Kompetensi Dasar :
Verifikasi Penerapan HACCP
Kegiatan Belajar
1. Tujuan Pembelajaran
Setelah selesai belajar peserta didik mampu :
a. Memahami pengertian dan prinsip HACCP dalam pengolahan hasil pertanian
b. Menerapkan prinsip HACCP dalam pembentukan TIM, Deskripsi produk,
Identifikasi rencana penggunaan, Penyusunan bagan alir, dan Konfirmasi bagan
alir di lapangan
c. Menerapkan prinsip HACCP dalam Pencatatan semua bahaya potensial yang
berkaitan dengan setiap tahapan, pengadaan suatu analisa bahaya dan
menyarankan berbagai pengukuran untuk mengendalikan bahaya yang
teridentifikasi
d. Menentuan Titik Kendali Kritis (TKK) dan Penentuan batas-batas kritis (critical
limits) pada tiap TKK
e. Menyusun sistem pemantauan untuk setiap TKK dan Penetapan tindakan
perbaikan serta menetapkan prosedur verifikasi
f. Menetapkan dokumentasi dan pencatatan
g. Menyimpulkan hasil proses penerapan HACCP
h. Menyajikan hasil proses penerapan HACCP
Uraian Materi
a. Pengertian dan Prinsip HACCP
Kualitas atau mutu dari bahan pangan akan sangat mempengaruhi kualitas
sumber daya manusia sebagai konsumen. Kualitas bahan pangan meliputi nilai
gizi yang cukup, bebas dari cemaran kimia maupun cemaran mikrobiologis serta
memberikan ketentraman bathin bagi konsumen karena halal. Jaminan mutu
terhadap keamanan pangan secara konvensional yang hanya berdasarkan inspeksi
produk akhir tidak dapat menjamin mutu secara keseluruhan. Pengawasan mutu
pangan berdasarkan prinsip-prinsip pencegahan dipercayai lebih unggul
dibandingkan dengan cara-cara tradisional yang menekankan pada pengujian
produk akhir di laboratorium. Suatu konsep jaminan mutu yang khusus diterapkan
untuk pangan dikenal dengan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points).
Sistem HACCP merupakan sistem manajemen keamanan pangan. Munculnya
konsep HACCP, bertitik tolak dari meningkatnya kesadaran konsumen terhadap
kesehatan, yang melahirkan tuntutan terhadap jaminan keamanan dan kelayakan
mutu atas pangan dan bahan pangan yang dikonsumsi.
Konsumen beranggapan pengawasan mutu yang dilakukan pada pengawasan
produk akhir saja belum dapat menjamin keamanan maupun kelayakan mutu
makanan seutuhnya sesuai tuntutan konsumen. HACCP merupakan suatu sistem
pengawasan mutu untuk industri pangan yang dapat menjamin keamanan pangan,
yang dapat mencegah bahaya atau resiko yang mungkin timbul dan menetapkan
pengawasan tertentu dalam usaha pengendalian mutu pada seluruh rantai produksi
pangan. Dalam konsep jaminan mutu tersebut, bahan yang dapat membahayakan
keselamatan manusia atau yang merugikan akan diidentifikasi dan diteliti.
Demikian juga simpul atau titik di mana kemungkinan besar terjadi bahaya akan
diidentifikasi, mulai dari penyediaan bahan baku, selama tahapan proses
pengolahan hingga produk siap dikonsumsi.
Codex Alimentarius Commission 3 menjabarkan sistem Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) sebagai berikut :
1. Suatu sistem yang memiliki landasan ilmiah dan yang secara sistematis
mengidentifikasi potensi-potensi bahaya tertentu serta cara-cara
pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan.
2. Sebuah alat untuk memperkirakan potensi bahaya dan menentukan sistem
pengendalian yang berfokus pada pencegahan terjadinya bahaya dan bukannya
sistem yang semata-mata bergantung pada pengujian produk akhir.
3. Sebuah sistem yang mampu mengakomodasi perubahan perubahan seperti
perkembangan dalam rancangan alat, cara pengolahan atau perkembangan
teknologi.
4. Sebuah konsep yang dapat diterapkan pada seluruh rantai makanan dari
produksi primer hingga konsumsi akhir, di mana penerapannya dipandu oleh
bukti-bukti ilmiah tentang resiko terhadap kesehatan manusia.
Tujuan sistem HACCP adalah untuk menunjukkan letak potensi bahaya yang
berasal dari makanan yang berhubungan dengan jenis bahan pangan yang diolah oleh
perusahaan pengolah makanan dengan tujuan untuk melindungi kesehatan konsumen.
Dalam definisi ini beberapa konsep kunci harus ditegaskan, antara lain potensi bahaya
terhadap keamanan pangan (food safety hazard), analisis potensi bahaya (hazard
analysis), pengendalian yang sangat diperlukan untuk mencegah atau mengurangi
resiko potensi bahaya terhadap keamanan pangan atau menguranginya hingga batas
yang dapat diterima dan bagian-bagian dari rantai makanan. Pemahaman yang lebih
baik terhadap konsep-konsep tersebut oleh para anggota tim HACCP akan membantu
proses penerimaan dengan akurasi yang lebih baik tentang hal-hal yang harus menjadi
peranan utama dalam sistem HACCP dalam usaha pengolahan pangan mereka.
HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer sampai
pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani dengan bukti secara ilmiah
terhadap resiko kesehatan manusia. Selain meningkatkan keamanan pangan,
penerapan HACCP dapat memberikan keuntungan lain yang penting. Selanjutnya,
penerapan sistem HACCP dapat membantu inspeksi oleh lembaga yang berwenang
dan memajukan perdagangan internasional melalui peningkatan kepercayaan
keamanan pangan.
Keberhasilan penerapan HACCP memerlukan komitmen dan keterlibatan
penuh dari manajemen dan tenaga kerja. Juga mensyaratkan pendekatan dari berbagai
disiplin; pendekatan berbagai disiplin ini harus mencakup keahlian dalam agronomi,
kesehatan veteriner, produksi, mikrobiologi, obat-obatan, kesehatan masyarakat,
teknologi pangan, kesehatan lingkungan, kimia, perekayasa sesuai dengan pengkajian
yang teliti. Penerapan HACCP sesuai dengan pelaksanaan sistem manajemen mutu
seperti ISO seri 9000 dan merupakan sistem yang dipilih untuk manajemen keamanan
pangan.
Keuntungan penerapan HACCP adalah menjamin keamanan pangan dan
mengendalikan mutu. Menurut Herschdoerfer (1984), pengendalian mutu penting
untuk memperoleh produk yang bermutu, mengoptimalkan penjualan hubungannya
dengan keuntungan, mengurangi sampah (membuang produk) dengan mencegah
kesalahan sebelum terjadi, meningkatkan efisiensi proses dengan menggunakan
informasi dari tes QC, mengurangi komplain dari konsumen dan menjaga citra produk
serta kredibilitas perusahaan, membantu untuk mengendalikan biaya bahan baku dan
proses operasi, melindungi konsumen dari keracunan makanan dan resiko lain yang
berhubungan serta melengkapi manajemen agar memenuhi hukum dalam semua
aspek yang berkaitan dengan kualitas produk.
Program pelaksanaan HACCP dituangkan dalam suatu dokumen yang
menggambarkan kegiatan proses produksi serta pengawasan mutunya yang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Dokumen tersebut adalah dokumen rencana HACCP,
yang dikenal juga sebagai Panduan Mutu, Quality Assurance Plan (QAP) atau
berdasarkan BSN (1999) pedoman 1004-1999 disebut dengan Rencana Kerja Jaminan
Mutu (RKJM) berdasarkan HACCP. Secara garis besar penyusunan RKJM dapat
mengacu kepada pedoman 1004-1999 tentang panduan penyusunan rencana HACCP
yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN).
Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan tanpa
resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan pangan.
Sistem ini juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi
rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya
mikrobiologi, kimia, dan fisik.
Tujuh prinsip sistem HACCP yang direkomendasikan oleh Standar
Nasional Indonesia (1998) yang dikeluarkan oleh BSN (1999), meliputi :
Prinsip 1: Analisis bahaya dan pencegahannya
Prinsip 2: Identifikasi Critical Control Points (CCPs) di dalam proses
Prinsip 3: Menetapkan batas kritis untuk setiap CCP
Prinsip 4: Menetapkan cara pemantauan CCP
Prinsip 5: Menetapkan tindakan koreksi
Prinsip 6: Menyusun prosedur verifikasi
Prinsip 7: Menetapkan prosedur pencatatan (dokumentasi)
Analisis bahaya dilakukan dengan cara mendaftarkan semua bahaya yang
mungkin terdapat dalam bahan baku dan tahap proses. Bahaya-bahaya yang
teridentifikasi kemudian ditabulasikan ke dalam sebuah tabel disertai sumber bahaya,
tingkat resiko dan tindakan pencegahannya. Tingkat resiko ditentukan berdasarkan
seberapa besar akibat yang akan ditimbulkan oleh suatu bahaya dan seberapa sering
bahaya tersebut kemungkinan terjadi. Setiap bahan baku dan tahap proses ditentukan
termasuk CCP atau tidak melalui pertimbangan tingkat resiko dan berdasarkan
jawaban atas pertanyaan dari CCP decision tree.
Bahan baku dan tahap proses yang termasuk CCP berarti harus dikendalikan
dengan baik supaya tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Tahap proses yang tidak
termasuk CCP, dapat termasuk control point (CP) yang berarti tahapan tersebut
apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat menyebabkan kecacatan dari segi
kualitas. Semua komponen yang mencakup tujuh prinsip sistem HACCP disajikan
dalam bentuk matrik/tabel, yaitu :
1. Tabel analisa bahaya bahan baku dan tahap proses, serta penetapan tingkat resiko
2. Tabel penentuan Critical Control Point (CCP)
3. Matriks Critical Control Point (CCP), memuat proses yang termasuk CCP beserta
titik kritis dan rosedur yang harus ditempuh untuk mengendalikannya
4. Matriks Control Point (CP), memuat proses yang termasuk CP beserta titik kritis
dan prosedur yang harus ditempuh untuk mengendalikannya.
Tim HACCP harus mempertimbangkan tindakan pengendalian, jika ada yang dapat
dilakukan untuk setiap bahaya. Lebih jauh tindakan pengendalian disyaratkan untuk
mengendalikan bahaya-bahaya tertentu dan lebih jauh satu bahaya dikendalikan oleh
tindakan pengawasan yang tertentu.
