Anda di halaman 1dari 17

BAB II

STUDI PUSTAKA

Dalam penelitian ini dilakukan tinjauan pustaka yang berhubungan

langsung maupun tidak langsung dengan penelitian ini untuk mendapatkan

kaidah-kaidah yang menjadi acuan tercapainya hasil penelitian yang diinginkan.

Studi literatur didapatkan dari buku-buku yang berhubungan dengan proyek

konstruksi pada umumnya, proyek pembangunan gedung bertingkat, maupun dari

jurnal-jurnal atau penelitian-penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor apa saja

penyebab keterlambatan pembangunan gedung bertingkat sebagai refrensi dalam

penelitian ini.

2.1 Pengertian Gedung Bertingkat

Bangunan bertingkat adalah bangunan yang mempunyai lebih dari satu

lantai yang dirancang secara vertikal. Bangunan bertingkat ini dibangun

berdasarkan keterbatasan tanah yang mahal di perkotaan dan tingginya tingkat

permintaan ruang untuk berbagai macam kegiatan. Semakin banyak jumlah lantai

yang dibangun akan meningkatkan efisiensi lahan perkotaan.

Menurut Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2005 tentang Bangunan

Gedung. Klasifikasi Gedung Bertingkat berdasarkan ketinggian adalah :

1. Bertingkat Tinggi : lebih dari 8 lantai

2. Bertingkat Sedang : 5 s/d 8 lantai

3. Bertingkat Rendah : s/d 4 lantai


2.2 Pengertian Proyek

Pengertian proyek menurut Imam Soeharto (1999) adalah satu kegiatan

sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber

daya tertentu dan dimaksudkan untuk menghasilkan produk yang kriteria mutunya

telah digariskan dengan jelas. Kegiatan proyek mempunyai perilaku dan

fenomena sebagai berikut :

a. Bersifat dinamis. intensitas dan jenis kegiatan berubah dalam waktu

relatif pendek.

b. Nonrutin, belum dikenal, tetapi sasaran telah digariskan dengan jelas

dalam waktu terbatas.

c. Kegiatan bermacam ragam meliputi bermacam keahlian dan

keterampilan.

d. Bersifat multikompleks. Melibatkan banyak peserta dari luar dan dari

dalam organisasi.

e. Kegiatan berlangsung sekali lewat, dengan risiko relatif tinggi.

f. Pelaksanaan kegiatan oleh banyak pihak bidang, atau organisasi.

g. Organisasi peserta proyek sering mempunyai sasaran yang sama dan

berbeda pada waktu yang bersamaan.

Setiap proyek memiliki karakteristik tersendiri dalam hal kegiatan yang

dilakukan, tujuan, dan sasaran, serta produk akhir. Berdasarkan komponen

kegiatan utama dan produk akhirnya, proyek dapat dikelompokkan sebagai

berikut :
1. Proyek konstruksi, proyek yang berkaitan dengan pekerjaan

membangun produk fisik, contohnya proyek pembangunan gedung,

jalan raya dan jembatan.

2. Proyek penelitian dan pengembangan, proyek yang berkaitan dengan

usaha menemukan produk, metode, maupun alat baru.

3. Proyek yang berhubungan dengan manajemen jasa, proyek yang

berkaitan dengan perancangan dan pembangunan sistem informasi

manajemen, peningkatan produktivitas suatu organisasi.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proyek pembangunan gedung

bertingkat termasuk di dalam kelompok Proyek Konstruksi. Menurut Harold

Kerzner et al (2006), dalam Suatu proyek konstruksi terdapat tiga hal penting

yang harus diperhatikan yaitu waktu, biaya dan mutu Pada umumnya, mutu

konstruksi merupakan elemen dasar yang harus dijaga untuk senantiasa sesuai

dengan perencanaan. Namun demikian, pada kenyataannya sering terjadi

pembengkakan biaya sekaligus keterlambatan waktu pelaksanaan

2.3 Organisasi Proyek

Undang Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 1999 tentang Jasa

Konstruksi menyebutkan para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari :

a. Pengguna Jasa

Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi

tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa

konstruksi, Pengguna jasa dapat menunjuk wakil untuk melaksanakan

kepentingannya dalam pekerjaan konstruksi.


b. Penyedia Jasa

1. Perencana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan

atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang

perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan

dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik

lain

2. Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perorangan atau

badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang

pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan

kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi

bentuk bangunan atau bentuk fisik lain

3. Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perorangan atau

badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang

pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan

Para pihak diikat dalam sebuah Kontrak kerja konstruksi yang mengatur

hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan

pekerjaan konstruksi.

