Geologi Regional Buton
Geologi Regional Buton
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
hasil differensiasi magma. Hidrothermal ini kaya akan logam-logam yang relative
ringan, dan merupakan sumber terbesar (90%) dari proses pembentukan endapan.
hidrothermal, yaitu :
dalam batuan.
secara lateral dan vertikal pada temperatur dan tekanan yang bervariasi di bawah
permukaan bumi. Sistem ini mengandung dua komponen utama, yaitu sumber
mineral pada batuan dinding menjadi tidak stabil dan cenderung menyesuaikan
kondisi yang baru, yang dikenal sebagai alterasi ( ubahan ) hidrotermal. Endapan
sebagai respon terhadap perubahan fisik maupun kimiawi ( Pirajno, 1992, dalam
Sutarto, 2004 ).
B. Rumusan Masalah Penelitian
Tenggara?
Tenggara?
Tenggara adalah untuk mengetahui jenis endapan hidrotermal yang bekerja pada
Tenggara.
Tenggara.
D. Manfaat Penelitian
A. Geologi Regional
alam yang terdapat di Indonesia. Pulau Buton merupakan satu bagian dari
Sulawesi Timur.
kelompok batuan sedimen pinggiran benua serta oleh batuan malihan berumur
Buton terjadi beberapa kali yang dimulai sejak pra-Eosen. Pola tektonik yang
terdapat di Pulau Buton sukar untuk ditentukan yang disebabkan oleh seluruh
terjadinya sesar mendatar antara Buton Utara dan Buton Tengah sepanjang
1995)
1. Geomorfologi Regional
yang diakibatkan oleh pengaruh struktur dan litologi pada zona tersebut,
yaitu:
tersebut adalah baratlaut- tenggara. Zona Selatan terdiri dari lembah dan
punggungan berarah timur laut, kemudian ditandai dengan
karst.
barat terdiri dari topografi dengan relief rendah yang berarah timur-laut.
Zona Buton Selatan, terdiri dari topografi yang berupa lembah dan
2. Stratigrafi Regional
Ogena (Jo), Formasi Rumu (Jr) dan Formasi Tobelo (KTt) yang
dan Formasi Wapulaka (Qpw) yang diendapkan pada Miosen Awal hingga
Plistosen.
Formasi ini tersingkap utamanya akibat sesar naik dimana batas bagian
berwarna kelabu dan ungu muda serta sisipan napal yang diendapkan
dalam lingkungan laut dalam.
yang terdiri atas kerikil, kerakal, pasir lumpur dan gambut hasil
Sedimentasi Syn dan Post Orogenic yang terdiri dari Formasi Tondo
(Formasi Wapulaka).
3. Struktur Regional
tektonik, maka batuan maupun kerak bumi akan berubah susunannya dari
keadaan semula.
Guinea sama halnya dengan busur kepulauan Banda lainnya (Gambar 2.4).
struktur perlipatan berupa antiklin dan sinklin, serta struktur sesar yang
terdiri atas sesar naik, sesar normal dan sesar geser mendatar. Umumnya
terpisah. Lempeng pertama mencakup bagian timur Pualai Buton dan Pulau
Tukang Besi dan lempeng kedua mencakup bagian barat Pulau Buton dan Pulau
Muan ( Davidson, 1991 op.cit Hamilton, 1979). Namun dengan data geologi dan
geofisika terbaru, dipercaya daerah Buton terdiri dari 3 buah lempeng mikro-
kontinen yang terdiri dari Pulau Buton, Muna/SE Sulawesi, dan Tukang Besi,
1. Masa pre-rift pada Permian sampai Akhir Trias ketika Pulau Buton
2. Masa rift-drift ketika Pulau Buton mulai memisahkan diri dari Australia
post orogenic) pada Miosen Awal sampai Plieosen yang diawali dengan
4. Masa deformasi yang lebih muda (recent orogenic) pada Pliosen sampai
Tukangbesi.
menjadi rift (Gambar 2.5). Stratigrafi pre-rift Triassic Buton terdiri dari sedimen
klastik yang berasal dari kontinen yang diendapkan secara tidak selaras diatas
dari area benua dan peningkatan intensitas sedimen karbonat yang berasal laut
stratigrafi dan struktur didaerah ini. Struktur geologi yang berkembang terdiri
atas antiklin, sinklin, sesar anjak, sesar normal dan sesar geser mendatar. Sesar-
dengan arah memanjangnya tubuh batuan Pra Tersier dan sumbu cekungan
kembali batuan yang lebih tua (Pra Pliosen) dan menggiatkan kembali sesar-
sesar yang telah terbentuk sebelumnya. Pulau Buton merupakan bagian dari
batuan alas, sedangkan Mandala Sulawesi Timur terdiri atas gabungan batuan
beberapa kali perlipatan dan pensesaran. Gerak tektonik utama yang membentuk
terlipatnya batuan Pra- Pliosen. Kegiatan tektonik terakhir terjadi sejak Plistosen
batuan yang berumur lebih tua mengalami beberapa kali deformasi struktur,
sehingga batuan yang lebih tua umumnya dijumpai dengan kemiringan lapisan
lapisan relatif lebih landai dibandingkan dengan batuan yang berumur tua
(Tobing dkk,2008).
