Anda di halaman 1dari 16

BAB 6 ANALISIS TITIK KENDALI

KRITIS BAHAN PANGAN DAN


MAKANAN

A. Prinsip 1: Analisis Bahaya

Analisis bahaya (hazard analysis) merupakan suatu sistem yang


dapat mengidentifikasi, mengevaluasi serta mengendalikan dari setiap
bahaya yang nyata yang bertujuan untuk menjaga keamanan pangan
(Badan Standarisasi Nasional, 2011). Penetapan dan pemberlakuan
analisis bahaya pada suatu produk dilakukan untuk mengidentifikasi
bahaya pada program HACCP, hal tersebut ditujukan karena bahaya yang
harus dikurangi atau ditiadakan hingga batas yang dapat diterima
(Saptoningsih, 2020). Pada setiap proses pengolahan pangan, baik
secara tradisional maupun modern harus memperhatikan cara produksi
yang baik untuk menjamin keamanan pangan. Oleh karena itu, agar
produk pangan yang dihasilkan mendapatkan kepastian bahwa produk
tersebut aman dikonsumsi maka perlu diterapkan cara produksi yang baik
(Good Manufacturing Practice). HACCP (Hazard Analysis and Critical
Control Point) merupakan standarisasi keamanan pangan yang telah
diakui. Dengan konsep HACCP setiap tahapan proses pengolahan
pangan dapat diidentifikasi jenis, sumber serta penyebab bahaya pada
produk pangan, baik bahaya biologis (mikrobiologis), bahaya kimia
maupun bahaya fisik. Dengan demikian penerapan HACCP pada setiap
proses pengolahan pangan dapat memberikan jaminan pangan yang
aman (Muchtar et al., 2022).
HACCP merupakan suatu sistem manajemen pengawasan dan
pengendalian keamanan pangan yang bersifat ilmiah, rasional dan
sistematis dengan tujuan untuk mengidentifikasi, memonitor dan
mengendalikan bahaya (hazard) mulai dari bahan baku, selama proses
produksi, manufakturing, penanganan dan penggunaan bahan pangan
untuk menjamin bahwa bahan pangan tersebut aman bila dikonsumsi
(Setyoko, 2018). Dengan demikian dalam sistem HACCP, bahan/materi
yang dapat membahayakan keselamatan manusia atau yang merugikan
diidentifikasi dan diteliti dimana kemungkinan besar terjadi kontaminasi
atau kerusakan produk makanan mulai dari penyediaan bahan baku,
selama tahap proses pengolahan bahan sampai distribusi dan
penggunaannya. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan
identifikasi titik kendali kritis (Badan Standarisasi Nasional, 2011).
Menurut Setyoko & Kristiningrum (2019), analisis bahaya merupakan
langkah awal dalam konsep HACCP yang berkaitan dengan semua aspek
produk yang berada dalam tahap produksi. Analisis atau pemeriksaan
terhadap bahaya ini berfungsi sebagai tahap utama yang dapat
mengidentifikasi semua bahaya yang dapat terjadi jika produk pangan
dikonsumsi. Analisis bahaya harus dilaksanakan secara menyeluruh dan
realistis, dari bahan baku hingga ke tangan konsumen. Pada tahap
analisis bahaya diperlukan adanya identifikasi bahaya yang spesifik di
setiap alur proses, menentukan tingkat keparahannya (severity),
menentukan tingkat probabilitasnya, menentukan tingkat risiko dan
signifikansi bahayanya serta menentukan tindakan pengendalian bila
