Anda di halaman 1dari 7

Berikut beberapa Raja yang pernah dinobatkan menjadi raja Kutai Kartanegara dari awal berdirinya

sampai raja yang terakhir memerintah di kerajaan Kutai Kartanegara :

1) Adji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)

2) Adji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)

3) Adji Maharaja Sultan (1360-1420)

4) Adji Raja Mandarsyah (1420-1475)

5) Adji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)

6) Adji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)

7) Adji Dilanggar (1610-1635)

8) Adji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)

9) Adji Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)

10) Adji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)

11) Adji Ragi gelar Ratu Agung (1686-1700)

12) Adji Pangeran Dipati Tua (1700-1730)

13) Adji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732)

14) Adji Muhammad Idris (1732-1739)

15) Adji Marhum Muhammad Muslihidin atau Marhum Air mawar

(1739-1782).

16) Adji Sultan Muhammad Salehuddin atau Marhum air mawar

(1782-1845).

17) Adji Sultan Muhammad Sulaiman (1845-1899)

18) Adji Sultan Muhammad Alimuddin (1899-1920)

19) Adji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960)


Peran Sultan Adji Muhammad Idris

Sultan Adji Muhammad Idris dikatakan juga sebagai Raja yang membantu dalam pengembangan agama
Islam didalam kawasan kerajaan. Peran beliau adalah:

a) Merubah Status dari Kerajaan Menjadi Kesultanan

Pemimpin pertama Kerajaan Kutai Kartanegara yang memakai gelar “Sultan” adalah Adji Muhammad
Idris. Karena pada masa Raja-raja sebelumnya, pengaruh Islam sudah sangat kuat. Indikator kuatnya
pengaruh Islam saat itu adalah dengan digunakannya syariat Islam pada Undang-undang Dasar Kerajaan
yang dikenal dengan nama “Panji Selaten” dan “Undang-undang Baraja Nanti”.Kedua Undang-undang
tersebut berisi peraturan yang disandarkan pada Hukum Islam Sebutan Kesultanan memang sudah
sepantasnya diberikan kepada Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, mengingat Islam memang
memegang peranan penting dalam pembentukan fondasi hukum dan pemerintahan.

b) Menjadi Panglima Perang

Sekembalinya Sultan Adji Muhammad Idris Ke Kutai, ia mengambil pucuk pemerintahan kerajaan Kutai
dari Sultan Adji Kado. Ia memerintah dengan adil dan bijak, Rakyat hidup sejahtera dan bahagia. Sultan
Adji memimpin Kerajaan Paser cukup lama hingga datang Utusan dari kerajaan Paniki bernama La
Palebbai Daeng Mannaga. Utusan ini dikirim oleh Petta Sebengareng untuk menyampaikan berita agar
Sultan segera berangkat ke Kerajaan Paniki sebab disana sedang berkecamuk peperangan besar. Di
tanah Bugis telah berkecamuk peperangan dahsyat antara kerajaan Bone melawan kerajaan Paniki,
Soppeng dan Mallusetasi Sidenreng. Pimpinan dari lima kerajaan itu ialah Laparussi Petta Buranti,
namun panglima perang ini telah terluka parah sehingga dibutuhkan panglima baru untuk memimpin
perang. Hasil dari musyawarah lima Raja-raja yang ikut berperang memutuskan untuk memilih Sutan
Adji Muhammad Idris sebagai menantu dari Petta Seberengareng untuk menjadi panglima perang
menggantikan Laparussi Petta Buranti. Hal ini dikarenakan Sultan Adji Muhammad Idris dianggap cukup
kuat dan mampu untuk memimpin peperangan. Setelah mendengar laporan dari utusan kerajaan Paniki
maka Sultan Adji Muhammad Idris menerima tawaran tersebut dan bersiap untuk berangkat ke kerajaan
Paniki dengan menggunakan perahu layar, perbekalan dibawa secukupnya, serta membawa pengiring
dan pasukan yang kuat untuk menghadapi perang. Dalam perajalanan ke Tanah Bugis Sultan Adji
Muhammad Idris tidak didampingi sang istri hal ini dikarenakan permaisurinya sedang hamil besar.
Sedangkan tampuk kekuasaan raja untuk sementara dipindahkan ke Adji Kado kemenakan dari raja
Pantun yang bernama Maharaja Dipati Sura Mendasar. Laskar gabungan lima kerajaan di tanah Bugis
mendapat semangat baru dalam perjuangannya melawan Bone setelah kedatangan Sultan Adji
Muhammad Idris beserta delapan puluh pasukannya yang terdiri dari empat puluh pemagasari. Dibawah
komando Sultan Adji Muhammad Idris laskar pejuang melanjutkan peperangannya melawan kerajaan
Bone. Dalam setiap pertempuran yang dilakukan kemenangan selalu berpihak pada Sultan Adji
Muhammad Idris, hal ini mengakibatkan kerajaan Bone menyerah dan mengadakan perjanjian
perdamaian. Hal ini kemudian disetujui oleh lima raja-raja yang bersekutu karena mereka memang tidak
menghendaki permusuhan. Perjanjian perdamaian pun dilakukan ditandai dengan bedil senapan dan
meriam yang tak lagi meletus serta keris telah dimasukkan kembali ke sarungnya.