B. Teori Dasar
1. Endapan Hidrotermal
terbentuk pada kondisi pH dan temperatur tertentu serta tipe endapannya dalam
suatu sistem hidroternal. Setiap mineral hanya akan terbentuk jika berada dalam
kondisi yang stabil. Oleh karena itu, beberapa mineral tertentu hanya akan
Selain alterasi atau ubahan yang terbentuk dalam suatu sistem hidrotermal,
mineral yang terbentuk pada temperatur kurang dari 150⁰C sampai ~300⁰C dan
Houghton, 1988). Fluida hidrotermal pada endapan ini biasanya berasal dari air
meteorik, namun ada beberapa kompenen yang berasal dari air megamatik.
Hedenquist dan White (1995) membedakan endapan epitermal menjadi
endapan epitermal sulfida rendah (low sulphidation) dan sulfida tinggi (high
ikutan (gangue) serta jenis fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan
ephitermal dapat dikelompokkan ke dalam 2 jenis tipe hot spring, tipe open
2.7). asosiasi unsur yang dominan adalah Au, Ag, As, Sb, Hg, Ti dengan
minor Cu, Pb, Zn pada level yang lebih dalam. Mineralisasi umumnya
bawahnya. Episode breksiasi pada tipe ini memiliki peranan yang penting
Gambar 2.7 Penampang skematik dari tipe hot spring (Berger dan Eimon,
19982 op. cit., Pirajno, 1992)
sebagai tipe bonanza, tipe urat, atau tipe lode (Silbermen dan Berger,
19982 op. cit., Pirajno, 1992). Tipe ini dibedakan dengan tipe hot
ukuran urat yang lebih lebar, serta grade Au dan Ag yang lebih tinggi
tapi tonase yang lebih rendah. Unsur-unsur dominan yang hadir adalah
Au-Ag-As dengan minor Se, Te, Cu, Pb, Zn. Gambar 2.7a
Kandungan base metal meningkat pada posisi yang kebih dalam dan
Tipe Disseminated-Replacement
mineralogi, geokimia, struktur, dan litologi yang khas. Tipe ini juga
Sistem epitermal sulfida tinggi (HS) dan rendah (LS) terbentuk dari
yang berbeda (Gambar 2.7 dan Gambar 28). Endapan tipe HS berasosiasi
volkanik. Berbeda dengan tipe HS, maka endapan tipe LS terbentuk oleh
magma ataupun sumber panas lainnya akan menghasilkan panas, air, gas-
gas asam, dan logam bijih. Dalam sistem LS, kompenen magmatik
air untuk menghasilkan fluida hipogen asam yang akan melewati batuan
mineral dan tekstur karena berinteraksi dengan “fluida cair panas” (hidrotermal)
yang dikontrol oleh kondisi kimia dan fisika yang ada. Alterasi dapat terjadi
karena suatu proses “Supercritical Fluids”, yaitu suatu karakteristik air pada
proses ubahan yang berlangsung dalam fase cair karena proses ini berada dalam
batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno, 1992).
Secara istilah, laritan hidrotermal adalah cairan panas yang umumnya berasosiasi
dengan proses magmatik, namun dapat pula berasal dari air meteorik, air comnate,
atau air yang mengandung mineral yang dihasilkan selama proses metamorfisme
dan kemudian terpanaskan di dalam perut bumi (Bateman dan Jensen, 1981)..
pada batuan samping. Proses ubahan ini disebabkan oleh kecenderungan mineral
dalam batuan untuk membentuk suatu mineral baru agar mencapai keseimbangan.
Menurut Bateman dan Jensen (1991), faktor-faktor yang mempengaruhi tipe dan
(gangue) sehingga terbentuk endapan mineral (Gary dkk., 1972). Endapan mineral
adalah akumulasi atau konsentrasi dari suatu atau beberapa material yang berguna,
baik berupa logam maupun nonlogam, yang terdapat di dalam kerak bumi bagian
sebagai pembawa mineral dan adanya celah batuan sebagai jalan bagi lewatnya
larutan hidrotermal. Selain itu, faktor lain adalah adanya tempat bagi pengendapan
Pada tipe endapan epitermal sulfida rendah, mineral bijih yang umum muncul
adalh pirit, gelena, sfalerit, dan kalkopirit yang mencerminkan kondisi reduksi
(Tabel 2.2). Salah satu penciri lain adalah kehadrian sfalerti dan arsenopirit yang
umum pada tipe sulfida rendah. Kedua mineral tersebut sangat jarang hadir pada
tipe epitermal sulfida rendah. Kedua mineral tersebut sangat jarang hadir pada tipe
epitermal sulfida tinggi (White dkk., 1995; dalam Hedenquist dan White, 1995).
Tipe endapan epitermal sulfida tinggi umumnya banyak terdapt mineral bijih yang
kaya tembaga, khususnya mineral yang memiliki bilangan oksidasi tinggi seperti
enargit dan luzonit (Tabel 2.2). kelimpahan mineral sulfida, terutama pirit, tidak
White, 1995).
Tabel 2.2 Perbedaan Tipe Endapan Epitermal Sulfida Tinggi dan Sulfida Rendah
(Hedenquist dan White, 1995)
3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode pengambilan data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dilapangan
baik melalui pencatatan maupun dengan menggunakan alat bantu. Sedangkan data
sekunder merupakan data yang sebelumnya telah diperoleh dan merupakan data
pendukung dalam penentuan jenis ubahan serta tipe endapan daerah penelitian.
mengetahui kandungan mineral sulfidasi dan oksidasi yang terdapat pada conto
Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan oktober 2017 di daerah Buranga
menggunakan dua jalur kapal laut (Ferry) yang berlabuh dipelabuhan Amolengo
Labuan Bajo dan pelabuhan Pure Maligano. Jarak dari Amolengo Labuan Bajo
sampai ke daerah Buraga dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda
B. Jenis Penelitian
mengetahui kondisi geologi lokal dan jenis endapan hidrotermal pada lokasi
mineral sulfidasi, oksidasi, jenis mineral dan struktur serta tekstur jenis ubahan.
Adapun bahan digunakan dalam penelitian ini adalah sampel conto batuan
Geomorfologi
D. Alat/Instrumen Penelitian
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini terbagi atas dua jenis yaitu alat
yang digunakan saat dilapangan dan alat yang digunakan untuk analisis di
laboratorium.
Adapun alat yang akan digunakan dilapangan yaitu:
GPS
Kompas Brunton
Palu Geologi
Kantong Sampel
Spidol Permanen
Rol Meter
Pita Meter
Buku lapangan
Mikroskop Polarisasi
E. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian pada penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu sebagai
berikut:
1. Prosedur Persiapan
Prosedur persiapan ini meliputi pengurus surat izin penelitian, studi pustaka
Perizinan.
kantong sampel, spidol permanen, mistar 30cm, rool meter, pita meter,
2. Pengambilan Data
Metode ini meliputi orientasi lapangan dan pengambilan data lapangan pada
Pengambilan data dengan cara pencatatan ini yaitu semua data dijumpai di
lapangan direkam dengan tulisan dalam buku catatan lapangan, baik data
pengukuran.
Pengambilan data lapangan dengan alat
samping
membantu dalam penetuan jenis ubahan dan jenis mineralisasi yang terdapat pada
daerah penelitian. Data ini diperoleh dengan metode portial leach dan
Dengan adanya peta sebaran mineral ubahan, maka akan dapat diketahui
data yang telah diperoleh baik data primer yang diperoleh secara langsung di
lapangan maupun data sekunder sebagai data pendukung. Metode analisa yang
digunakan antara lain analisa terhadap data hasil partial leach (PIMA) dan
Metode Penelitian
Prosedur Persiapan
1. Studi Literatur
1. Data Primer
Pengambilan Data Mineral ubahan
Pola dan tekstur mineralisasi
Mineral sulfida dan oksida
2. Data Sekunder
Data Partial Leach (PIMA)
Analisa Petrografi
Analisa Data Analisa Mineragrafi
Analisa Tekstur Batuan
1. Observasi Lapangan
2. Studi Pustaka
4. Analisis Data
DAFTAR PUSTAKA
Buchanan, L.J., 1981. Scale model for zoning of textures, alteration, ore and
gangue mineralogy in a typical boiling zone epithermal vein. Dalam:
Morisson, G., Guoyi, D., dan Jaireth, S., (eds.) 1990. Textural Zoning in
Epithermal Quartz Veins, Klondike Exploration Services, Townsville
QLD 4810, Australia, 21 h.
Chen, C.H., 1970. Geology and Geothermal power potential of the Tatun volcanic
region. Dalam: Barnes, H.L., (ed.), 1979, Geochemistry of hydrothermal
ore deposits, 2nd edition, John Wiley and Sons, New York, h.632-683.
Davidson, J.W., 1991, The Geology and Prospective of Buton Island, S.E.
Sulawesi, Indonesia. Proceedings Indonesia Petroleum Association, 20th
Annual Convention, h.209-233
Haas, J.L., 1971. The effect of salinity on the maximum thermal gradient of a
hydrothermal system at hydrostatic pressure. Economic Geology, 66,
h.940-946.
Sikumbang,N., Sanyoto, P., Supandjono, R.J.B. dan Gafoer, S., 1995, Peta
Geologi Lembar Buton, Sulawesi Tenggara skala 1 : 250.000. Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Geologi.
Smith, R. B., dan Silver A. E., 1991, Geology of a Miocene collision complex,
Buton, Eastern Indonesia, Geological Society of America Bulletin v. 103,
p. 660-678.