DISUSUN OLEH :
JURUSAN GIZI
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jaminan mutu dan keamanan pangan terus berkembang sesuai dengan persyaratan
konsumen, Keamanan pangan merupakan persyaratan utama dan terpenting dari seluruh
parameter mutu pangan yang ada. Seberapapun tinggi nilai gizi suatu bahan pangan atau
makanan, penampilannya baik , dan rasa yang lezat (dapat diterima), tetapi apabila tidak aman,
maka dapat diartikan makanan tersebut tidak bisa dianggap lagi bernilai tinggi.
Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari
perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen dalam hal ini
adalah pasien. Tujuan dari penyelenggaraan makanan rumah sakit ini adalah menyediakan
makanan yang kualitasnya baik dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan serta pelayanan yang
layak dan memadai bagi pasien. (Depkes, 2003).
Mutu dan keamanan pangan adalah salah satu aspek paling penting dalam suatu kegiatan
pelayanan gizi bagi masyarakat, yang dalam hal ini khususnya adalah pasien. Keamanan pangan
adalah jaminan bahwa makanan tidak akan mengakibatkan bahaya bagi konsumen ketika itu
dipersiapkan / dimakan menurut pemakaian yang seharusnya (Codex, 1997).
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan berbagai benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan. Masalah keamanan pangan masih menjadi masalah
penting dalam bidang pangan di Indonesia, dan perlu mendapat perhatian khusus dalam program
pengawasan pangan. Penyakit dan kematian yang ditimbulkan melalui makanan di Indonesia
sampai saat ini masih tinggi, walaupun prinsip-prinsip pengendalian untuk berbagai penyakit
tersebut pada umumnya telah diketahui. Pengawasan pangan yang mengandalkan pada uji
produk akhir tidak dapat mengimbangi kemajuan yang pesat dalam industri pangan, dan tidak
dapat menjamin keamanan makanan yang beredar di pasaran. Akan tetapi hal-hal tersebut dirasa
tidak memberikan kontribusi berarti untuk mengurangi kasus permasalahan keamanan pangan.
Oleh karena itu dikembangkan suatu sistem jaminan keamanan pangan yang disebut
Hazard Analysis Critical Control Point / HACCP yang merupakan suatu tindakan preventif yang
efektif untuk menjamin keamanan pangan. Sistem ini mencoba untuk mengidentifikasi berbagai
bahaya yang berhubungan dengan suatu keadaan pada saat pembuatan, pengolahan atau
penyiapan makanan, menilai resiko-resiko yang terkait dan menentukan kegiatan dimana
prosedur pengendalian akan berdaya guna.
Sistem HACCP ini akan membantu dalam perencanaan berbagai kegiatan keamanan
makanan dan pendidikan kesehatan yang memusatkan perhatian pada berbagai bahaya yang
berhubungan dengan jenis makanan yang dikonsumsi dan makanan yang diolah dan disiapkan.
A. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur pengolahan sup sosis ayam?
2. Bagaimana penerapan HACCP pada hidangan sup sosis ayam?
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Melakukan pengawasan dan menetapkan Critical Control Point (CCP) dengan
prinsip HACCP dalam proses produksi makanan untuk menjamin keamanan pangan
produk sup sosis ayam.
2. Tujuan Khusus
- Diketahuinya uraian deskripsi produk sup sosis ayam.
- Diketahuinya bahan-bahan yang digunkan untuk pengolahan sup sosis ayam.
- Diketahuinya analisis bahaya dan kategori resiko pengolahan sup sosis ayam.
- Diketahuinya diagram alir proses pengolahan produk sup sosis ayam.
- Diketahuinya CCP Decision Tree untuk bahan resep atau formula dan tahapan
proses pengolahan sup sosis ayam.
- Diketahuinya rencana penerapan HACCP (HACCP Plan Matrik) untuk
pengaolahan sup sosis ayam.
- Diketahuinya rencana tindakan koreksi HACCP untuk pengolahan sup sosis
ayam.
- Diketahuinya rencana verikifikasi HACCP untuk pengolahan sup sosis ayam.
C. Manfaat
1. Bagi Instalasi Gizi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Melalui penetapan HACCP, pihak instalasi gizi dapat mengetahui mutu dari produk
yang dianalisis. Selain itu dengan menerapkan HACCP, diharapkan dapat menjadi
masukan bagi instalasi gizi untuk dapat memberikan jaminan mutu pelayanan
makanan yang aman bagi konsumen.
