Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Bandeng (Chanos chanos)


Ikan bandeng (Chanos chanos) adalah ikan laut dari golongan famili
Chanidae dan ordo Malacopterygii. Menurut Dynnar (2011) klasifikasi ikan
bandeng adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Ordo : Malacopterygii
Famili : Chanidae
Genus : Chanos
Spesies : Chanos chanos
Ikan bandeng tersebar di perairan tropis indo-pasifik dan terpusat di wilayah
Indonesia dan Filiphina. Ikan bandeng tidak mendiami area samudra pasifik yang
terpengaruh oleh arus dingin, namun banyak terdapat di area yang terpengaruh arus
hangat. Ikan bandeng digolongkan sebagai ikan euryhialine atau ikan yang dapat
beradaptasi dalam kisaran salinitas yang cukup luas yaitu 0-158 ppt (Ghufran dan
Kordi, 2011).
Ciri-ciri ikan bandeng yaitu berbentuk agak panjang, pipih, dan sisik kecil-
kecil. Ikan bandeng mempunyai sirip ekor bercagak, bagian punggung berwarna
keperakan, bagian perut keperakan, dan sirip berwarna gelap (Hartatik, 2007).
Selain itu, menurut Murtidjo (2002) ikan bandeng memiliki karakteristik tubuh
langsing berbentuk seperti peluru dengan sirip ekor bercabang. Hal ini menunjukkan
bahwa ikan bandeng merupakan perenang yang cepat. Tubuh ikan bandeng
berwarna putih keperakan dengan daging berwarna putih susu. Ikan bandeng yang
hidup di alam dapat tumbuh hingga mencapai ukuran satu meter, sedangkan yang
dibudidayakan maksimal mencapai ukuran 0,5 meter.

5
Menurut Hafiludin (2015) Ikan bandeng mampu beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan seperti suhu, pH dan kekeruhan air, serta tahan terhadap
seragam penyakit. Untuk komposisi proksimat ikan bandeng segar yang berada
dalam air tawar maupun air payau terdapat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi Proksimat Ikan Bandeng Segar
Komposisi Proksimat Air Tawar Air Payau
Air (%) 75.857 70.787
Abu (%) 2.812 1.405
Protein (%) 20.496 24.175
Lemak (%) 0.721 0.853
Karbohidrat (by different) (%) 0.114 2.780
Sumber: Hafiludin (2015)

Ikan bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu jenis ikan yang banyak
dibudidayakan di Indonesia. Ikan bandeng saat ini menjadi salah satu komoditas
penting karena harganya terjangkau, tahan penyakit, memiliki cita rasa yang khas,
kandungan gizinya yang cukup beragam, dan dapat dibudidayakan di berbagai
habitat, baik air tawar, laut, maupun payau. Hal inilah yang membuat permintaan
akan komoditas ini selalu meningkat tiap tahunnya. Total produksi ikan bandeng
pada tahun 2014 mencapai 631.125 ton atau 14,74% dari total keseluruhan produksi
ikan budidaya (Fauzi, 2016).

2.2. Otak-Otak Bandeng


Berdasarkan SNI 8375:2017 otak-otak bandeng adalah produk olahan hasil
perikanan dengan bahan baku ikan bandeng (Chanos chanos) yang diolah dari hasil
lumatan daging berbumbu dan diisikan kembali ke dalam selubung (selongsong)
kulit bandeng dengan atau tanpa pelapisan daging berbumbu. Setelah mengalami
proses pengukusan produk diproses dengan atau tanpa proses penggorengan atau
pemangganganatau pengovenan, kemudian pendinginan pada suhu kamar,
pengemasan, dan penyimpanan.
Menurut Faizatus (2017) kandungan gizi otak-otak bandeng sangat
bergantung pada komposisi produk yang pada setiap produsen akan berbeda-beda
sesuai dengan resep masing-masing. Kandungan gizi otak-otak bandeng

6
berdasarkan komposisi otak-otak bandeng produsen lokal Yogyakarta terdapat pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Otak-otak Bandeng
Kandungan Gizi Kadar (%)*
Protein 20.45
Lemak 8.15
Kadar Air 45.43
Abu 3.16
Amilum 2.49
Fosfor (P) 119.26 mg
*berdasarkan Komposisi Otak-otak Bandeng Produsen Lokal Yogyakarta
Sumber: Faizatus, 2017

