Anda di halaman 1dari 6

Perspektif politik terkait dengan rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur

(Kaltim) tentu saja tidak bisa dilepaskan dari berbagai aspek lainnya. Namun dalam tulisan
berikut, akan lebih difokuskan kepada dampak politiknya. Dikaitkan dengan politik menjadi
dampak politik, KBBI mengartikan sebagai akibat suatu keputusan, tindakan, ataupun peristiwa
terhadap pendapat umum atau sikap masyarakat.

Dari sisi jangka waktu, dampak politik yang ditimbulkan bisa dibagi ke dalam tiga babakan,
yakni: pertama jangka pendek; kedua jangka menengah, dan ketiga jangka panjang. Jangka
pendek biasanya tenggang waktunya kurang dari 4 tahun. Jangka menengah antara 6 hingga 7
tahun. Sedangkan jangka panjang biasanya dalam kisaran 10, 20 atau 25 tahun. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merumuskan yang dimaksud jangka panjang
adalah 25 tahun, jangka menengah 5 tahun, dan jangka pendek 1 tahun.

Politik Nasional

Dalam kontek politik, jangka waktu hanya bisa digunakan sebagai salah satu saja dari sekian
banyak pertimbangan. Hal ini mengingat sifat dari politik tersebut sangat dinamis. Bisa berubah
setiap saat dan kadang di luar prediksi awal. Dengan asumsi, proses perpindahan ibukota negara
dari Jakarta ke Kaltim akan menjadi kenyataan, maka dampaknya secara umum  bisa dibagi dua,
yakni: nasional dan lokal (daerah) dengan segala kompleksitas dan berbagai sisinya, baik positif,
negatif maupun plus-minus sekaligus.

Dampak politik secara nasional diantaranya pertama, pendulum politik nasional dan strategi
pemenangan dari partai politik di Pemilu maupun Pilkada akan mengalami pergeseran yang tidak
lagi tersentralisasi ke Jakarta, melainkan juga ke daerah/provinsi lainnya, khususnya di Kaltim.
Berbarengan dengan itu, kantor-kantor pusat partai politik akan dibangun dan dibuka di Kaltim
untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi pengurus partai politik tingkat pusat dengan
pihak istana dan pemerintah pusat yang juga segera dibangun di Kaltim.

Kedua, elit politik tidak lagi menjadikan Jakarta sebagai arena utama tujuan pemenangan
kontestasi politik, melainkan juga menyebar dan menyasar ke daerah lainnya, khususnya ke
Kaltim. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adagium ‘ada semut ada gula’. Maka ke depan, ‘gula’
tersebut menyebar ke banyak lokasi strategis, kusususnya di Kaltim. Maka kesana pula para
‘semut’ dalam hal ini para elit politik dan para political rent seeking untuk mencari dan berburu
peruntungan politik.

Ketiga, relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah akan mengalami pergeseran.
Ketika Jakarta masih menjadi ibukota negara, pemerintah pusat diwakili oleh Presiden, Wakil
Presiden dan jajaran menterinya banyak berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Pemprov DKI,
khususnya Gubernur DKI. Ke depannya, relasi antara pemerintah pusat dengan Pemvrop lainnya
akan banyak juga terjadi dengan daerah/provinsi lainnya dengan Pemprov Kaltim sebagai
ibukota negara yang baru berpeluang paling banyak berkomunikasi dan berkoordinasi dengan
pemerintah pusat.

Keempat, arena atau lapangan pergulatan dan pertarungan politik bagi kalangan aktivis politik
dan organisasi sosial, kepemudaan, keagamaan dan sebagainya di tingkat nasional akan makin
beragam serta menyebar ke berbagai daerah, termasuk di Kaltim yang sudah didisain akan
menjadi ibukota negara Republik Indonesia. Memang belum jelas seperti apa medan
pertempuran atau format politik baru paska pemindahan ibukota negara. Tetapi yang jelas akan
terjadi pergeseran cukup signifikan dan tidak lagi Jakarta centris.

Kelima, konfigurasi kekuatan dan hasil Pemilu 2024 berpeluang terjadi perubahan. Manakala
pada Pemilu Legislatif 2019, PDI Perjuangan, Partai Golkar dan Partai Gerindra beroleh suara
terbanyak. Dengan perpindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kaltim, diperkirakan akan
berdampak pula terhadap konfigurasi dan hasil Pemilu. Jadi situasinya ke depan secara politik
akan menjadi lebih unpredictable dibandingkan bilamana  ibukota tetap bertahan di Provinsi
DKI Jakarta.