Latarbelakang Perjuangan Sultan Adji Muhammad Idris.

Pada tahun 1595, Belanda membawa misi menjalin hubungan dagang, akan tetapi memberi peringatan
kepada kerajaan Kutai untuk membayar upeti kepada kerajaan Banjarmasin, pemerintah tersebut
ditolak mentah-mentah oleh Adji Pangeran sinum Panji Mendapa. Pada tahun 1653-1669 VOC
mendapatkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan yang bersekutu dengan Gowa seperti Bone, Wajo dan
Luwu. Kerajaan Kutai Kartanegara secara historis merupakan sahabat dari kerajaan Gowa dan sekutu-
sekutunya. Pada tahun 1672, saat kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan Adji Pangeran.

Dari beberapa tulisan tentang sejarah Kutai Kartanegara disebutkan bahwa kedatangan bangsa Barat ke
Kalimantan Timur dimulai sejak pusat pemerintahannya berada di kota lama, Pemarangan dan
Tenggarong. Diawali dengan kedatangan kompeni Belanda di Kutai dan Paser pada tahun 1634 M, untuk
mengadakan monopoli perdagangan dengan VOC, kemudian yang kedua pada tahun 1635 M, dengan
mengirimkan misi perdagangan yang dipimpin oleh Gerrit Tomassen Pool. Kedatangan yang ketiga tahun
1667 mengirimkan misi dagang yang dipimpin oleh Paulus De Back. Tahun 1747 Van Der Heyden kembali
mengirim misi dagangnya yang keempat ke kerajaan Islam Kutai Kartanegara maupun kerajaan Islam
Paser. Namun hingga keempat kalinya misi dari kompeni Belanda tidak pernah berhasil. Bagi kita
sesuatu yang luar biasa, karena raja Kutai dan Paser dapat menolak keinginan Belanda dan tetap
bertahan sebagai kerajaan Islam yang berdaulat. Keinginan Belanda untuk memonopoli perdagangan
dan mengusir pedagang-pedagang Makassar maupun pedagang dari Jawa, menurut raja adalah
melanggar prinsip dasar hubungan antara Kutai Kartanegara dengan kerajaan Gowa dan kerajaan-
kerajaan di Jawa yang sudah terjalin sejak lama. Begitu juga dengan sikap VOC yang selalu mengadu
domba dan memaksakan kehendak, membuat raja sangat menentang keras keinginan Belanda tersebut.
Sehingga untuk kedatangan-kedatangan kompeni selanjutnya prinsip raja Kutai tetap sama tidak mau
melakukan perjanjian dengan pihak Belanda.
Sejak dahulu kerajaan Islam Kutai Kartanegara melakukan kontrak perdagangan dengan daerah-daerah
yang ada di Nusantara seperti Gowa, Wajo, Berau, Singasari, Kediri dan Majapahit dan juga melakukan
hubungan dagang dengan Cina, India, Eropa, Rusia dan Asia. Hubungan ini semakin berkembang pesat
terutama setelah pusat pemerintahan dipindahkan dari Kutai Lama ke Tenggarong. Hubungan yang
terjadi selama ini selalu didasari oleh saling hormat menghormati kedaulatan masing-masing negara
maupun daerah. Berbeda dengan kompeni Belanda memaksakan kehendak dan keinginan untuk
memonopoli perdagangan.

Hal yang menarik mengapa raja Kutai berani untuk menentang Belanda, hal ini didukung oleh kekuatan
yang dimiliki oleh Kutai Kartanegara yaitu hubungan yang erat dengan kerajaan Wajo pada masa
pemerintahan La Madukelleng Arung Matowa Wajo (1736-1754). Ketenaran La Madukelleng Arung
Matowa Wajo juga diakui oleh residen Bone La Emanuel sebagai “ Bajak Laut” yang menguasai Selat
Makassar dengan 40 kapal dan beratus anak buah. 4 Bantuan juga datang dari La Mokang Daeng
Mangkona yang menguasai perairan Paser dan Puanna Dekko yang menguasai perairan pulau laut dan
Pegatan, dan juga La Siredjo Daeng Manembong dan La Mandja Daeng Lebbi. Hubungan persahabatan
kerajaan Wajo dengan Kutai Kartanegara diperkuat dengan pertalian perkawinan dimana kakek dari
Sultan Adji Muhammad Salehuddin yaitu Sultan Adji Muhammad Idris menikah dengan keturunan La
Madukelleng. Sehingga antara kedua kerajaan Islam ini saling bantu membantu dalam melawan musuh-
musuh mereka. Seperti yang terjadi saat penyerangan kerajaan Islam Wajo terhadap Benteng Ford
Roterdam (di Ujung pandang) pada 1739, Adji Muhammad Idris dengan gagah berani ikut dalam
penyerangan tersebut.