2.3 HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)


HACCP adalah singkatan dari Hazard Analysis Critical Control Point yang
digunakan untuk menggambarkan analisis bahaya dan titik kendali kritis. Konsep
HACCP adalah pendekatan sistematis untuk manajemen keamanan pangan
berdasarkan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya yang
mungkin terjadi pada setiap tahap dalam rantai pasokan makanan dan dilakukan
kontrol yang akan mencegah terjadinya bahaya. HACCP sangat logis dan mencakup
semua tahap produksi pangan dari tahap produsen ke konsumen, termasuk semua
kegiatan pengolahan (Martimore and Carol Wallace, 2001). Pendekatan HACCP
dianggap lebih memberi jaminan keamanan pangan jika dibandingkan dengan
jaminan keamanan konvensional yang berbasiskan pengujian produk antara atau
produk akhir (Dewanti dan Hariyadi, 2013).
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dikembangkan untuk
menjadi panduan penerapan bagi bidang usaha adalah suatu pendekatan untuk
mengenal dan mengukur bahaya yang paling spesifik sebagai upaya pencegahan dan
pengawasan pengolahan makanan untuk menjamin keamanan makanan. HACCP
merupakan suatu alat yang digunakan untuk menilai tingkat bahaya, menduga
perkiraan risiko, menetapkan ukuran yang tepat dalam pengawasan, dengan
menitikberatkan pada pencegahan dan pengendalian proses daripada pengujian
produk akhir yang biasanya dilakukan dalam cara pengwasan tradisional (Thaheer,
2005).

7
Secara umum terdapat tujuh prinsip dasar yang dikembangkan dalam
HACCP. Ketujuh prinsip dasar sebagai berikut :
Prinsip 1: Analisis bahaya/penetapan bahaya (bahan/kondisi bahaya) dan
resiko penetapan bahaya, serta risiko yang berhubungan dengan bahan pangan
mulai dari pemeliharaan, penanganan, pemilihan bahan baku dan bahan
tambahan, penyimpanan bahan, pengolahan, distribusi, dan konsumsi.
Prinsip 2: Menetapkan titik kendali kritis (CCP/Critical Control Point), yang
diperlukan untuk mengendalikan bahaya yang telah diidentifikasi.
Prinsip 3: Menetapkan batas kritis (Critical Limit), yang harus dipenuhi untuk
setiap CCP yang telah ditetapkan.
Prinsip 4: Menetapkan prosedur pemantauan untuk setiap CCP dan batas
kritis, termasuk pengamatan, pengukuran, dan pencatatan.
Prinsip 5: Menentukan tindakan koreksi yang harus dilakukan jika terjadi
penyimpangan terhadap CCP dan batas kritis dari hasil pemantauan.
Prinsip 6: Menetapkan prosedur penyusunan sistem pencatatan yang efektif
sebagai dokumentasi dari rancangan HACCP.
Prinsip 7: Menetapkan prosedur verifikasi untuk meyakinkan, bahwa sistem
HACCP sudah dilakukan secara efektif.
Penyusunan rencana HACCP dilakukan dalam 12 langkah atau tahap, namun dari
keduabelas tahapan tersebut terdapat 7 tahapan berikutnya yang menjadi prinsip
penerapan HACCP yaitu tahapan 6 sampai dengan tahapan 12. Tahapan penyusunan
rencana HACCP tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pembentukan tim HACCP
2. Deskripsi produk
3. Identifikasi rencana penggunaan
4. Penyusunan bagan alir
5. Konfirmasi bagan alir lapangan
6. Pencatatan semua bahaya potensial yang berkaitan dengan setiap tahapan
(Prinsip 1)
7. Penentuan titik kendali kritis atau CCP/Critical Control Point (Prinsip 2)

8
8. Penentuan batas-batas kritis atau (CL/Critical Limits) pada tiap TKK atau
CCP (Prinsip 3)
9. Penyusunan sistem pemantauan untuk setiap TKK atau CCP (Prinsip 4)
10. Penetapan tindakan perbaikan (Prinsip 5)
11. Penetapan prosedur verifikasi (Prinsip 6)
12. Penetapan dokumentasi dan pencatatan (Prinsip 7)