Keenam, kandidat elit kepemimpinan nasional, khususunya yang akan bersaing menuju RI-1 dan
RI-2 juga akan banyak sumbernya. Jika pengalaman sebelumnya, Gubernur DKI
dengan case mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan kemudian terpilih menjadi
Presiden Republik Indonesia dianggap diuntungkan secara politik karena menjadi Gubernur
DKI. Apakah nantinya Gubernur DKI Anies Baswedan atau elit politik Jakarta yang saat ini
eksis dan menonjol di Jakarta akan menjadi nominator unggulan di Pilpres 2124? Jawabannya
masih sangat spekulatif.

Ketujuh, mobilitas horizontal dan juga juga vertikal dari kalangan aktivis politik dan organisasi
sosial atau kepemudaan menuju tangga top karir, akan makin demokratis. Tidak lagi dimonopoli
oleh mereka yang berproses di Jakarta. Sebaliknya yang berasal dari wilayah non Jakarta,
khususnya dari kawasan Kalimantan akan memiliki peluang sama besar. Bahkan bukan tidak
mungkin akan muncul suatu konsensus, dimana aktivis yang berdomisi di luar Jakarta khususnya
di Kalimantan mendapat semacam previledge naik ke posisi puncak karir politik.
Kedelapan, kontestasi dan kompetisi politik melalui Pilkada atau Pemilu (seyogianya)
diasumsikan akan lebih Luber, Jurdil dan demokratis. Termasuk juga mengenai peluang dalam
pengisian jabatan-jabatan politik dan strategis lainnya. Tidak lagi dimonopoli oleh kelompok
atau ‘orang pusat’. Hal ini seiring dengan suasana, atau atmosfir baru yang dibawa dari
pemindahan Jakarta sebagai ibukota negara ke Kaltim. Jika tidak demikian, berarti secara politik
tidak ada blessing in disguise dari pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kaltim.

Politik Lokal

Sedangkan dampak politik secara lokal khususnya di Jakarta, diantaranya: pertama, Jakarta tidak
tidak lagi menjadi satu-satunya distinasi politik nasional yang diburu oleh kalangan aktivis
politik yang ingin karir politiknya mentereng. Sebaliknya, terbuka peluang destinasi politik
lainnya di luar Jakarta. Dan Kaltim, jika sudah menjadi de jure dan de fakto menjadi ibukota
negara Republik Indonesia akan menjadi destinasi politik paling prospektif bagi pengembangan
karir politik para aktivis politik atau organisasi massa dan kepemudaan.

Kedua, Pilkada DKI  yang selama ini secara tradisional menjadi episentrum politik tidak lagi
menjadi sorotan, magnit politik atau bahkan barometer politik nasional atau sedikit banyak
terpengaruh popularitasnya. Jika sebelumnya, contohnya pada Pilkada DKI 2017 dianggap rasa
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) sehingga selurah sorotan publik dan liputan media
massa nasional maupun internasional terfokus ke Jakarta. Ke depannya diperkirakan hal tersebut
tidak lagi terjadi.  Bukan tidak mungkin, Pilkada Kaltim suatu saat akan menjadi sorotan publik
dan media paling luas.

Ketiga, tokoh dan politisi nasional, para pembesar dan saudagar kelas kakap serta populer tidak
lagi menjadikan Jakarta sebagai fokus utama untuk mencari peruntungan dan perjudian politik
dalam berkarir politik.  Karir politik di provinsi-provinsi besar di Indonesia seperti Jawa Timur,
Jawa Barat atau Jawa Tengah, khususnya Kaltim jika sudah menjadi ibukota negara juga akan
menjadi sasaran dan bidikan  para tokoh-tokoh besar untuk bertarung, terutama di Pilkada atau
Pemilu yang digelar di provinsi tersebut. 

Keempat, tokoh lokal atau local genius yang memiliki otentisitas kejakartaan, secara teoritik
mestinya mempunyai peluang untuk dapat entas paska banyak kalangan menengah atasnya, baik
secara ekonomi maupun politik akan ikut hijrah atau hengkang ke Kaltim. Selanjutnya posisi
mapan yang ditinggalkan tersebut beralih kepada warga/tokoh lokal Jakarta, termasuk penduduk
asli Jakarta, yakni orang Betawi. Persoalannya, apakah tokoh lokal sudah siap mengantisipasi
dan memanfaatkan political opportunity tersebut?

Kelima, relasi antara pemerintah pusat dengan Pemprov DKI paska pemindahan ibukota Jakarta
relatif lebih harmonis. Bagaimana dengan relasi antara Gubernur DKI dengan DPRD DKI, atau
antara berbagai faksi yang ada di DPRD DKI?  Teoritik harusnya juga lebih harmonis dan
sinerjis. Sebab, konstestasi politik di level pusat akan bergeser ke banyak kawasan/daerah,
termasuk ke Kaltim. Namun hal tersebut masih akan menjadi lorong gelap yang tidak mudah
ditangkap secara mudah dan nyata (tangible).

