Anda di halaman 1dari 3

1. Kasus ini merupakan kasus tindakan “goreng-menggoreng saham”.

Tindakan ini
merupakan sebuah pelanggaran yang telah di atur di dalam Bab XI Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Pasal 91 :
Setiap Pihak dilarang melakukan tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan
tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan
perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek.
Tindakan Denov dengan melakukan publikasi di Media, bahwa alasan Denov membeli
saham PT. Permana . Tbk adalah karena PT. Permana . TBK akan mendapatkan Proyek
Raksasa oleh Pemerintah. Dengan pernyataan tersebut, dan ditambah lagi keyakinan
masyarakat akan besarnya perusahaan raksasa milik Denov, menjadikan masyarakat
membeli saham perusahaan PT. Permana. Tbk. Atas meningkatnya penjualan saham
tersebut, secara otomatis saham PT. Permana TBK meningkat tajam menjadi Rp. 500.000
per lembar saham.
Tindakan yang dilakukan oleh Denov dapat di definisikan sebagai Tindakan menciptakan
gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, dan
harga efek di bursa efek terhadap Saham PT. Permana. TBK

2 Peristiwa tidak hadirnya terdakwa di katakana sebagai “In Absentia” di sebutkan di dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1988 tentang Penasehat Hukum atau
Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa/Terpidana "In Absentia" yang pada intinya
memerintahkan hakim untuk menolak penasihat hukum/pengacara yang mendapat kuasa
dari terdakwa yang sengaja tidak mau hadir dalam pemeriksaan pengadilan sehingga dapat
menghambat jalannya pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusannya.
Dalam perkara “In Absentia” dikarenakan Sakit, seperti yang di sebutkan dalam studi kasus
nomor 2 “Andri tidak pernah hadir di persidangan karena sedang sakit stroke dan terbaring
di Rumah sakit.” Kondisini sejalan dengan Surat Edaran MA (SEMA) No. 4 Tahun 2016
tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 Sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu rumusan kamar pidana ini
selengkapnya berbunyi:
“Manakala terdakwa tidak pernah hadir di sidang pengadilan dengan alasan sakit permanan
yang diperkuat dengan surat keterangan dokter, maka sikap majelis hakim yang mengadili
dapat memerintahkan dilakukan pemeriksaan kesehatan ulang (second opinion) oleh Tim
Dokter Rumah Sakit Umum Pusat atau Daerah.”
Di samping Pada prinsipnya sidang putusan suatu perkara pidana harus dihadiri oleh
terdakwa, hal ini berdasarkan Pasal 196 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan: ”Pengadilan memutus perkara dengan
hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain”.
Mengenai studi kasus pada nomor 1, Putusan yang di jatuhi kepada andri tidak sah, dan
proses jalannya persidangan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun, disamping
itu menjadi maklum karena terdapat Vacuum Recht perihal studi kasus tersebut.

3. Beberapa peraturan perundang-undangan di luar KUHP telah menentukan korporasi


sebagai subjek tindak pidana, sehingga penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
kepada korporasi. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut antara lain, Undang-
Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang- Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang
No. 20 Tahun 2001, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.

Peraturan perundang-undangan tersebut di atas telah menentukan korporasi tersebut sebagai


subjek tindak pidana. Namun demikian, apakah formulasi ketentuan-ketentuan di dalamnya
telah dapat dijadikan dasar bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi,
terutama pertanggungjawaban korporasi terhadap korban kejahatan korporasi. Formulasi
pertanggungjawaban pidana korporasi tentu saja tidak cukup hanya dengan menyebutkan
korporasi sebagai subjek tindak pidana saja, melainkan juga harus menentukan aturan
mengenai sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga diperlukan sebuah upaya reorientasi
dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan korporasi di masa
yang akan datang.

Reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan


korporasi antara lain meliputi ketentuan mengenai :

1. ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi;
2. siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan korporasi;
3. jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana berupa korporasi yang
berorientasi pada pemberian ganti kerugian kepada korban.

Formulasi mengenai ketentuan tersebut harus diatur secara tegas untuk meminimalisir
kemungkinan korporasi melepaskan diri dari tanggungjawab atas kejahatan yang
dilakukannya. Mustahil memberikan pemenuhan ganti kerugian yang diderita oleh korban
oleh korporasi, apabila korporasi yang dimaksud tidak dapat dijerat, dituntut, dan dijatuhi
pidana berdasarkan peraturan perundang- undangan yang ada.

Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 20 ayat (2) ditentukan
bahwa : “Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut

Anda mungkin juga menyukai