Tim HACCP harus mempertimbangkan tindakan pengendalian, jika ada yang dapat
dilakukan untuk setiap bahaya. Lebih jauh tindakan pengendalian disyaratkan untuk
mengendalikan bahaya-bahaya tertentu dan lebih jauh satu bahaya dikendalikan oleh
tindakan pengawasan yang tertentu.
1) Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan masing-masing tahapan operasi
dalam diagram
a) Potensi bahaya apa yang bisa terjadi dalam hubungannya dengan keamanan
pangan?
b) Apa penyebab (atau faktor-faktor) yang dapat mengakibatkan potensi bahaya yang
terdidentifikasi (kontaminasi atau ketahanan) potensi bahaya atau dapat meningkatkan
potensi bahaya tersebut hingga ke tingkat yang tidak dapat diterima?
c) Apa resiko yang terkait dengan potensi bahaya yang teridentifikasi?
d) Upaya apa yang harus diterapkan untuk mengkontrol potensi bahaya yang telah
diidentifikasi (untuk menghilangkan keberadaan potensi bahaya tersebut hingga ke
tingkat yang dapat diterima)?
2) Kajian Informasi
Informasi yang dikumpulkan pada Tahap 2 yaitu “Deskripsi Produk” dan Tahap 3
yaitu “Identifikasi Tujuan Penggunaan” HARUS sesuai dengan kondisi saat ini dan
akurat.
3) Identifikasi dan analsis potensi bahaya
Untuk penyederhanaan, prosedur analisis potensi bahaya dapat dibagi menjadi dua
bagian :
Bagian 1 : Mengkaji bahan yang masuk
Bagian 2 : Mengevaluasi operasi (tahapan proses) untuk Potensi Bahaya
Menerapkannya secara logis akan membantu menghindari pengabaian hal-hal yang
penting.
Contoh Identifikasi potensi bahaya biologis, kimia dan fisis sebagai berikut (sumber :
Pelatihan Penerapan Metode HACCP, Buku Panduan untuk Peserta Pelatihan,
EC-ASEAN Economic Cooperation Programme on Standards, Quality and
Conformity Assessment, Food Sub-Programme).
Formulir 4 : Identifikasi potensi bahaya biologis
Formulir 5 : Identifikasi potensi bahaya Kimia
Formulir 6 : Identifikasi potensi bahaya Fisis
4) Penentuan Resiko
a) Penilaian Kualitatif
Setelah daftar potensi bahaya dibuat, tim HACCP bisa menghadapi kondisi di mana
ada sejumlah besar potensi bahaya yang perlu diperhatikan dan sumber daya internal
yang terbatas. Tim HACCP mungkin harus menyusun prioritas potensi bahaya yang
mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Untuk menentukan pilihan prioritas
yang tepat, tim HACCP mungkin harus menggunakan teknik klasifikasi kualitatif
berdasarkan penentuan tingkat keseriusan, frekuensi dan kemungkinan tidak
terdeteksinya potensi bahaya untuk menentukan resiko yang berhubungan dengan
potensi bahaya tersebut.
Untuk setiap potensi bahaya yang teridentifikasi, tim HACCP bisa mencatat hasil
penilaian persampel yang diberikan. Setelah itu, tim bisa melihat dengan cepat
potensi bahaya yang harus diprioritaskan dan dapat menyusun rencana kerja dengan
lebih mudah. Prosedur ini juga dapat meminimalkan kemungkinan untuk melupakan
potensi bahaya yang cukup riskan. Metode kualitatif ini mungkin berguna untuk
latihan pemilihan pendahuluan. Namun untuk tahap selanjutnya, bilamana perlu harus
dilengkapi dengan analisi kuantitatif.
b) Penilaian Kuantitatif
Untuk memastikan kondisi operasi yang sesungguhnya mungkin perlu dilakukan
pengukuran parameter pengolahan yang penting dan verifikasi terhadap hipotesis
yang berasal dari analisis sebelumnya. Sebelum melakukan pengukuran, perlu
dilakukan verifikasi bahwa semua peralatan yang digunakan akurat dan telah
dikalibrasi dengan benar.
Hal-hal berikut ini dapat diamati :
Suhu produk
Waktu/suhu untuk pemasakan, pasteurisasi, pengalengan (sterilisasi),
pendinginan (laju), penyimpanan dan pelelehan.
Bentuk dan ukuran wadah yang digunakan untuk menyimpanan makanan
yang sedang didinginkan serta kedalaman makanan yang disimpan dalam wadah
tersebut.
Tekanan, headspace (ruang kosong di bagian atas), cara pengeluaran
udara, kecukupuan penutupan wadah yang digunakan, dan seterusnya.
pH produk selama pengolahan dan pH produk akhir
Bilamana perlu aktivitas air
Pengumpulan sampel, studi kemasan yang diinokulasi dan studi ketahanan
terhadap mikroba mungkin diperlukan jika informasi tentang potensi bahaya tidak
tersedia atau untuk beberapa produk; untuk menentukan umur simpan yang
diharapkan.
5) Kajian tentang Potensi Bahaya yang Teridentifikasi dan Cara Pengendaliannya
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk menentukan potensi bahaya yang mana
sepenuhnya telah dapat dikendalikan dengan upaya pengendalian yang telah
dilakukan pada program yang telah disyaratkan sebelumnya : bangunan, peralatan,
sanitasi (pembersihan, desinfeksi dan pengendalian hama), pelatihan perseorangan
(higiene dan perilaku), penyimpanan dan transportasi.
