Anda di halaman 1dari 22

PRAKTIK KERJA LAPANGAN I

DI DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN


INDRAMAYU, BALAI BESAR UJI STANDAR KARANTINA
PERTANIAN DKI JAKARTA,
DAN BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
DKI JAKARTA

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN I

ARTEGUH ALEXSANDRO
021220072

PROGRAM STUDI KESEHATAN HEWAN


JURUSAN PETERNAKAN
POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
PENGESAHAN PROPOSAL PKL 1

Judul : Praktik Kerja Lapangan di Dinas Peternakan dan Kesehatan


Hewan, Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian dan Balai
Konsevasi Sumber Daya Alam
Nama : Arteguh Alexsandro
NIM : 021220072
Program Studi : Kesehatan Hewan
Jurusan : Peternakan

Disetujui oleh:

Pembimbing I

Dr. drh. Maya Purwanti, M.S


NIP 195906271985032001

Pembimbing II

Harry, S.Pt., M.Si


NIP 195905131979121001

Diketahui oleh:

Ketua Program Studi

Dr. drh. Maya Purwanti, M.S


NIP 195906271985032001

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal Kegiatan
Praktik di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Indramayu, Balai Besar Uji
Standar Karantina Pertanian DKI Jakarta dan Balai Konsevasi Sumber Daya Alam
DKI Jakarta untuk memenuhi persyaratan dalam pengajuan kerja praktik di
Politeknik Pembangunan Pertanian Bogor.
Penyusunan Proposal Praktik Kerja Lapangan I ini tidak terlepas dari
bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat; Bapak Dr. Detia Tri
Yunandar, S.P, M.S.i, selaku Direktur Polbangtan Bogor, Bapak Dr. Arif Nindyo
Kisworo, S.Pt, M.Si, selaku Ketua Jurusan Peternakan Polbangtan Bogor, Ibu Dr.
drh. Maya Purwanti, M.s, selaku Pembimbing I dan selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Hewan, Harry, S.Pt., M.Si, selaku Pembimbing II, dan semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan proposal ini.
Penulis menyadari proposal ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Dengan segala
kerendahan hati, penulis berharap proposal ini dapat memberi manfaat bagi
pembaca umumnya dan bagi penulis khususnya

Bogor, 11 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

PENGESAHAN PROPOSAL PKL 1 i


KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
PENDAHULUAN 5
Latar Belakang 5
Tujuan 2
Manfaat 2

TINJAUAN PUSTAKA 3
Ruminansia 3
Handling dan Restrain 4
Menejemen Kesehatan Ruminansia 4
Inseminasi Buatan 5
Pemeriksaan Kebuntingan 5
Rumah Potong Hewan 6
Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem 6
Laboratorium Karantina 7
Satwa Liar 8
Manajemen Kesehatan Satwa Liar 8
Biosecurity 10
Kesejahteraan Satwa Liar 11
Waktu dan Tempat 12
Materi Kegiatan 13
Pelaksanaan 14
Orientasi 14
Observasi 14
Recording 15
Wawancara dan Diskusi 15

DAFTAR PUSTAKA 16

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Waktu dan tempat pelaksanaan Praktik Kerja Lapanngan (PKL) I 12


Tabel 2 Kegiatan di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Indramayu 13
Tabel 3 Kegiatan Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) 13
Tabel 4 Kegiatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta 14

iv
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Politeknik pembangunan pertanian Bogor sebagai penyelenggara


pendidikan tinggi berbagai bidang lingkup Kementrian Pertanian. Salah satunya
adalah Kesehatan Hewan. Pokok dari program studi kesehatan hewan diantaranya,
yaitu: teknik pemeriksaan fisik, pengobatan, teknik pengendalian hewan dan
teknik pemeriksaan laboratorium kesehatan hewan. Bidang ilmu kesehatan hewan
juga mendayagunakan teknologi dari bidang keilmuan lainnya untuk memberikan
kontribusi penting bagi kesehatan hewan, yang kemudian akan disebut sebagai
Paramedik Veteriner.