2.3.1 Analisis Bahaya dan Resiko


Menurut Sari (2018) dalam kajian HACCP, analisis bahaya yang dilakukan
dengan cara mendaftarkan semua bahaya yang mungkin terdapat dalam bahan baku
dan tahap proses dengan mengacu pada referensi yang terkait misalnya jurnal, buku,
dokumen standarisasi dan hasil penelitian lainnya. Setiap bahaya yang
teridentifikasi kemudian ditabulasi ke dalam sebuah tabel yang disebut HACCP
checksheet yang berisi tentang sumber bahaya, tingkat resiko, dan tindakan
pencegahannya. Tingkat resiko ditentukan berdasarkan seberapa besar akibat yang
akan ditimbulkan oleh suatu bahaya dan seberapa sering bahaya tersebut mungkin
terjadi (Widaningrum dan Winarti, 2008). Likely adalah kemungkinan munculnya
bahaya, Severity adalah tingkat bahaya yang akan terjadi bila produk sampai pada
konsumen, Concern atau signifikasi adalah penggabungan antara Likely dan
Severity yang menunjukkan tingkat signifikasi bahaya tersebut dalam setiap tahapan
proses produksi. Kolom Likely terdapat pada Tabel 2.3, Severity pada Tabel 2.4 dan
Concern pada Tabel 2.5.
Tabel 2.3 Tabel Kolom Likely
Kolom Likely
L (Low) M (Medium) H (High)
-Bahaya tidak pernah Bahaya pernah timbul Bahaya timbul lebih dari
muncul dalam 1 tahun 1 kali dalam setahun 1 kali dalam setahun
-Bahaya mungkin muncul

9
Tabel 2.4 Tabel Kolom Severity
Kolom Severity
High Dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan orang yang
mengonsumsinya sakit atau bahkan harus dirawat inap di rumah
sakit setelah mengonsumsi produk
Misalnya : Salmonella menyebabkan penyakit tipus
Medium Dalam waktu yang relatif lama dapat menyebabkan orang yang
mengonsumsi sakit karena bersifat akumulatif
Misalnya : Zat-zat yang bersifat karsinogenik
Low Berpotensi menyebabkan orang yang mengonsumsi sakit ringan
dan tidak termasuk dalam medium severity maupun high
severity

Tabel 2.5 Tabel Kolom Concern


Kolom Concern
L (Low) M (Medium) H (High)
LM (Low Medium) HL (High Low) HM (High Medium)
ML (Medium Low) LH (Low High) MH (Medium High)
LL (Low Low) MM (Medium Medium) HH (High High)

2.3.2 Penentuan Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (CCP)
Dalam penerapan HACCP setelah dilakukan analisis potensi bahaya terhadap
suatu hirarki proses dilanjutkan kepada proses penentuan titik kendali kritis (CCP)
dan dilanjutkan dengan penetapan batasan kritis. Critical Control Point (CCP) atau
titik kendali kritis (TKK) adalah setiap tahap proses produksi dengan kemungkinan
adanya bahaya potensial di setiap tahap yang dapat dicegah, direduksi, atau
diminimalkan hingga ke tingkat yang masih dapat diterima (acceptable level), tetapi
tidak dapat dikoreksi pada tahap selanjutnya. Penentuan CCP didasarkan pada
pertimbangan tingkat resiko dan memerlukan pengendalian bahaya agar tidak
berbahaya bagi manusia. Tahapan proses yang tidak termasuk CCP, dapat termasuk
Control Point (CP) yang berarti tahapan tersebut apabila tidak dikendalikan dengan
baik dapat menyebabkan kecacatan dari segi kualitas (BSN, 1998).
Selanjutnya untuk batas kritis berada pada nilai maksimum atau minimum
dimana parameter biologis, kimia, dan fisik harus dikendalikan di titik kendali kritis
untuk mencegah, mengeliminasi dan menurunkan terjadinya bahaya keamanan
pangan hingga tingkat yang dapat diterima. Batas kritis atau titik kritis adalah batas

10
yang digunakan untuk membedakan kondisi operasi yang aman atau tidak di CCP
yang sudah ditetapkan sebelumnya (Sudarmadji, 2005). Salah satu cara untuk
memudahkan identifikasi titik kendali kritis adalah dengan menggunakan CCP
decision tree. Meski penggunaan CCP decison tree sangat membantu dalam
penentuan titik kendali kritis, namun hal ini hanya merupakan suatu alat dan bukan
merupakan elemen HACCP yang harus ada. Menurut Widaningrum dan Winarti
(2008) tahapan proses dikatakan termasuk CCP atau tidak adalah melalui
pertimbangan tingkat resiko dan berdasarkan jawaban atas pertanyaan dari CCP
decision tree (pohon keputusan). Penentuan CCP dengan menggunakan pohon
keputusan berdasarkan Codex Alimentarius Commission GL/32 terdapat pada
Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Pohon Keputusan HACCP

11

Anda mungkin juga menyukai