin dan sinklin, serta struktur sesar yang

terdiri atas sesar naik, sesar normal dan sesar geser mendatar. Umumnya

struktur berarah Timurlaut-Baratdaya di Buton Selatan, kemudian berarah

Utara-Selatan di Buton Tengah, dan Utara-Baratlaut hingga Selatan-

Tenggara di Buton Utara. Sesar-sesar mendatar umumnya memotong

struktur utama yang merupakan struktur antiklin-sinklin, dimana secara

garis besar struktur antiklin-sinklin berarah relatif sejajar dengan arah

memanjangnya tubuh batuan Pra-Tersier.


Gambar 2.4 Busur Kepulauan Banda yang merupakan fragmen dari
Australia (sumber: Daly et.al, 1987)
Pada awalnya Buton terdiri dari 2 buah lempeng mikrokontinen yang

terpisah. Lempeng pertama mencakup bagian timur Pualai Buton dan Pulau

Tukang Besi dan lempeng kedua mencakup bagian barat Pulau Buton dan Pulau

Muan ( Davidson, 1991 op.cit Hamilton, 1979). Namun dengan data geologi dan

geofisika terbaru, dipercaya daerah Buton terdiri dari 3 buah lempeng mikro-

kontinen yang terdiri dari Pulau Buton, Muna/SE Sulawesi, dan Tukang Besi,

yang terlibat dalam suatu tumbukan ganda (Davidson, 1991).

Sejarah tektonik dan stratigrafi di Pulau Buton dipengaruhi oleh 4 peristiwa

tektonik (Davidson, 1991), yaitu:

1. Masa pre-rift pada Permian sampai Akhir Trias ketika Pulau Buton

masih menjadi bagian dari Australia.

2. Masa rift-drift ketika Pulau Buton mulai memisahkan diri dari Australia

dan menuju timurlaut pada Trias Akhir sampai Oligisen.

3. Masa deformasi pembentukan cekungan dan pengisian cekungan (syn-

post orogenic) pada Miosen Awal sampai Plieosen yang diawali dengan

tumbukan Pulau Buton dengan Pulau Muna (Sulawesi Tenggara)

4. Masa deformasi yang lebih muda (recent orogenic) pada Pliosen sampai

sekarang yang dimulai dengan Tumbukan Pulau Buton dengan Pulau

Tukangbesi.

Pada pertenahan Trias, Buton masih merupakan bagian dari benua

Australia-New Guinea. Trias Tengah-Akhir mulai masa transisi dari pre-rift

menjadi rift (Gambar 2.5). Stratigrafi pre-rift Triassic Buton terdiri dari sedimen
klastik yang berasal dari kontinen yang diendapkan secara tidak selaras diatas

batuan metasedimen Permian.

Transisi ke suatu ke suatu lingkungan laut lepas dengan sedimentasi

passive margin mulai di masa pertengahan ke Akhir Jurassic dengan karbonat

dengan adanya penurunan intensitas pengendapan sedimen klastik yang terbawa

dari area benua dan peningkatan intensitas sedimen karbonat yang berasal laut

terbuka yang terendapkan di lingkungan laut dalam. Sedimentasi laut dalam

berasosiasi dengan masa drift menuju ke utara yang berlangsung dari

pertengahan Jura sampai Oligosen dimana dominan litologi yang terendapkan

adalah karbonat yang berasal dari laut terbuka.

Gambar 2.5 Rekonstruksi sejarah geolgi Pulau Buton (Sumber: ERI/Geoservices


1990)
Peristiwa Tektonik yang terjadi pada Anjungan Buton-Tukangbesi

setidaknya terjadi sebanyak 3 kali. Ketiganya turut berperan dalam tataan

stratigrafi dan struktur didaerah ini. Struktur geologi yang berkembang terdiri

atas antiklin, sinklin, sesar anjak, sesar normal dan sesar geser mendatar. Sesar-

sesar utama yang terjadi pada umumnya mempunyai arah sejajar

dengan arah memanjangnya tubuh batuan Pra Tersier dan sumbu cekungan

sedimen Miosen. Kegiatan tektonik pada Plistosen mengakibatkan terlipatnya

kembali batuan yang lebih tua (Pra Pliosen) dan menggiatkan kembali sesar-

sesar yang telah terbentuk sebelumnya. Pulau Buton merupakan bagian dari

Anjungan Tukangbesi-Buton, yang disusun oleh kelompok batuan sedimen

pinggiran benua serta batuan malihan berumur Permo-Karbon sebagai

batuan alas, sedangkan Mandala Sulawesi Timur terdiri atas gabungan batuan

ultramafik, mafik dan malihan.