Keenam, aksi demo atau unjuk rasa seperti di seputar Bundaren Hotel Indonesia akan berkurang
signifikan. Sangat mungkin, prilaku mengumpulkan massa untuk menyuarakan aspirasi
politiknya dengan cara demo dan unjuk rasa akan bergeser ke daerah atau provinsi lain. Dengan
demikian, sangat mungkin kondisi sosial dan politik di Jakarta ke depannya akan lebih aman dan
kondusif. Tapi bisa juga sebaliknya, jika tidak mampu diantisipasi dan dikelola sejak sekarang.

Ketujuh, perpolitikan di Kaltim akan bergerak dinamis dan positif. Terutama disebabkan karena
akan terjadi kemungkinan gelombang serbuan dari aktivis dan politisi dari luar Kaltim. Hal ini
akan berdampak positif dan sehat terhadap percepatan kemajuan dan kematangan politik di
Kaltim. Namun demikian, hal tersebut tersebut akan berpotensi negatif, manakala masyarakat
politik termasuk elit politik lokal Kaltim, tidak siap. Jika ini yang terjadi, bukan tidak mungkin
politik lokal di Kaltim akan dikuasai oleh kaum pendatang.

Kedelapan, tidak elok dan tidak sportif jika tulisan ini tidak mengutip pendapat jurnalis senior
Hersubeno Arief. Dalam suatu opinya, Arief menulis, perpindahan ibukota Jakarta ke Kaltim ada
rivalitas dan benturan kepentingan antara Presiden Jokowi and his gank, dengan Anies
Baswedan. Karena itu, ibukota harus sesegera mungkin dipindah. Targetnya mempreteli peran
dan kewenangan Anies sebagai gubernur ibukota negara. Dengan pemindahan ibukota sesegera
mungkin dari Jakarta akan membuat Anies Baswedan tak lagi menjadi bayang-bayang Jokowi.
Tidak lagi ada matahari kembar. Dengan posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta, tak bisa
dipungkiri Anies adalah pejabat publik kedua yang paling populer di Indonesia setelah Jokowi.
Dalam perspektif, opini semacam ini mungkin saja benar, salah atau bias. Namanya saja
perspektif politik yang terbuka peluang untuk diuji secara normatif maupun empirik.
Dari Kompetisi ke Kolaborasi

Langkah kuda penuh kejutan, radikal dan revolusioner yang dilakukan oleh Presiden Joko
Widodo dengan memindahkan ibukota Jakarta ke Kalimantan Timur bukan hanya akan
berdampak signifikan terhadap pembangunan ekonomi nasional maupun lokal, melainkan juga
berdampak politik sangat luas di bidang politik nasional dan lokal dengan berbagai spektrum
yang luas. Harapannya, jika pada akhirnya ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta
dipindahkan ke Kaltim berdampak positif, dan mengurangi seminimal mungkin dampak, resiko
atau ekses negatif.

Sehingga yang terwujud secara  ekonomi adalah terminimalisirnya ketimpangan ekonomi antara
Pulau Jawa khususnya Jakarta dengan luar Pulau Jawa dimana kontribusi ekonomi Pulau Jawa
terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Regional 58,49 persen dan share PDRB
Jabodebatek terhadap PDB Nasional sebanyak 20,85 persen. Sedangkan secara politik dan
demokrasi, terwujudnya good and clean governance, tata kelola pemerintahan yang lebih efektif
dan efisien, alokasi dan distribusi kekusaan yang lebih merata, munculnya pusat-pusat peluang
partisipasi politik baru yang lebih banyak dan tidak lagi terlalu terkonsentrasi di Jakarta, dan lain
sebagainya. Ekspektasi semacam ini hanya akan menjadi kenyataan manakala agenda
perpindahan ibukota tersebut bukan hanya menjadi urusan Presiden Joko Widodo dengan
aparatur pemerintah pusat lainnya. Melainkan juga menjadi tanggungjawab bersama. Sejumlah
tantangan atau pekerjaan rumah terdekat dan selaligus akan menjadi indikator bagi masa depan
politik Indonesia adalah saat pembahasan revisi UU terkait dengan perpindahan ibukota negara
oleh DPR. Dari sekian banyak UU, satu diantaranya adalah UU No. 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Sebagai Ibukota (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang
harus dibahas dan direvisi. 

Selain perundangan, budaya dan prilaku politik di kalangan elit politik nasional maupun elit
politik lokal harus mengalami transformasi. Selama ini kecendrungannya, bukan hanya pada
Pemilu atau Pilkada, yang ditonjolkan adalah kontestasi dan kompetisi yang ujung-ujungnya
cenderung untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Ke depannya khususnya paska pemindahan
Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia ke Kaltim, hal tersebut harus diubah menjadi
suatu sinerji dan kolaborasi, terutama antara eksekutif dan legislatif untuk kepentingan
masyarakat. Jadi, kepentingan masyarakat dan pelayanan publik harus menjadi parameter dan
muara utama perjuangan politik para elit di Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai