Penyusun:
1. Aisyah Intan Ramadhani (P23131117001)
2. Annisa Frida Rinjani (P23131117004)
3. Luckyta Alfiany (P23131117019)
4. Nabillah Cholifatul Aula (P23131117022)
5. Renata Claudia Agatha (P23131117030)
Kelas: DIV - 5A
Pembimbing:
Dr. Marudut Sitompul, B.Sc, MPS
1
berkualitas dan kepuasan konsumen dapat terpenuhi. Penjaminan mutu dilakukan dengan
menggunakan prinsip pengendalian mutu baik bahan baku sampai produk akhir.
Konsep yang saat ini dikenal sebagai HACCP, jika diterapkan dengan tepat dapat
mengendalikan titik-titik yang memungkinkan menyebabkan bahaya. Masalah bahaya ini
didekati dengan cara mengamati satu per satu bahan baku proses dari sejak di lapangan
sampai dengan pengolahannya. Bahaya yang dipertimbangkan adalah bahaya patogen,
logam berat, toksin, bahaya fisik, dan kimia serta perlakuan yang mungkin dapat
mengurangi cemaran itu (Seto, 2001).
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu program
pengawasan, pengendalian, dan prosedur pengaturan yang dirancang untuk menjaga agar
makanan tidak tercemar sebelum disajikan. Sistem ini merupakan pendekatan sistematis
terhadap identifikasi, evaluasi pengawasan keamanan pangan secara bermakna (Arisman,
2009).
Sistem HACCP terutama diterapkan dalam industri makanan besar, tetapi WHO
telah membuktikan bahwa sistem ini dapat diterapkan hingga ke tingkat rumah tangga.
Konsep HACCP merupakan penggabungan dari mikrobiologis makanan, pengawasan
mutu, dan penilaian risiko. Sistem HACCP bukan merupakan system jaminan keamanan
pangan yang zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko
bahaya keamanan.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3
Bahaya tersebut meliputi keberadaan yang tidak dikehendaki dari
pencemaran biologis, kimiawi, atau fisik pada bahan mentah (Nurliana, 2004).
1) Bahaya kimia terjadi apabila bahan pangan terkontaminasi pestisida
dan pupuk kimia saat di lahan pertanian, logam berbahaya. Bahaya
kimia juga dapat berasal dari bahan tambahan terlarang atau bahan
tambahan pangan yang melebihi takaran maksimum yang diizinkan
dalam penggunaannya. Selain itu dapat juga berasal dari bahan
pangan atau makanan yang tercemar racun kapang, misalnya biji-
bijian atau kacang-kacangan seperti kacang kedelai yang disimpan
pada kondisi yang salah.
2) Bahaya mikrobiologi meliputi: bakteri patogen (kontaminasi,
pertumbuhan, ketahanan) beserta toksin-toksin yang dihasilkannya,
virus, jamur dan mikotoksin, protozoa.
3) Potensi bahaya fisik seperti: serpihan gelas atau logam dari mesin
atau wadah, benda-benda asing seperti pasir, kerikil atau potongan
kayu, rambut, tulang, atau bagian tubuh dari serangga dan hewan
lainnya yang mencemari pangan.
4
Titik Kendali Kritis (TKK) atau Critical Control Point (CCP), merupakan
suatu langkah/kegiatan pengendalian dan harus diterapkan untuk mencegah atau
meniadakan bahaya keamanan pangan, atau menguranginya sampai pada tingkat yang
dapat diterima. Dengan menggunakan pohon keputusan (decision tree) pada setiap
tahapan proses pengolahan makanan/minuman dapat ditentukan titik kritis pada alur
proses.
5
Kerupuk adalah sejenis makanan ringan yang sifatnya mengembang dan renyah.
Kerupuk rambak kulit adalah kerupuk yang terbuat dari kulit ternak. Protein yang
terkandung dalam kulit ternak terbanyak adalah protein kolagen. Protein kolagen
merupakan struktur protein utama pada teknologi proses pengolahan kulit. Proses
pembuatan kerupuk rambak kulit terdapat beberapa tahapan, yaitu perendaman
(soaking), pengapuran (liming), penghilangan bulu, pembuangan kapur (deliming),
perebusan, pengeringan I, perendaman bumbu, pengeringan II, penggorengan I,
penggorengan II, penggorengan III (Astawan, 1989). Menurut SNI-1996, kerupuk
rambak kulit adalah produk makanan ringan yang dibuat dari kulit sapi atau kerbau
melalui tahap proses pembuangan bulu, pembersihan kulit, perebusan,
pengeringan dan perendaman dengan bumbu untuk kerupuk rambak mentah dan
dilanjutkan dengan penggorengan untuk kerupuk rambak siap konsumsi. Syarat
mutu kerupuk kulit menurut SNI 01-4308-1996 dapat dilihat pada Tabel Kandungan
Gizi rambak kulit sapi dapat dilihat di bawah.