Menurut Sikumbang, N., dkk., (1995) dalam Hadiwastra (2008), tektonik

telah terjadi beberapa kali dimulai sejak Pra-Eosen, dimana pola

tektoniknya sukar ditentukan disebabkan seluruh batuannya telah mengalami

beberapa kali perlipatan dan pensesaran. Gerak tektonik utama yang membentuk

pola struktur hingga sekarang diperkirakan terjadi pada masa Eosen-Oligosen

yang membentuk struktur imbrikasi berarah Timurlaut-Baratdaya. Kegiatan

tektonik berikutnya terjadi antara Pliosen-Plistosen yang mengakibatkan

terlipatnya batuan Pra- Pliosen. Kegiatan tektonik terakhir terjadi sejak Plistosen

dan masih berlangsung hingga sekarang yang mengakibatkan terangkatnya Pulau


Buton dan Pulau Muna secara perlahan, seirama dengan pembentukan

batugamping terumbu Formasi Wapulaka yang menunjukkan undak-undak.

Peristiwa tektonik yang terjadi berulang-ulang menyebabkan batuan-

batuan yang berumur lebih tua mengalami beberapa kali deformasi struktur,

sehingga batuan yang lebih tua umumnya dijumpai dengan kemiringan lapisan

yang relatif tajam, sedangkan batuan yang lebih muda kemiringannya

lapisan relatif lebih landai dibandingkan dengan batuan yang berumur tua

(Tobing dkk,2008).

Gambar 2.6 Model rekonstruksi Tektonik Lempeng di Pulau


Buton (sumber: Nolan, 1989 op.cit. Davidson, 1991)

B. Teori Dasar

1. Endapan Hidrotermal

Corbett dan Leach (1998) menggambarkan himpunan mineral yang

terbentuk pada kondisi pH dan temperatur tertentu serta tipe endapannya dalam
suatu sistem hidroternal. Setiap mineral hanya akan terbentuk jika berada dalam

kondisi yang stabil. Oleh karena itu, beberapa mineral tertentu hanya akan

terbentuk pada kondisi pH dan temperatur tertentu

Selain alterasi atau ubahan yang terbentuk dalam suatu sistem hidrotermal,

Lindgreen (1933; dalam Bateman dan Jensen, 1991) membagi endapan

hidreotermal menjadi 3 tipe endapan berbeda berdasarkan hubungan temperatur,

tekanan, dan kondisi geologi yang tercerminkan dari mineral-mineral yang

terbentuk. Tipe endapan tersebut, adalah:

 Endapan hipotermal, terbentuk pada daerah dekat dengan intrusi pada

temperatur berkisar anatara 500-600⁰C dan tekanan sangat tinggi.

 Endapan mesotermal, terbentuk pada jarak tertentu dari intrusi pada

temperatur berkisar antara 200-500⁰C dan tekanan tinggi.

 Endapan epitermal, terbentuk jauh dari intrusi pada temperatur berkisar

antara 50-200⁰C dan tekanan sedang atau medium.

2. Tipe Endapan Epitermal

Menurut Hedenquist dan White (1995), endapan epitermal adalah endapan

mineral yang terbentuk pada temperatur kurang dari 150⁰C sampai ~300⁰C dan

berada pada kedalaman 1-2 kilometer. Endapan epitermal terbentuk pada

lingkungan hidrotermal yang dekat dengan permukaan dan pada umumnya

berhubungan dengan sub-aerial volkanisme kalk-alkali (Hedenquist dan

Houghton, 1988). Fluida hidrotermal pada endapan ini biasanya berasal dari air

meteorik, namun ada beberapa kompenen yang berasal dari air megamatik.
Hedenquist dan White (1995) membedakan endapan epitermal menjadi

endapan epitermal sulfida rendah (low sulphidation) dan sulfida tinggi (high

sulfidation). Keduanya dibedakan berdasarkan pada mineralogi bijih dan mineral

ikutan (gangue) serta jenis fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan

induk (host rock).

