Nim : B011211015
Tugas
Pembahasan :
1. Pembunuhan berencana telah diatur dalam pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun” dalam bunyi pasal tersebut terdapat tiga unsur pembunuhan berencana yaitu
barangsiapa, sengaja, dan rencana sehingga Unsur-unsur pembunuhan berencana
berdasarkan Pasal 340 KUHP adalah
1. Barangsiapa, adalah subyek hukum dimana subyek hukum yang dapat
dimintai pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah Naturlijk person,
yaitu manusia.
2. Sengaja, adalah pelaku memiliki kehendak dan keinsyafan untuk
menimbulkan akibat tertentu yang telah diatur dalam perundangundangan
yang didorong oleh pemenuhan nafsu (motif).
3. Dengan rencana lebih dahulu, artinya terdapat waktu jeda antara perencanaan
dengan tindakan yang memungkinkan adanya perencanaan secara sistematis
terlebih dahulu lalu baru diikuti dengan tindakannya.
Pembunuhan kasus Brigadir J juga terdapat unsur kesengajan dalam rekontruksi yang
dilakikan terjadi penembakan yang dilakukan Eliezer pada Brigadir J setelah itu disusul
oleh Ferdy Sambo dan brigadier J terkapar lalu FS menembak ke dua sisi dinding untuk
rekayasa dalam hal ini FS insyaf akan kesalahan yang dilakukannya sehingga ia
melakukan rekayasa untuk meringankan hukuman yang diberikan.
Pembunuhan ini juga diperkuat oleh beberapa bukti sperti keterangan saksi, foto hasil
visum atau luka, dan senjata yang digunakan hingga saat ini Kepolisian masih mendalami
motif dan mengumpulkan bukti lainnya yang dapat memperkuat karena masih terjadi
pertentangan antara eterangan yang diberikan bahkan adanya risiko tidak terbuktinya
kasusu itu dipengadilan bisa saja terjadi dimana para tersangka nantinya akana menjadi
saksi dari pelaku yang lain atau saksi mahkota yang pada akirnya saling membela dan
semua terdakwa bebas.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, menyatakan bahwa Pasal
134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
tindak pidana penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden tidak lagi mempunyai
kekuatan mengikat atau dengan kata lain sudah tidak berlaku lagi. Dalam
pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa Pasal-Pasal ini dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum, menghambat hak atas kebebasan menyatakan
pikiran, dengan lisan, tulisan, dan ekspresi, dan sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan
di Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Analisis dari kebijakan kriminalisasi menyimpulkan bahwa tindak pidana ini tidak perlu
diatur lagi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), terutama dalam hal jaminan atas Hak
Asasi Manusia (HAM) bagi setiap warga negara. Penjelasan Pasal RUU KUHP yang
merumuskan tindak pidana penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden tersebut
tidak menyebutkan secara jelas kepentingan apa yang ada di balik pengaturan penghinaan
terhadap Presiden atau Wakil Presiden.
Adapun makar diatur dalam pasal 104 KUHP Makar dengan maksud untuk membunuh,
atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden
memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Jika dianalisis makar merupakan tindakan untuk menggulingkan pemerinthan presiden
namun hal ini tentunya tidak sama halnya dengan penghinaan terhadap presiden ketika
penghinaan tersebut hanya menyerang pribadi atau menjatuhkan harkat dan martabat
presiden dan wakil presiden namun tidak berepengaruh oleh pemerintahannya sehingga
penghinaaan terhadap presiden tidak termasuk makar .