Fakta dan data sejarah perjuangan Sultan Adji Muhammad Idris yang gigih melawan penjajah kolonialis
Belanda di awal abad XVIII cukup mendukung untuk ditetapkan sebagai seorang Pahlawan Nasional
seperti yang telah dianugerahkan sebelumnya kepada La Maddukelleng, seorang putra Indonesia asal
Kabupaten Wajo. Oleh karena fakta perjuangan tersebut Pemerintah Kabupten Kutai Kartanegara dan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, serta Pemerintah Kabupaten Wajo mengusulkan Sultan Adji
Muhammad Idris sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana yang disandang oleh mertuanya La
Maddukelleng.

Sultan Adji Muhammad Idris dikenal sebagai tokoh yang sangat penting dalam sejarah perjuangan
kerajaan Kutai Kartanegara. Ia adalah satu-satunya raja dan pemimpin dari kerajaan Kutai yang berjuang
dengan gigih, militan dan tanpa kompromi mengusir penjajah Belanda. Dibawah pimpinan Sultan Adji
Muhammad Idris dengan kekayaan yang dimiliki kerajaan Kutai. Kutai membeli senjata dan mesiu yang
diselundupkan dari Brunei, Solok, dan Mindanau. Persenjataan tersebut merupakan persiapan untuk
memerangi VOC Belanda. Pada masa kekuasaan Sultan Adji Muhammad Idris, berkat kekuasaan dan
pengaruh diplomasi dan kewibawaannya ia berhasil mengkoordinir kekuatan pasukan tempur yang
direkrutnya dari pejuang Kutai , Pasir, Sambaliung, dan Pangatan. Pasukan kekuatan tersebut
berkekuatan kurang lebih 800 orang termasuk perwira dan prajurit Sepangan Raja Kesultanan Kutai.
Setelah persoalan kerajaan-kerajaan yang berada di daerah pedalaman Bugis dapat diatasi, La
Maddukelleng dan pasukan dari kerajaan Kutai, serta para pemimpin pasukan perang lainnya, bersiap-
siap untuk melakukan serangan ke VOC di Fort Rotterdam. Pasukan kerajaan Gowa di bawah pimpinan
Karaeng Bontolangkasa juga sudah siap. Balasan surat dari Karaeng Bontolangkasa dibawah langsung ke
Tosora oleh anaknya I Bondak. Surat itu adalah jawaban dari rencana La Maddukelleng yang yang akan
datang ke Makassar untuk menyerang VOC di Fort Rotterdam.

C. Akhir Hayat Sang Pejuang

Keberadaan Sultan Adji Muhammad Idris di tanah Bugis ternyata menjadi ancaman tersendiri untuk
kerajaan Gowa Tallo. Mereka menganggap La Maddukelleng bisa saja menjadikan Sultan Adji
Muhammad Idris sebagai senjata untuk melawan kerajaan Gowa Tallo. Untuk mencegah hal ini maka
kerajaan Gowa-Tallo mengatur siasat untuk membunuh Sultan Adji Muhammad Idris. Adji Kado sebagai
raja sementara yang memegang tampuk kekuasaan kerajaan Kutai juga merasa tak senang dengan
Sultan Adji Muhammad Idris, maka dari itu ia mengirim surat rahasia kepada raja Gowa Tallo agar
kiranya membunuh Sultan Adji Muhammad Idris agar ia tak dilengserkan dari jabatannya saat ini sebagai
raja pengganti. Raja Gowa Tallo kemudian memerintahkan pasukannya untuk membuat lubang besar
sedalam sepuluh meter dengan lebar lima meter di hutan tempat berburu dimana Sultan Adji
Muhammad Idris dan pengiring-pengiringnya selalu berburu rusa. Didalam lubang itu ditancapkan
bambu-bambu dan besi runcing yang mendongak ke atas. Kemudian lubang itu ditutupi dengan ranting-
ranting dengan lapisan atasnya daun-daun hijau seolah-olah daun-daun hijau itu baru saja jatuh dari
ranting pohon sekitar. Sehingga jebakan lubang itu benar-benar sempurna untuk menjebak Sultan Adji
Muhammad Idris.