Perkembangan industri peternakan dan kesehatan hewan yang pesat tentu


diikuti dengan kemajuan teknologi yang diterapkan di Dunia Usaha dan Dunia
Industri Kerja (DUDIKA). Kemajuan dan perkembangan tersebut harus dikuasai
oleh mahasiswa sehingga setelah menyelesaikan studi, mereka siap memasuki
dunia kerja. Teknologi yang diterapkan diindustri tidak mungkin dikuasai oleh
mahasiswa hanya dengan mendapatkan teori dan praktik di kampus, tetapi harus
dilengkapi dengan praktik secara langsung di lapangan melalui Praktek Kerja
Lapang (PKL). PKL merupakan kegiatan kurikuler yang wajib dilakukan
mahasiswa Program Studi Kesehatan Hewan Politeknik Pembangunan Pertanian
Bogor dengan bobot SKS 6 (0-6) artinya seluruh kegiatan pembelajaran
dilaksanakan di lapangan.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Indramayu merupakan unsur


pelaksana otonomi daerah di bidang peternakan dan kesehatan hewan mempunyai
tugas pokok melaksanakan penyusunan, pelaksanaan kebijakan, dan pemberian
bimbingan teknis, serta pemantauan dan evaluasi di bidang kesehatan hewan,
kesehatan masyarakat veteriner, serta penanganan penyakit hewan. Balai Besar
Uji Standar Karantina Pertanian salah satu unit pelaksana yang memiliki tugas
melaksanakan uji rujukan media pembawa organisme penggaggu tumbuhan
karantina (OPTK) tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan serta

v
bimbingan teknik penerapan sistem mutu laboratorium karantina tumbuhan,
tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan. Balai Konservasi Sumber
Daya Alam DKI Jakarta mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan kawasan
Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata Alam, dan Taman Buru serta
konservasi jenis tumbuhan dan satwa liar baik didalam maupun diluar kawasan.

Tujuan

PKL I bertujuan untuk memberi bekal dan pengalaman kepada mahasiswa agar
mampu melakukan kegiatan sebagai paramedik veteriner. Selain itu, PKL I
bertujuan agar mahasiswa dapat:
1. Memahami cara penanganan kesehatan ruminansia dan satwa liar.
2. Mampu melakukan inseminasi buatan pada ternak ruminansia.
3. Memahami teknik pengujian berbagai macam sampel.
4. Membangun jejaring kerjasama, komunikasi dan kemitraan dengan UPT/Dinas
bidang peternakan/kesehatan hewan dan atau perusahaan pada bidang
ruminansia dan satwa liar yang melaksanakan pelayanan kesehatan hewan dan
reproduksi, laboratorium diagnostik veteriner dan pelayanan kesehatan satwa
liar.

Manfaat

PKL II diharapkan dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa berupa:


1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis penanganan kesehatan
ruminansia dan pelayanan reproduksi, penanganan kesehatan satwa liar/akuatik
dan program konservasinya, serta memahami tugas di laboratorium diagnostik
veteriner.
2. Memperoleh kompetensi tertentu yang tidak diperoleh selama perkuliahan di
kampus
3. Mewujudkan/menumbuhkan rasa percaya diri, mampu berkerja dalam tim,
mandiri, teguh, kreatif, dinamis, disiplin, dan bertanggung jawab.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Ruminansia

Hewan pemamah biak secara teknis dalam ilmu peternakan serta zoologi
dikenal sebagai ruminansia. Hewan-hewan ini mendapat keuntungan karena
pencernaannya menjadi sangat efisien dalam menyerap nutrisi yang terkandung
dalam makanan, dengan dibantu mikroorganisme di dalam perut-perut
pencernanya. Semua hewan yang termasuk subordo ruminantia memamah biak,
seperti sapi, kerbau, kambing, domba, jerapah, bison, rusa, kancil, dan antelop.
Ruminansia yang bukan tergolong subordo ruminantia misalnya unta dan llama.
Makanan pemamah biak (ordo artiodactyla atau hewan berkuku genap, terutama
dari subordo ruminantia) adalah sekumpulan hewan pemakan tumbuhan
(herbivora) yang mencerna makanannya dalam dua langkah: pertama dengan
menelan bahan mentah, kemudian mengeluarkan makanan yang sudah setengah
dicerna dari perutnya dan mengunyahnya lagi empat kompartemen (disebut
rumen, retikulum, omasum, dan abomasum). Lambung hewan-hewan ini tidak
hanya memiliki satu ruang (monogastrik) tetapi lebih dari satu ruang (poligastrik,
harafiah: berperut banyak) (Aryulina D et al. 2011).

Hewan ruminansia memiliki adaptasi fisiologi berupa gigi dan lambung.