2. Bagi Mahasiswa
Kegiatan ini diharapkan menjadi sarana bagi mahasiswa untuk dapat menerapkan
teori yang telah diperoleh selama perkuliahan. Dengan demikian, mahasiswa dapat
menjadi terampil dalam menerapkan HACCP pada suatu produk.
3. Bagi Konsumen
Penerapan HACCP dapat memberikan jaminan kepada konsumen (pasien, pegawai,
dokter) yang mendapatkan makanan dari Instalasi Gizi mengenai keamanan pangan
terhadap makanan yang disajikan oleh pihak Rumah Sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis and Critical Control
Points, HACCP) didefinisikan sebagai suatu pendekatan ilmiah, rasional, dan sistematik
untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengendalikan bahaya. Tujuan dari HACCP adalah
untuk mencegah bahaya-bahaya yang sudah diketahui (bahaya biologi, kimia, dan bahaya
lisik) dan mengurangi risiko terjadinya bahaya dengan melakukan pengendalian pada setiap
titik kritis dalam proses produksi (dari sejak tahap produksi bahan baku, pengadaan dan
penanganan bahan baku, pengolahan, distribusi hingga konsumsi produk jadi). HACCP ini
merupakan sebuah sistem jaminan keamanan pangan dalam industri makanan yang sudah
dikenal dan berlaku secara internasional.
C. Prinsip-Prinsip HACCP
Dari ke 12 tahapan yang disebutkan di atas, prinsip HACCP pada dasarnya terdiri dan 7
tahapan berikutnya, yaitu tahapan ke 6 sampai dengan tahapan 12 sebagai berikut :
Prinsip 1. Analisis Bahaya
Langkah pertama dalam melakukan analisis bahaya adalah menentukan dan memastikan
bagan alir proses yang akan diterapkan. Setelah aliran proses telah dikonfirmasi, tim HACCP
akan mengidentifikasi dan menilai bahaya yang berhubungan dengan setiap Iangkah dari proses.
Bahaya dalam keamanan pangan adalah perihal biologi, kimia dan fisika yang dapat
membahayakan konsumen.
Dalam analisis bahaya tersebut harus diidentifikasi dan dicatat hal-hal sebagai berikut:
Bahaya aktual dan potensial yang terkait dengan setiap tahapan dalam proses
Potensi sumber bahaya (bahaya biologis, kimia dan fisika) pada setiap tahapan
proses. Apakah tahapan proses tertentu dapat menimbulkan potensi bahaya, atau
meningkatkan potensi bahaya. Misalnya berasal dan peralatan yang kurang bersih,
pekerja atau kontaminasi dari bahan baku, lampu atau botol kaca yang pecah,
kebocoran pipa, cipratan air kotor dan sebagainya. Atau mungkin bakteri patogen
dapat berkembang biak pada tahap proses ini ke tingkat yang mernbahayakan?
Pertimbangkan suhu produk, waktu, dan lain-lain.
Potensi sumber bahaya (bahaya biologis, kimia dan fisika) pada setiap bahan
(bahan baku, bahan tambahan, bahan pembantu) yang digunakan.
Tingkat kemungkinan terjadinya bahaya, misalnya Sangat mungkin terjadi, bisa
terjadi, jarang terjadi, Sangat jarang terjadi.
Tingkat keparahan bahaya (efek kesehatan) apabila ancaman bahaya tersebut
terjadi.
Rincian bahaya-bahaya yang sulit dikontrol atau tidak dapat dikontrol secara
memadai.
Kondisi-kondisi yang dapat mendukung kelangsungan hidup atau perbanyakan
organisme atau terbentuknya toksin tertentu pada setiap tahapan proses
Kondisi-kondisi tertentu yang dapat menyebabkan kontaminasi atau pembentukan
senyawaan kimia berbahaya.
Langkah-langkah pengendalian apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah
atau mengurangi bahaya ke tingkat yang dianggap aman.
Prinsip 2. Penentuan titik-titik kendali kritis atau Critical Control Points (CCPs).
Dengan menggunakan hasil identifikasi bahaya yang telah dilakukan pada Prinsip 1,
maka selanjutnya adalah mengidentifikasi titik-titik atau tahapan-tahapan proses mana saja yang
dapat dikontrol guna mencegah, menghilangkan, atau mengurangi terjadinya bahaya-bahaya
tersebut, sehingga dihasilkan produk yang aman. Dari hasil identifikasi ini, maka akan
didapatkan apa yang disebut Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (CCP).
Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (CCP) dapat didefinisikan sebagai titik,
atau tahapan atau prosedur dalam pengolahan makanan yang dapat dikendalikan sehingga
bahaya (hazard) dapat dicegah atau diturunkan pada tingkat yang dianggap aman.
Untuk menetapkan apakah suatu tahapan proses dapat dikategorikan sebagai titik kritis atau
bukan, maka digunakan Bagan Logika atau Pohon Keputusan (Decision Tree) sebagai berikut:
Selanjutnya hasil dari identifikasi Titik Kendali Kritis (CCP) tersebut kemudian
dirangkum dalam Tabel Identifikasi CCP seperti contoh pada Tabel.
Prinsip 3.Penetapan Batas Kritis
Batas kritis adalah nilai maksimum atau nilai minimum bahaya biologi, kimia atau fisik
yang teridentifikasi yang harus dikendalikan pada titik kritis untuk mencegah, menghilangkan,
atau mengurangi bahaya ke tingkat yang dianggap aman.
Nilai batas kritis harus memenuhi persyaratan peraturan pemerintah dan atau standar
perusahaan yang didukung dengan data ilmiah analisis risiko (misalnya persyaratan suhu dan
waktu untuk proses termal seperti pasteurisasi. memasak, retort, dan sebagainya).
Sumber informasi tentang batas kritis dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti
misalnya dari peraruran pemerintah, publikasi ilmiah atau hasil penelitian, atau dari para ahli
yang memiliki kompetensi yang relevan.
Setelah batas kritis ditetapkan, maka selanjutnya di rangkum dalam Tabel HACCP seperti
contoh berikut:
Contoh Ringakasan Batas Kritis dalam Tabel HACCP
Contoh Ringkasan Sistem Pengawasan dan Pengendalian CCP di dalam Tabel HACCP
Prinsip 5. Menetapkan tindakan perbaikan yang harus dilakukan (apabila CCP tertentu
tidak dalam kendali)
Adakalanya suatu tahapan proses tertentu yang kritis ternyata tidak dalam pengendalian
yang mnemadai sehingga produk yang dihasilkan tidak dapat dinyatakan aman. Untuk
mengantisipasi kejadian yang tidak dikehendaki tersebut, maka harus dibuatkan prosedur
tindakan perbaikan (corrective action).
Tindakan perbaikan harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Menentukan penempatan dan perlakuan khusus terhadap produk yang tidak memenuhi
syarat (non-compliance) tersebut agar tidak bercampur dengan produk yang normal.
2. Memperbaiki penyebab kesalahan untuk mencegah terjadinya kembali
3. Mernastikan bahwa setelah tindakan perbaikan CCP benar-benar terkendali (dengan
memeriksa kembali bahwa proses atau produk pada CCP tersebut memenuhi syarat batas
kritis).
4. Membuat catatan seluruh tindakan perbaikan yang dikerjakan.
Prinsip 7. Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya.
Dokumentasi dan pencatatan pelaksanaan HACCP adalah bagian penting dari sistern
HACCP. Sesuai dengan prinsip-prinsip HACCP, maka dokumentasi sistem HACCP harus
mencakup dokumentasi mengenai prosedur dan tindakan yang berkaitan dengan prinsip 1 sampai
dengan prinsip 7 yaitu sebagai berikut:
D. Analisis Produk
1. Sosis ayam
Sosis merupakan makanan yang dibuat dari daging maupun ikan yang telah
dicincang, dihaluskan, diberi bumbu-bumbu, lalu dimasukkan ke dalam pembungkus
berbentuk bulat panjang (casing) berupa usus hewan atau pembungkus buatan. Sosis
dapat dikonsumsi dengan memasak, tanpa dimasak, dengan atau tanpa diasap. Daging
segar dapat diolah oleh konsumen menjadi produk olahan daging yang siap saji,
seperti sosis (Prayitno, dkk., 2009).
Sosis tergolong produk sistem emulsi. Stabilitas emulsi dapat dicapai bila globula
lemak yang terdispersi dalam emulsi diselubungi oleh emulsifier (protein daging)
yang dimantapkan oleh binder dan filler. Permasalahan yang sering kali timbul dalam
pembuatan sosis ialah pecahnya emulsi, tekstur yang meremah (tidak kompak),
terlalu keras maupun terlalu lembek, dan daya ikat air yang rendah (Wulandari, dkk.,
2013).