Sultan Adji Muhammad Idris tahun 1739 menemui ajalnya, yaitu saat kuda yang ditumpanginya
terperosok masuk lubang jebakan yang dibuat oleh suruhan Aji Kado dan Kerajaan Gowa Tallo sehingga
beliau tidak dapat tertolong.
Saat ini situs makam Sultan Adji Muhammad Idris tersebut berada dalam Komplek Makam Pahlawan
Nasional La Maddukkelleng di Sengkang, Kabupaten Wajo. Atas wafatnya Sultan Adji Muhammad Idris,
maka tahta Kerajan secara sepihak diambil alih oleh Sultan Aliyeddin (1774-1780).

Sebagai tanda berkabung diumumkan bahwa selama empat puluh hari empat puluh malam di kerajaan
Kutai tidak boleh ada keramaian dan berpakaian berwarna-warni. Pada hari ketiga, ketujuh, kedua puluh
lima dan hari ke empat puluh mangkatnya Sultan Adji Muhammad Idris diperintahkan untuk
mengadakan tahlilan di mesjid dan di mushollah. Adji Kado dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sultan
Adji Muhammad Aliyeddin dan kemudian menikahi Adji Putri Agung. Dari pernikahan ini lahir seorang
putra yang beri nama Ajo Tobo.

Kesimpulan

Sultan Adji Muhammad Idris dikenal sebagai tokoh yang sangat penting dalam sejarah perjuangan
kerajaan Kutai Kartanegara. Ia adalah satu-satunya raja dan pemimpin dari kerajaan Kutai yang berjuang
dengan gigih, militan dan tanpa kompromi mengusir penjajah Belanda. Dibawah pimpinan Sultan Adji
Muhammad Idris dengan kekayaan yang dimiliki kerajaan Kutai. Kutai membeli senjata dan mesiu yang
diselundupkan dari Brunei, Solok, dan Mindanau. Persenjataan tersebut merupakan persiapan untuk
memerangi VOC Belanda. Pada masa kekuasaan Sultan Adji Muhammad Idris, berkat kekuasaan dan
pengaruh diplomasi dan kewibawaannya ia berhasil mengkoordinir kekuatan pasukan tempur yang
direkrutnya dari pejuang Kutai , Pasir, Sambaliung, dan Pangatan. Sultan Adji Muhammad Idris
merupakan seorang pejuang yang tidak kenal menyerah dalam melawan imperialisme Belanda.

Kehadiran Belanda sejak abad ke XVI yang memberikan tekanan psikis dan materil terhadap
kerajaankerajaan taklukannya memicu timbulnya semangat juang di hati Sultan Adji Muhammad Idris. Ia
dengan sukarela membantu La Maddukelleng yang tak lain adalah mertuanya dalam menentang
Belanda di kerajaan Wajo. Peranan Sultan Adji Muhammad Idris di kerajaan Wajo ditandai dengan
pertama; menerima dengan senang hati La Maddukelleng di kerajaan Pasir sebagai pelarian dari
kerajaan Wajo, kedua; menikah dengan anak La Maddukelleng yang secara otomatis menjadikannya
sebagai menantu La Maddukelleng, ketiga adanya gerakan perlawanan yang dilakukan bersama dengan
La Maddukelleng menentang kehadiran dan monopoli yang dilakukan Belanda di kerajaan Wajo. Sultan
Adji Muhammad Idris tahun 1739 menemui ajalnya dalam perjalanan perang menuju Sidenreng yaitu
saat kuda yang ditumpanginya terperosok masuk jurang sehingga beliau tidak dapat tertolong
Pembelajaran yang bisa di teladani dari Sultan Adji Muhammad Idris adalah sikap dan perilaku bela
negara beliau. Sikap dan perilaku bela negara untuk melawan imprealisme dan kolonialisme dari VOC
dengan nilai :

1. Cinta tanah air,


Menjaga tanah dan wilayah, jiwa patriotisme
2. Sadar berbangsa dan bernegara,
Berpartisipasi menjaga kedaulatan , berpikir , bersikap dan berbuat yang terbaik untuk
bangsanya
3. Setia kepada Pancasila ,
Sikap keadilan, persatuan dan kebinekaan
4. Rela berkorban untuk bangsa dan negara
Mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk kemajuan, membantu sesama
5. Kemampuan bela negara
Memiliki kecerdasan emosional, spiritual dan intelejensia, jasmani dan rohani untuk membela
negara

Anda mungkin juga menyukai