2.1 Karakteristik Tipe Endapan Epitermal

Himpunan mineral alterasi, mineral bijih, dan jenis batuan samping

adalah faktor-faktor yang menjadi hal penting unutk memisahkan endapan

ephitermal menjadi beberapa macam. Berdasarkan hal diatas maka endapan

ephitermal dapat dikelompokkan ke dalam 2 jenis tipe hot spring, tipe open

vein, dan tipe disseminated-replacement.

 Tipe Hot Spring


Sistem ephitermal tipe hot spring yang terbentuk di dekat permukaan

dicirikan dengan adanya sinter silika yang menutupi hingga ke zona

stockwork uarat dan zona breksiasi hidreotermal dibawahnya (Gambar

2.7). asosiasi unsur yang dominan adalah Au, Ag, As, Sb, Hg, Ti dengan

minor Cu, Pb, Zn pada level yang lebih dalam. Mineralisasi umumnya

memiliki grade Au dan Ag yang rendah dan keterdapatan urat dan

stockwork hanya terbatas di bawah sinter silika. Bila terdapat grade Au

dan Ag yang tinggi hal itu disebabkan oleh pengaruh boiling di

bawahnya. Episode breksiasi pada tipe ini memiliki peranan yang penting

karena dapat menunjukan terjadinya pengendapan unsur-unsur logam.

Gambar 2.7 Penampang skematik dari tipe hot spring (Berger dan Eimon,
19982 op. cit., Pirajno, 1992)

 Tipe Open Vein


Tipe ini terletak di bawah tipe hot spring dan sering juga dikenal

sebagai tipe bonanza, tipe urat, atau tipe lode (Silbermen dan Berger,

19982 op. cit., Pirajno, 1992). Tipe ini dibedakan dengan tipe hot

spring dari keterdapatan mineralisasi yang lebih dalam dibawah

permukaan, kandungan sulfida dan base mental yang lebih tinggi,

ukuran urat yang lebih lebar, serta grade Au dan Ag yang lebih tinggi

tapi tonase yang lebih rendah. Unsur-unsur dominan yang hadir adalah

Au-Ag-As dengan minor Se, Te, Cu, Pb, Zn. Gambar 2.7a

memperlihatkan gabungan tipe open vein dengan hot spring. Secara

umum urat mempunyai geometri vertikal dan terkadang memiliki slay

mineral di permukaannya, sedangkan pada posisi yang lebih dalam

kuarsa, adularia, kalsit, dan logam berharga hadir. Zona mineral

logam berharga umumnya terbatas pada kedalaman 100 hingga 350 m.

Kandungan base metal meningkat pada posisi yang kebih dalam dan

mineral gelena, kalkopirit, sphalerit dan kalkopirit hadir dengan

jumlah yang banyak.


Gambar 2.7a; Penampang skematik yang menunjukkan gabungan tipe
open vein dan tipe hot spring (Buchanan, 1981, op. cit., Pirajno,
1992). b: penampang skematik yang memperlihatkan tipe
Disseminated-Replacement (Radtke, dkk., 1980, op. cit., Pirajno,
1992).

 Tipe Disseminated-Replacement

Tipe ini secara skematik diperlihatkan pada Gambar 2.7b dan

umumnya berasosiasi dengan batuan karbonat. Tipe ini relatif umum

terdapat pada cekungan-cekungan di USA dan disirikan oleh

mineralogi, geokimia, struktur, dan litologi yang khas. Tipe ini juga

dikenal dengan sebutan Carlin-type karena model dan kenampakan

umumnya banyak mengacu pada penambangan Carlin di Nevada.

Endapan ini umumnya berbentuk tabular, memiliki kandungan unsur

berupa Au-As-Sb-Hg-Ti, dan relatif memiliki tonase yang tinggi

dengan garade Au dan Ag yang rendah.


2.2 Tipe Endapan Epitermal Sistem Sulfidasi Tinggi dan Rendah

Sistem epitermal sulfida tinggi (HS) dan rendah (LS) terbentuk dari

fluida dengan komposisi kimia yang berbeda dalam lingkungan volkanik

yang berbeda (Gambar 2.7 dan Gambar 28). Endapan tipe HS berasosiasi

dengan fluida asam yang dihasilkan dalam lingkungan hidrotermal-

volkanik. Berbeda dengan tipe HS, maka endapan tipe LS terbentuk oleh

fluida dengan pH netral pada lingkungan geotermal. Adapun karakter dari

kedua tipe tersebut dijabarkan 2.1.

Gambar 2.9. Model skematik lingkungan mineralisasi pada sistem


geotermal dan hidrotermal-volkanik dalam endapan porfiri tembaga dan
epitermal (Hedenquist, dkk 1996).

Dibawah lingkungan epitermal (Gambar 2.9), pelepasan gas dari tubuh

magma ataupun sumber panas lainnya akan menghasilkan panas, air, gas-

gas asam, dan logam bijih. Dalam sistem LS, kompenen magmatik

mengalami kesetimbangan dengan batuan samping selama terjadinya

konveksi yang didominasi air meteorik, sebelum mencapai lingkungan


epitermal. Pada sistem HS, volatil magmatik langsung masuk kedalam

lingkungan epitermal dengan sedikit perubahan, kemudian di absorbsi oleh

air untuk menghasilkan fluida hipogen asam yang akan melewati batuan

melalui conduit (Hedenquista, dkk. 1996).

Gambar 2.10. Distribusi skematik alterasi hidrotermal yang berasosiasi


dengan sistem epitermal HS dan LS; bijih akan diendapkan pada
paleoconduits (ore vein/silisifikasi dan silika residual). Kuarsa stabil pada
semua zona. Alterasi propilitik terbentuk di luar zona conduit yang
menunjukkan sedikitnya rasio w/r (air/batuan) (Hedenquist, dkk. 1996).
Tabel 2.1: Karakter umum endapan epitermal

3. Alterasi dan Mineralisasi

Alterasi adalah suatu proses yang di dalamnya terjadi perubahan kimia,

mineral dan tekstur karena berinteraksi dengan “fluida cair panas” (hidrotermal)

yang dikontrol oleh kondisi kimia dan fisika yang ada. Alterasi dapat terjadi

karena suatu proses “Supercritical Fluids”, yaitu suatu karakteristik air pada

keadaan tertentu. Alterasi identik dengan proses Metasomatisme, yaitu suatu

proses ubahan yang berlangsung dalam fase cair karena proses ini berada dalam

suatu sistem hidrotermal. Altersi hidrotermal meupakan suatu proses yang

kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia

batuan. Proses tersebut merupakan hasil interaksi larutan hidrotermal dengan

batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno, 1992).

Secara istilah, laritan hidrotermal adalah cairan panas yang umumnya berasosiasi
dengan proses magmatik, namun dapat pula berasal dari air meteorik, air comnate,

atau air yang mengandung mineral yang dihasilkan selama proses metamorfisme

dan kemudian terpanaskan di dalam perut bumi (Bateman dan Jensen, 1981)..

proses naiknya larutan hidrotermal ke permukaan menyebabkan terjadinya ubahan

pada batuan samping. Proses ubahan ini disebabkan oleh kecenderungan mineral

dalam batuan untuk membentuk suatu mineral baru agar mencapai keseimbangan.

