Anda di halaman 1dari 4

1.

Advokat adalah salah satu penegak hukum, ini tertulis pada Pasal 5 ayat (1) UU Advokat
yang menjelaskan bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang
dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “Advokat
berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam
proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam
menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UUA”), baik Pengacara,
advokat, penasihat hukum, dan konsultan hukum, semuanya disebut sebagai Advokat (lihat
Pasal 32 ayat [1] UUA). Sehingga, dengan berlakunya UU Advokat, tidak ada perbedaan
antara pengacara dan advokat, penasihat hukum, ataupun konsultan hukum. Semuanya
disebut sebagai Advokat yaitu orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang wilayah kerjanya di seluruh wilayah Republik Indonesia
(Pasal 5 ayat [2] UUA). Syarat untuk menjadi pengacara (advokat) di Indonesia diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yaitu sarjana yang berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang
dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan mengikuti masa magang di Kantor
Pengacara/Advokat senior minimal selama 2 (dua) tahun lamanya.

2. Istilah kuasa hukum, muncul dan digunakan dalam proses persidangan perkara perdata.
Dalam praktek peradilan, ketentuan hukum acara perdata memang tidak mewajibkan untuk
menggunakan kuasa, akan tetapi hanya apabila para pihak menghendakinya, sebagaimana
ketentuan Pasal 123 HIR atau 147 RBg dapat meminta bantuan atau mewakilkan. Dengan
surat kuasa khusus tentunya, seorang kuasa (advokat atau dalam hal tertentu bisa bukan
advokat, kuasa insidentil misalnya karena ada hubungan keluarga). Karenanya, dalam
persidangan perkara perdata, akan terdapat pihak berperkara langsung (secara materiil) atau
dikenal sebagai prinsipal (bisa penggugat, bisa tergugat atau turut tergugat) dan pihak
berperkara (formil) semata karena mendapat kuasa khusus untuk mewakili, yang dikenal
sebagai kuasa hukum.

Sedangkan istilah Penasihat Hukum muncul dalam perkara pidana. Penasihat hukum sendiri
adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-
undang (UU Advokat dan/atau UU Bantuan Hukum) untuk memberi bantuan hukum.
Idealnya setiap terdakwa yang dihadapkan di persidangan pidana mendapat bantuan hukum
dari Penasihat Hukum. Hal ini beralasan karena terdakwa di persidangan sesungguhnya
berhadapan dengan kekuatan maha dasyat negara yang direpresentasikan oleh penuntut
umum ‘mewakili’ korban.
3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) merupakan penyidik yang berasal dari PNS untuk
melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. Biasanya tindak pidana tersebut bukan tindak
pidana umum yang biasa ditangani oleh penyidik Kepolisian
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 43 Tahun 2012, yang dimaksud dengan PPNS
adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan ditunjuk selaku Penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan
tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Pada dasarnya, setiap penyidikan harus mengacu pada ketentuan UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan dalam melaksanakan kewenangannya, PPNS
dalam bidang apapun harus berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian. Untuk mengatur
kewenangan PPNS diterbitkanlah Perkapolri No. 6 Tahun 2010 tentang Manajemen
Penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Jadi, PPNS merupakan pejabat PNS yang ditunjuk dan diberi kewenangan untuk
melakukan penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang menjadi lingkup peraturan undang-
undang yang menjadi dasar hukumnya. Oleh karena itu, instansi/lembaga atau badan
pemerintah tertentu memiliki PPNS masing-masing. Dalam melaksanakan tugasnya PPNS
diawasi serta harus berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian.
Peraturan perundang-undangan yang didalamnya mengatur tindak pidana yang dapat
disidik oleh PPNS diantaranya:
1) PPNS untuk tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
(Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup) 11 PPNS pada lingkungan instansi pemerintah yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup diberikan wewenang sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2) PPNS untuk tindak pidana perusakan hutan (Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan) Kewenangan melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana perusakan hutan selain berada pada Penyidik Polri,
Undang-Undang ini juga memberikan kewenangan kepada kepada PPNS sebagai
penyidik pada tindak pidana perusakan hutan.23 Tindak pidana perusakan hutan dapat
dikenakan kepada setiap orang perseorangan, korporasi, dan pejabat, kualifikasi
tindak pidana yang dilakukan diatur pada Pasal 82 s.d. Pasal 106. PPNS menurut
Undang-Undang tersebut adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup
instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh Undang-Undang diberi wewenang
khusus dalam penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.24
3) PPNS untuk tindak pidana perikanan (Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan)
Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia dilakukan oleh PPNS Perikanan, penyidikan yang
dilakukan PPNS Perikanan bersifat koordinatif dengan Penyidik Perwira TNI
Angkatan Laut agar penyidikan tersebut berjalan lebih efisien dan efektif berdasarkan
Prosedur Tetap Bersama.
4) PPNS untuk tindak pidana di bidang Merek berdasarkan Undang-Undang No. 15
Tahun 2001 tentang Merek

4. Dalam Pasal 11 RUU KUHP, makna tindak pidana dirumuskan secara lengkap sebagai
berikut:
 Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh
peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana.
 Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan
hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
 Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan
pembenar.

Untuk menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, perbuatan tersebut haruslah
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kepada subjek tindak pidana yang
melakukannya atau dalam rumusan hukum pidana disebut dengan barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut. Dengan kata lain, perbuatan yang tergolong tindak pidana
adalah perbuatan yang dilarang dalam hukum yang dapat diancam dengan sanksi pidana.
Untuk mengetahui apakah perbuatan dalam sebuah peristiwa hukum adalah tindak pidana
dapat dilakukan analisis mengenai apakah perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-
unsur yang diatur dalam sebuah ketentuan pasal hukum pidana tertentu. Kesimpulannya
ada yang mengatakan tindak pidana itu terjadi saat tindakan dilakukan, ada yang
mengatakan tindak pidana itu terjadi saat tindakan dilakukan dan saat akibat muncul
dimana kedua peristiwa itu tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu rangkaian
peristiwa.

Untuk itu, harus diadakan penyesuaian atau pencocokan (bagian-bagian/kejadian-kejadian)


dari peristiwa tersebut kepada unsur-unsur dari delik yang didakwakan. Jika ternyata sudah
cocok, maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana yang telah
terjadi yang (dapat) dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada subjek pelakunya.
Namun, jika salah satu unsur tersebut tidak ada atau tidak terbukti, maka harus disimpulkan
bahwa tindak pidana belum atau tidak terjadi.

Anda mungkin juga menyukai