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, No

14 Tahun 2020, Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi

Melalui Penyedia, pengguna jasa pada proyek pemerintah adalah pemilik atau

pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi yang dapat berupa

Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen.


2.4 Tahapan Pelaksanaan Proyek

Dalam setiap pelaksanaan proyek selalu dituntut untuk melaksanakan

proyek tepat waktu, tepat mutu dan tepat biaya sesuai dengan peraturan,

perundangan serta ketentuan-ketentuan lain yang berlaku, dan tetap dalam batas-

batas anggaran yang telah direncanakan. Oleh karena itu dalam melakukan

kegiatan proyek dibutuhkan suatu perencanaan yang memperkirakan urutan-

urutan kegiatan proyek, alokasi sumber daya yang dibutuhkan, anggaran biaya,

waktu pelaksanaan kegiatan proyek, dan lain lain.

Menurut Austen et al (1984), kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini

adalah merencanakan, mengkoordinasi, dan mengendalikan semua operasional

dilapangan. Perencanaan dan pengendalian proyek secara umum meliputi 4

macam :

1. Perencanaan dan pengendalian jadwal waktu proyek

2. Perencanaan dan pengendalian organisasi lapangan

3. Perencanaan dan pengendalian tenaga kerja

4. Perencanaan dan pengendalian peralatan dan material

Koordinasi seluruh operasi dilapangan meliputi 2 macam :

1. Mengkoordinasi seluruh kegiatan pembangunan, baik untuk bangunan

sementara maupun bangunan permanen, serta semua fasilitas dan

perlengkapan yang terpasang

2. Mengkoordinasi para sub kontraktor ( dari Jadwal, Perubahan

Pekerjaan, Peraturan Pemerintahan, Pengadaan Bahan dan Alat,

Kualitas tenaga, Kualitas bahan dan alat, Pemeriksaan dan

Pengawasan Perencanaan dan spesifikasi teknis Lokasi Proyek,


Produktifitas, Jadwal Konstruksi, Ekonomi Biaya Tinggi, Rekayasa

Nilai, Pelatihan Pekerja) Sedangkan masalah-masalah yang

berpengaruh terhadap waktu pelaksanaan konstruksi lebih banyak

disebabkan oleh mekanisme penyelenggaraan seperti keterlambatan

pengadaan material dan peralatan, keterlambatan jadwal perencanaan,

perubahan-perubahan pekerjaan selama berlangsungnya konstruksi,

kelayakan jadwal konstruksi, masalah-masalah produktifitas,

peraturan-peraturan dari pemerintah mengenai keamanan perencanaan

dan metode konstruksi, dampak lingkungan, kebijakan dibidang

ketenaga kerjaan dan lain sebagainya.

2.5 Keterikatan Biaya, Waktu dan Kualitas

Kegiatan proyek bertujuan menghasilkan produk akhir atau hasil kerja

akhir yang kriteria mutunya sudah digariskan dengan jelas, Menurut Imam

Soeharto (1999) di dalam proses mencapai tujuan tersebut, ada batasan yang

harus dipenuhi yaitu besar biaya (anggaran) yang dialokasikan, jadwal, serta mutu

yang harus dipenuhi. Ketiga hal tersebut merupakan parameter penting bagi

penyelenggara proyek yang sering diasosiasikan sebagai sasaran proyek. Ketiga

batasan di atas disebut tiga kendala (triple constraint).

