Anda di halaman 1dari 7

Nama : Elzidan Herendra Palasara

NIM : 2004551297
Mata Kuliah : Sistem Peradilan Pidana (F)
Dosen :
UJIAN TENGAH SEMESTER
SISTEM PERADILAN PIDANA

1. Ferdy Sambo dan 7 orang Obstruction Of Justice, analisis kasus dan sertakan analisa dari hasil
dakwaan yang telah ada pada kasus tersebut.

Analisis Kasus Ferdy Sambo


Dalam kasus ini Ferdy Sambo melakukan tindak pidana pembunuhan berencana. Hal tersebut
dapat diketahui saat jaksa menjelaskan kronologi di persidangan bahwa pada Jam 15.40 WIB sampai
dengan 17.07 WIB sebelum terjadinya pembunuhan, Ferdy Sambo meminta Ricky untuk menembak
Brigadir J, namun tidak disanggupi oleh Ricky. Lalu akhirnya Ferdy Sambo memerintah Bharada E untuk
menembak, dan disanggupi olehnya. Kemudian Bharada E diberikan senjata api merk Glock 17 Nomor
seri MPY851 milik Ferdy Sambo. Dalam kaitan ini telah dibuktikan bahwa Ferdy Sambo melakukan
perancanaan tentang pembunuhan terhadap Brigadir J, dan Putri Candrawathi juga turut menyimak
perencanaan itu. Perencanaan pembunuhan ini dilakukan di Rumah Dinas Duren Tiga No. 46.
Dengan itu maka Ferdy Sambo telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang di maksud pada
Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Pasal 340 KUHP Sendiri menyebutkan “Barang siapa
dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama 20 tahun.” Dalam hal itu Ferdy Sambo telah merencanakan pembunuhan dengan
sengaja atas dasar kemarahannya karena Brigadir J diduga melecehkan Putri Candrawathi. Selanjutnya
Pasal 55 ayat (1) KUHP berisi tentang ketentuan menyuruhlakukan tindak pidana yang di mana Ferdy
Sambo telah menyuruh Bharada E untuk melakukan penembakan kepada Brigadir J.
Kasus ini dengan jelas dapat disangkutkan dengan Pasal 338 KUHP yang menjelaskan bahwa
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun." Hal tersebut dibuktikan dengan pembacaan kronologi oleh jaksa
yang menyebutkan pada Jam 17.12 WIB Brigadir J dipanggil untuk ke Lantai satu oleh Ferdy Sambo.
Setelah itu Brigadir J didorong hingga tersungkur kemudian diperintah untuk jongkok serta mengangkat
tangannya. Ferdy Sambo saat itu langsung memerintahkan Bharada E untuk menembak Brigadir J hingga
terjatuh dan berdarah-darah. Selanjutnya untuk memastikan Brigadir J terbunuh, Ferdy Sambo
menembakan pelurunya kearah kepala bagian belakang sisi kiri yang dengan itu mengakibatkan
hilangnya nyawa korban.