Gigi hewan ruminansia memiliki bentuk yang khusus menyesuaikan makanannya.
Gigi-gigi tersebut terdiri atas gigi taring (canin), gigi seri (incisor), gigi geraham
(molar dan premolar). Gigi seri dan gigi taring ruminansia berfungsi untuk
mencabut dan mengigit rumput. Sementara gigi gerahamnya memiliki email gigi
yang tajam dan besar untuk mengunyah rumput. Gigi seri hewan ini berbentuk
kapak. Sementara itu, gigi gerahamnya berbentuk datar dan lebar dengan rahang
yang bergerak menyamping saat menggiling makanan secara mekanik. Tak seperti
mamalia pemakan daging, lambung hewan ruminansia memiliki empat bagian
lambung yang terdiri dari omasum, abomasum, retikulum, dan rumen. Ukuran
ruangan tersebut berbeda-beda sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya.
Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7-8%, dan abomasum 7-8%
(Aryulina D et al. 2011).

3
Handling dan Restrain

Handling dan restrain memiliki tujuan, diantaranya yang pertama adalah


untuk keamanan dan keselamatan manusianya, dalam hal ini dokter serta
paramedik atau pemilik yang memberikan tindakan pada hewan. Kedua, handling
dan restrain berperan untuk mempermudah kita dalam penanganan. Selanjutnya,
untuk mempermudah kita melakukan pengawasan atau kontrol, dan yang terakhir
adalah untuk keselamatan hewan itu sendiri.

Keterampilan handling dan restrain penting dipelajari oleh pemilik hewan,


paramedik serta dokter hewan. Hal tersebut karena berpengaruh dalam menjaga
keamanan dan kenyamanan hewan dan orang yang menanganinya. Penerapan
handling dan restrain yang tidak sesuai dengan kaidah animal walfare, akan
berdampak buruk baik pada hewan peliharaan serta orang yang melakukannya.
Beberapa dampak tersebut, misalnya adalah tidak terpenuhinya kesejahteraan
hewan sehingga menyebabkan stress serta mengancam keselamatan orang yang
melakukan penanganan.

Menejemen Kesehatan Ruminansia

Manajemen kesehatan ternak dapat diartikan sebagai proses perencanaan,


pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian faktor-faktor produksi melalui
optimalisasi sumberdaya yang dimilikinya agar produktivitas ternak dapat
dimaksimalkan, kesehatan ternak dapat dioptimalkan dan kesehatan produk hasil
ternak memiliki kualitas kesehatan sesuai dengan standar yang diinginkan.
Manajemen kesehatan ternak harus melalui suatu proses yaitu suatu cara yang
sistematis untuk menjalankan suatu pekerjaan. Penyakit merupakan salah satu
hambatan yang perlu diatasi dalam usaha ternak. Melalui penerapan manajemen
kesehatan ternak yang dilakukan secara berkelanjutan, diharapkan dampak negatif
dari penyakit ternak dapat diminimalkan (Effriansyah, 2012).

4
Inseminasi Buatan

Inseminasi buatan merupakan teknologi alternatif yang sedang


dikembangkan dalam usaha meningkatkan mutu genetik dan populasi ternak sapi
di Indonesia. Salah satu metode untuk meningkatkan produktivitas biologik ternak
lokal Indonesia melalui teknologi pemuliaan yang hasilnya relatif cepat dan cukup
memuaskan serta melaksanakan mengawinkan ternak tersebut dengan ternak
unggul impor (Hastuti, 2008).

Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah upaya memasukkan


semen/mani ke dalam saluran reproduksi hewan betina yang sedang birahi dengan
bantuan inseminator agar hewan bunting. Dari definisi ini inseminator berperan
sangat besar dalam keberhasilan pelaksanaan IB. Keahlian dan keterampilan
inseminator dalam akurasi pengenalan birahi, sanitasi alat, penanganan (handling)
semen beku, pencairan kembali (thawing) yang benar, serta kemampuan
melakukan IB akan menentukan keberhasilan (Maryani, 2016)

Program IB mempunyai peran yang sangat strategis dalam usaha


meningkatkan kualitas dan kuantitas bibit. Dalam rangka meningkatkan produksi
dan produktivitas ternak, teknologi IB salah satu upaya penyebaran bibit unggul
yang memiliki nilai praktis dan ekonomis yang dapat dilakukan dengan mudah,
murah dan cepat. Melalui teknologi IB diharapkan secara ekonomi dapat
memberikan nilai tambah dalam pengembangan usaha peternakan. (Maryani,
2016)

Pemeriksaan Kebuntingan

Pemeriksaan kebuntingan sapi dilakukan melalui palpasi rektal, bertujuan


untuk diagnosa kebuntingan maupun diagnosa kejadian gangguan reproduksi
seperti seperti korpus luteum persisten, pyometra, Hypokalsemia, kawin berulang,
metritis dan mengetahui umur kebuntingan.

Untuk diagnosa kebuntingan melalui palpasi rektal paling cepat dapat


dilakukan setelah umur 90 hari kawin ataupun inseminasi buatan. Kekeliruan
penetapan umur kebuntingan sering terjadi karena peternak lupa mencatat tanggal
pada saat dilakukan kawin ataupun inseminasi.(Sari et al., 2021)

5
Rumah Potong Hewan

Rumah Potong Hewan (RPH) berkaitan dengan perlindungan konsumen,


yaitu manajemen ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal) dan prinsip HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point) dengan identifikasi titik-titik kritis tahap
penanganan dan proses produksi sudah dibentuk beberapa aturan kebijakan.
Dalam prosesnya, masih ditemui beberapa kendala, seperti kebersihan kualitas
daging, RPH yang kurang bersih, ataupun kontaminasi silang saat pemotongan
daging sampai pengepakannya. Kebijakan tersebut perlu diimbangi dengan
edukasi dari tingkat RPH paling tradisional atau pada para peternak tentang
pentingnya perlindungan konsumen. Contoh program kebijakan pemerintah yang
dilaksanakan adalah Good Farming Practice untuk menghasilkan ternak potong
yang sehat dan berkualitas.

Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem

Antemortem merupakan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum hewan


disembelih, yang bertujuan mencegah penyembelihan hewan yang menunjukkan
gejala klinis penyakit hewan menular dan zoonosis, agar ternak yang akan
disembelih adalah ternak sehat, normal dan memenuhi syarat dan sebaliknya
ternak yang sakit tidak boleh dipotong, sedangkan pemeriksaan postmortem
merupakan pemeriksaan setelah penyembelihan dengan memeriksa kesehatan
organ dan karkas pada proses pemotongan hewan. Pemeriksaan postmortem
dimulai dengan pemeriksaan sederhana (pemeriksaan organoleptis yaitu bau,
warna, konsistensi), dan pemeriksaan rutin dengan cara melihat, meraba, dan
menyayat (inspeksi, palpasi dan insisi) pada kepala, lidah dan jeroan (usus,
lambung, hati, jantung, limpa, paru-paru). Penanganan daging segar sangat
penting dilakukan agat terhindar dari mikroorganisme atau foodborne disease
yang dapat membahayakan kesehatan manusia

Pemeriksaan antemortem lainnya yang dilakukan yaitu penilaian sikap,


tingkah laku hewan dan kebersihan kandang ketika hewan telah berada di
penampungan sementara sebelum dipotong. Pemeriksaan antemortem tersebut
dilakukan maksimal 24 jam sebelum dipotong (Swacita, 2017)

6
Laboratorium Karantina

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2015 bahwa


tugas dan fungsi Badan Karantina Pertanian (Barantan) sebagai institusi
Pemerintah melakukan pencegahan masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit
Hewan Karantina (HPHK) dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
(OPTK) ke/di dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Tugas dan fungsi
tersebut dilaksanakan melalui tindakan karantina sebagaimana diatur dalam
UndangUndang Nomor 16 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.

Pengujian laboratorium merupakan salah satu tahapan penting dari


keseluruhan tindakan karantina. Hasil pengujian laboratorium tersebut merupakan
justifikasi ilmiah dalam menentukan tindakan karantina selanjutnya terhadap MP
HPHK dan MP OPTK yang dilalulintaskan. Dalam pengujian laboratorium
tersebut di atas perlu adanya standarisasi pengujian laboratorium sehingga
hasilnya dapat diakui secara nasional maupun internasional. Kebijakan Barantan
yang dibuat dalam pelaksanaan perkarantinaan hewan dan tumbuhan, salah
satunya terkait dengan fasilitas dan kegiatan laboratorium. Komitmen untuk
keselamatan personil laboratorium dengan menciptakan lingkungan kerja yang
aman, menjaga keselamatan dan kesehatan individu, masyarakat dan lingkungan
perlu dilakukan melalui penerapan prinsipprinsip biosafety dan biosecurity
(Barantan 2017)