 Anggaran, Proyek harus diselesaikan dengan biaya yang tidak melebihi

anggaran. Untuk proyek-proyek yang melibatkan dana dalam jumlah besar

dan jadwal pengerjaan bertahun-tahun, anggarannya tidak hanya

ditentukan secara total proyek, tetapi dipecah atas komponen-

komponennya atau per periode tertentu (misalnya, per kuartal) yang


jumlahnya disesuaikan dengan keperluan. Dengan demikian, penyelesaian

bagian-bagian proyek pun harus memenuhi sasaran anggaran per periode.

 Jadwal, Proyek harus dikerjakan sesuai dengan kurun waktu dan tanggal

akhir yang telah ditentukan. Bila hasil akhir adalah produk baru, maka

penyerahannya tidak boleh melewati batas waktu yang ditentukan.

 Mutu, Produk atau hasil kegiatan proyek harus memenuhi spesifikasi dan

kriteria yang dipersyaratkan. Sebagai contoh, bila hasil kegiatan proyek

tersebut berupa instalasi pabrik, maka kriteria yang harus dipenuhi adalah

pabrik harus mampu beroperasi secara memuaskan dalam kurun waktu

yang telah ditentukan. Skema uraian dalam bentuk bagan pada gambar 2.1

Biaya

Anggaran

Jadwal Mutu

Waktu Kinerja

Gambar 2.1. Sasaran proyek yang juga merupakan tiga kendala ( triple constraint)

(Imam Soeharto 1999)


2.6 Pengertian Keterlambatan

Pengertian keterlambatan menurut Ervianto (1998) dalam (Mikson Pinori,

2015) adalah sebagai waktu pelaksanaan yang tidak dimanfaatkan sesuai dengan

rencana kegiatan sehingga menyebabkan satu atau beberapa kegiatan mengikuti

menjadi tertunda atau tidak diselesaikan tepat sesuai jadwal yang telah

direncanakan. Keterlambatan yang terjadi dalam suatu proyek konstruksi akan

memperpanjang durasi proyek dan meningkatkan biaya pelaksanaan proyek.. Dari

uraian diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa keterlambatan adalah penyedia

jasa tidak dapat menyerahkan pekerjaan kepada pengguna jasa sesuai dengan

tanggal serah terima pekerjaan pertama yang sudah direncanakan dikarenakan

alasan tertentu.

2.7 Penyebab Keterlambatan

Pada kenyataannya pelaksanaan proyek konstruksi bangunan gedung

bertingkat sering mengalami kendala yang mengakibatkan mundurnya waktu

penyelesaian proyek secara keseluruhan. Beberapa penyebab yang paling sering

terjadi antara lain : kondisi lapangan yang tidak sesuai dengan perencanaan,

perubahan desain dan spesifikasi, tidak tersedianya material, peralatan dan tenaga

kerja yang cukup. Berikut ini akan diterangkan beberapa pendapat para ahli

mengenai penyebab-penyebab keterlambatan.

Menurut Ahuja, et al. (1994) dalam (Lia Amalia dan Lirawati, 2020)

mengkategorikan keterlambatan dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu:

1. Excusable delay (keterlambatan yang dapat dimaafkan), yakni

keterlambatan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian diluar kendali


baik pemilik proyek maupun kontraktor, seperti keadaan cuaca dan

force majeure lainnya serta permasalahan perencanaan.

2. Inexcusable delay (keterlambatan yang tidak dapat dimaafkan), yakni

keterlambatan yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau

kesalahan kontraktor.

3. Compensable delay (keterlambatan yang layak mendapatkan

kompensasi penambahan waktu), yakni keterlambatan yang

disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan pemilik proyek.

Menurut Assaf dan Al-Hejji (1995) dalam (Adriadi et. al,2021), penyebab

keterlambatan proyek dapat dilihat dari sisi material, tenaga kerja, peralatan, biaya

atau modal, perubahan desain, hubungan dengan instansi terkait, penjadwalan dan

pengendalian, lambatnya prosedur pengawasan dan pengujian yang dipakai dalam

proyek, lingkungan, masalah kontrak, dan tidak adanya konsultan manajer

profesional.

2.8 Tipe Keterlambatan

Menrut Jervis (1988) dalam (Suyatno, 2010), mengklasifikasikan

keterlambatan menjadi 4 tipe :

1. Excusable delay, yaitu keterlambatan kinerja kontraktor yang terjadi

karena faktor yang berada diluar kendali kontraktor dan owner.

Kontraktor berhak mendapat perpanjangan waktu yang setara dengan

keterlambatan tersebut dan tidak berhak atas kompensasinya.

2. Non Excusable delay, yaitu keterlambatan dalam kinerja kontraktor

yang terjadi karena kesalahan kontraktor tidak secara tepat


melaksanakan kewajiban dalam kontrak. Kontraktor tidak berhak

menerima penggantian biaya maupun perpanjangan waktu.

3. Compensable delay, keterlambatan dalam kinerja kontraktor yang terjadi

karena kesalahan pihak owner untuk memenuhi dan melaksanakan

kewajiban dalam kontrak secara tepat. Dalam hal ini kontraktor berhak

atas kompensasi biaya dan perpanjangan waktu.

4. Concurrent delay, yaitu keterlambatan yang terjadi karena dua sebab yang

berbeda. Jika excusable delay dan compensable delay terjadi berbarengan

dengan non excusable delay maka keterlambatan akan menjadi non

excusable delay. Jika compensable delay terjadi berbarengan dengan

excusable delay maka keterlambatan akan diberlakukan sebagai excusable

delay.

2.9 Dampak Keterlambatan Proyek

Menurut Lewis (1996) dalam (Ramdhan,2017), keterlambatan akan

berdampak pada perencanaan semula serta pada masalah keuangan.

Keterlambatan dalam suatu proye konstruksi akan memperpanjang durasi proyek

atau meningkatkan biaya maupun kedu aduanya. Adapun dampak keterlambatan

pada owner adalah hilangnya potensial income dari fasilitas yang dibangun tidak

sesuai waktu yang ditetapkan, sedangkan pada kontraktor adalah hilangnya

kesempatan untuk menempatkan sumber dayanya ke proyek lain, meningkatnya

biaya tidak langsung (indirectnbcost) karena bertambahnya pengeluaran untuk

gaji karyawan, sewa peralatan serta mengurangi keuntungan.


O’brien (1976) dalam (Subandiyah et.al, 2013) berpendapat bahwa

dampak dari keterlambatan proyek ini adalah timbulnya kerugian pada pihak

kontraktor, konsultan dan owner.

1. Bagi Kontraktor

Keterlambatan penyelesaian proyek berarti naiknya biaya overhead

karena bertambah panjangnya waktu pelaksanaan, berarti pula rugi

akibat kemungkinan naiknya harga akibat inflasi dan naiknya upah

buruh. Juga akan tertahannya modal kontraktor yang kemungkinan

besar dapat digunakan untuk proyek lain.

2. Bagi Konsultan

Konsultan akan mengalami kerugian mengenai waktu, karena dengan

adanya keterlambatan tersebut, konsultan yang bersangkutan akan

terhambat dalam mengerjakan proyek yang lainnya.

3. Bagi Pemilik / Owner

Keterlambatan proyek bagi pemilik / owner berarti kehilangan

penghasilan dari bangunan yang seharusnya sudah biasa digunakan atau

dapat disewakan. Apabila yang membangun adalah pemerintah, untuk

fasilitas umum, misalnya rumah sakit, tentunya keterlambatan akan

merugikan pelayan kesehatan masyarakat, atau merugikan program

pelayanan yang telah disusun. Kerugian ini tidak dapat dinilai dengan

uang dan tidak dapat dibayar kembali. Sedangkan apabila yang

membangun non pemerintah, misalnya pembangunan gedung

perkantoran, pertokoan, atau apartemen, tentu jadwal pemakaian


gedung tersebut akan mundur dari waktu yang telah direncanakan,

sehingga ada waktu kosong tanpa mendapatkan uang.

Pada Proyek di lingkup Pemerintahan, keterlambatan penyelesaian

pekerjaan diatur dalam Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah (LKPP) No 12 Tahun 2021 tentang pedoman Pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah, dengan penjelasan sebagai berikut :

Pasal 7.19, Pemberian Kesempatan

Dalam hal Penyedia gagal menyelesaikan pekerjaan sampai masa

pelaksanaan kontrak berakhir, Pejabat Penandatangan Kontrak

melakukan penilaian atas kemajuan pelaksanaan pekerjaan. Hasil

penilaian menjadi dasar bagi Pejabat Penandatangan Kontrak untuk:

1) Pemberian kesempatan kepada Penyedia menyelesaikan

pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender.

2) Dalam hal setelah diberikan kesempatan sebagaimana angka 1

diatas, Penyedia masih belum dapat menyelesaikan pekerjaan,

Pejabat Penandatangan Kontrak dapat :

a) Memberikan kesempatan kedua untuk penyelesaian sisa

pekerjaan dengan jangka waktu sesuai kebutuhan; atau

b) Melakukan pemutusan Kontrak dalam hal Penyedia dinilai

tidak akan sanggup menyelesaikan pekerjaannya.

Pasal 7.20, Denda dan Ganti Rugi

a. Denda dan ganti rugi merupakan sanksi finansial yang dikenakan

kepada Penyedia atau Pejabat Penandatangan Kontrak sesuai


ketentuan yang berlaku karena terjadinya cidera janji/wanprestasi

yang tercantum dalam Kontrak.

b. Cidera janji/wanprestasi dapat berupa kegagalan bangunan,

menyerahkan jaminan yang tidak bisa dicairkan, melakukan

kesalahan dalam perhitungan volume hasil pekerjaan berdasarkan

hasil audit, menyerahkan barang/jasa yang kualitasnya tidak

sesuai dengan Kontrak berdasarkan hasil audit, dan

keterlambatan penyelesaian pekerjaan.

c. Denda keterlambatan apabila terjadi keterlambatan penyelesaian

pekerjaan. Besarnya denda keterlambatan adalah:

1) 1‰ (satu permil) per hari dari harga bagian Kontrak yang

tercantum dalam Kontrak; atau

2) 1‰ (satu permil) per hari dari harga Kontrak.

2.10 Penelitian Sejenis

1. Suyatno (2010)

a. Permasalahan

1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keterlambatan

penyelesaian proyek - proyek DPU dilingkungan Karesidenan

Surakarta

2. Bagaimana peringkat (ranking) faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap keterlambatan penyelesaian proyek - proyek DPU

dilingkungan Karesidena Surakarta.


b. Ruang lingkup Penelitian

1. Daerah penelitian dibatasi hanya diDaerah Istimewa Yugyakarta dan

Jawa Tengah dengan mengambil sampel kota Yogyakarta dan

Semarang.

2. Responden penyedia jasa dan pengguna jasa, yang pernah menangani

proyek konstruksi bangunan gedung jumlah lantai dua atau lebih,

proyek antara tahun 1998 sampai dengan 2000.

c. Hasil penelitian

1. Kekurangan tenaga kerja, 2. Kesalahan dalam perencanaan dan

spesifikasi, 3.Cuaca buruk (hujan deras, lokasi tergenang), 4.

Produktivitas tidak optimum oleh kontraktor, 5. Kesalahan pengelolaan

material, 6. Perubahan scope pekerjaan oleh konsultan.

2. Dari hasil penelitian ini ternyata secara umum menurut persepsi

responden ada persamaan persepsi responden terhadap faktor

penyebab keterlambatan penyelesaian proyek berdasarkan Jabatan

responden, Pengalaman responden, Nilai proyek, Jenis proyek, dan

Luas lantai, dimana nilai asymptotic signifikansi lebih besar dari 0.05

atau Ho diterima dan H1 ditolak.

2. Adriadi (2021)

a. Permasalahan

1. Apa saja Faktor-faktor penyebab menjadi penyebab keterlambatan

proyek-proyek konstruksi gedung di Kota Sukabumi?

2. Bagaimana Persepsi Responden terhadap faktor dominan penyebab

keterlambatan konstruksi gedung di Kota Sukabumi?


b. Ruang lingkup penelitian

1. Lokasi penelitian dilakukan proyek-proyek konstruksi gedung di Kota

Sukabumi?