bahayanya signifikan (Setyoko & Kristiningrum, 2019).
Identifikasi bahaya sangat penting dilakukan pada setiap tahap
proses produksi. Bahaya yang signifikan dapat dipergunakan sebagai
pertimbangan dalam menentukan apakah sifatnya CCP dalam proses.
Menurut Prayitno & Sigit (2019), tingkat potensi bahaya dibedakan
menjadi dua asalnya yaitu dari peralatan dan dari bahan baku atau bahan
pangan tersebut. Jenis bahaya yang mungkin terdapat di dalam makanan
dibedakan atas tiga kelompok bahaya, yaitu:
1. Bahaya biologis/mikrobiologis disebabkan oleh bakteri patogen, virus
atau parasit yang dapat menyebabkan keracunan, penyakit infeksi
atau infestasi, misalnya Escherichia coli, Listeria monocytogenes,
Bacillus sp., Clostridium sp., virus Hepatitis A, dan lain-lain.
2. Bahaya kimia disebabkan karena terpapar bahan kimia yang beracun,
misalnya aflatoksin, histamin, toksin jamur, toksin kerang, alkaloid
pirolizidin, pestisida, antibiotika, hormon pertumbuhan, logam berat
(Pb, Zn, Ag, Hg, sianida), bahan pengawet (nitrit, sulfit), pewarna
(amaranth, rhodamin B, methanyl yellow), lubrikan, sanitizer, dan
sebagainya.
3. Bahaya fisik disebabkan oleh benda asing yang seharusnya tidak
boleh terdapat di dalam makanan, misalnya pecahan gelas, potongan
kayu, kerikil, logam, serangga, potongan tulang, plastik, bagian tubuh
(rambut), sisik, duri, kulit dan lain-lain.
Agar analisis bahaya ini dapat benar-benar mencapai hasil yang
dapat menjamin semua informasi mengenai bahaya dapat diperoleh,
maka analisis bahaya harus dilaksanakan secara sistematik dan
terorganisasi. Ada tiga elemen dalam analisis bahaya, yaitu menyusun
Tim HACCP, mendefinisikan produk (cara produk dikonsumsi dan sifat
negatif produk yang harus dikontrol dan dikendalikan), dan identifikasi
bahaya pada titik kendali kritis dengan mempersiapkan diagram alir
proses yang teliti sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, untuk
menghasilkan suatu produk (Setyoko & Kristiningrum, 2018).
Analisis bahaya dilakukan dengan cara mengidentifikasi setiap alur
proses produksi (berdasarkan diagram alir proses) dengan mencari dan
menelusuri penyebab terjadinya bahaya dan segala potensi yang dapat
mengakibatkan adanya bahaya yang dapat terjadi. Menurut Prayitno &
Sigit (2019), tahapan analisis semua potensi bahaya (fisik, kimia dan
biologis) dilakukan dua tahap yaitu analisis potensi bahaya dan evaluasi
potensi bahaya (hazard). Tahap analisis potensi bahaya dilakukan dengan
mengidentifikasi semua potensi bahaya (hazard) pada semua bahan
baku, bumbu yang digunakan, dan bahan pengemas produk yang
langsung bersentuhan dengan produk. Tahap evaluasi potensi bahaya
dilakukan untuk semua potensi bahaya yang terdaftar dalam tahap
pertama untuk menimbang apakah semua potensi bahaya tersebut nyata
untuk dimasukkan dalam rencana HACCP. Evaluasi potensi bahaya
dilakukan berdasarkan evaluasi tingkat peluang kejadian dan tingkat
hazard yang mungkin ditimbulkan oleh potensi bahaya tersebut (Prayitno
& Sigit, 2019).

B. Prinsip 2: Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP)

Titik kendali kritis (CCP) merupakan langkah-langkah yang dilakukan


untuk upaya pengendalian yang sangat penting dalam menghilangkan,
mengurangi, atau mempertahankan tingkatan bahaya yang dapat
diterima. Hal ini dilakukan untuk pengendalian pada proses pembuatan
suatu produk, dimana jika bahaya yang dimaksud tidak dapat
dikendalikan, maka hal tersebut kemungkinan besar akan menyebabkan
produk tidak layak konsumsi ataupun dipasarkan ke masyarakat umum.
Dari penjelasan yang ada, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud
adalah bahaya yang signifikan. Proses klasifikasi titik atau tahapan titik
kendali kritis ini dilakukan jika pengendaliannya diterapkan pada suatu titik
atau tahapan dalam proses produksi pangan sebagai upaya pencegahan
atau menghilangkan bahaya keamanan pangan, atau menguranginya ke
tingkat yang sesuai. Menurut Setyoko (2018), Titik kendali kritis (CCP)
adalah setiap titik, langkah atau prosedur dalam sistem produksi pangan
yang, jika tidak dikontrol, dapat menyebabkan risiko kesehatan yang tidak
diinginkan, atau setiap titik, langkah atau prosedur yang jika dikontrol
dengan baik dan benar, dapat mencegah, menghilangkan atau
mengurangi keberadaan bahaya. Proses mengendalikan bahaya yang
sama mungkin dapat dilakukan dengan beberapa atau lebih dari satu CCP
pada saat pengendalian dilakukan.
Titik kendali kritis (Critical Control Point) adalah langkah yang
dilakukan untuk mencegah bahaya atau menghilangkan potensi bahaya
hingga batas yang dapat diterima. Pada dasarnya penentuan CCP
diturunkan dari pohon pengambilan keputusan. Keputusan untuk
menentukan CCP dilakukan dengan menganalisis semua langkah dalam
proses, sehingga diketahui tingkat CCP. Penentuan titik kendali kritis
dimulai dengan memastikan dan melihat pentingnya manual yang berisi
analisis risiko dalam proses produksi. Adanya bahaya yang tidak
dikendalikan oleh adanya suatu sistem atau program dengan persyaratan
dasar berupa GMP dan SSOP dan yang memiliki signifikansi nyata dalam
langkah-langkah proses produksi diindikasikan dalam kelompok CCP.
Semua yang termasuk dalam kelompok CCP diidentifikasi dan
dikembangkan dengan benar dan hati-hati, serta selalu dipantau dan
didokumentasikan (Prayitno & Sigit, 2019).
Menurut Setyoko & Kristiningrum (2019), identifikasi dan penetapan
titik kendali kritis (CCP) pada proses produksi titik kendali kritis (CCP)
didefinisikan sebagai titik lokasi, di mana setiap langkah atau tahapan
dalam proses atau prosedur, jika tidak dikontrol dengan baik, berpotensi
menyebabkan keamanan pangan, kerusakan (spoilage), dan resiko
kerugian ekonomi. CCP ini ditentukan dengan diagram alir proses
produksi yang telah mengidentifikasi potensi bahaya pada setiap tahapan
produksi, atau dapat ditentukan langsung jika ada permintaan khusus dari
pelanggan tanpa melalui pohon keputusan. Menurut Munarso et al.
(2014), identifikasi dan pengenalan secara sistematis terhadap setiap titik
kendali kritis (CCP) dapat dilakukan dengan menggunakan metode alur
keputusan atau CCP Decision Tree seperti pada diagram di bawah ini.
Langkah-langkah penunjukan CCP memiliki banyak implikasi sesuai
dengan kebutuhan yang ada untuk mengatur prosedur produksi suatu
produk dengan pemantauan yang sangat ketat. Tahapan CCP dapat
berbeda-beda dalam operasinya, seperti dari perlakuan pada bahan
mentah ke lokasi pembuatan, proses, prosedur atau praktik, ataupun yang
termasuk dalam formulasi produk. Proses dalam CCP, perlu meninjau dari
segi verifikasi sebelum produk dirilis. Namun, terkadang proses verifikasi
ini dapat memperlambat pemasaran produk, terutama jika pemantauan
proses verifikasi ini dinilai dari segi pengujian. Tetapi, proses verifikasi ini
dapat mencegah tersebarnya produk yang kualitasnya kurang baik agar
tidak dikonsumsi dan dapat membahayakan masyarakat, jika produk tidak
sengaja dipasarkan, maka harus dipertimbangkan untuk penarikan produk
kembali.
Proses CCP juga harus dipantau secara efektif, hal ini merupakan
salah satu syarat untuk pertimbangan penilaian bahaya dari produk. Jika
bahaya produk diidentifikasi sebagai signifikan, sedangkan tidak ada
tindakan yang dapat mengendalikannya, maka produk atau proses
pembuatannya harus ditinjau kembali kemudian dilakukan modifikasi.
Prinsip peninjauan ataupun modifikasi produk ini tidak jarang dan sering
diabaikan dalam perusahaan karena alasan bisnis. Suatu perusahaan
lebih memilih untuk mencoba mengatasi kondisi yang berisiko daripada
meninjau atau memodifikasi proses pembuatannya. Seperti pada suatu
kasus yang menganggap bahwa bahan baku yang berisiko tinggi karena
ragu akan kualitas dari agen pemasok, namun hal tersebut diatas dengan
cara mencari pengendalian patogen dari bahan baku tersebut. Padahal
dalam kasus tersebut, seharusnya mengganti pemasok, karena pengujian
agen mikroba tidak dapat dianggap sebagai tindakan pengendalian yang
efektif dan harus dilihat sebagai verifikasi jaminan kualitas pemasok
Kurangnya pemahaman atau penggunaan istilah yang tidak konsisten
sering menimbulkan kesalahpahaman dalam pengertian “bahaya yang
signifikan”, hal tersebut sering membingungkan pada tahapan CCP.
Misalnya penyebutan aflatoksin sebagai CCP atau pengambilan suatu
tindakan atas dasar pengendalian CCP, sedangkan CCP ini pada
dasarnya mengacu ke “langkah” dalam sistem operasi dan merupakan
suatu kegiatan pengendalian produk agar sesuai dengan langkah-langkah
untuk mencegah bahaya keamanan pangan melebihi tingkat yang dapat
diterima. Oleh karena itu, perlunya perhatian dan penjelasan lebih
mendetail serta edukasi terhadap pihak-pihak yang bersangkutan agar
pengendalian CCP ini dapat terkendali dengan baik.
C. Prinsip 3: Penentuan Batas Kritis Terhadap CCP

Batas kritis adalah suatu batasan atau kriteria untuk memisahkan


kondisi yang dapat ditoleransi dan tidak dapat ditoleransi, untuk
mengamankan bahaya, sehingga titik kendali dapat mengendalikan
bahaya kesehatan secara cermat dan efektif. Titik pengendalian kritis
(CCP) dapat merupakan bahan mentah/baku, lokasi, langkah
pemprosesan, praktik atau prosedur kerja, tetapi harus spesifik, seperti
tidak adanya pencemar tertentu dalam bahan mentah baku, standar
higienis dalam ruangan pemasakan dapur, dan pemisahan fasilitas yang
digunakan untuk produk mentah dan yang untuk produk jadi masak.
Penentuan batas kritis dilaksanakan setelah semua CCP dan parameter
pengendali yang berkaitan dengan setiap CCP teridentifikasi, Tim HACCP
harus menetapkan batas kritis untuk setiap CCP. Batas kritis harus
ditentukan dan divalidasi secara terpisah untuk setiap CCP. Batas-batas
kritis meliputi persyaratan teknis/administrasi, definisi penolakan (batasan)
dan toleransi penolakan (batasan persyaratan). Batas kritis yang telah
ditentukan ini tidak diperbolehkan dilanggar, karena batas kritis tersebut
dilanggar dan kemudian titik kendali kritisnya lepas kendali yang dapat
menyebabkan bahaya bagi kesehatan konsumen.
Menurut Vatria (2022), Batas kritis adalah suatu kriteria yang
memisahkan antara kondisi yang dapat diterima dan yang tidak dapat
diterima. Dengan kata lain batas kritis adalah nilai toleransi yang harus
dipenuhi untuk menjamin bahwa suatu CCP secara efektif mengendalikan
bahaya biologis, kimia, dan fisik. Batas kritis merupakan nilai yang dapat
ditoleransi pada titik pengendalian kritis (CCP). Informasi tentang batas
kritis dapat berasal dari data legal yang telah dipublikasikan (CODEX,
FDA, DEPKES RI dan lain-lain), pendapat pakar, peneliti, akademisi dan
lain sebagainya, serta data eksperimental (Sari et al., 2023).
Menurut Fatma dan Yusuf (2020), Setiap CCP yang teridentifikasi
maka harus ditentukan batas kritisnya, batas kritis menunjukkan
perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman sehingga proses
produksi dapat dikelola dalam tingkat yang aman. Untuk menetapkan CL
maka pertanyaan yang harus dijawab adalah: apakah komponen kritis
yang berhubungan dengan CCP? Suatu CCP mungkin memiliki berbagai
komponen yang harus dikendalikan untuk menjamin keamanan produk.
Batas kritis ini tidak boleh dilewati untuk menjamin bahwa CCP secara
efektif mengendalikan bahaya fisik (suhu, waktu), kimia (pH, kadar
garam). Penggunaan mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya)
sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya,
kecuali jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut.
Batas kritis atau CCP ini ditentukan berdasarkan tingkat risiko yang
dapat ditimbulkan oleh proses terhadap pangan yang diproduksi, sehingga
produk tersebut aman dan layak untuk dikonsumsi. Batas kritis ditentukan
berdasarkan kontrol yang dilakukan berdasarkan pohon keputusan
HACCP. Dalam hal ini, tim HACCP harus mengikuti peraturan untuk
menetapkan batas kritis semua bahan tambahan makanan (BTM),
termasuk bahan kimia yang digunakan dalam bahan kemasan yang
bersentuhan dengan makanan. Batas kritis dari setiap CCP harus
didokumentasikan. Dokumentasi ini harus menjelaskan bagaimana setiap
batas kritis dapat diterima dan harus disimpan sebagai bagian dari
rencana resmi HACCP.
Dalam beberapa kasus lebih dari satu batas kritis akan diuraikan
pada suatu tahap khusus. Kriteria untuk menentukan batas kritis untuk
setiap bahaya signifikan tidak selalu tersedia, tetapi dapat diperoleh dari
data-data hasil pengujian atau penelitian, ketentuan pemerintah atau
lembaga-lembaga lainnya, tenaga ahli, dan lain-lain. Kriteria yang sering
digunakan mencakup pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu,
tingkat kelembaban, pH, Aw, keberadaan klorin, benda asing, dan
parameter sensori seperti kenampakan visual dan tekstur. Untuk lebih
memperketat pengawasan CCP perlu pula ditetapkan batas operasi atau
“operating limit“ lebih tinggi atau lebih ketat dari batas kritis (Vatria, 2022).
Tim HACCP harus mendokumentasikan parameter yang harus
diperiksa, batas untuk setiap parameter, dan pembenaran untuk setiap
batasan. Untuk pangan berasam rendah dalam kaleng, titik kendali kritis
umumnya adalah suhu dan waktu. Bentuk produk (cair, semi solid,
padatan) dan luas permukaan/bentuk potongan (chunk, dice, puree,
sliced, dll) akan berpengaruh suhu dan waktu pemanasan (Widjaja., &
Caronia, 2018).
Menurut Cartwright dan Latifah (2018), Tim HACCP harus
mengadakan analisa bahaya untuk mengidentifikasi program HACCP
dimana bahaya yang terdapat secara alami bahwa batas-batas dan cara
menguranginya hingga batas-batas yang dapat diterima adalah penting
terhadap produksi yang aman.
Penetapan batas kritis meliputi:
 Satu atau lebih toleransi yang harus dipenuhi untuk menjamin bahwa
suatu CCP secara efektif mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia,
fisika.
 Semua faktor yang terkait dengan keamanan harus diidentifikasi.
 Tingkat di mana setiap faktor menjadi batas aman dan tidak aman
(…..> batas kritis).
 Memisahkan kondisi yang dapat diterima atau tidak.
 Harus spesifik dan jelas: Batas maksimum, minimum atau keduanya.
 Harus berkaitan dengan tindakan pengendalian dan mudah dipantau.
Apabila HACCP disusun tenaga ahli :
 Perusahaan harus memastikan bahwa Control Limits dapat
diaplikasikan pada operasi, produk, atau kelompok produk secara
spesifik.
 Terukur.
Tipe-tipe Control Limits:
 Chemical Limit
 Physical Limits
 Microbiological Limits
D. Prinsip 4: Penentuan Kegiatan Pemantauan CCP

A
A

E. Prinsip 5: Penentuan Tindakan Koreksi

A
A

F. Prinsip 6: Verifikasi

Sistem HACCP mewajibkan penggunanya menetapkan rancangan


CCP pada titik kritis yang didapat. Setiap rancangan CCP diharapkan
untuk terus dipakai, berjalan dengan baik, dan relevan. Namun, ada
kalanya para pekerja justru abai dalam menaati rancangan CCP yang
telah ditetapkan. Hal ini tentunya dapat berimbas pada kelangsungan
produksi dan kualitas produk perusahaan. Sebagai upaya menghindari hal
tersebut, maka perlu diterapkannya prinsip ke-6 HACCP: verifikasi.
Verifikasi merupakan prinsip ke-6 HACCP yang bersifat krusial. Verifikasi
merupakan prinsip HACCP yang sangat penting dan bersifat krusial dalam
upaya menentukan kelangsungan sistem HACCP yang ditetapkan dan
diterapkan sekarang (Hasibuan et al, 2020).
Verifikasi merupakan titik penting yang menjadi bentuk pembuktian
apakah rancangan HACCP yang ditetapkan telah diterapkan dengan
benar atau ada kesalahan. Rancangan HACCP harus dijamin penerapan
dan relevansinya dengan upaya verifikasi dengan tolak ukur secara garis
besar apakah rancangan yang ada dapat mencegah timbulnya masalah
dan bahaya dalam bahan baku, produksi, sampai distribusi ke tangan
konsumen. Selain itu, perusahaan pangan akan mudah dalam mengenali
bahaya yang muncul dari kesalahan rancangan HACCP atau dalam
penerapannya dan dapat meminimalkan kesalahan yang akan datang.
(Horax & Sutapa, 2018).
Verifikasi berperan sebagai pos screening ketat dalam memastikan
penerapan tahapan rancangan HACCP, termasuk CCP yang ditetapkan
dan dijalankan (Nugraheni & Ajeng, 2021). Verifikasi menjadi titik
pemeriksaan sistem HACCP yang telah dilaksanakan secara menyeluruh
oleh perusahaan pangan. Ini juga mencakup inspeksi pada produk seperti
uji cemaran mikrobiologis, kimia, dan fisika pada produk untuk
memvalidasi hasil monitoring rutin (Kharisma, 2019).
Efektivitas dan konsistensi sebuah rancangan HACCP dari sebuah
perusahaan pangan menjadi fokus pertanyaan besar yang coba dibawa
oleh prinsip verifikasi. Jika sebuah rancangan HACCP yang telah
ditetapkan ternyata mampu memastikan tidak adanya atau meminimalkan
kecelakaan pada setiap pos CCP dan kesalahan dalam menanganinya,
maka rancangan HACCP tersebut dapat dikatakan efektif. Jika penerapan
rancagnan HACCP tersebut juga bersifat tetap dan disiplin selama satu
periode pemeriksaan, maka rancangan HACCP tersebut juga dapat
dikatakan efektif. Menjamin dan memastikan rancangan HACCP bersifat
efektif dan konsisten menjadi tujuan dalam verifikasi (Setyoko &
Kristiningrum, 2018).
Demi terjaminnya dan penguatan verifikasi sebuah rancangan
HACCP sebuah perusahaan pangan maka diberlakukan tiga jenis
verifikasi: verifikasi CPP, verifikasi HACCP, dan verifikasi oleh badan
pemerintah. Verifikasi CPP bertujuan untuk memverifikasi dan
memvalidasi titik kendali kritis yang sudah ditetapkan. Verifikasi HACCP
merupakan verifikasi menyeluruh meliputi verifikasi dan validasi
penerapan 12 tahapan HACCP dan 7 prinsip HACCP oleh perusahaan.
Verifikasi oleh badan pemerintah berupa audit dari badan pemerintah
secara garis besar untuk menilai manajemen mutu dan lingkungan
perusahaan pangan terkait (Vatria, 2022).
Umumnya verifikasi dilakukan cara: 1) mengonfirmasi bahaya yang
terindentifikasi; 2) mengecek tindakan pencegahan bahaya yang telah
ditetapkan; 3) memastikan batas kritis telah cukup; dan 4) meninjau
prosedur pemantauan dan kalibrasi peralatan (Erlinda & Rahardjo, 2018).
Penerapan tahapan verifikasi ini umumnya dilakukan dengan audit internal
terencana terlebih dahulu. Sedangkan poin penting verifikasi pada ranah
produk yaitu analisis pasar serta penelusuran kembali bahan baku,
produk setengah jadi, dan produk jadi di laboratorium eksternal yang
terakreditasi (Hasibuan et al, 2020). Semua yang berkaitan dengan
verifikasi harus dicatat dalam formulir hasil verifikasi (Horax & Sutapa,
2018).
Contoh penerapan lapangan verifikasi dengan observasi Kharisma
(2019), PT Aerofood ACS - anak perusahaan Garuda Indanesia dalam
bidang bisnis catering untuk penerbangan - sudah menerapkan verifikasi
yang sesuai dengan SNI No. 01-4852-1998. Contoh lain dari penerapan
verifikasi dapat dilihat dalam Sari et al (2023) di PT. X yang bergerak
dalam pengolahan hasil perikanan terutama dalam produksi Udang
Cooked Peeled Tail On. PT. X terkonfimasi juga sudah menetapkan dan
menjalankan prosedur verifikasi berdasarkan SNI No. 01-4852-1998.
Menurut SNI No. 01-4852-1998, verifikasi terdiri atas empat tahapan: 1)
validasi laporan dan dokumentasi HACCP; 2) kalibrasi alat; 3) pengujian
mikrobiologi produk; dan 4) audit.

G. Prinsip 7: Dokumentasi

A
A
Daftar Pustaka

Badan Standardisasi Nasional, (2011), Rekomendasi Nasional Kode Praktis-


Prinsip Umum Hygiene Pangan SNI CAC/RCP 1:2011, Jakarta (ID),
Badan Standardisasi Nasional.

Cartwright, L, M & Latifah, D (2018). ‘Hazard Analysis Critical Control Point


(HACCP) Sebagai Model Kendali Dan Penjaminan Mutu Produksi
Pangan’, Invotec, 6(17), 509 - 519.

Erlinda, E., & Rahardjo, B. (2018). Perancangan HACCP di PT X dengan


Mempertimbangkan Peraturan Pemerintah tentang Antibiotic Growth
Promoters (AGP). Jurnal Titra, 6(2), 101 - 106.

Fatma, N, F & Yusuf, A. (2020). ‘Penerapan HACCP (Hazard Analysis And


Critical Control Point) Pada Proses Produksi Suklat Mocachino Dan
Choco Granule Di Pt. Mayora Indah Tbk’, Teknik Industri Heuristic, 17(1),
1 - 20.

Hasibuan, N. E., Azka, A., & Rohaini, A. (2020). Penerapan Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) Tuna (Thunnus sp.) Loin Beku di PT.
Tridaya Eramina Bahari. Aurelia Journal, 2(1), 53 - 62.

Horax, M., & Sutapa, I. N. (2018). Analisis Bahaya dengan Metode HACCP
pada Produksi Pakan Ayam Petelur di PT X. Jurnal Titra, 6(2), 293 - 300.

Kharisma, A. D. M. (2019). Katering Penerbangan dan Keamanan Pangan:


Penerapan Hazard Analysis and Critical Control Point di PT Aerofood Acs
Surabaya. Jurnal kesehatan lingkungan, 11(1), 17 - 25.