Tahap 7. Penentuan TKK (CCP) (lihat Prinsip 2)
Penentuan CCP dilandaskan pada penilaian tingkat keseriusan dan kecenderungan
kemunculan potensi bahaya serta hal-hal yang dapat dilakukan untuk menghilangkan,
mencegah atau mengurangi potensi bahaya pada suatu tahap pengolahan. Pemilihan
CCP dibuat berdasarkan pada :
Potensi bahaya yang teridentifikasi dan kecenderungan kemunculannya dalam
hubungannya dengan hal-hal yang dapat menimbulkan kontaminasi yang tidak
dapat diterima.
Operasi di mana produk tersebut terpengaruh selama pengolahan, persiapan dan
sebagainya.
Tujuan penggunaan produk.
Contoh CCP antara lain : pemasakan, pengendalian formulasi, pendinginan, dan
sebaginya.
Pemasakan : bahan mentah yang digunakan sering kali mengandung patogen.
Dengan demikian pengawasan pada saat penerimaan mungkin merupakan titik
pengendalian kritis, tergantung pada asal dan penggunaan produk tersebut. Jika ada
satu atau lebih tahapan selama pengolahan (misalnya pemasakan) yang dapat
menghilangkan atau mengurangi sebagian besar potensi biaya biologis, maka
pemasakan akan menjadi CCP (titik pengendalian kritis).
3) Contoh Pohon Keputusan
Pohon keputusan adalah 4 pertanyaan yang disusun berturut-turut dan dirancang
untuk menilai secara obyektif CCP mana yang diperlukan untuk mengendalikan
potensi bahaya yang telah teridentifikasi. Cara penggunaan pohon keputusan serta
pemahaman yang dibuat selama analisis harus dicatat dan didokumentasikan.
Contoh pohon keputusan berikut ini diambil dari Supplement to VOLUME 1B of the
Codex Alimentarius, in Annex to CAC/RCP 1-1969, Rev. 3 (1997), yang diadopsi
oleh Codex pada Juli 1997.
Untuk mengendalikan bahaya yang sama mungkin terdapat lebih dari satu TKK pada
saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari TKK pada sistem HACCP dapat dibantu
dengan menggunakan Pohon keputusan seperti pada diagram 2, yang menyatakan
pendekatan pemikiran yang logis (masuk akal). Penerapan dari pohon keputusan
harus fleksibel, tergantung apakah operasi tersebut produksi, penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, distribusi atau lainnya.
Pohon keputusan ini mungkin tidak dapat diterapkan pada setiap TKK.
Contoh-contoh pohon keputusan mungkin tidak dapat diterapkan pada setiap situasi.
Pendekatan-pendekatan lain dapat digunakan. Dianjurkan untuk mengadakan
pelatihan dalam penggunaan pohon keputusan. Jika suatu bahaya telah teridentifikasi
pada suatu tahap di mana pengendalian penting untuk keamanan, dan tanpa tindakan
pengendalian pada tahap tersebut, atau langkah lainnya, maka produk atau proses
harus dimodifikasi pada tahap tersebut, atau pada tahap sebelum atau sesudahnya
untuk memasukkan suatu tindakan pengendalian.
Tahap 8. Penentuan batas-batas kritis (critical limits) pada tiap TKK (CCP)
(lihat Prinsip 3)
Suatu batas kritis didefinisikan sebagai : “Sebuah kriteria yang memisahkan
konsentrasi yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima”.
Batas-batas limit harus ditetapkan secara spesifik dan divalidasi apabila mungkin
untuk setiap TKK. Dalam beberapa kasus lebih dari satu batas kritis akan diuraikan
pada suatu tahap khusus. Kriteria yang seringkali digunakan mencakup
pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, Aw,
keberadaan chlorine, dan parameter-parameter sensori seperti kenampakan visual dan
tekstur.
Batas kritis bisa berupa serangkaian faktor seperti suhu, waktu (waktu minimum
paparan), dimensi fisik produk, aktivitas air, kadar air, pH, klorin yang tersedia, dan
sebaginya. Batas kritis juga bisa berupa parameter sensoris seperti kenampakan
(deteksi wadah yang rusak) dan tekstur.
Batas kritis bisa berhubungan dengan satu atau beberapa karakteristik; fisik, kimia,
mikrobiologis atau dari hasil pengamatan selama proses. Batas kritis harus ditentukan
untuk setiap Penentuan Titik Kritis (PTK). Dalam beberapa kasus batas kritis kriteria
pengukurannya antara lain suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, Aw dan
ketersediaan chlorine dan parameter yang berhubungan dengan panca indra
(penampakan dan tekstur).
Uraian Materi
1. Pendahuluan
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
pengindraan. Pengindraan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu
kesadaran atau pengenalan alat indra akan sifat-sifat benda karena adanya
rangsangan yang diterima alat indra yang berasal dari benda tersebut.
Pengindraan dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indra mendapat
rangsangan (stimulus). Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya
rangsangan dapat berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau
tidak menyukai akan benda penyebab rangsangan. Kesadaran, kesan dan sikap
terhadap rangsangan adalah reaksi psikologis atau reaksi subyektif. Pengukuran
terhadap nilai / tingkat kesan, kesadaran dan sikap disebut pengukuran subyektif
atau penilaian subyektif. Disebut penilaian subyektif karena hasil penilaian atau
pengukuran sangat ditentukan oleh pelaku atau yang melakukan pengukuran.
Bagian organ tubuh yang berperan dalam pengindraan adalah mata, telinga,
indra pencicip, indra pembau dan indra perabaan atau sentuhan. Kemampuan alat
indra memberikan kesan atau tanggapan dapat dianalisis atau dibedakan
berdasarkan jenis kesan, intensitas kesan, luas daerah kesan, lama kesan dan
kesan hedonik.
Jenis kesan adalah kesan spesifik yang dikenali misalnya rasa manis, asin..
Intensitas kesan adalah kondisi yang menggambarkan kuat lemahnya suatu
rangsangan, misalnya kesan mencicip larutan gula 15 % dengan larutan gula 35 %
memiliki intensitas kesan yang berbeda. Luas daerah kesan adalah gambaran dari
sebaran atau cakupan alat indra yang menerima rangsangan. Misalnya kesan yang
ditimbulkan dari mencicip dua tetes larutan gula memberikan luas daerah kesan
yang sangat berbeda dengan kesan yang dihasilkan karena berkumur larutan gula
yang sama. Lama kesan atau kesan sesudah “after taste” adalah bagaimana suatu
zat rangsang menimbulkan kesan yang mudah atau tidak mudah hilang setelah
mengindraan dilakukan. Rasa manis memiliki kesan sesudah lebih rendah / lemah
dibandingkan dengan rasa pahit. Rangsangan penyebab timbulnya kesan dapat
dikategorikan dalam beberapa tingkatan, yang disebut ambang rangsangan
(threshold).
Dikenal beberapa ambang rangsangan, yaitu ambang mutlak (absolute
threshold), ambang pengenalan (Recognition threshold), ambang pembedaan
(difference threshold) dan ambang batas (terminal threshold). Ambang mutlak
adalah jumlah benda rangsang terkecil yang sudah mulai menimbulkan kesan.
Ambang pengenalan sudah mulai dikenali jenis kesannya, ambang pembedaan
perbedaan terkecil yang sudah dikenali dan ambang batas adalah tingkat
rangsangan terbesar yang masih dapat dibedakan intensitas.
Kemampuan memberikan kesan dapat dibedakan berdasarkan kemampuan
alat indra memberikan reaksi atas rangsangan yang diterima. Kemampuan
tersebut meliputi kemampuan mendeteksi ( detection ), mengenali (recognition),
membedakan ( discrimination ), membandingkan ( scalling ) dan kemampuan
menyatakan suka atau tidak suka ( hedonik ). Perbedaan kemampuan tersebut
tidak begitu jelas pada panelis. Sangat sulit untuk dinyatakan bahwa satu
kemampuan sensori lebih penting dan lebih sulit untuk dipelajari. Karena untuk
setiap jenis sensori memiliki tingkat kesulitan yang berbeda- beda, dari yang
paling mudah hingga sulit atau dari yang paling sederhana sampai yang komplek
(rumit).
Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting dalam penerapan mutu.
Pengujian organoleptik dapat memberikan indikasi kebusukan, kemunduran mutu
dan kerusakan lainnya dari produk.
Syarat agar dapat disebut uji organoleptik adalah:
ada contoh yang diuji yaitu benda perangsang
ada panelis sebagai pemroses respon
ada pernyataan respon yang jujur, yaitu respon yang spontan, tanpa
penalaran, imaginasi, asosiasi, ilusi, atau meniru orang lain
Dalam penilaian bahan pangan sifat yang menentukan diterima atau tidak
suatu produk adalah sifat indrawinya.Penilaian indrawi ini ada lima tahap yaitu
pertama menerima bahan, mengenali bahan, mengadakan klarifikasi sifat-sifat
bahan, mengingat kembali bahan yang telah diamati, dan menguraikan kembali
sifat indrawi produk tersebut.
Indra yang digunakan dalam menilai sifat indrawi suatu produk adalah:
Penglihatan yang berhubungan dengan warna kilap, viskositas, ukuran dan bentuk,
volume kerapatan dan berat jenis, panjang lebar dan diameter serta bentuk bahan.
Indra peraba yang berkaitan dengan struktur, tekstur dan konsistensi. Struktur
merupakan sifat dari komponen penyusun, tekstur merupakan
sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut atau perabaan dengan jari, dan
konsistensi merupakan tebal, tipis dan halus.
Indra pembau, pembauan juga dapat digunakan sebagai suatu indikator terjadinya
kerusakan pada produk, misalnya ada bau busuk yang menandakan produk
tersebut telah mengalami kerusakan.
Indra pengecap, dalam hal kepekaan rasa, maka rasa manis, asin, asam, pahit, dan
gurih. Serta sensasi lain seperti pedas, astringent (sepat), dll.
Seleksi Panelis
Untuk mendapatkan panelis yang diinginkan, khususnya jenis panel terlatih perlu
dilakukan tahap-tahap seleksi. Syarat umum untuk menjadi panelis adalah mempunyai
perhatian dan minat terhadap pekerjaan ini, selain itu panelis harus dapat
menyadiakan waktu khusus untuk penilaian serta mempunyai kepekaan yang
dibutuhkan.
Pemilihan anggota panel perlu dilakukan untuk suatu grup panelis yang baru atau
unutk mempertahankan anggota dalam grup tersebut.