Analisis Ferdy Sambo dan 7 Orang Obstruction of Justice


Penghalangan penyelidikan dapat juga disebut dengan Obstruction of Justice , yang terkait hal ini
diatur dalam Pasal 221 KUHP yang menyebutkan bahwa pengertian obstruction of justice adalah suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang terbukti berupaya untuk menghalang-halangi suatu
proses hukum. Singkatnya telah dilakukan upaya beberapa orang untuk menghalangi proses hukum
dalam meninggalnya Brigadir J. dan upaya untuk menghalangi proses hukum ini dapat diklasifikasikan
sebagai tindak pidana.
Dalam kasus ini dinyatakan bahwa terdapat 7 (tujuh) orang yang telah melakukan upaya untuk
menghalangi jalannya proses hukum yang dinyatakan sesuai dengan Pasal 221 KUHP. Terdakwa dalam
kaitan obstruction of justice pada kasus ini ialah Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus Nurpatria, AKP
Irfan Widyanto, AKBP Arif Rahman, Kompol Baiquni, Kompol Chuck Putranto, dan Ferdy Sambo.
Peran dari Ferdy Sambo dalam obstruction of justice ini adalah sebagai prang yang memeberikan
perintah untuk dilakukannya penghalangan penyidikan. Hal ini dapat dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP
yang berisi tentang menyuruh melakukan perbuatan pidana dengan cara menyalahgunakan kekuasaan.
Kemudian Brigjen Hendra Kurniawan melakukan pemerintahan kepada Agus Nurpatria untuk mengambil
CCTV penting dan menyuruh Arif Rahman untuk membuat folder khusus tentang pelecehan Putri
Candrawathi yang merupakan scenario dari Ferdy Sambo.
Irfan Widyanto diperintah oleh Agus Nurpatria untuk mengambil DVR CCTV di Komplek Duren
Tiga dan pengambilan tersebut tanpa adanya izin ketua RT, bahkan Irfan melarang pihak keamanan di
komplek tersebut untuk meminta izin kepada ketua RT. Baiquni diketahui melakukan perusakan CCTV
yang penting di dalam kasus ini, baiquni diketahui diperintah oleh Chuck Putranto melalui telepon.
Selanjutnya Arif Rahman berperan dalam perusakan CCTV serta mematahkan laptop yang di dalamnya
terdapat CCTV terkait kejadian kasus pembunuhan tersebut.
Dengan itu maka obstruction of justice dalam kasus ini telah melanggar ketentuan pasal 48 ayat
(1) jo. Pasal 32 ayat (1) UU ITE yang menyebutkan tentang perusakan fungsi sistem elektronik yang
dalam hal ini adalah CCTV dan Laptop. Selanjutnya ialah Pasal 233 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
yang dalam hal ini adalah perusakan, dan penghilangan barang yang dapat digunakan untuk
membuktikan kasus pembunuhan brigadir J dan tindakan pemerintahan untuk melakukan tindak pidana
tersebut yang dikategorikan dalam madeplegen.
2. Pembunuhan ASN di semarang sebagai sanksi kasus korupsi.
Analisis Pembunuhan ASN di Semarang

Pembunuhan ASN di Semarang atas nama Iwan Boedi sampai saat ini belum menemukan titik
terang sehingga saya akan menganalisis ini berdasarkan fakta terakhir di media. Iwan Boedi diduga
dibunuh oleh beberapa orang karena sebelumnya korban dimintai untuk memberikan kesaksian atas
Tindak Pidana Korupsi. Satu hari sebelum memberikan kesakian, Iwan Boedi ditemukan tewas dengan
tubuh yang dimutilasi dan terbakar hingga hangus di daerah Marina.
Pembunuhan ini diduga agar korban tidak mengungkapkan kesaksiannya atas tindak pidana
korupsi tersebut. Polisi mengatakan bahwa pelaku dalam kasus ini dapat dikatakn seseorang yang ahli dan
sudah hafal tempat eksekusi, hal ini dikarenakan kejadian tersebut nyaris tidak terpantau cctv dan susah
dicari jejaknya. Saat ini terdapat dua oknum TNI yang diduga menjadi pembunuh Iwan Boedi tersebut
yang berinisial AG dan HR.
Apabila AG dan HR terbukti melakukan tindakan pembunuhan tersebut atas dasar perintah dari
seseorang, maka dapat dijerat Pasal 340 dan Pasal 55 KUHP yang menyebutkan “Barang siapa dengan
sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling
lama 20 tahun.”. hal tersebut dikarenakan pembunuhan sudah direncanakan sebelumnya dengan bukti di
mana pelaku sudah hafal dan dapat menentukan titik buta dari CCTV sehingga dapat melakukan aksinya
tanpa terdeteksi.
Selain itu Pasal 55 KUHP yang menjelaskan bahwa mereka yang dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman
atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang
lain supaya melakukan perbuatan kejahatan akan dapat di pidana. Hal ini dapat menjerat seseorang yang
memerintah terduga AG dan HR untuk melakukan kejahatan berupa pembunuhan Iwan Boedi.
3. Gubernur Papua Lukas Enembe yang menjadi tersangka korupsi.
Analisis Kasus Dugaan Korupsi Lukas Enembe

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia telah menetapkan Gubernur Papua yaitu
Lukas Enembe sebagai tersangka dalam dugaan gratifikasi terkait proyek di Pemerintah Provinsi Papua.
Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan jika nilai dari gratifikasi yang diterima oleh Lukas Enembe
adalah sebesar Rp. 1 miliar, uang tersebut berasal dari seseorang yang bernama Prijatono Lakka. Selain
itu Komisi Pemberantasan Korupsi juga menemukan temuan bahwa terdapat aliran dana tak wajar yang
mencapai setengah triliun rupiah. Jika temuan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut terbukti, maka
Lukas Enembe dapat dikatakan melanggar Pasal 12B ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi yang berisi terkait gratifikasi serta menempatkan Lukas Enembe menjadi
pemimpin terkorup sedunia.
Selanjutnya Gubernur Papua, Lukas Enembe juga tersangkut peloemik terkait dugaan adanya 12
transaksi tidak wajar yang telah ditemukan PPATK. Aliran dana tak wajar tersebut telah ada sejak tahun
2012 sebagaimana dijelaskan oleh ketua PPATK. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan
Keamanan, Mahfud MD juga memberi keterangan bahwa Lukas Enembe diduga melakukan
penyelewengan anggaran operasional pimpinan dan pengelolaan Pekan Olahraga Nasional. Hal itu
menandakan selama lima tahun ke belakang praktis peran inspektorat lemah sebagai aparat pengawas
internal pemerintah provinsi Papua sekaligus benteng awal preventif praktik korupsi.
Dugaan motif paling dapat diterima dari kerapnya kepala daerah terjerumus praktik korupsi
adalah biaya politik tinggi. Misalnya saja, berdasarkan temuan Kementerian Dalam Negeri beberapa
tahun lalu, anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa puluhan miliar rupiah, bahkan untuk
level gubernur mencapai ratusan miliar rupiah. Jika dilihat pendapatan setiap bulan, mustahil pimpinan
daerah tersebut dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat masa kampanye. Pada titik ini
kemudian praktik korupsi merajalela dan berhasil menyeret ratusan kepala daerah ke proses hukum.
Lukas Enembe juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang dengan cara melakukan perjudian di
luar negeri.
Sesuai dengan hal yang dijelaskan diatas, apabila Lukas Enembe terbukti dengan jelas melakukan
tindak pidana korupsi yang didugakan, maka Lukas Enembe dapat didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) huruf
c Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjelaskan “Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)”
Selain itu terdapat dugaan gratifikasi yang diterima oleh Lukas Enembe, yang apabila terbukti
maka Lukas Enembe dapat dikenai Pasal 12 huruf b Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut menjeaskan bahwa pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Dalam hal ini Lukas Enembe merupakan
penyelenggara negara dan terduga ini menerima hadiah senilai Rp. 1 miliar oleh seseorang tanpa
melaporkan hal tersebut. Lukas Enembe dapat Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Dalam kasus ini tak kunjung juga dilanjutkan proses hukumnya, hal ini karena terduga gratidikasi
terus mangkir dari panggilan KPK. Saat ini dikabarkan alsan dari mangkirnya Lukas Enembe adalah
karena terduga dalam keadaan sakit. Dalam hal kondisi kesehatan Lukas terbukti benar sedang sakit,
itupun tidak bisa menghentikan langkah KPK menyidik perkara tersebut. Sebab, berdasarkan peraturan
perundang-undangan, KPK diperkenankan menerapkan pembantaran terhadap Lukas hingga yang

bersangkutan dianggap layak diperhadapkan dengan proses hukum.  


Lukas semestinya memberikan contoh baik kepada masyarakat dengan memenuhi panggilan
KPK. Sebagaimana dipahami berdasarkan Pasal 112 KUHAP, seseorang yang dipanggil sebagai saksi
maupun tersangka memiliki kewajiban hukum untuk menghadirinya. Jadi, jika Lukas terus menerus
mangkir, sudah selayaknya KPK segera melakukan upaya hukum berupa penjemputan paksa. Hal ini pun
sejalan dengan Pasal 50 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka berhak mendapatkan
pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
Saat ini kediaman dari Lukas Enembe dijaga oleh massa sehingga untuk dilakukan penjemputan
KPK sangatlah susah dilaksanakan. Namun hal tersebut dapat dipidanakan karena termasuk perbuatan
Obstruction of Justice. Hal tersebut dikarenakan massa yang menjaga kediaman Lukas Enembe
melakukan perbuatan menghalang-halangi proses hukum
4. Tragedi Kejuruan di Malang
Analisis Tragedi Kanjuruhan

Awal mula dari Tragedi ini adalah saat digelarnya Pertandingan Sepak Bola Liga 1 yang
mempertemukan Rival abadi antara Arema dan Persebaya. Pertandingan ini digelar di Stadion
Kanjuruhan, yaitu Arema sebagai tuan rumah. Pada saat itu pendukung Persebaya tidak diperbolehkan
untuk datang ke Stadion Kanjuruhan untuk menghindari resiko kerusuhan. Pertandingan antara dua klub
yang sudah sejak lama memiliki rivalitas yang tinggi ini berakhir dimenangkan oleh Persebaya sebagai
tim tamu.
Beberapa Aremania (pendukung Arema) saat itu turun ke lapangan untuk memberi semangat
kepada pemain dan melakukan perbincangan agar moral semangat pemain tetap terjaga. Akan tetapi hal
itu memicu Aremania yang lain utnuk turun ke lapangan., yang saat itu pemain Persebaya sudah berada di
luar Stadion. Suasana semakin ramai dikarenakan terdapat Aremania yang membawa bendera Persebaya
yang telah dicoret. Selanjutnya beberapa pihak keamanan juga melakukan tindak kekerasan pada
beberapa Aremania di Lapangan.
Dengan ramainya supporter Arema yang turun ke lapangan membuat pihak keamanan kewalahan.
Pihak keamanan dalam pertandingan ini ialah Kepolisian Republik Indonesia dan Juga Tentara Negara
Indonesia. Untuk mengurai massa, Kepolisian menembakan gas air mata ke kerumunan supporter, yang
padahal hal tersebut dapat memperparah keadaan. Dengan ditembaknya gas air mata para pendukung
Arema menjadi panik dan tak terkendali karena efek yang ditimbulkan dari gas air mata tersebut membuat
sesak nafas dan mata menjadi perih. Hal tersebut diperparah dengan banyaknya perempuan dan juga
anak-anak yang menonton pertandingan tersebut.
Puncak dari menakutkannya tragedi ini adalah di saat semua orang panik, hanya sedikit pintu
yang dapat dijadikan tempat keluar dari stadion. Alhasil karena berebut untuk keluar, banyak dari
pendukung arema terinjak-injak hingga kehilangan nyawanya. Bahkan terdapat pintu yang terkunci
sehingga tidak dapat digunakan yaitu Gate 13 di mana kurang lebih menewaskan lebih dari 90 nyawa
Aremania. Dan hal tersebut masih diselidiki kenapa pintu dapat terkunci sehingga banyak korban yang
berdesakan dan terinjak hingga tewas.
Faktanya bahwa sebagian besar korban dari tragedi Kanjuruhan ini meninggal karena sesak nafas
dan juga terinjak-injak saat berada dalam kepanikan akibat gas air mata yang ditembakan oleh kepolisian.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat unsur perkelahian atau kerusuhan dalam tragedi ini. Untuk itu
sampai saat ini masih dalam proses investigasi oleh pihak terkait. Jumlah korban dari tragedi ini adalah
sejumlah 714 orang, 135 orang dinyatakan meninggal.
Polri saat ini telah menetapkan enam orang yang menjadi tragedi atas kejadian di Kanjuruhan.
Enam orang tersebut ialah Direktur PT LIB (AHL), Ketua PAnpel Arema FC (AH), Security Officer
(SS), Kabag Operasi Polres Malang (WSS), Danki III Brimob Polda Jawa Timur (H), dan Kasat Samapta
Polres Malang BSA. Para tersangka tersebut dapat dijerat Pasal 359 dan 360 KUHP tentang kelalaian
yang menyebabkan Kemarian dan Pasal 103 jo. Pasal 52 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang
keolahragaan. Selain itu terdapat anggota keamanan yang terbukti melakukan kekerasan dapat dijerat
pasal 354 KUHP yang berisi tentang penganiayaan.
Pasal 359 KUHP menyatakan “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun” hal tersebut sangatlah sesuai dengan keadaan tersangka yang akibat dari kelalaiannya yaitu
tidak memastikan para anggotanya untuk melakukan tindakan yang tidak diperbolehkan (gas air mata).
Yang dengan itu maka banyak korban yang meninggal dunia. Dalam Organisasi Sepak Bola Dunia
(FIFA) sebenarnya telah dinyatakan bahwa gas air mata dilarang keras untuk digunakan di dalam Stadion.
Selanjutnya Pasal 360 menyebutkan bahwa barang siapa yang dengan kealpaannya menyebabkan
prang lain mendapatkan luka berat maka akan dijerat pidana. Sebagaimana kita ketahui banyak korban
yang mengalami luka berat. Hal tersebut juga menjadi alasan kenapa tersangka dapat dijerat Pasal ini.
Kemudian Penyelenggara dapat dikenai Pasal 103 Undang- undang nomor 11 Tahun 2022 yang
berbuny bahwa penyelenggara yang tidak memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan,
keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan
publik dapat dipidana penjara dan denda. Hal tersebut sesuai dengan kejadian di mana penyelengara tidak
memenuhi syarat tersebut sehingga saat terjadinya tragedi, banyak orang yang menjadi korban.
Yang terakhir adalah Pasal 354 yang berbunyi ” barang siapa sengaja melukai berat orang lain,
diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun”. Dengan itu
maka pihak keamanan yang terbukti menganiayay dengan cara memukul. Emnendang, dan membanting
pendukung Arema dapat dijerat hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai