Anda di halaman 1dari 5

Khilaf Putusan Pidana Peternak Ayam

Putusan Pengadilan Negeri Banyumas No.8/Pid.sus/2021/PN.Bms


(17/03/2021) yang menjatuhkan vonis pidana penjara selama 1 tahun dan
denda Rp.1 milyar, subsider 1 bulan kurungan terhadap seorang peternak ayam
di Banyumas mendadak viral. MS (40), seorang peternak ayam yang dinyatakan
bersalah melakukan tindak pidana kegiatan usaha tanpa izin lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) UU
No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup.

Perkara tersebut berawal saat tim Polresta Banyumas yang melakukan


pemeriksaan terhadap kegiatan usaha peternakan ayam petelur milik MS (40) di
desa Limpakuwus, dimana pada pemeriksaan tersebut MS (40) tidak dapat
menunjukkan izin usaha dan izin lingkungan kegiatan usahanya tersebut.

Terlepas dari adanya perdebatan yang muncul dikarenakan Putusan ini,


putusan tersebut harus tetap dihormati, sebagaimana asas hukum res judicata
pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar).

Kekeliruan yang nyata.


Putusan pidana PN Banyumas ini akan menjadi preseden buruk bagi
UMKM peternakan ayam. Apalagi kontruksi hukum Putusan PN Banyumas ini
hanya bersandarkan pada aspek formil UU saja, tanpa mengakomodir aspek
materil.

Barang kali tepatlah apa yang dipertanyakan oleh W. Van Veen dalam
het gezag van het openbaar ministerie , “apakah hukum pidana kita suatu
hukum pidana berdasarkan kesalahan ataukah suatu hukum pidana
berdasarkan kesialan?’’. MS si peternak ayam memang sedang sial, karena
terhadap eksekusi Pasal 109 UU No.32/2009 yang didakwakan kepadanya lalu
dilimpahkan ke Pengadilan. Sementara fakta dilapangan sampai saat ini masih
banyak UMKM peternakan ayam yang tidak memiliki izin usaha dan izin
lingkungan dari intansi terkait yang berwenang.

Dari awal pemeriksaan terhadap kegiatan usaha peternak ayam saja


sudah salah kaprah dan bertentangan dengan prinsip due process of law. Hal
ini karena terdapat eror in subjecto terhadap pemeriksaan kegiatan usaha
peternakan ayam yang dilakukan oleh tim Polresta Banyumas . Harusnya yang
berwenang untuk melakukan pemeriksaan, meminta keterangan, bukti, dan
melakukan penyidikkan adalah PPNS dan berada dibawah koordinasi
kementerian lingkungan hidup sebagaimana tersebut dalam Pasal 94 jo. Pasal
95 UU No.32/2009, bukan tim Polresta Banyumas.

Apabila terjadi tindak pidana lingkungan hidup, maka PPNS, Kepolisan,


dan kejaksaan harus mengkoordinasikan dengan Kementerian Lingkungan
hidup. Penegakkan hukum tindak pidana lingkungan hidup yang berada
dibawah koordinasi Kementerian Lingkungan hidup adalah bagian dari
penegakkan hukum pidana terpadu ( integrated criminal justice system ), yang
mana menurut Fatwa Mahkamah Agung No.KMA/114/IV/1990, semua perkara
yang penyidikannya dilakukan oleh PPNS, hasil penyidikannya harus diserahkan
kepada penyidik Polri terlebih dahulu, baru kemudian diserahkan kepada
penuntut Umum untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan.

Putusan Pidana terhadap peternak ayam tersebut juga sedikit


bermasalah secara teori karena menurut asas out of court settlement, peternak
ayam yang sudah pernah mendapatkan sanksi administrasi dari Dinas
Lingkungan Hidup Banyumas harusnya sudah menutup pintu untuk
penyelesaian perkara itu secara pidana. Sekalipun timbul kerugian, maka
kerugian yang timbul itu bisa diselesaikan secara administrasi.

Sedangkan dalam pokok perkara, memang benar rumusan delik Pasal


109 UU No.32/2009 adalah delik formil yang penekanannya cukup pada
perbuatan bukan akibat yang ditimbulkan. Tetapi, berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung No.275 K/Pid/1983 tidaklah tepat perbuatan tersebut
didasarkan semata pada pelanggaran UU yang ada sanksi pidananya, tanpa
memperhatikan asas-asas hukum lainnya yang hidup dalam masyarakat.

Terlepas dari ketiadaan izin lingkungan, fakta bahwa kegiatan usaha


peternakan ayam tersebut tidak mencemari lingkungan, limbahnya
dimanfaatkan sebagai pupuk oleh petani, menyerap tenaga kerja, serta
membantu pemerintah daerah dalam ketersediaan stock dan menekan inflansi
harga telur ayam di Banyumas harusnya cukup menjadi alasan penghapusan
pidana bagi si peternak ayam.

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. No.42/K/Kr/1965,


faktor-faktor seperti usaha peternak ayam tersebut tidak merugikan
masyarakat, tidak mencemari lingkungan, dan kepentingan umum terlayani
dapat menghapuskan sifat bertentangan dengan hukum pada perbuatan
terdakwa, yang terbukti formil dalam rumusan tindak pidana ( negative
materielle weterrechtelijk). Faktor-faktor tersebut adalah alasan penghapusan
pidana diluar KUHP.

Begitu juga dengan dalil pertimbangan hakim terhadap unsur-unsur


Pasal 109 UU No.32/2009. Untuk unsur ‘’setiap orang’’, dalam hukum pidana
unsur ‘’setiap orang’’ merujuk pada subjek hukum yang dapat dimintakkan
pertanggungjawaban pidana yang mengandung 3 elemen penting, yakni (1)
kemampuan bertanggung jawab, (2) kausalitas antara niat dengan perbuatan
pelaku, dan (3) tidak adanya alasan penghapusan pidana.

Sementara hakim dalam putusan tersebut hanya menilai validitas


identitas pelaku. Dan mengabaikan itikad baik peternak ayam dan adanya
alasan penghapusan pidana, yakni tidak merugikan masyarakat, tidak
mencemari lingkungan, dan kepentingan umum terlayani (negative materielle
weterrechtelijk).
Untuk unsur ‘’melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan hidup’’, dalam tindak pidana sehubungan dengan izin, karena
terdakwa peternak ayam telah mengajukan permohonan izin menyebabkan
unsur ‘’tanpa izin’’ dengan sendirinya menjadi tidak terpenuhi. Tidak tepat dalil
pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa si peternak ayam tidak mencari
izin informasi tentang masalah perizinan ke dinas terkait. Karena itu bukan
kewajiban pemohon izin. Justru pemerintalah yang berkewajiban memantau
proses penerbitan izin tersebut sejak permohonan diajukan dan diterima
pemerintah.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No.18/PUU-XII/2014 telah


menerapkan standar perizinan dengan menetapkan bahwa permohonan
perizinan yang sudah diajukan secara materil harus dianggap telah memiliki
izin, meski izin formal belum diterbitkan pemerintah.

Tidak memiliki izin bukanlah suatu kejahatan. Suatu perbuatan tidak


dapat dikatakan kriminal jika tidak ada kehendak jahat didalamnya ( actus non
facit, nisi mens sit rea ). Tidak memiliki izin adalah pelanggaran administrasi.
Harusnya diselesaikan secara administrasi. Secara teori, dalam hukum
administrasi ada asas in cauda venenum (diekornya ada sanksi pidana).
Sementara dalam hukum pidana ada asas ultimum remedium (sanksi pidana
sebagai upaya terakhir). Instrumen-instrumen hukum administrasi harus lebih
dulu dilaksanakan.

Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, Hakim


harusnya tak hanya menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi), tetapi
juga harus mampu menjadi living intemperator yang dapat menangkap
semangat keadilan dan tidak terbelenggu oleh kekakuan formalitas UU,
rumusan UU yang samar-samar, tidak tegas, bahkan multi tafsir. Itu sebabnya
para hakim dituntut wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ( judicial activism).
Quid ius sine justitia (apa artinya hukum tanpa keadilan).

Anda mungkin juga menyukai