Muchtar, F, Bahar, H, Nurmaladewi & Lisnawaty, 2022, ‘Identifikasi Bahaya


dan Penentuan Titik Kendali Kritis Proses Pengasapan Ikan Tuna di Desa
Malalanda Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara’, Jurnal
Multidisiplin Ilmu, 1(2), 514 - 525.
Munarso, S., Joni., & Miskiyah. (2014). Penerapan Sistem HACCP (Hazard
Analysis and Critical Control Points) pada Penanganan Pascapanen
Kakao Rakyat. Jurnal Standarisasi, 16(1), 17 - 30.

Nugraheni, F., & Ajeng, N. (2021). Konsep Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP) pada Proses Pembuatan Roti Manis. Infokes, 11(1), 430 -
443.

Prayitno, S, A, Sigit, M, B, S, 2019, ‘Penerapan 12 Tahapan Hazard Analysis


And Critical Control Point (HACCP) Sebagai Sistem Keamanan Pangan
pada Produk Udang (Panko Ebi)’, Jurnal Teknologi & Industri Hasil
Pertanian, 24(2), 100 - 112.

Prayitno, S. A., & Sigit S, M. B. (2019). Penerapan 12 Tahapan Hazard


Analysis and Critical Control Point (HACCP) Sebagai Sistem Keamanan
Pangan Pada Produk Udang (Panko Ebi). Jurnal Teknologi & Industri
Hasil Pertanian, 24(2), 100-112.

Saptoningsih, 2020, ‘Analisis Pre Requisite Program HACCP, Analisis


Kesiapan Penerapan HACCP dan Strategi Pengembangan Penerapan
HACCP Pada Produksi Dodol Nanas UKM Jalancagak Kabupaten
Subang’, Jurnal Pengembangan Penyuluhan Pertanian, 17(32), 150 - 172.

Sari, L, Nugroho, S, D & Yuliati, N 2023. ‘Penerapan Hazard Analysis Critical


Control Point pada Proses Produksi Udang Cooked Peeled Tail On Di PT.
X’, Technomedia Journal, vol. 7, no. 3, hh. 381-398.

Sari, L., Nugroho, S. D., & Yuliati, N. (2023). Penerapan Hazard Analysis
Critical Control Point pada Proses Produksi Udang Cooked Peeled Tail On
di PT. X. Technomedia Journal, 7(3), 381 - 398.

Setyoko, 2018, ‘Identifikasi Bahaya dan Penentuan Titik Kendali Kritis pada
Ukm Keripik Nangka di Jember’, Jurnal Standardisasi, vol. 20, no. 3, hh.
171-179.

Setyoko, A, T, Kristiningrum, E, 2018, ‘Pengembangan Desain Sistem


Keamanan Pangan Menggunakan Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) pada UKM Produsen Nugget Ikan’, Jurnal Standardisasi, vol. 21,
no. 1, hh. 1-8.

Setyoko, A. T. (2018). Identifikasi Bahaya dan Penentuan Titik Kendali Kritis


Pada UKM Keripik Nangka di Jember. Jurnal Standarisasi, 20(3), 171-179.

Setyoko, A. T., & Kristiningrum, E. (2019). Pengembangan Desain Sistem


Keamanan Pangan Menggunakan Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) pada UKM Produsen Nugget Ikan. Jurnal Standardisasi, 21(1),
1-8.

Setyoko, A.T., & Kristiningrum, E. (2019). Pengembangan Desain Sistem


Keamanan Pangan Menggunakan Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) pada UKM Produsen Nugget Ikan. Jurnal Standarisasi, 21(1), 1-
8.

Vatria, B 2022. ‘Penerapan Sistem Hazard Analysis And Critical Control Point
(HACCP) Sebagai Jaminan Mutu Dan Keamanan Pangan Hasil
Perikanan’, Manfish Journal, vol 8, no. 2, hh. 104-113.

Vatria, B. (2022). Penerapan Sistim Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP) sebagai Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan Hasil Perikanan.
MANFISH JOURNAL, 2(2), 104 - 113.

Widjaja, G & Caronia, V 2018. Analisa Kesiapan Sektor Pangan Nasional


Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Melalui Program Hazard
Analysis And Critical Control Point (HACCP)’, Cross-border, vol. 1, no. 1,
hh. 185-195.

Anda mungkin juga menyukai