Tahap-tahap seleksi adalah sebagai berikut :
1. Wawancara
Wawancara dapat dilaksanakan dengan tanya jawab atau kuesioner yang bertujuan
untuk mengetahui latar belakang calon termasuk kondisi kesehatannya.
2. Tahap Penyaringan
Tahap ini perlu dilakukan untuk mengetahui keseriusan, keterbukaan, kejujuran, dan
rasa percaya diri. Selain itu dapat dinilai pula tingkat kesantaian, kepekaan umum dan
khusus serta pengetahuan umum calon panelis.
3. Tahap Pemilihan
Pada tahap ini dilakukan beberapa uji sensorik untuk mengetahui kemampuan
seseorang. Dengan uji-uji ini diharapkan dapat terjaring informasi mengenai kepekaan
dan pengetahuan mengenai komoditi bahan yang diujikan. Metoda yang digunakan
dalam pemilihan panelis ini dapat berdasarkan intuisi dan rasional, namun umumnya
dilakukan uji keterandalan panelis melalui analisis sekuensial dengan uji pesangan,
duo-trio dan uji segitiga atau dengan uji rangsanganyang akan diterangkan lebih lanjut
4. Tahap Latihan
Latihan bertujuan untuk pengenalan lebih lanjut sifat-sifat sensorik suatu komoditi
dan meningkatkan kepekaan serta konsistensi penilaian. Sebelum tahap latihan
dimulai, panelis perlu diberikan instruksi yang jelas mengenai uji yang akan
dilakukan dan larangan yang disyaratkan seperti larangan untuk merokok, minum
minuman keras, menggunakan parfum dan lainnya. Lama dari intensitas latihan
sangat tergantung pada jenis analisis dan jenis komoditi yang diuji.
5. Uji Kemampuan
Setelah mendapat latihan yang cukup baik, panelis diuji kemampuannya terhadap
baku atau standar tertentu dan dilakukan berulang-berulang sehingga kepekaan dan
konsistensinya bertambah baik. Setelah melewati kelima tahap tersebut di atas maka
panelis siap menjadi anggota panelis terlatih.
Laboratorium Pengujian
Untuk melakukan uji organoleptik dibutuhkan beberapa ruang yang terdiri dari
bagian persiapan (dapur), ruang pencicip dan ruang tunggu atau ruang diskusi. Bagian
dapur harus selalu bersih dan mempunyai sarana yang lengkap untuk uji organoleptik
serta dilengkapi dengan ventilasi yang cukup.
Ruang pencicip mempunyai persyaratan yang lebih banyak, yaitu ruangan yang
terisolasi dan kedap suara sehingga dapat dihindarkn komunikasi antar panelis, suhu
o
ruang yang cukup sejuk (20-25 C) dengan kelembaban 65-70% dan mempunyai
sumber cahaya yang baik dan netral, karena cahaya dapat mempengaruhi warna
komoditi yang diuji.
Ruang isolasi dapat dibuat dengan penyekat permanen atau penyekat sementara.
Fasilitas pengujian ini sebaiknya dilengkapi dengan washtafel. Sedangkan ruang
tunggu harus cukup nyaman agar anggota panel cukup sabar untuk menunggu
gilirannya. Apabila akan dilakukan uji organoleptik maka panelis harus mendapat
penjelasan umum atau khusus yang dilakukan secara lisan atau tertulis dan
memperoleh format pernyataan yang berisi instruksi dan respon yang harus diisinya.
Selanjutnya panelis dipersilakan menempati ruang pencicip untuk kemudian disajikan
contoh yang akan diuji.
Persiapan Contoh
Dalam evaluasi sensori, cara penyediaan contoh sangat perlu mendapat perhatian.
Contoh dalam uji harus disajikan sedemikian rupa sehingga seragam dalam
penampilannya. Bila tidak demikian, panelis akan mudah dipengaruhi penampilan
contoh tersebut meskipun itu tidak termasuk kriteria yang akan diuji.
Penyajian contoh harus memperhatikan estetika dan beberapa hal lainnya seperti
berikut:
1. Suhu
Contoh harus disajikan pada suhu yang seragam, suhu dimana contoh tersbuut biasa
dikonsumsi. Misalkan dalam penyajian contoh sup, maka contoh tersebut harus
disajikan dalam keadaan hangat (40-50oC). Penyajian contoh dengan suhu yang
ekstrim, yaitu kondisi dimana suhu contoh terlalu tinggi atau terlalu rendah akan
menyebabkan kepekaan pencicipan berkurang. Selain itu suhu yang terlalu tinggi atau
rendah akan mempengaruhi terhadap pengukuran aroma dan flavor.
