Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Kota Samarinda dari perkampungan kuno hingga menjadi sebuah kota secara

administratif dipengaruhi oleh sistem politik pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara


(13001844), Kerajaan Banjar (15461700), Pemerintah Hindia Belanda (18441942 dan
19451949), Pemerintah Militer Jepang (19421945), dan Pemerintah Republik Indonesia
(1950sekarang).[1]

Daftar isi
1 Penduduk Awal Samarinda
o 1.1 Tonggak Sejarah Kutai dan Samarinda
o 1.2 Enam kampung awal di Samarinda dan penghuninya
2 Masuknya Orang Banjar ke Samarinda
3 Kedatangan Orang Bugis Wajo ke Samarinda
4 Asal-Usul Nama Samarinda
5 Era Kolonial Belanda
6 Perkembangan administratif
7 Referensi
8 Daftar pustaka

Penduduk Awal Samarinda


Tonggak Sejarah Kutai dan Samarinda

Sebelum dikenalnya nama Samarinda, kawasan ini termasuk dalam Kerajaan Kutai
Kartanegara yang berdiri pada tahun 1300 M di Kutai Lama, sebuah kawasan di hilir Sungai
Mahakam dari arah tenggara Samarinda.[2]

Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan daerah taklukan (vasal) dari Kerajaan Banjar yang
semula bernama Kerajaan Negara Dipa, ketika dipimpin oleh Maharaja Suryanata, sezaman
dengan era Kerajaan Majapahit (abad ke-1415 M).[3]

Pusat Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama semula di Jahitan Layar, kemudian
berpindah ke Tepian Batu pada tahun 1635, setelah itu pindah lagi ke Pemarangan
(Jembayan) pada tahun 1732, terakhir di Tenggarong sejak tahun 1781 hingga 1960.
Penduduk awal yang mendiami Kalimantan bagian timur adalah Suku Kutai Kuno yang
disebut Melanti termasuk ras Melayu Muda (Deutro Melayu) sebagai hasil percampuran ras
Mongoloid, Melayu, dan Wedoid yang migrasi dari Semenanjung Kra pada abad ke-2
Sebelum Masehi (SM).[4]

Enam kampung awal di Samarinda dan penghuninya

Pada abad ke-13 Masehi (tahun 12011300), sebelum dikenalnya nama Samarinda, sudah ada
perkampungan penduduk di enam lokasi yaitu:

1. Pulau Atas;
2. Karang Asam;
3. Karamumus (Karang Mumus);
4. Luah Bakung (Loa Bakung);
5. Sembuyutan (Sambutan); dan
6. Mangkupelas (Mangkupalas).

Penyebutan enam kampung di atas tercantum dalam manuskrip (naskah) surat Salasilah Raja
Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 30 Rabiul Awal 1265 H
(24 Februari 1849 M), yang kemudian dikutip oleh ahli sejarah berkebangsaan Belanda, C.A.
Mees.[5]

Masuknya Orang Banjar ke Samarinda


Suku Banjar adalah suku bangsa yang menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian
Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Keberadaan suku Banjar di Samarinda
dan daerah lainnya di Kalimantan Timur tidak dikategorikan sebagai kaum pendatang karena
sebelum pembentukan provinsi-provinsi pada tahun 1957, Pulau Kalimantan kecuali daratan
Malaysia dan Brunei merupakan satu provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yakni Kalimantan dengan ibukota Banjarmasin.

Suku Banjar adalah suku asli di Pulau Kalimantan. Sementara itu, Samarinda bagian dari
Kalimantan Timur; dan Kalimantan Timur bagian dari Kalimantan. Maka, suku Banjar di
Samarinda dalam konteks geografis bisa disebut suku asli.

Pada tahun 1565, terjadi migrasi (perpindahan penduduk) suku Banjar dari Batang Banyu ke
daratan Kalimantan bagian timur. Ketika itu rombongan Banjar dari Amuntai di bawah
pimpinan Aria Manau dari Kerajaan Kuripan (Hindu) merintis berdirinya Kerajaan
Sadurangas (Pasir Balengkong) di daerah Paser. Selanjutnya suku Banjar juga menyebar di
wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, yang di dalamnya meliputi kawasan di daerah yang
sekarang disebut Samarinda. Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya bahasa Banjar
sebagai bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari, walaupun telah
ada beragam suku yang datang, seperti Bugis dan Jawa.[6]