2. Penyedia jasa konstruksi gedung di Kota Sukabumi?

c. Hasil penelitian

1. Faktor-faktor penyebabkan terjadi keterlambatan pada proyek

pembangunan Konstruksi Gedung di Sukabumi tersebut adalah yaitu

disebabkan kombinasi antara Faktor Alam (berupa jarak tempuh dan

akses, kondisi cuaca, kecelakaan kerja dan sengketa lahan).

2. Faktor Owner (berupa perubahan kontrak, perubahan metode kerja, perubahan

lingkup pekerjaan, keterlambatan pembayaran dan keterlambatan serah terima

pekerjaan).

3. Faktor Kontraktor atau penyedia jasa (berupa keterlambatan pembuatan dan

persetujuan gambar kerja, keterlambatan mobilisasi, keterbatasan modal dan

sumber daya, serta ketidaklengkapan dalam identifikasi jenis pekerjaan)

3. Ahmad Faisal Romadhon (2022)

a. Permasalahan

1. Faktor-faktor penyebab keterlambatan yang sering terjadi pada

pembangunan gedung bertingkat di Indonesia.

2. Faktor-faktor yang mendominasi penyebab keterlambatan pada

pembangunan gedung bertingkat di Indonesia

b. Ruang lingkup penelitian

1. Pelaksana proyek konstruksi gedung bertingkat di Indonesia.

c. Hasil penelitian
1. Berdasarkan nilai koefesien determinasinya, Aspek Ketenagakerjaan

(X1), Aspek Bahan (X2), Aspek Peralatan (X3), Aspek Lokasi Proyek

(X4), Aspek Manajerial (X5), Aspek Keuangan (X6) dan Aspek Faktor

Eksternal (X7) mempengaruhi Keterlambatan Proyek (Y) sebesar 84%

dan sisanya 16% dipengaruhi faktor lain yang tidak dibahas

2. Faktor Keterlambatan dari Aspek Ketenagakerjaan (X1), memiliki

pengaruh tertinggi terhadap keterlambatan proyek dari enam faktor

lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari persamaan regresinya yaitu

sebesar 0.807. Peningkatan faktor keterlambatan dari aspek

Ketenagakerjaan akan paling mempengaruhi kenaikan resiko

keterlambatan proyek. Aspek ketenagakerjaan meliputi: Ketersediaan

tenaga kerja yang ada saat ini, Keahlian tenaga kerja yang dimiliki saat

ini, Angka ketidak hadiran pekerja, Tingkat kedisiplinan dan motivasi

yang dimiliki tenaga kerja,

3. Keterlambatan kerja yang diakibatkan oleh faktor ketenegakerjaan

dengan nilai regresi 0.807 termasuk kategori Non Excusable delay,

dimana Non Excusable delay adalah keterlambatan dalam kinerja

kontraktor yang terjadi karena kesalahan kontraktor tidak secara tepat

melaksanakan kewajiban dalam kontrak. Kontraktor tidak berhak

menerima penggantian biaya maupun perpanjangan waktu.

4. Faktor ketenegakerjaan mempunyai nilai regresi 0.807 dari nilai R2 yang

sebesar 0.840 yangmenunjukan bahwa korelasi antara variabel bebas dan

terikat tergolong sangat kuat, hal inimenunjukan bahwa kontraktor

maupun owner dan stakeholder lainnya harus meminimalisirfaktor


keterlambatan tersebut agar proyek bisa berjalan dengan lancar dan tidak

terjadi keterlambatan.

2.11 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif dengan format deskriptif

menggunakan teknik survey yaitu penelitian yang menggambil sampel dari suatu

populasi dengan menggunakan kuesioner dan wawancara sebagai alat

pengumpulan data yang disebarkan kepada responden, Program SPSS (Statistical

Product and Service Solutions) digunakan untuk menghitung indeks guna

menyimpulkan faktor faktor penyebab keterlambatan pada proyek bangunan gedung

bertingkat.

Anda mungkin juga menyukai