Pengujian Laboratorium
Laboratorium Karantina Hewan terdiri atas 5 ruang lingkup pengujian
diantaranya adalah Biologi Molekuler, Mikrobiologi, Virologi, Parasitologi dan
Keamanan Hayati Hewani. Jenis pengujian yang mampu dilakukan ialah Reverse
Transcriptase–Polymerase Chain Rection (RT-PCR) dan real time Reverse
Transcriptase–Polymerase Chain Rection (rtRT-PCR) untuk deteksi virus Avian
Influenza, uji cemaran mikroba, uji pewarnaan giemsa untuk deteksi parasit darah,
Indirect Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA) deteksi antibodi
Rabies, Indirect Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA) deteksi
antibodi Equin Infectious Anemia (EIA), dan pengujian kadar residu nitrit pada
sarang burung walet dengan metode Spektrofotometri UV-VIS.

7
Satwa Liar

Satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai


harganya, sehingga kelestariannya perlu dijaga agar tidak punah baik karena
faktor alam, maupun perbuatan manusia seperti perburuan, dan kepemilikan satwa
yang tidak sah. Menurut Pasal 1 ayat 5 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Satwa adalah
semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan
atau di udara.

Sedangkan yang dimaksud dengan Satwa liar dalam pasal 1 ayat 7 Undang
- Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan
atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas
maupun yang dipelihara oleh manusia, selain itu juga satwa liar dapat diartikan
semua binatang yang hidup di darat dan di air yang masih mempunyai sifat liar,
baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.

Satwa migran satwa yang berpindah tempat secara teratur dalam waktu
dan ruang tertentu, Satwa yang boleh diburu adalah satwa yang menurut
undangundang atau peraturan telah ditetapkan untuk dapat diburu. Sedangkan
Satwa langka adalah binatang yang tinggal sedikit jumlahnya dan perlu dilindungi
(seperti jalak putih, cenderawasih).

Satwa liar berpengaruh terhadap tanah dan vegetasi dan memegang peran
kunci dalam penyebaran, pertumbuhan tanaman, penyerbukan dan pematangan
biji, penyuburan tanah, penguraian organisme mati menjadi zat organik yang lebih
berguna bagi kehidupan tumbuhan, penyerbukan dan pengubah tumbuh-tumbuhan
dan tanah. Satwa liar juga berperan dalam perekonomian lokal dan nasional, nilai
ekonomi satwa sebagai sumber daya alam sangat terkenal di wilayah tropik,
terutama di Benua Afrika, dan hingga saat ini merupakan aset yang layak
dipertimbangkan.

Manajemen Kesehatan Satwa Liar

8
Masukan dari dokter hewan profesional merupakan bagian penting dalam
pemantauan dan penyediaan perawatan kesehatan kondisi satwa di kebun binatang
maupun lembaga konservasi yang sedang berlangsung. Dokter hewan yang
terdaftar harus selalu menjadi bagian dari tim manajemen satwa, baik melalui
pekerjaan langsung atau dengan mengontrak dokter hewan swasta atau konsultan.
Jumlah dokter hewan yang dibutuhkan tergantung pada ukuran dan kompleksitas
kebun binatang atau lembaga konservasi.

Merekrut dokter hewan secara langsung di kebun binatang dan lembaga


konservasi merupakan hal yang baik karena memberikan lebih banyak peluang
untuk mengelola keanekaragaman spesies yang dipegang secara holistik. Dokter
hewan dengan keahlian khusus di bidang satwa eksotik dan obat-obatan khusus
spesies harus dicari di lingkup lokal dan juga dari dokter hewan spesialis dalam
komunitas dokter hewan kebun binatang dan akuarium di seluruh dunia.

Penerapan beberapa perawatan veteriner dapat mengganggu kesejahteraan


satwa untuk sementara waktu. Contohnya termasuk penanganan sebelum dan
sesudah perawatan, prosedur bedah, dan karantina. Jelas, tujuan utamanya adalah
meminimalkan kompromi dan segera memulihkan kapasitas satwa untuk
mengalami keadaan kesejahteraan yang positif. Semua fasilitas tempat satwa
menjalani prosedur, perawatan atau pengamatan harus dirancang khusus atau
dipasang untuk memfasilitasi intervensi veteriner dan realisasi tujuan
kesejahteraan. Selain itu, desain fasilitas harus memperhatikan keselamatan staf
saat menangani satwa berbahaya.

Sebagian besar satwa kebun binatang dan akuarium adalah spesies satwa
liar yang tidak dijinakkan dan biasanya tidak dapat dipaksa dan diberi
penanganan. Training penguatan positif telah menjadi praktik yang populer dan
perlu yang digunakan dengan baik oleh kebun binatang dan akuarium untuk
mengurangi stres pada satwa dan yang dapat meminimalkan kebutuhan untuk
menggunakan anestesi atau obat penenang. Melatih satwa dengan benar dapat
memperkuat hubungan positif antara perawat satwa dan satwa, dan mendorong
kesejahteraan positif untuk interaksi di masa mendatang.

9
Gangguan kesejahteraan satwa yang signifikan dapat terjadi pada satwa
yang dikarantina jika mereka mengalami stres karena proses pengangkutan,
relokasi ke lingkungan yang tidak dikenal, pemisahan dari spesies yang dikenal
dan / atau isolasi, dan dalam beberapa kasus harus menjalani prosedur veteriner.
Penting bagi perawat satwa yang bekerja di area karantina untuk memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendeteksi perilaku
abnormal dan tanda-tanda penyakit dan stres. Fokus kesejahteraan dari desain
karantina harus meminimalkan risiko cedera dan memungkinkan dimasukkan
pengayaan dan tempat untuk mundur untuk mengurangi stres. Satwa tidak boleh
dikarantina lebih lama dari periode minimum yang diperlukan untuk memenuhi
persyaratan biosekuriti.

Zoonosis, penularan penyakit antar spesies, menjadi perhatian penting di


kebun binatang dan lembaga konservasi karena kedekatan satwa satu sama lain
dan satwa dengan manusia. Menjaga populasi satwa dari infeksi silang di dalam
perusahaan merupakan tanggung jawab utama staf veteriner, yang juga berperan
besar dalam meminimalkan penularan penyakit dari satwa ke manusia.
Pemeriksaan post mortem satwa yang mati harus selalu dilakukan untuk lebih
memahami kesehatan dan kesejahteraan satwa. Ketika merencanakan kontak
manusia-satwa, protokol manajemen yang rinci harus tersedia untuk mencegah
zoonosis.

Biosecurity

Perhatian khusus harus diberikan untuk membuat protokol biosecurity di


lembaga satwa untuk mencegah masuknya, penularan, dan penyebaran penyakit di
antara satwa dan potensi zoonosis yang mungkin dihasilkannya. Semua lembaga
harus memiliki kebijakan dan protokol penyakit menular yang sesuai untuk
mengurangi risiko penyebaran penyakit.

Protokol biosecurity akan dipengaruhi oleh jumlah koleksi satwa, tata letak
kebun binatang, lokasi kebun binatang, sumber makanan, sumber air, pengelolaan
limbah, pertimbangan lingkungan, potensi zoonosis yang ditetapkan di lokasi
kebun binatang, pergerakan satwa dan tindakan staf dan pengunjung kebun

10
binatang. Protokol Biosecurity termasuk memastikan bahwa sumber makanan dan
air bersih dan aman, sistem pembuangan limbah yang tepat, praktik higienis untuk
staf kebun binatang dan pengunjung, program medis pencegahan yang diterapkan
dengan baik, diagnosis dan perawatan satwa yang tepat di bagian yang terisolasi,
penyelidikan dan pencatatan kejadian penyakit dan penilaian karantina dan
veteriner dalam kasus pemindahan dan pelepasan satwa. Protokol biosecurity
harus dicatat dan dijaga. Biosecurity dapat dibuat sesederhana mungkin seperti
penempatan foot baths, multiple wash areas dan area aman dimana interaksi
manusia-hewan diminimalkan atau dilarang. Area biosecurity meliputi titik masuk
dan keluar area kebun binatang, fasilitas pengunjung dan fasilitas rumah sakit
untuk satwa. Perawatan khusus harus diberikan kepada anak-anak di bawah usia
lima tahun, orang tua, wanita hamil dan orang-orang yang daya tahan tubuhnya
tidak baik, yang mungkin berisiko lebih tinggi terhadap potensi zoonosis.(Seaza,
2019)

Kesejahteraan Satwa Liar

Animal welfare atau kesejahtera-an hewan adalah suatu keadaan fisik dan
psikologi hewan sebagai usaha untuk mengatasi lingkungannya (Wahyu, 2010).
Berdasarkan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2009, Animal welfare adalah
segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut
ukuran perilaku alami hewan yang perlu di terapkan dan ditegakkan untuk
melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan
yang dimanfaatkan manusia.

Animal Welfare (Kesejahteraan Binatang), adalah expresi yang berkenaan


dengan moril. Semua manusia bertanggungjawab terhadap masingmasing
binatang yang dipelihara atau bebas di alam. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Dalam
teori Kesejahteraan Binatang ada ajaran tentang kepedulian dan perlakuan
manusia terhadap masing-masing hewan dan bagaimana masyarakat dapat
meningkatkan kwualitas hidup hewan itu. Setiap jenis satwa liar dan hewan harus
dibiarkan hidup bebas di alam atau hidup yang berkwualitas di lingkungan yang
disesuaikan dengan pola perilaku, kebutuhan serta karakteristik habitat alamnya di
kendang.(Triastuti, 2015)

11
METODE PELAKSANAAN
Waktu dan Tempat

Praktik Kerja Lapangan (PKL) I dilaksanakan pada 3 lokasi yang berbeda.

Tabel 1 Waktu dan tempat pelaksanaan Praktik Kerja Lapanngan (PKL) I

Tanggal Tempat
Lokasi Alamat
Pelaksanaan PKL
1 28 November Dinas Peternakan Jalan Veteran, No. 01 di
– 23 Desember dan Kesehatan Desa/Kelurahan Lemahabang
2022 Hewan Indramayu Kecamatan Indramayu
Kabupaten Indramayu Provinsi
Jawa Barat
2 26 Desember Balai Besar Uji Jl. Pemuda No.64, RT.1/RW.8,
2022 – 07 Standar Karantina Jati, Kec. Pulo Gadung, Kota
Januari 2023 Pertanian Jakarta Timur, Daerah Khusus
(BBUSKP) Ibukota Jakarta
3 09 Januari Balai Konservasi Jalan Salemba Raya No. 9,
2023 – 03 Sumber Daya Alam RT.1/RW.3, Paseban, Senen,
Februari 2023 DKI Jakarta RT.1/RW.3, RT.1/RW.3,
Paseban, Kec. Senen, Kota
Jakarta Pusat, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta

Lokasi 1 dilaksanakan pada 28 November – 23 Desember 2022 di Dinas


Peternakan dan Kesehatan Hewan Indramayu yang berlokasi di Jalan Veteran, No.
01 di Desa/Kelurahan Lemahabang Kecamatan Indramayu Kabupaten Indramayu
Provinsi Jawa Barat. Lokasi 2 dilaksanakan pada 26 Desember 2022 – 07 Januari
2023 di Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) yang berlokasi di
Jl. Pemuda No.64, RT.1/RW.8, Jati, Kec. Pulo Gadung, Kota Jakarta Timur,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Lokasi 3 dilaksanakan pada 09 Januari 2023 – 03
Februari 2023 di Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta

12
Materi Kegiatan

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Indramayu

Tabel 2 Kegiatan di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Indramayu

No Kegiatan
1 Handling dan restrain hewan
2 Pemeriksaan klinis hewan
3 Asistensi penanganan hewan sakit
4 Asistensi penyiapan obat hewan
5 Melakukan isolasi hewan
6 Inseminasi Buatan
7 Pemeriksaan Kebuntingan
8 Pemberian obat/Vaksinasi (IM, SC, IV dan cara lainnya)
9 Pemeriksaan antemortem dan postmortem

Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP)

Tabel 3 Kegiatan Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP)

No Kegiatan
1 Penanganan alat pengujian
2 Pengambilan dan pengemasan sampel
3 Melakukan bedah cadaver
4 Pemeriksaan pada sampel
5 Pelaksanaan kegiatan desinfeksi
6 Penanganan produk hewan
7 Asistensi pemusnahan produk hewan

13
Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta

Tabel 4 Kegiatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta

No Kegiatan
1 Handling dan restrain satwa liar
2 Pemberian pakan satwa
3 Manajemen pemeliharaan satwa liar
4 Manajemen Kesehatan satwa liar
5 Biosecurity
6 Pengendalian penyakit satwa liar
7 Pengobatan/terapi satwa liar

Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan mengikuti kegiatan harian di Dinas


Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Indramayu, Balai Besar Uji Standar
Karatina Pertanian (BBUSKP), Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI
Jakarta, yang meliputi orientasi, observasi, recording, wawanacara, diskusi dan
evaluasi.