6
1. Mutu I : berbau khas kulit sapi cerah bersih, tidak ada cacat (lubang-
lubang, penebalan kulit). Kandungan airnya pada kulit mentah segar
maksimum 66% sedangkan pada kulit mentah garaman maksimum 25%.
2. Mutu II : berbau khas kulit sapi, cerah, bersih, cukup elastis, terdapat
sedikit cacat diluar daerah punggung (croupon) dan bulu tidak rontok.
Kandungan airnya pada kulit mentah segar maksimum 66% sedangkan
pada kulit mentah bergaram maksimum 25 %.
3. Mutu III : berbau khas kulit sapi, warna tidak cerah, kurang elastis, tidak
utuh/banyak sekali cacat dan ada kerontokan bulu. Kandungan airnya
pada kulit mentah segar maksimum 66% sedangkan pada kulit mentah
bergaram maksimum 25%.
2) Garam
Garam adalah bahan yang sangat penting dalam pengawetan bahan
pangan, yang berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme.
(Purnomo, 1987). Garam sebagai penghambat selektif karena adanya proses
plasmolisis. Mekanisme plasmolisis cairan dalam sel mikroba keluar menuju
larutan garam yang konsentrasinya lebih pekat, cairan garam masuk kedalam
sel sehingga mengakibatkan sel mengkerut dan mati.
3) Minyak Goreng (minyak kelapa)
Minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng sebaiknya
mempunyai mutu yang baik. Jenis minyak yang digunakan sebaiknya
minyak kelapa yang berwarna kuning jernih, sehingga dapat menghasilkan
warna yang bagus dan tidak mengkilap. Minyak goreng selain memberikan
rasa lezat dan teksturnya menjadi lembut serta gurih (Sutejo, 2000).
7
yaitu untuk menghindari timbulnya endapan kapur yang dapat bereaksi
dengan bahan lain diproses selanjutnya
4. Perebusan
Perebusan kulit pada suhu 90˚C selama 2 jam selanjutnya diangin-anginkan.
Pada proses perebusan ini ditandai dengan kenampakan kulit yang berubah
menjadi transparan.
5. Pengguntingan
Pengguntingan dengan ukuran 3×2 cm. Tujuan dari pengguntingan yaitu
untuk mendapatkan hasil potongan dalam jumlah maksimal dan kulit yang
dihasilkan memiliki luas yang cukup sehingga memudahkan perambatan
panas yang akan mempercepat proses pengeringan.
6. Pengeringan I
Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari selama 1 hari. Tujuan
pengeringan yaitu untuk menurunkan kadar air sampai batas tertentu dengan
ditandai produk menjadi kering dan berubah warna menjadi coklat.
7. Perendaman Bumbu
Kerupuk rambak mentah (krecek) hasil pengeringan I direndam dalam
larutan bumbu selama 1-2 jam. Komposisi bumbu yaitu; garam 2 %, bawang
putih 5 %, dan penyedap rasa 1,5 %.
8. Pengeringan II
Pengeringan dengan sinar matahari 2-3 hari (sampai kering) kemudian
krecek diambil untuk mengukur daya kembang.
9. Penggorengan
Penggorengan I (krecek dimasukkan ke tempat penggorengan pada suhu
±80˚C selama 5 menit) dan diperam dalam bak selama 1 hari.
Penggorengan II (suhu ±80˚C selama ±10 menit). Penggorengan III (suhu
±160˚C sampai mengembang sempurna).
8
BAB III HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
9
3.3.1 Bahan
1) Kulit sapi
2) Garam
3) Minyak
3.3.2 Alat
1) Baskom
2) Ember
3) Panci besar
4) Sodet besar
5) Kompor
6) Saringan
7) Tempat menjemur
8) Pisau
9) Talenan
3.4 Cara Pembuatan Kerupuk Kulit
Perebusan
Penerimaan Perebusan Pengupasan
kembali kulit
kulit sapi kulit sapi kulit sapi
sapi
Pengungkepan
kulit dengan Penggorenan Pengemasan
cairan garam
10
3) Kondisi proses produksi
Tahap :
Perebusan kulit sapi pengupasan kulit sapi perebusan kulit sapi kembali
pencucian kulit sapi penjemuran tahap pertama kulit pemotongan
kulit sapi penjemuran tahap kedua kulit pengungkepan kulit
penggorengan packaging
Pada proses perebusan yang dilakukan berulang kali, air rebusan tidak diganti
sama sekali sampai perebusan yang kedua
Tempat pengupasan kulit sapi terlihat kotor pada kayu panjang dan paku
berkarat yang digunakan sebagai penyanggah kulit
Tempat pencucian kulit sapi kebersihannya kurang diperhatikan, karena selain
untuk tempat mencuci digunakan pula untuk para karyawan berlalu lalang
tanpa membersihkan alas kaki terlebih dahulu, selain itu pada proses produksi
setelah perebusan sapi, kulit sapi dilempar begitu saja ke tempat pencucian
tanpa memperhatikan beberapa kulit sapi yang terjatuh di saluran air yang
kotor, cara pencucian kulit sapi dilakukan dengan diinjak dan sesekali diguyur
air.
Tempat penjemuran tahap pertama kulit sapi hanya digantungkan di dinding
yang terlihat kotor
Tempat pemotongan kulit sapi terlihat kotor ditambah lagi tidak menggunakan
alas / wadah saat memotong kulit sapi.
Tempat penjemuran tahap kedua terdapat dibagian atap pabrik yang hanya
beralaskan papan anyaman sebagai wadah menjemur
Tempat pengukepan dan penggorengan minyak tidak diganti sama sekali
4) Kondisi Pekerja
Pekerja pabrik hanya memakai baju kaos, celana pendek, serta sendal jepit dan
tidak menggunakan APD saat proses produksi dan pengemasan kerupuk kulit
5) Kondisi lingkungan pabrik
Pabrik berlokasi di gang, diantara pemukiman warga padat penduduk
11
bersih
5. Memberi masukan analisa bahaya yang mungkin
terjadi pada bahan baku
3 Annisa Production 1. Menjamin semua karyawan di dalam departemen
Manager telah terlatih dengan baik dan memahami sistem
keamanan pangan
2. Menjamin bahwa produk yang dihasilkan telah
sesuai dengan standar persyaratan mutu dan
keamanan pangan
3. Menjamin proses yang berlangsung di area
produksi bahwa telah sesuai dengan GMP,SOP,
dan SSOP yang telah ditetapkan
12
3.7 Deskripsi Produk
Produk yang dikaji dalam penerapan HACCP ini adalah kerupuk kulit dari Pabrik
Kerupuk Kulit Cipta Rasa. Dalam deskripsi produk ini dicantumkan nama produk,
komposisi, karakteritik produk akhir, metode pengolahana, pengemasan primer,
pengemasan sekunder, kondisi penyimpanan, umur simpan, cara penyajian, dan
metode distribusi. Deskripsi produk dijelas pada table di bawah.
N PARAMETER
KETERANGAN
O DESKRIPSI
1 Nama Produk Kerupuk Kulit
2 Komposisi Kulit Sapi, garam, dan minyak goreng
3 Karakteristik Produk Akhir Kerupuk kulit Cipta Rasa adalah kerupuk kulit
yang berbentuk kotak yang dibuat dari kulit
sapi asli dengan cara digoreng. Kerupuk kulit
berwarna kuning keemasan serta memiliki rasa
yang gurih. Kerupuk kulit Cipta Rasa memilik
aroma khas kerupuk kulit dengan tekstur yang
renyah. Kerupuk kulit ini dibuat dengan
beberapa tahap, yaitu pencucian kulit,
perebusan, pengeringan, perebusan kembali,
pemotongan, pengeringan kedua, dan
penggorengan. Kerupuk kulit Cipta Rasa
dikemas dalam kemasan plastic transparan.
4 Metode Pengolahan Perebusan
Pengeringan (dijemur)
Penggorengan
5 Pengemas Primer Plastik PP
6 Pengemas Sekunder / Kantong plastic
Pengemas untuk transportasi
7 Kondisi Penyimpanan Suhu Ruang : 270C – 350C
8 Umur Simpan ± 3 bulan
9 Cara Penggunaan / Langsung dimakan
Penyajian
10 Metode Distribusi Didistribusikan dengan transportasi mobil dan
motor
13
Identifikasi pengguna produk kerupuk kulit perlu dijabarkan agar memberi informasi
jenis konsumen seperti apa yang dapat mengonsumsi produk kerupuk kulit Cipta
Rasa.
N PARAMETER
KETERANGAN
O IDENTIFIKASI PENGGUNA
1 Cara Konsumsi Kerupuk kulit dapat dikonsumsi langsung
2 Sasaran Konsumen Kerupuk kulit dapat dikonsumsi semua
kalangan masyarakat. Kecuali bayi.
14
15
3.10 Analisis Bahaya
Sebagai bahan baku utama, kulit sapi sangat krusial dalam proses pembuatan
kerupuk kulit. Meskipun demikan, kulit sapi juga merupakan bahan baku yang sangat
rentan terhadap kontaminasi karena kadar airnya yang tinggi. Hal tersebut dapat
memudahkan mikroorganisme, khususnya bakteri, untuk tumbuh dan berkembang,
Sedangkan, bahaya fisik yang mungkin terjadi pada proses penerimaan kulit sapi
berasal dari cemaran benda asing yang ikut terbawa dari supplier. Entah itu kerikil,
binatang kecil, atau bahkan sisa darah yang masih menempel pada kulit sapi.
Pengendalian yang dilakukan untuk hal tersebut adalah menetapkan standardisasi
kulit sapi sesuai dengan standar yang berlaku, melakukan pemilihan supplier kulit
sapi secara tepat, melakukan pengecekan bahan baku ketika datang apabila tidak
memenuhi kulit ditolak, dan penyimpanan kulit pada tempat yang tidak lembab dan
panas.
Bahan baku lainnya adalah garam dan minyak goreng. Bahaya fisik yang
dapat terjadi pada penerimaan garam adalah masuknya benda asing, seperti batu.
Untuk bahaya biologi yang mungkin terjadi adalah tumbuhnya mikroba karena suhu
penyimpanannya kurang pas. Oleh karena itu, pengendalian yang dapat dilakukan
adalah menetapkan standarcisasi kulit sapi sesuai dengan standar yang berlaku,
melakukan pemilihan supplier kulit sapi secara tepat, melakukan pengecekan bahan
baku ketika datang apabila tidak memenuhi kulit ditolak, dan penyimpanan kulit pada
tempat yang tidak lembab dan panas. Pada minyak goreng, bahaya fisik yang
mengintai adalah rusaknya kemasan minyak sehingga minyak goreng terbuka dan
sudah tercemar udara. Selain itu, minyak juga bisa mengalami ketengikan.
Tahap selanjutnya yang memiliki sumber bahaya adalah perebusan kulit sapi.
Tujuan dari tahap ini adalah untuk membersihkan sisa kotoran an zat yang menempel
pada kulit sapi. Penggunaan jenis air pada perebusan kulit sapi termasuk dalam
bahaya biologis karena air yang tercemar mikroba e-coli dapat membahayakan
konsumen dan membuat produk menjadi tidak aman Selain itu, kontaminasi silang
juga dapat menjadi bahaya pada tahap ini. Kontaminasi silang dapat terjadi jika
Pekerja dan lingkungan proses ini tidak terjaga hygiene dan sanitasinya. Di sisi lain,
logam dari alat yang digunakan pada proses ini juga dapat memengaruhi tahapan
perbusan ini. Dengan kata lain, cemaran logam berat dapat menjadi bahaya. Jika
produk pangan tercemar logam berat dan berbahaya, hal itu akan memengaruhi
kualitas produk karena dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Until itu,
beberapa pengendalian dapat dilakukan, seperti mengikuti SOP yang diterapkan saat
merebus kulit, memeriksa alat yang digunakan secara berkala, menggunakan alat yang
sesuai dengan fungsinya, mengenakan APD terstandar saat melakukan tahapan, dan
melakukan pemeriksaan air secara berkala.
Pembersihan bulu kulit sapi juga dilakukan pada proses pembuatan kerupuk
kulit. Tahapan ini dilakukan dengan maksud agar kulit sapi yang akan digunakan
menjadi bersih dan siap digunakan untuk proses selanjutnya. Pembersihan bulu kulit
dilakukan dengan menggunakan pisau. Bahaya yang diidentifikasikan pada tahapan
ini adalah bahaya biologis berupa cemaran mikroorganisme seperti Staphylococcus,
Salmonella, dan Escheria Coli. Bahaya biologis ini bisa didapatkan dari kurangnya
16
hygiene Pekerja dan sanitasi lingkungan bekerja yang tidak memenuhi syarat. Selain
itu, Penggunaan alat yang tidak memenuhi standard juga bisa menyebabkan cemaran
ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi bahaya-bahaya tersebut
antara lain menerapkan SOP yang berlaku, melakukan pengawasan rutin terhadap
setiap proses, mengadakan pemeriksaan alat dan lingkungan secara berkala, dan
melakukan tindakan persiapan seperti membersihkan alat dengan desinfektan sebelum
digunakan.
Perebusan kulit kembali dilakukan untuk memastikan kebersihan kulit sapi.
Pada tahap inilah terjadi perubahan warna kerupuk menjadi transparan. Beberapa
bahaya yang mengintai pada tahap ini antara lain bahaya biologi dan bahaya Kimia.
Bahaya biologis yang mungkin terjadi ialah adanya cemaran dari mikroba yang
terkandung dalam air seperti Escheria Coli. Selain itu, cemaran dari kontaminasi
silang dapat terjadi pada tahap ini yang berasala dari pekerja, peralatan, dan
lingkungan. Bahaya Kimia yang dapat terjadi antara lain cemaran logam dari
peralatan yang. digunakan. Penanggulangan yang dapat dilakukan antara lain
melakukan pemeriksaan air secara berkala, menerapkan SOP yang berlaku,
melakukan pengawasan. Selama proses produksi berlangsung, alat yang digunakan
tidak memenuhi standard.
Pencucian kulit sapi dilakukan dengan tujuan membersihkan kulit dari sisa-
sisa yang menempel dari tahapan sebelumnya. Pencucian dilakukan dengan air
dengan cara dibilas. Penggunaan air dapat memunculkan bahaya biologis dan kimia.
Untuk bahaya biologis yang dapat terjadi adalah pencemaran oleh bakteri Escheria
Coli dari air yang tercemar. Air juga bisa menyebabkan bahaya kimia, yaitu
kandungan logam berat seperti kaporit dan klor yang bisa menempel pada kulit sapi.
Beberapa penanggulangan yang dapat dilakukan adalah melakukan pengecekan
kandungan air secara berkala dan menerapkan SOP yang berlaku.
Kulit yang sudah dicuci kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan
di area penjemuran. Kulit dijemur di atas bilah bambu. Tujuan dilakukannya tahap ini
adalah agar kadar air di kulit sapi berkurang dan berubah warna menjadi kecoklatan.
Proses ini tak lepas dari bahaya. Bahaya yang dapat terjadi pada proses ini adalah
bahaya fisik dan bahaya biologis. Pada bahaya fisik, kulit yang dikeringkan dapat
tercemar benda asing, seperti batu dan serangga. Semangka bahaya biologis yang
dapat terjadi adalah tumbuhnya jamur karena keadaan kulit yang masih lembab dan
terbukanya tempat pengeringan sehingga dapat terkenal spora jamur yang tertiup
angin. Ada beberapa penanggulangan yang dapat dilakukan seperti menyedihkan
tempat khusus pengeringan yang bersih dan aman dan mengatur suhu dan kelembaban
di tempat pengeringan.
Tahap selajutnya adalah pemotongan kulit. Pemotongan kulit ini dimaksud
agar kerupuk memiliki bentuk yang seragam dan memudahkan konsumen untuk
mengonsumsi kerupuk. Proses ini menggunakan alat pemotongan dengan pisau yang
tajam dan panjang. Bahaya yang dapat terjadi pada proses ini adalah bahaya fisik dan
biologis. Untuk bahaya fisik yang dapat terjadi adalah menempelnya benda asing
seperti batu pada saat proses pemotongan. Sedangkan bahaya biologis yang dapat
terjadi, yaitu tercemarnya kerupuk dengan mikroba. Cara penanggulangan yang dapat
17
dilakukan, antara lain menggunakan wadah yang bersih untuk menampung hasil
pemotongan dan menyampaikan informasi tentang hygiene dan sanitasi kepada
pekerja, serta melakukan tindakan pendahuluan berupa pembersihan alat dengan
desinfektan sebelum memulai tahap ini.
Pengeringan tahap kedua dilakukan dengan tujuan agar tercapainya kadar air
yang diinginkan. Pada tahap ini bentuk kerupuk kulit sudah terlihat dan sudah
menyerupai kerupuk kulit yang belum digoreng. Meskipun demikian, terdapat bahaya
yang dapat terjadi pada tahap ini, yaitu bahaya fisik. Bahaya fisik yang dapat terjadi
adalah masuknya benda asing saat proses pengeringan. Oleh karena itu,
penanggulangan yang dapat dilakukan adalah melakukan penyortiran saat
pengeringan selesai sehingga benda asing tidak ikut tercampur.
Untuk mendapatkan kerupuk kulit yang gurih, dilakukan penggorengan.
Penggorengan dilakukan sebanyak 2 kali dengan tujuan agar mendapatkan kerupuk
kulit yang matang dan mengembang sempurna. Untuk penggorengan yang pertama,
ditambahkan garam sebagai bumbu utama. Proses penggorengan yang kedua
bertujuan untuk mematangkan kerupuk kulit. Pada proses penggorengan ini, terdapat
bahaya fisik yang dapat terjadi, yaitu masuknya benda asing selama proses. Hal
tersebut dari terjadi dari pekerja maupun lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan
penanggulangannya, yaitu penerapan hygiene dan sanitasi sesuai dengan SOP yang
berlaku.
Setelah kerupuk sudah dingkep, tahap selanjutnya adalah penggorengan.
Penggorengan dilakukan sebanyak 2 kali dengan tujuan agar mendapatkan kerupuk
kulit yang matang dan mengembang sempurna. Pada proses penggorengan ini,
terdapat bahaya fisik yang dapat terjadi, yaitu masuknya benda asing selama proses.
Hal tersebut dari terjadi dari pekerja maupun lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan
penanggulangannya, yaitu penerapan hygiene dan sanitasi sesuai dengan SOP yang
berlaku.
Tahap terakhir dari proses pembuatan kerupuk kulit adalah pengemasan.
Pengemasan dilakukan secara manual dengan penimbangan dan memasukkan
kerupuk yang sudah ditimbang dengan sendok yang lebar. Kemasan yang digunakan
adalah plastic bening. Ada beberapa bahaya yang dapat terjadi pada tahap ini, yaitu
bahaya biologis ada bahaya fisik. Untuk bahaya biologis, dapat terjadi kontaminasi
mikroorganisme karena kerupuk yang masih panas langsung dimasukkan ke dalam
plastic sehingga membuat keadaan di dalam kemasan menjadi lembab yang
merupakan keadaan yang disenangi oleh mikroorganisme. Selain itu, masuknya benda
asing ke dalam kemasan dapat menyebabkan bahaya fisik. Untuk itu, penanggulangan
dapat dilakukan dengan cara menerapkan SOP yang berlaku, memberikan pelatihan
hygiene dan sanitasi kepada pekerja, dan melakukan pengecekan ulang sebelum
produk didistribusikan.
18
3.11 Penentuan Titik Batas Kritis
Tabel Penetapan Kategori Risiko Produk Kerupuk Kulit
PRODUK / KATEGORI
KELOMPOK BAHAYA
NO BAHAN RISIKO
BAKU A B C D E F
1 Kerupuk Kulit + + 0 + + 0 IV
BAHAN BAKU / BAHAN MAKANAN
2 Kulit Sapi + + 0 + + 0 IV
3 Garam 0 0 0 0 0 0 0
4 Minyak Goreng + + 0 0 0 0 II
19
terhadap bahaya fisik, biologis, dan kimia. Pada kelompok bahaya D, analisa
bahayanya adalah produk kemungkinan mengalami kontaminasi kembali setelah
pengolahan. Kontaminasinya pun bisa beragam dari berbagai sumber. Arti dari positif
bahaya E adalah produk kerupuk kulit kemungkinan mengalami penanganan yang
salah selama distribusi, penjualan ataupun konsumsi, baik itu dilakukan oleh
distributor atau konsumen.
Untuk bahan baku yang pertama, kulit sapi, kelompok bahaya yang terkandung
dalam kulit sapi adalah kelompok bahaya A, B, D, dan E. maksud dari analisi bahaya
A adalah penggunaan bahan kulit sapi rentan untuk konsumen beresiko tinggi yang
termasuk balita dan lansia. Untuk kelompok bahaya B, kulit sapi mengandung bahaya
sensitive terhadap bahaya fisik, biologis, dan kimia. Arti dari posifinya bahaya D
adalah adalah produk kemungkinan mengalami kontaminasi kembali setelah
pengolahan. Setelah pengolahan kulit sapi melewati berbagai proses lagi, seperti
distribusi. Sedangkan kelompok bahaya E adalah bahan kulit kemungkinan
mengalami penanganan yang salah selama distribusi, penjualan ataupun konsumsi.
Bahan baku yang kedua adalah garam yang tidak memiliki kategori bahaya
manapun. Hal ini dikarenakan sifat-sifat yang dimiliki garam. Minyak goreng adalah
bahan baku yang terakhir. Minyak goreng memiliki 2 kelompok bahaya, yaitu
kelompok A dan B. minyak goreng termasuk kategori bahan yang rentan untuk
konsumen berisiko tinggi. Penggunaanya harus memperhatikan beberapa hal seperti
jumlahnya. Selain itu, minyak goreng memiliki bahaya sensitive terhadap bahaya
fisik, biologis, dan kimia sehingga masuk dalam kategori bahaya B.
20
Tabel Decision Tree untuk penetapan HACCP
Critical Control Point (CCP atau titik pengendalian kritis) adalah langkah di
mana pengendalian dapat diterapkan dan diperlukan untuk mencegah atau
menghilangkan bahaya atau menguranginya sampai titik aman. Penentuan titik
pengendalian kritis dilakukan dengan bantuan Decision Tree yang berisi 4 pertanyaan
yang menuntun pembentukan keputusan titik batas kritis. Setiap tahapan yang
memiliki signifikasi yang nyata pada analisis bahaya dalam pembuatan kerupuk kulit
dibahas satu per satu pada setiap pertanyaan. Dari enam tahap yang memiliki
signifikasi nyata, lima di antaranya ditetapkan sebagai CCP.