2. Ukuran
Contoh untuk uji organoleptik juga harus disajikan dengan ukuran seragam. Untuk
contoh padatan dapat disajikan dalam bentuk kubus, segiempat atau menurut bentuk
asli contoh. Selain itu contoh harus disajikan dalam ukuran yang biasa dikonsumsi,
misalnya penyajian 5-15 gram contoh untuk sekali cicip. Contoh keju cukup disajikan
dalam bentuk kubus seberat kurang lebih 1 gram. Untuk contoh air dapat disajikan
contoh berukuran 5-15 ml dan tergantung pada jenis contohnya. Apabila akan diambil
contoh dari kemasan tertentu, misalkan produk minuman kaleng, perlu dilakukan
pencampuran dan pengadukan contoh dari beberapa kaleng
3. Kode
Penamaan contoh harus dilakukan sedemikian rupa sehingga panelis tidak dapat
menebak isi contoh tersebut berdasarkan penamaannya. Untuk pemberian nama
biasanya digunakan 3 angka arab atau 3 huruf secara acak. Pemberian nama secara
berurutan biasanya menimbulkan bias, karena panelis terbawa untuk meberikan
penilaian terbaik untuk contoh yang bernama/berkode awal ( misal 1 dan A) dan
memberikan nilai terendah untuk contoh yang berkode akhir (misal 3 atau C) pada
suatu pemberian nama/kode sampai 1,2,3 atau A,B,C
4. Jumlah contoh
Pemberian contoh dalam setiap pengujian sangat tergantung pada jenis uji yang
dilakukan. dalam uji pembedaan akan disajikan jumlah contoh yang lebih sedikit dari
uji penerimaan. selain itu kesulitan factor yang akan diuji juga mempengaruhi jumlah
contoh yang akan disajikan.
Sebagai contoh, bila akan diuji contoh dengan sifat tertentu sepaerti es krim
(dikonsumsi dalam keadaan beku), maka pemberian contoh untuk setiap pengujian
tidak lebih dari 6 contoh, Karena apabila lebih dari jumlah tersebut produk es krim
sudah meleleh sebelum pengujian. Factor lain yang harus dipertimbangkan adalah
waktu yang disediakan oleh panelis dan tingkat persediaan produk.
Penyajian contoh dengan pembanding atau baku harus dilakukan penilaian awal
terhadap pembanding, sehingga penyajian dilakukan satu persatu diawali dengan
pembanding. Penyajian contoh tanpa menggunakan pembanding dapat dilakukan
sacara acak. Sebagai contoh dapat disajikan sirup dari dua macam merek dengan
bahan baku yang sama.
Cara Penilaian
Panelis diminta untuk mengisi formulir isian tersebut dengan memberikan angka 1
(satu) apabila terdapat perbedaan dan angka 0 (nol) bila tidak terdapat perbedaan
kriteria penilaian.
Gambar 3.3. Contoh formulir isian untuk Uji Pembedaan Pasangan
Cara Analisis
Pembedaan pasangan menggunakan 2 (dua) contoh produk, sehingga peluang
setiapbentuk dipilih adalah 0,5. kemudian seluruh penilaian panelis tersebut
ditabulasikan. Penilaian lalu dibandingkan dengan tabel jumlah terkecil untuk
menyatakan suatu contoh melalui metode distribusi binomial. Pada pengujian sirup,
kriteria penilaian yang digunakan adalah rasa dan kemanisan, dan untuk keripik
adalah rasa dan kerenyahan (tabel 3.1).
Tabel 3.1. Data uji pasangan sirup dan keripik dari 15 orang panelis
Data yang terdapat pada tabel 3.1 kemudian dicocokkan dengan lampiran 1 atau lamp.
2 untuk mengetahui perbedaan antar contoh yang diujikan. Dengan menggunakan
Lampiran 1dapat diperoleh jumlah terkecil yang diperlukan untuk menyatakan beda
nyata pada kedua contoh tersebut. Untuk jumlah panelis 15 orang adalah 12 orang
pada tingkat 5%, 13 orang pada tingkat 1% dan 14 orang pada tingkat 0,1%. Suatu
produk dinyatakan beda dengan pembanding atau dengan produk lainnya bila jumlah
panelis yang menyatakan beda sesuai dengan jumlah tersebut. Berdasarkan uji yang
telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Tidak terdeteksi adanya perbedaan rasa sirup pada tingkat 5%
Kemanisan kedua sirup berbeda nyata pada tingkat 5%
Tidak terdeteksi adanya perbedaan rasa keripik pada tingkat 5%
Kegiatan belajar
Judul : Sistem manajemen mutu dan undang-undang pangan
1. Tujuan
Setelah selesai belajar peserta didik mampu :
a) Memahami manfaat sistem manajem ISO
b) Memahami primsip sistem manajem ISO
c) Memahami system manajemen ISO 22000
d) Memahami system manajemen mutu ISO 9001
e) Melakukan simulasi penerapan system manajemen ISO 22000 dan
system manajemen mutu ISO 9001
f) Memahami Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang pangan.
g) Memahami Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen
2. Materi pokok
a. Pengertian ISO
International Organization for Standardization (IOS) adalah suatu asosiasi
global yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang
beranggotakan tidak kurang dari 176 negara. Organisasi ini dinamakan ISO,
yang merupakan suatu organisasi di luar pemerintahan (Non-Government
Organization/NGO), berdiri sejak tahun 1947. Misi dari ISO adalah untuk
mendukung pengembangan standardisasi dan kegiatan-kegiatan terkait
lainnya dengan harapan untuk membantu perdagangan internasional, dan
juga untuk membantu pengembangan kerjasama secara global di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi dan kegiatan ekonomi. Kegiatan pokok ISO adalah
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang kemudian
dipublikasikan sebagai standar internasional. Istilah ISO bukan merupakan
kependekan, tapi merupakan nama dari organisasi internasional tersebut. ISO
berasal dari Bahasa Latin Greek isos yang mempunyai arti sama equal.
Awalan kata iso- juga banyak dijumpai misalnya pada kata “isometric”,
“isotherm”, “isobar”, dan sebagainya
Adanya ISO mendorong semua negara anggota untuk mengembangkan
standar, dan disepakti bahwa standar tersebut akhirnya bisa digunakan untuk
semua negara anggotanya. Dengan demikian tujuan penyusunan standar
adalah untuk memfasilitasi perdagangan, pertukaran, dan alih teknologi
melalui :
Peningkatan mutu dan kesesuaian produksi pada tingkat harga yang
layak
Peningkatan kesehatan, keamanan dan perlindungan lingkungan, dan
pengurangan limbah
Kesesuaian dan keandalan inter-operasi yang lebih baik dari berbagai
komponen untuk menghasilkan barang maupun jasa yang lebih baik
Penyederhanaan perancangan produk untuk peningkatan keandalan
kegunaan barang dan jasa
Peningkatan efisiensi distribusi produk dan kemudahan
pemeliharaannya
Pengguna (konsumen) lebih percaya pada barang dan jasa yang telah
mendapatkan jaminan sesuai dengan standar internasional. Jaminan
terhadap kesesuaian tersebut dapat diperoleh baik dari pernyataan
penghasil barang maupun melalui pemeriksaan oleh lembaga independen.
Beberapa jenis sistem manajemen ISO :
o ISO 9000 , yaitu Sistem Manajemen Mutu
o ISO 22000, yaitu Sistem Manajemen Keamanan Pangan
o ISO 14000, yaitu Sistem Manajemen Lingkungan
o ISO 17025, yaitu Sistem Manajemen Laboratorium Pengujian
o ISO 17021, yaitu Sistem Manajemen Lembaga Penilai
Kesesuaian
o ISO 27000, Yaitu Sistem Manajemen Keamanan, Keselamatan
Kerja (SMK3)
2. Acuan Normatif
Dokumen acuan berikut sangat diperlukan untuk penerapan
dokumen ini. Untuk acuan yang bertanggal, hanya edisi yang telah
disyahkan yang digunakan. Sedangkan untuk acuan yang tidak
bertanggal yang berlaku adalah edisi yang terakhir (termasuk
adanya perubahan-perubahan).
3. Istilah dan definisi
Untuk tujuan penerapan dokumen ini, berlaku istilah dan definisi yang
diberikan dalam ISO 9000:2005.
4. Sistem Manajemen Mutu
Persyaratan Klausul 4 ini terdiri atas :
Persyaratan Umum
Persyaratan Dokumentasi
Umum
Manual Mutu
Pengendalian Dokumen
Pengendalian Catatan Mutu
4.1 Persyaratan Umum
Organisasi harus : Menetapkan; Mendokumentasikan;
Menerapkan; Memelihara; Meningkatkan Secara Berkelanjutan
Sistem Manajemen Mutu sesuai dengan persyaratan Standard
Internasional ini.
Dengan cara :
Mengidentifikasi proses yang dibutuhkan;
Menetapkan urutan & interaksi proses;
Menetapkan kriteria, metode operasi & kendali;
Menyediakan sumber daya dan informasi;
Mengukur, mengawasi dan menganalisa proses;
Menerapkan tindakan untuk mencapai hasil dan
peningkatan yang berkelanjutan.
6 Manajemen Sumber
Daya
6.1 Penyediaan
Sumber Daya
Organisasi harus menyediakan sumber daya untuk :
menerapkan dan memelihara serta melakukan peningkatan
berkelanjutan efektivitas sistem manajemen mutu;
bertujuan pada kepuasan pelanggan.
Mencakup : Sumber Daya Manusia; Infrastruktur; Lingkungan Kerja
6.2.3 Infrastruktur
Organisasi harus mengidentifikasi, menyediakan dan memelihara
infrastruktur yang diperlukan termasuk antara lain :
bangunan; ruang kerja;
peralatan proses;
peralatan pendukung (transportasi & komunikasi)
6.2.4 Lingkungan Kerja
Organisasi harus menentukan dan mengelola faktor-faktor
lingkungan kerja yang diperlukan untuk mencapai pemenuhan
produk.
7. Realisasi Produk
7.1 Perencanaan Proses
Mencakup penetapan :
Sasaran Mutu dan Persyaratan untuk Produk
Kebutuhan untuk menetapkan proses, dokumen, dan
khususnya pada produk
Kebutuhan pemeriksaan, pengesahan, pengawasan,
fasilitas inspeksi dan tes serta kriteria penerimaan
produk
Catatan Mutu yang diperlukan.
7.4 Pembelian
Produk yang dibeli harus dipastikan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan
Supplier/Pemasok harus diseleksi dan dievaluasi
Kriteria seleksi & evaluasi supplier harus ditetapkan
Catatan Hasil evaluasi/seleksi harus dipelihara
Informasi atas produk yang akan dibeli harus jelas
dan dipastikan cukup sebelum diberikan ke supplier
Produk yang dibeli harus diperiksa/diinspeksi untuk
memastikan memenuhi persyaratan.
8.5 Perbaikan
8.5.1 Peningkatan Berkelanjutan
Dilakukan melalui penggunaan Kebijakan Mutu, Sasaran Mutu,
Hasil Audit, Analisa Data, Tindakan Koreksi & Pencegahan dan
Tinjauan Manajemen.