Orientasi
Sebelum melaksanakan PKL 1 mahasiswa diberikan orientasi atau
pembekalan yang berupa bimbingan oleh dosen pembimbing Prodi Kesehatan
Hewan mengenai pemberian petunjuk pengenalan materi, penyusunan proposal,
hingga penyusunan laporan.

Observasi
Kegiatan observasi dilakukan agar mahasiswa dapat mengenal secara
sederhana tentang ruang lingkup PKL 1 di Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kabupaten Indramayu, Balai Besar Uji Standar Karatina Pertanian
(BBUSKP), Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta kemudian
dilakukan pelaksanaan.

14
Pelaksanaan PKL 1 ditekankan pada observasi/inspeksi/pengamatan
terhadap penanganan kesehatan hewan/satwa/sampel yang dilakukan sesuai
kegiatan masing-masing di lokasi Praktik Kerja Lapangan (PKL) I dengan cara
dilibatkan langsung pada kegiatan yang berkaitan dengan materi kegiatan.

Recording
Variabel atau parameter yang diamati pada waktu recording adalah
keadaan umum, status keadaan hewan, kesehatan hewan, hasil diagnosa, gejala
klinis penanganan hewan, pemeriksaan penunjang dan pengobatan.

Wawancara dan Diskusi


Wawancara dan diskusi dilakukan dengan mengajukan pertanyaan
mengenai penanganan kesehatan hewan/satwa/sampel kasus yang ditemui
selama kegiatan dengan melakukan wawancara baik secara langsung ataupun
media elektronik bersama pembimbing eksternal, dokter hewan, paramedik
veteriner, dan/atau laboran.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aryulina D, Muslim C, Manaf S, dan Winarni, EW. 2011. Biologi Jilid 2. Jakarta:
ESIS.

Effriansyah, Y. 2012. Sanitasi Kandang Ternak. Skripsi. Program Peternakan


Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya.

Graff DN, Gusset M, Hanullakova J, Hofer H, et all. 2015. Pedulikan Satwa liar:
Strategi Kesejahteraan Satwa Kebun Binatang dan Akuarium Dunia.
Taman Safari Indonesia, Penerjemah. Swizerland: Waza

Ilmiyana. R, 2021, Handling dan Restrain Pad Anjing dan Kucing, [diakses 2022
Nov 07]; https://blog.ipbtraining.com/category/article/

Mail, DAA, (2021), Kebijakan Pemotongan Sapi di RPH (Rumah Potong Hewan)
Dalam Kaitannya dengan Prinsip Manajemen Halal dan HACPP (Hazard
Analysis Critical Control Point), [diakses 2022 Nov 07];
https://doi.org/10.12962/j22759970.v1i1.33

Maryani, M. (2016). Analisis Tingkat Keberhasilan dan Faktor-faktor yang


mempengaruhi Teknik Inseminasi Buatan pada Sapi Potong di Kab.
Bantaeng. 1–127.

Purnamasari, E. (2015). Laporan Akhir Penelitian Individu Kualitas Fisik, Kimia,


Dan Mikrobiologi Daging Qurban Di Kota Pekanbaru.

Sari, A. M. P., Safitri, J. N., & Fitriyanti, S. (2021). Pemeriksaan Kebuntingan


Sapi Potong Dan Pelayanan Kesehatan Hewan Di Desa Mategal Kecamatan
Parang Kabupaten Magetan. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
UWKS, 3(1), 11–22.

Swacita, I.B.N. 2017. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Setelah Dipotong. Modul 1


Techical Training On Meat Inspector (Keurmaster). Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana. Bali. pp 1-20

16
Seaza. (2019). SEAZA Standard on Animal Welfare. Southeast Asian
Zoos and Aquariums Association. http://www.seaza.asia/wp-
content/uploads/2020/03/SEAZA-Standard-on-Animal-Welfare-
Bahasa-Indonesia.pdf
Triastuti, I. (2015). Kajian filsafat tentang kesejahteraan hewan dalam kaitannya
dengan pengelolaan di lembaga konservasi. Yustisi, 1(1), 6–10.

Tanudimadja. 2018. School of Enviromental Conservation Management. Bogor:


Penerbit Ciawi

Wiratno, et all. 2011. Berkaca dicermin retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi
bagi pengelolaan taman Nasional. Jakarta: The Gibon Foundation

17

Anda mungkin juga menyukai