Menurut Bateman dan Jensen (1991), faktor-faktor yang mempengaruhi tipe dan

intensitas ubahan hidrotermal adalah:

- Karakteristik dan komposisi dari batuan induk (host rock)

- Komposisi larutan hidrotermal

- Tekanan dan temperatur serta perubahan fase pada larutan hidrotermal

- Prubahan pada unsur tertentu

Mineralisasi adalah suatu proses introduksi atau masuknya mineral ke dalam

batuan yang kemudian membentuk mineral bijih dan mineral penyertanya

(gangue) sehingga terbentuk endapan mineral (Gary dkk., 1972). Endapan mineral

adalah akumulasi atau konsentrasi dari suatu atau beberapa material yang berguna,

baik berupa logam maupun nonlogam, yang terdapat di dalam kerak bumi bagian

luar (Bateman dan Jansen, 1981).

Hal-hal pokok yang mempengaruhi pembentukkan mineral hasil dari proses

mineralisasi (Bateman dan Jansen, 1981), yaitu: adanya larutan hidrotermal

sebagai pembawa mineral dan adanya celah batuan sebagai jalan bagi lewatnya

larutan hidrotermal. Selain itu, faktor lain adalah adanya tempat bagi pengendapan

mineral terjadinya reaksi kimia yang dapat menyebabkan terbentuknya


pengendapan mineral, dan konsentrasi larutan yang cukup tinggi bagi

terendapkannya kandungan mineral. Mineral bijih yang terbentuk pada endapan

epitermal bervariasi, tergantung pada kedalaman dan kondisi fluida hidrotermal.

Pada tipe endapan epitermal sulfida rendah, mineral bijih yang umum muncul

adalh pirit, gelena, sfalerit, dan kalkopirit yang mencerminkan kondisi reduksi

(Tabel 2.2). Salah satu penciri lain adalah kehadrian sfalerti dan arsenopirit yang

umum pada tipe sulfida rendah. Kedua mineral tersebut sangat jarang hadir pada

tipe epitermal sulfida rendah. Kedua mineral tersebut sangat jarang hadir pada tipe

epitermal sulfida tinggi (White dkk., 1995; dalam Hedenquist dan White, 1995).

Tipe endapan epitermal sulfida tinggi umumnya banyak terdapt mineral bijih yang

kaya tembaga, khususnya mineral yang memiliki bilangan oksidasi tinggi seperti

enargit dan luzonit (Tabel 2.2). kelimpahan mineral sulfida, terutama pirit, tidak

dapat dijadikan penentu membedakan tipe endapan epitermal (Hedenquist dan

White, 1995).

Tabel 2.2 Perbedaan Tipe Endapan Epitermal Sulfida Tinggi dan Sulfida Rendah
(Hedenquist dan White, 1995)
3. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan metode pengambilan data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dilapangan

baik melalui pencatatan maupun dengan menggunakan alat bantu. Sedangkan data

sekunder merupakan data yang sebelumnya telah diperoleh dan merupakan data

pendukung dalam penentuan jenis ubahan serta tipe endapan daerah penelitian.

Sedangkan untuk analisis laboratorium dilakukan dengan pengamatan

petrogafi, minegrafi dan tekstur batuan. Analisis petrografi dilakukan untuk

mengetahui kandungan mineral sulfidasi dan oksidasi yang terdapat pada conto

batuan. Sedangkan mineragrafi dilakukan unutk mengetahui jenis mineral dan

struktur serta tekstur jenis ubahan.

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan oktober 2017 di daerah Buranga

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara.

Daerah Buranga Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi

Tenggara berada di Pulau Buton bagian utara dapat ditempuh dengan

menggunakan dua jalur kapal laut (Ferry) yang berlabuh dipelabuhan Amolengo

Labuan Bajo dan pelabuhan Pure Maligano. Jarak dari Amolengo Labuan Bajo

sampai ke daerah Buraga dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda

empat selama ± 3 jam perjalanan. Sedangkan melalui Pure Maligano sampai ke


daerah Burangan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat

selama ± 1 jam perjalanan.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian survey lapangan guna

mengetahui kondisi geologi lokal dan jenis endapan hidrotermal pada lokasi

penelitian serta analisis petrogarfi dan mineragrafi guna mengetahui kandungan

mineral sulfidasi, oksidasi, jenis mineral dan struktur serta tekstur jenis ubahan.