21
Penerimaan bahan kulit sapi dikategorikan sebagai CCP karena cemaran
mikroorganisme pathogen, seperti Staphylococcus sp, Salmonella sp, E. Coli, dan
Pseudomonas. Cemaran mikroorganisme pada kerupuk kulit ini dapat berakibat fatal
pada konsumen karena dapat menyebabkan penyakit. Untuk itu penerimaan bahan
kulit sapi ini termasuk dalam CCP.
Salah satu bahan yang penting juga dalam pembuatan kerupuk kulit adalah air.
Penggunaan air juga dalam proses pembuatan kerupuk kulit ini cukup banyak dan
krusial. Pencemaran air oleh bakteri Escheria Coli dapat menyebabkan timbulnya
penyakit. Oleh karena itu, cemaran air oleh bakteri Escheria Coli dikategorikan
sebagai CCP.
Tahap selanjutnya yang termasuk dalam CCP adalah tahap pembersihan bulu
kulit sapi. Bahaya biologis yang dapat terjadi adalah cemaran dari mikroorganisme,
seperti Staphylococcus sp, Salmonella sp, E. Coli. Mikroorganisme ini dapat
menyebabkan penyakit sehingga tahap ini ada dalam kategori CCP.
Pemotongan kulit sapi dengan menggunakan alat pemotong dan pada tempat
tertentu dapat menyebabkan timbulnya cemaran mikroorganisme (Staphylococcus sp,
Salmonella sp, E. Coli) yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Oleh karena
itu, tahap ini dikategorikan sebagai CCP.
Tahap terakhir dari produksi pembuatan kerupuk kulit Cipta Rasa adalah
pengemasan. Tahap ini juga termasuk dalam CCP karena kontaminasi mikroba dari
pekerja dapat terjadi. Pengemasan dilakukan secara manual sehingga kemungkinan
kontaminasi sangat tinggi.
22
mengurangi bahaya tersebut adalah memeriksa dengan teliti saat penerimaan
bahan dan bertindak tegas pada supplier jika bahan baku yang datang tidak sesuai
dengan spesifikasi yang diinginkan. Pemantauan dengan cara memastikan
kesesuaian barang dengan spesifikasi juga harus dilakukan secara berkala.
Pemantauan dilakukan setiap penerimaan bahan oleh pertugas penerimaan.
Bentuk verifikasi yang dilakukan adalah review form setiap bulannya.
Penyimpanan rekaman penerimaan bahan juga dokumen yang krusial dan wajib
untuk disimpan.
3. Perebusan
Penggunaan air pada tahap perebusan termasuk dalam CCP karena proses ini
dirancang khusus untuk menghilangkan/mengurangi bahaya sampai batas aman,
yaitu hilangnya cemaran mikroba dalam air. Tindakan koreksi yang dilakukan
khusus pada tahap ini adalah melakukan pengecekan air secara berkala dan
menerapkan hygiene dan sanitasi yang sesuai dengan SOP yang berlaku.
Tindakan pemantauan berupa pengamatan dan pengecekan air dan alat yang
digunakan. Dokumen yang harus dimiliki dan diarsipkan pada tahap ini adalah
rekaman kondisi peralatan dan sertifikat air yang bebas kandungan mikroba.
5. Pengemasan
Tahap terakhir dari bagian CCP dan proses pembuatan kerupuk kulit Cipta Rasa.
Tahap ini dirancang khusus untuk menghilangkan/mengurangi bahaya sampai
batas aman, yaitu bebasnya produk akhir dari segala cemaran. Untuk itu, hygiene
23
dan sanitasi pekerja perlu ditekankan. Dengan mengamati hygienitas pekerja dan
sanitasi lingkungan sekitar, CCP ini dapat diatasi dengan baik. Salah satu upaya
untuk mengoreksinya adalah menerapkan SOP yang berlaku dengan benar dan
menegur pekerja yang belum melakukan SOP. Rekaman kondisi hygiene dan
sanitasi dijadikan sebagai bentuk dokumentasi.
24
TINDAKAN
TAHAPAN / IDENTIFIKASI SPESIFIKASI BAHAYA
NO PENYEBAB BAHAYA PENCEGAHAN
PROSES BAHAYA
PELUANG KEPARAHAN SIGNIFIKASI
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
PENERIMAAN
1 Kulit Sapi Fisik: Terbawa dari suplier dan L L TN Penyortiran / pemilihan kulit
penerimaan bahan sapi yang baik.