Awal pemukiman suku Banjar di daerah Kalimantan bagian Timur dimulai sejak Kerajaan
Kutai Kartanegara berada dalam otoritas (kekuasaan) Kerajaan Banjar setelah runtuhnya
Kesultanan Demak pada tahun 1546 Masehi. Hal ini dinyatakan oleh tim peneliti dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 1976.[7]

Sampai pertengahan abad ke-17 (dekade 1650-an), wilayah Samarinda merupakan lahan
persawahan dan perladangan beberapa penduduk yang pada umumnya dipusatkan di
sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan Karang Asam.[8]

Kedatangan Orang Bugis Wajo ke Samarinda


Riwayat kedatangan rombongan Bugis Wajo pertama kali ke Samarinda terdiri atas
bermacam-macam versi.

Versi ke-1 dari tim penyusun sejarah Samarinda yang mengadakan seminar pada 21 Agustus
1987 memutuskan, telah terjadi peristiwa kedatangan rombongan Bugis Wajo yang dipimpin
La Mohang Daeng Mangkona di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara pada 21 Januari 1668.
Tanggal tersebut lalu ditetapkan sebagai hari jadi Samarinda. Latar belakang perantauan
orang-orang dari tanah Kesultanan Gowa (Sulawesi Selatan) itu karena menolak Perjanjian
Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah dalam perang melawan pasukan Belanda.[9]
Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini berdasarkan estimasi/asumsi pelayaran selama 64 hari
ditambahkan sejak tanggal 18 November 1667, sehingga diperoleh tanggal 21 Januari 1668.[9]

Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini kemudian mendapat legitimasi politis pada saat
kepemimpinan Walikota Samarinda Drs. H. Andi Waris Husain dengan Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor 1 tahun 1988 pasal 1 yang berbunyi: "Hari
Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5
Sya'ban 1078 Hijriyah".[9]

Raja Kutai saat itu, Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura mengabulkan
permintaan tersebut kemudian memberikan lokasi kampung dataran rendah yang baik untuk
usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan kepada mereka. Kesepakatannya, orang-orang
Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama dalam menghadapi
musuh.[9]

Semula rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (sekarang daerah
pesisir Selili). Tetapi daerah ini terdapat kesulitan dalam pelayaran karena daerah yang
arusnya berputar (berulak) dan banyak kotoran sungai. Selain itu terlindung oleh ketinggian
Gunung Selili. Dengan kondisi seperti itu, Raja Kutai memerintahkan La Mohang Daeng
Mangkona bersama pengikutnya membuka perkampungan di tanah rendah bagian seberang
Samarinda. La Mohang Daeng Mangkona mulai membangun daerah baru itu dengan bantuan
seluruh pengikutnya.[10]

Versi ke-2 menurut catatan Kesultanan Kutai Kartanegara, waktu kedatangan rombongan
Bugis Wajo di Samarinda pertama kali terjadi pada tahun 1708, pada masa Raja Adji
Pangeran Anum Panji Mendapa. [11]

Versi ke-3 menurut berita lisan atau cerita rakyat, rombongan Bugis Wajo merantau ke
Samarinda pada masa pemerintahan Raja Kutai Aji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa
ing Martadipura (17301732). Latar belakang hijrahnya La Mohang Daeng Mangkona ke
Samarinda Seberang disebabkan kepadatan pemukiman para pendatang Bugis Wajo di Muara
Sungai Kendilo, daerah Paser. Sebelumnya, mereka migrasi dari Wajo di bawah pimpinan La
Maddukkelleng karena negeri kelahirannya dikuasai oleh Kerajaan Bone akibat serangan
Bone setelah kasus penikaman seorang bangsawan Bone oleh La Maddukkelleng pada
sebuah acara pesta sabung ayam.[9]

Versi ke-4 menurut kutipan C.A. Mees, permintaan izin orang Bugis dengan Raja Kutai
berlangsung di Jembayan, yang berarti pertemuan ini terjadi minimal pada tahun 1732, sesuai
dengan catatan sejarah bahwa pusat kerajaan dari Kutai Lama dipindahkan ke Jembayan pada
tahun 17321782. Kemudian, pemimpin orang Bugis yang disetujui sebagai Pua Ado adalah
Anakoda Tujing, bukan La Mohang Daeng Mangkona.[12]

Asal-Usul Nama Samarinda


Ada beraneka versi mengenai latar belakang terciptanya nama Samarinda.

Versi pertama berdasarkan persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit/terapung penduduk


Bugis Wajo di Samarinda Seberang yang tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang
lain, sehingga disebut sama-rendah, yang juga bermakna tatanan kemasyarakatan yang
egaliter.[13]

Versi kedua berdasarkan persamaan ukuran tinggi Sungai Mahakam dengan daratan di
tepiannya yang sama-sama rendah. Sampai awal dasawarsa tahun 1950-an setiap air Sungai
Mahakam pasang naik, sebagian besar jalan-jalan di Samarinda selalu terendam air. Terlebih
lagi jika sedang pasang besar, ada beberapa jalur jalan yang sama sekali tidak dapat dilintasi
kendaraan karena ketinggian air yang merendamnya. Guna menanggulangi masalah tersebut,
sejak awal 1950-an dilakukan penurapan lalu jalan ditinggikan hingga berkali-kali. Pada
tahun 1978 ketinggian total bertambah 2 meter dari permukaan awal sehingga jalan tidak lagi
terendam kecuali Mahakam pasang luar biasa.[14]

Versi ketiga berdasarkan asal kata dari bahasa Sansekerta, yaitu Samarendo yang berarti
selamat sejahtera.[15]

Versi keempat berdasarkan cerita rakyat bahwa nama Samarinda berasal dari bahasa Melayu
dari kata samar dan indah.

Sampai menjelang akhir abad ke-20 atau sekitar dekade 1980-an warga masih menyebut
Samarinda dengan lafal Samarenda (pengucapan huruf e seperti pada kata beta)
walaupun dalam bahasa penulisannya sudah berubah menjadi Samarinda.[16]

Era Kolonial Belanda

Pemukiman penduduk di tepi Sungai Mahakam pada zaman kolonial Belanda. Wilayah ini
sekarang menjadi kawasan Karang Asam.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Kesultanan Kutai Kartanegara melalui Sultan Muhammad
Salehuddin menyatakan takluk kepada pemerintahan Belanda setelah kalah dalam
pertempuran di Tenggarong. Gubernemen Belanda menempatkan Assistant Resident di
Palarang untuk mengawasi wilayah Kerajaan Kutai di bagian timur. Palarang yang dimaksud
adalah kawasan yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Palaran, Kelurahan Rawa Makmur
dengan jarak 8 mil (sekitar 13 kilometer) di hilir samarinda. Pejabat Assistant Resident
pertama adalah H. Van de Wall sebagai wakil dari Resident der Zuider-en ooster-Afdeeling
van Borneo. Belanda menetapkan wilayah Palarang sebagai pusat pemerintahan di Afdeeling
Oost-Borneo karena merintis eksploitasi arang batu yang cukup potensial di sana.

Kedudukan Assistant Resident di Palarang yang melakukan pengawasan penuh terhadap


Kesultanan Kutai berlangsung sampai tahun 1870. Selanjutnya, kedudukannya dipindahkan
ke daerah seberang dari Palarang, yakni Samarinda kota sekarang. Tahun 1888 sempat
dimulai penambangan batu bara di Palarang.

Pada pertengahan abad ke-19, situasi Samarinda terutama bagian pesisir Sungai Mahakam
berada dalam suasana mencekam karena kondisi keamanan yang tidak stabil. Perampokan,
pembajakan, penculikan, hingga perbudakan merupakan perilaku barbar yang marak
terjadi.[17]

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 75 tanggal 16


Agustus 1896 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum A.D.H. Heringa, Samarinda
ditetapkan sebagai wilayah Rechtstreeks Gouvernemen Bestuur Gebied alias tempat
kedudukan pemerintah Belanda dan merupakan daerah yang diperintah langsung oleh
Belanda. Wilayah Samarinda yang juga diistilahkan dengan Vierkante-Paal itu meliputi areal
seluas 2 kilometer persegi, yang terbentang antara sungai Karang Asem Besar (Teluk
Lerong) di hulu sampai sungai Karang Mumus di hilir, dengan jarak 500 meter ke dalam dari
tepi Sungai Mahakam. Status Vierkante-Paal Samarinda sebenarnya adalah pinjaman dari
Kesultanan Kutai, tetapi kemudian diklaim rezim kolonial Belanda.

Tujuh tahun kemudian, tepatnya 28 April 1903, luas wilayah Vierkante-Paal ditambah lagi di
bagian hilir dengan memasukkan Sungai Kerbau (sekarang termasuk Kelurahan Selili)
dengan jarak 800 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Ketentuan ini ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 25 tanggal 28 April
1903 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum C.B. Nederburg.[18]

Sekitar tahun 1870 La Jawa gelar Kapitan Jaya memimpin beberapa orang Bugis untuk
membuka Kampung Bugis (di kawasan kantor Korem sekarang). Tahun 1880 La Makkaroe
Daeng Masikki, seorang Bugis Bone, dihikayatkan membuka pemukiman di Kampung Jawa.
Sementara itu, orang-orang Banjar tidak membentuk kampung khusus Banjar karena
penyebaran mereka merata di wilayah Samarinda dan Kesultanan Kutai.

Seterusnya kedatangan etnis Tionghoa tahun 1885 ditempatkan di sekitar Pelabuhan


(sekarang meliputi kawasan Jl. Yos Sudarso dan Jl. Mulawarman). Setelah itu berdatangan
pula etnis lainnya seperti Arab, India, Jawa, Sumatera, dan lain-lain. Kemudian Belanda
membangun perkantoran d sekitar kawasan kantor Gubernur sekarang sebagai pusat
pemerintahan.

Samarinda sebagai pusat pemerintahan berkembang pesat dengan fasilitas kantor, jalan
umum, dan lainnya. Semuanya merupakan daya tarik bagi pemukim baru untuk menetap d
kota ini. Kawasan Samarinda yang d seberang (Palarang) tidak berkembang lagi. Dengan
peranan Palarang yang sudah tergantikan oleh kawasan di seberangnya maka tercetuslah
istilah Samarinda Seberang untuk wilayah Palarang dan Samarinda untuk wilayah pusat kota
dan pemerintahan.[19]

Pada tanggal 3 Februari 1942, Belanda menyerahkan kekuasaan pemerintahan di Samarinda


kepada balatentara Jepang. Tak seperti daerah lainnya, Pemerintah Hindia Belanda di
Samarinda menyerah kepada Jepang tanpa perlawanan.[20]

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945 dan Republik Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Samarinda
dengan membonceng pasukan sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. Pada tanggal 1
Januari 1946, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda membentuk Keresidenan
Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda. Residen atau kepala pemerintahan Kaltim
pertama adalah F.P. Heckman.[21]

Dalam rentang waktu 1945 hingga 1949 rakyat Samarinda melakukan perlawanan terhadap
Belanda. Ada dua strategi perlawanan yang dipakai, yaitu jalur diplomasi dan jalur gerakan
bersenjata. Aktivitas politik diplomasi dilakukan oleh partai lokal Ikatan Nasional Indonesia
(INI) dan Front Nasional, dengan tokoh utamanya Abdoel Moeis Hassan. Sementara itu, jalur
gerakan bersenjata ditempuh oleh para pemuda dengan mendirikan Barisan Pemberontakan
Rakyat Indonesia (BPRI) setelah berkoordinasi dengan rombongan BPRI dari
Banjarmasin.[22]

Otoritas pemerintahan Belanda di Samarinda benar-benar berakhir pada 27 Desember 1949


sesuai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang mengharuskan
Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Republik Indonesia pada tanggal tersebut.[23]

Samarinda sejak dekade 1960-an dijuluki sebagai pusat emas hijau. Predikat ini
dilatarbelakangi oleh keadaan alam Samarinda dan sekitarnya yang memiliki hutan belantara
sangat luas dengan jenis pepohonan berukuran besar yang cocok untuk bahan bangunan dan
industri.[24]

Perkembangan administratif
Tahun 1950: Samarinda ditetapkan sebagai ibukota keresidenan Kalimantan Timur,
bagian dari Provinsi Kalimantan.
Tahun 1953: Samarinda ditetapkan sebagai ibukota Daerah Istimewa Kutai
berdasarkan UU Darurat No. 3 Tahun 1953.
Tahun 1957: Samarinda ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur
berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956.
Tahun 1959: Samarinda ditetapkan sebagai kotapraja berdasarkan UU No. 27 Tahun
1959.
Tahun 1965: Samarinda ditetapkan sebagai kotamadya berdasarkan UU No. 18 Tahun
1965.
Tahun 1999: Samarinda ditetapkan sebagai kota berdasarkan UU No. 22 tahun 1999.

Anda mungkin juga menyukai