Sosis yang bermutu baik adalah produk sosis yang telah memenuhi standar mutu
secara kimia, secara organoleptik sosis harus kompak, kenyal atau bertekstur empuk,
serta rasa dan aroma yang baik sesuai dengan bahan baku yang digunakan. Kualitas
sosis sebagai produk daging ditentukan oleh kemampuan saling mengikat antara
partikel daging dan bahan-bahan yang ditambahkan (Koapaha, dkk., 2011). Syarat
mutu sosis daging dalam SNI 01-3820-1995 yaitu: Tabel 1. Syarat mutu sosis
2. Buncis
Buncis atau bahasa latinnya yang disebut (Phaseolus vulgaris L.) merupakan
sejenis polong-polongan yang dapat dimakan. Ciri-ciri tanaman buncis ini adalah
warnanya agak hijau muda dan suram, permukaan kulitnya agak kasar, biji yang ada
didalam buncis belum menonjol.
3. Bunga kol
Bunga kola tau kembang Kol adalah tanaman sayuran yang termasuk
dalam suku kubis-kubisan atau Brassicaceae. Cara terbaik dalam mengolahnya adalah
dengan cara dikukus. Hal ini bertujuan agar segala vitamin dan nutrisi penting di
dalamnya tidak hilang selama proses pemasakan. Kembang kol juga merupakan
sumber penting protein, tiamin, riboflavin, niasin, kalsium, besi, magnesium, fosfor,
dan zink, serta sangat baik sebagai sumber serat makanan, vitamin B6, asam
folat, asam pantotenat, dan kalium. Sayur ini mengandung sedikit lemak jenuh, dan
sangat sedikit kolesterol.
4. Wortel
Wortel dapat diolah ke dalam berbagai macam bentuk, misalnya jus, makanan ringan,
hingga dimasak bersamaan dengan sayuran lainnya. Namun yang terbaik dari wortel
adalah kandungan nutrisinya yang tinggi serta manfaatnya bagi kesehatan tubuh.
5. Bumbu segar
Kondisi penyimpanan yang baik penting untuk mempertahankan mutu bumbu
dan rempah selama penyimpanan. Kemasan yang digunakan harus dapat melindungi
mereka dari oksidasi agar flavor dan warna dapat dipertahankan. Tergantung pada
jenis rempah, proses dan kondisi kemasan dan penyimpanannya, rempah kering utuh
dan ekstrak bisa disimpan antara 2 sampai 4 tahun, rempah kering giling berkisar dari
6 bulan sampai dua tahun, rempah daun kering dari 3 bulan sampai 2 tahun. Bumbu
(campuran rempah dan seasoning) bisa bertahan 1 2 tahun tergantung pada
inggridien dan aditif yang ditambahkan.
Untuk dapat mempertahankan mutu semaksimal mungkin, maka teknik
penyimpanan bumbu dan rempah adalah sebagai berikut:
1. Simpan di ruang yang gelap, kering dan sejuk (20oC, kelembaban 60%).
Penyimpanan di suhu sejuk akan memperlambat proses penguapan komponen
flavor sehingga flavor dapat dipertahankan lebih lama. Beberapa rempah
memerlukan suhu penyimpanan yang lebih rendah (0 7oC) untuk mencegah
pertumbuhan kapang, menghambat kerusakan warna, dan mencegah ketengikan.
Secara umum, makin rendah suhu maka reaksi penurunan mutu akan berlangsung
lebih lambat.
2. Hindarkan dari panas (oven, kompor atau sumber panas lainnya), cahaya (jauhkan
dari jendela atau hindari penggunaan kemasan transparan) dan uap air (uap yang
terjadi karena pemasakan yang dilakukan di dekat wadah penyimpanan bumbu
dan rempah, atau karena menggunakan sendok basah untuk mengambil bumbu).
Cahaya dan panas akan menyebabkan hilangnya aroma, flavor dan warna bumbu
dan rempah. Keberadaan uap air berpotensi untuk memicu pertumbuhan mikroba
pada rempah segar dan kering; dan menyebabkan terjadinya pengempalan
(caking) pada bumbu dan rempah kering.
3. Simpan bumbu dan rempah di dalam wadah yang kedap udara. Jaga agar
kemasan tetap tertutup rapat. Kontak dengan udara akan mempercepat hilangnya
flavor. Selain itu, kemasan yang tidak tertutup rapat berpotensi untuk diserang
oleh serangga dan binatang pengerat yang akan merusak mutu dari bumbu dan
rempah.
4. Jangan menyimpan bumbu dan rempah dalam wadah besar di dalam freezer.
Proses pembekuan berulang (karena kemasan berulangkali keluar masuk freezer)
akan menyebabkan kondensasi dan hilangnya komponen flavor.
6. Garam
Garam dapur adalah sejenis mineral yang lazim dimakan manusia. Bentuknya
kristal putih, seringkali dihasilkan dari air laut. Biasanya garam dapur yang tersedia
secara umum adalah Natrium klorida (NaCl). Konsentrasi garam 10-12% akan dapat
menghambat mikroorganisme patogen, termasuk Clostridium botulinum dengan
pengecualian Streptococcus aureus. Walaupun demikian beberapa mikroorganisme
(Leuconostoc dan Lactobasilus) dapat tumbuh cepat dengan adanya garam dan
terbentuknya asam untuk menghambat mikroorganisme yang tidak dikehendaki. Garam
yang mempengaruhi aktivitas air (Aw) dapat mengendalikan pertumbuhan
mikroorganisme.
Bahaya yang kemungkinan terdapat pada garam adalah bahaya fisik, kimia dan
mikrobiologi. Bahaya fisik meliputi kotoran seperti debu, pasir, atau kerikil kecil, dan
bahaya ini dapat diminimalisir dengan cara sortasi garam berdasarkan spesifikasi yang
telah ditentukan. Sedangkan untuk bahaya mikrobiologi adalah adanya bakteri halofilik
yang tahan pada suasana garam tinggi, bahaya ini dapat dicegah dengan cara disimpan
pada tempat kering dan tertutup.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Gizi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, Jl
Pasteur No. 38 Bandung, 40161.
B. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan hari Sabtu, tanggal 16 September 2017 dimulai pada pukul 07.00
WIB.
C. Prosedur Pengamatan
1. Menyiapkan daftar tilik atau ceklis yang akan diamati.
2. Melakukan pengamatan pada penerimaan bahan makanan.
3. Melakukan pengamatan pada persiapan bahan makanan dan bumbu.
4. Melakukan pengamatan pada proses pengolahan.
5. Melakukan pengamatan pada proses distribusi makanan di dapur utama.
6. Melakukan pengamatan pada transportasi makanan ke pasien.
7. Melakukan pengamatan pada pemorsian di pantry.
8. Melakukan pengamatan saat proses penyajian makanan kepada pasien.
D. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer adaalah data yang dikumpulkan berupa hasil observasi dan hasil
wawancara dengan petugas terkait
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah deskripsi hidangan sup sosis ayam, bahan
makanan dan bumbu yang digunakan, serta prosedur pengolahan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dari hasil pengamatan atau observasi langsung yang dilakukan
selama mengikuti proses produksi sup sosis ayam. Data tersebut berupa kemungkinan adanya
bahaya fisik, kimia, biologis, suhu dan waktu pada proses penerimaan, persiapan, pengolahan
dan distribusi hingga penyajian kepada konsumen.
Data sekunder diperoleh dari standar yang telah ada di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Data tersebut berupa standar resep, standar bumbu, data konsumen sup sosis ayam dan
standar operasional prosedur pengolahan hewani.
F. Sasaran
Sasaran dari penelitian ini adalah penyelenggaraan hidangan sup sosis ayam yang
merupakan menu ke VI pada daftar menu makan siang makanan pasien non diet & dokter-
pegawai yang disajikan dan dikelola oleh ahli gizi.
BAB IV
I. TEAM HACCP
Adapun team HACCP untuk hidangan hati bumbu kecap adalah sebagai berikut :
No Team Nama Tugas
1. Ketua Felin Septia - Menentukan dan mengontrol lingkup
Novalia HACCP
- Mengarahkan disain dan implementasi
sistem HACCP
- Mengkoordinasikan dan mengetuai
pertemuan-pertemuan tim.
- Memastikan apakah sistem HACCP yang
dibentuk telah memenuhi ketentuan
Codex, peraturan-peraturan atau standar
yang berlaku, dan efektivitas dari sistem
HACCP yang akan dibuat.
- Memelihara dokumentasi atau rekaman
HACCP.
- Memelihara dan mengimplementasikan
hasil-hasil audit internal sistem HACCP.
- Mempunyai keahlian komunikasi dan
kepemimpinan, serta mempunyai
perhatian yang tinggi terhadap sistem yang
dibuat.
2. Anggota Febriani - Mengorganisasi dan mendokumentasikan
studi HACCP dalam pabrik yang
bersangkutan.
- Mengadakan kaji ulang (pengkajian)
terhadap semua penyimpangan dari batas
kritis.
- Melakukan internal audit HACCP Plan
(Rencana HACCP atau Rencana Kerja
Jaminan Mutu).
- Mengkomunikasikan operasional
HACCP.
Target yang ingin dicapai dalam penerapan sup sosis ayam yaitu untuk mengendalikan
kemungkinan bahaya yang terjadi mulai dari proses penerimaan bahan makanan, persiapan,
pengolahan hingga distribusi baik itu dari bahaya biologi, mikrobiologi, kimia maupun fisik,
mencegah pemborosan biaya atau kerugian, meningkatkan jaminan keamanan produk dan
meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen.
Proses pengolahan :
angkat
IV. INGREDIENT
1. Sosis ayam 10 gr
Spesifikasi : terbuat dari daging ayam, terselubung segar, kemasan plastik vaccum
pack, berat 250 gr isi 6 buah per bks atau berat 500 gr isi 12 buah per bungkus,
izin kemenkes RI, halal, tercantum tanggal kadaluarsa minimal 6 bulan.
2. Wortel 40 gr
Spesifikasi : segar, residu peptisida sesuai dengan regulasi yang berlaku, muda,
bersih, tnpa batang, 8-10 bh/kg.
3. Buncis 20 gr
Spesifikasi : segar, residu peptisida sesuai dengan regulasi yang berlaku, muda,
bersih, tidak berulat.
4. Bunga kol 20 gr
Spesifikasi : segar, residu peptisida sesuai dengan regulasi yang berlaku, muda,
bersih, tidak berulat, tanpa bonggol, tanpa daun.
5. Bawang bombay 1 gr
Spesifikasi: kering, bersih, segar, merata, tidak busuk, utuh.
6. Bawang putih 1 gr
Spesifikasi : kering, bersih, tua, besar, utuh, segar, tanpa kulit, tidak busuk.
7. Daun bawang 1 gr
Spesifikasi : segar, muda, bersih, tidak berulat.
8. Saledri 1 gr
Spesifikasi : segar, muda, bersih, tidak berulat, hijau.
9. Merica 1 gr
Spesifikasi : kering, bersih, utuh
10. Garam 1,5 gr
Spesifikasi : garam halus, murni, mengandung KIO3 30-80 ppm. Warna putih,
kering, bersih. Kemasan bungkus pabrikasi isi 250 gr. Kemasan utuh, tercantum
tanggal kadaluarsa minimal 6 bulan.
11. Tomat sayur 5 gr
Spesifikasi : segar, residu peptisida sesuai dengan regulasi yang berlaku, tua,
masak, merah, tidak memar, 10-14 bh/kg.
12. Tulang 5 gr
Spesifikasi : segar, bersih, terpotong-potong 5-10 cm, bagian tulang/beef bone.
sosis ayam. Dalam pembuatan diagram dicantumkan bahan baku, perlakuan, dan proses.
Penerimaan
pencucian
Pencampuran bumbu
menjadi bumbu sup 2
penumisan
pemasakan
Ya Tidak
Bukan CCP
2. Tahap proses
P3. Apakah tahap ini khusus ditujukan untuk
menghilangkan / mengurangi bahaya sampai batas
aman
Tidak Ya CCP
P4. Apakah kontaminasi bahaya dapat terjadi /
meningkat sampai melebihi batas
Ya Tidak
- Sayuran Biologi V V - V V
Fisik V - - V -
V
- Bahan- Mikrobiologi V V - V
bahan Fisik V - - - -
kering
pencucian Mikrobiologi V V - - - -
Pemotongan Mikrobiologi V V - -
sayuran
Penghalusan Mikrobiologi V V - - - -
bumbu
Pemasakan Fisik
- Sup sosis Mikrobiologi V V - - - -
ayam
V V - - V
Keterangan :
P1 Apakah bahan mentah mengandung bahaya sampai pada tingkat yang berbahaya
P2 Apakah pengolahan/penanganan selanjutnya (termasuk cara penggunaan oleh konsumen)
dapat menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai pada tingkat yang aman.
P3 Apakah formulasi/ komposisi atau struktur produk antara atau produk akhir penting untuk
mencegah meningkatnya bahaya sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima.
P4 Mungkinkan kontaminasi ulang terjadi? Mungkinkah bahaya akan meningkat?
P5 Apakah pengolahan/ penanganan (termasuk penggunaan oleh konsumen) dapat
menghilangkan bahaya?
P6 Apakah tahap proses ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai
batas aman?