C. Bahan dan Materi Penelitian

Adapun bahan digunakan dalam penelitian ini adalah sampel conto batuan

pada daerah penelitian.

Dalam penelitian tentang penentuan tipe endapan hidrotermal daerah Buranga

Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara data

yang harus diperlukan adalah sebagai berikut:

1) Data geologi lokal, terdiri dari:

 Geomorfologi

 Kandungan mineral tipe endapan hidrotemal

D. Alat/Instrumen Penelitian

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini terbagi atas dua jenis yaitu alat

yang digunakan saat dilapangan dan alat yang digunakan untuk analisis di

laboratorium.
Adapun alat yang akan digunakan dilapangan yaitu:

 GPS

 Peta Topografi daerah penelitian dengan skala dasar

 Kompas Brunton

 Palu Geologi

 Kantong Sampel

 Spidol Permanen

 Mistar 30 cm dan busur derajat

 Rol Meter

 Pita Meter

 Larutan HCL 0,01 M

 Loupe Perbesaran 25x

 Alat tulis menulis dan pensil warna

 Buku lapangan

Sedangkan alat dan bahan untuk analisis laboratorium, antara lain:

 Mikroskop Polarisasi

 Preparat sayatan tipis

 Preparan sayatan poles

E. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian pada penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu sebagai

berikut:
1. Prosedur Persiapan

Prosedur persiapan ini meliputi pengurus surat izin penelitian, studi pustaka

dan penyiapan perlengkapan.

 Perizinan.

 Studi pustaka, dimaksudkan untuk mengetahui kondisi geologi regional,

metode penelitian dan pengambilan data interpertasi peta topografi.

 Perlengkapan yang disiapkan adalah peta topografi daerah penelitian

skala (peta dasar) dan perlengkapan lapangan, meliputi Global Posittion

System (GPS), Kompas Brunton, buku catatan lapangan, Palu Geologi,

kantong sampel, spidol permanen, mistar 30cm, rool meter, pita meter,

larutan HCL dan loupe perbesaran 20x.

2. Pengambilan Data

2. 1 Pengambilan Data Primer

Metode ini meliputi orientasi lapangan dan pengambilan data lapangan pada

lintasan terbuka. Adapun metode pebgambilan data yang dilakukan:

 Pengambilan data dengan cara pencatatan data lapangan

Pengambilan data dengan cara pencatatan ini yaitu semua data dijumpai di

lapangan direkam dengan tulisan dalam buku catatan lapangan, baik data

yang dilihat secara langsung ataupun data yang diperoleh dengan

pengukuran.
 Pengambilan data lapangan dengan alat

Pengambilan data dengan alat meliputi kegiatan pengambilan rekaman

gambar singkapan, batuan, kondisi morfologi dengan menggunakan

kamera, pengukuran data lapangan menggunakan kompas untuk

pengukuran arah kedudukan batuan, pengambilan conto batuan dengan

menggunakan palu geologi.

Secara teknis urutan pengambilan data ubahan dan mineralisasi pada

daerah penelitian adalah:

- Penentuan titik pengamatan pada peta dasar skala 1:10.000

- Pengamatan kondisi singkapan dan hubungannya dengan batuan

samping

- Pengamatan sifat fisik batuan, meliputi: waran, tekstur batuan, struktur

batuan, komposisi mineral penyusun dan ukuran mineralnya.

- Pengamatan terhadap tekstur mineralisasi pada conto batuan.

- Pengamatan terhadap jenis mineral ubahan/alterasi yang dijumpai pada

masing-masing conto batuan.

- pengamatan terhadap jenis mineral bijih dan oksida pada masing-

masing conto batuan.

- Pengambilan conto batuan untuk analisa laboratorium, baik untuk

analisa petrografi maupun untuk analisa mineragrafi

- Pengambilan dokumentasi berupa sketsa dan foto.


2.3 Pengambilan Data Sekunder

Metode ini meliputi pengambilan data-data pendukung yang digunakan untuk

membantu dalam penetuan jenis ubahan dan jenis mineralisasi yang terdapat pada

daerah penelitian. Adapun data sekunder yang dimaksud yaitu:

 Data interpretasi PIMA

Data interpretasi PIMA (Program Interpretasi Mineral Alterasi)

merupakan data yang menyajikan sebaran mineral-mineral ubahan pada

daerah penelitian. Data ini diperoleh dengan metode portial leach dan

kemudian disajikan dalam bentuk peta sebaran meneral ubahan.

Dengan adanya peta sebaran mineral ubahan, maka akan dapat diketahui

jenis mineral ubahan yang terdapat pada masing-masing conto batuan.

Dengan demikian, akan membantu dalam penetuan zona ubahan yang

berkembang pada daerah penelitian.

F. Pengolahan Data dan Analisa Data

Pengolahan data dan analisa data dilakukan dengan mengumpulkan seluruh

data yang telah diperoleh baik data primer yang diperoleh secara langsung di

lapangan maupun data sekunder sebagai data pendukung. Metode analisa yang

digunakan antara lain analisa terhadap data hasil partial leach (PIMA) dan

karakteristik lain yang dijumpai secara langsung, meliputi jenis mineral

ubahan/alterasi yang didapatkan melalui pengamatan yang terdapat pada conto


batuan, struktur serta tekstur jenis ubahannya, didapatkan melalui analisa

mineragrafi sayatan poles.


G. Diagram Alir Penelitian

Metode Penelitian

Prosedur Persiapan

1. Studi Literatur

 Studi Geomorfologi regional Perumusan Masalah


 Litologi
 Studi Stratigrafi regional  Geomorfologi
 Studi Tektonisme Regional  Paragenesa endapan
hidrotermal
2. Perlengkapan

1. Data Primer
Pengambilan Data  Mineral ubahan
 Pola dan tekstur mineralisasi
 Mineral sulfida dan oksida

2. Data Sekunder
 Data Partial Leach (PIMA)

 Analisa Petrografi
Analisa Data  Analisa Mineragrafi
 Analisa Tekstur Batuan

Tipe Endapan Darah


Penelitian
H. Jadwal Penelitian

Adapun jadwal penelitian Penetuan Tipe Endapan Hidrotermal Daerah

Burangan Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi

Tenggara akan dilaksanakan di daerah Buranga Kecamatan Bonegunu Kabupaten

Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara selama 1 Bulan (± 4 minggu), yaitu:

Waktu pelaksanaan minggu

Uraian Kegiatan ke-


NO
1 2 3 4

1. Observasi Lapangan

2. Studi Pustaka

3. Pengambilan data berupa data primer dan


data sekunder

4. Analisis Data
DAFTAR PUSTAKA

Buchanan, L.J., 1981. Scale model for zoning of textures, alteration, ore and
gangue mineralogy in a typical boiling zone epithermal vein. Dalam:
Morisson, G., Guoyi, D., dan Jaireth, S., (eds.) 1990. Textural Zoning in
Epithermal Quartz Veins, Klondike Exploration Services, Townsville
QLD 4810, Australia, 21 h.

Chen, C.H., 1970. Geology and Geothermal power potential of the Tatun volcanic
region. Dalam: Barnes, H.L., (ed.), 1979, Geochemistry of hydrothermal
ore deposits, 2nd edition, John Wiley and Sons, New York, h.632-683.

Davidson, J.W., 1991, The Geology and Prospective of Buton Island, S.E.
Sulawesi, Indonesia. Proceedings Indonesia Petroleum Association, 20th
Annual Convention, h.209-233
Haas, J.L., 1971. The effect of salinity on the maximum thermal gradient of a
hydrothermal system at hydrostatic pressure. Economic Geology, 66,
h.940-946.

Sikumbang,N., Sanyoto, P., Supandjono, R.J.B. dan Gafoer, S., 1995, Peta
Geologi Lembar Buton, Sulawesi Tenggara skala 1 : 250.000. Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Geologi.

Smith, R. B., dan Silver A. E., 1991, Geology of a Miocene collision complex,
Buton, Eastern Indonesia, Geological Society of America Bulletin v. 103,
p. 660-678.

Anda mungkin juga menyukai