Terdapat darah yang makanan tidak sesuai SOP Pencucian kulit sapi sampai
masih menepel pada / spesifikasi pemesanan bersih menggunakan air
kulit sapi. mengalir.
Terdapat kulit sapi Jaminan Suplier.
yang bolong atau
sobek
Kontaminasi silang dari M M N Jaminan suplier mengenai
Biologi : pekerja suplier (saat hygine dan sanitasi pekerja
Cemaran mikroba penyembelihan sapi / saat dan alat penyembelih.
(staphylococcus sp, menguliti) dan Pada saat menguliti sapi
salmonella sp, E. penggunaan alat potong pisau dapat dibersihkan dan
Coli, Pseudomonas ) (pisau) yang digunakan didisinfeksikan
saat menyembelih / menggunakan air panas
menguliti sapi. (suhu > 820C)
30
Goreng minyak rusak bahan dari suplier sesuai
dengan SOP. Jaminan
.
Suplier.
31
sobek Memberikan informasi dan
Hyginitas para pekerja M M N menerapkan prinsip hygine
Biologi : pabrik dan penggunaan dan sanitasi pekerja dan alat.
Cemaran alat. Pada saat mengupas bulu
mikroba Penggunaan alat potong pada kulit sapi pisau dapat
(Staphylococcus (pisau) yang digunakan dibersihkan dan
sp, Salmonella saat mengupas bulu pada didisinfeksikan
sp, E. Coli, kulit sapi. menggunakan air panas
Pseudomonas) (suhu > 820C)
32
klorin tahun sekali pada air yang
digunakan
8 Penjemuran / Fisik : terdapat Tempat penjemuran yang L L TN Penyedian tempat
Pengeringan I benda asing kurang steril / bersih penjemuran khusus yang
Kulit Sapi (debu, serangga) (lingkungan pabrik) bersih dengan suhu yang
pada suhu seusai
0
ruang 27 C – Biologi :
350C Tercemar oleh Suhu pengeringan tidak L L TN Pengaturan suhu dan
jamur sesuai kelembaban sesuai yang
dibutuhkan. Melakukan
inspeksi rutin.
33
12 Penggorengan Fisik : adanya Hygiene dan sanitasi L L TN Menerapkan hygiene dan
1. benda asing pekerja, kebersihan alat sanitasi sesuai dengan SOP
seperti kotoran, yang berlaku.
kontaminasi
silang
Kimia : minyak Teroksidasi karena suhu L L TN Meenyimpan minyak sesuai
goreng tengik dan udara dengan SOP
34
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem jaminan mutu yang
mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa bahaya dapat timbul pada
tahapan produksi, akan tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya
tersebut.
Untuk analisis HACCP meliputi deskripsi produk, identifikasi rencana
penggunaan, penyusunan bagan alir, konfirmasi bagan alir di lapangan, identifikasi
bahaya, penentuan CCP, penentuan batas-batas kritis (critical limits) pada tiap TKK
(CCP), dan yang terakhir perancangan tata letak pabrik untuk rekomendasi perbaikan
berdasarkan konsep HACCP.
Pada proses pembuatan kerupuk kulit di pabrik kerupuk kulit Cipta Rasa, terdapat
beberapa proses yang rentan terhadap bahaya. Dari proses-proses yang rentan itu
didapatkan titik kritiknya, antara lain penerimaan bahan baku kulit sapi, penggunaan air,
pengupasan bulu pada kulit sapi, pemotongan kulit sapi, dan filling saat pengemasan.
Oleh karena itu, diperlukan system HACCP dalam mengendalikan bahaya yang mungkin
terjadi pada setiap proses. Dengan demikian, akan dihasilkan produk kerupuk kulit yang
berkulitas baik dan terjaga keamanannya.
35
DAFTAR PUSTAKA
Astawan M. 1989. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Jakarta: Akademika
Pressindo.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1998. Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik
Kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya. Badan Standarisasi Nasional (BSN). Jakarta
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1998. Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik
Kritis (HACCP) Serta Pedoman Penerapannya. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-4852-
1998.
Djojowidagdo. 1986.
Mortimor dan Wallace. 2001. HACCP. Diterjemahkan oleh Apriningsih dengan judul
HACCP. 2004. Jakarta: EGC.
Muliawan D. 1991. Pengaruh berbagai Tingkat Kadar Air terhadap Pengembangan Kerupuk
Sagu Goreng. Skripsi. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi
Pertanian IPB.
Nurliana. 2004. Tinjauan terhadap Peran HACCP dalam Mengendalikan Bahaya Kimia
pada Makanan. Bogor: IPB.
Nurmawati. 2012. Proses Pembentukan Pola Perilaku Kerja Karyawan PT. Indopherin Jaya
Melalui Budaya Organisasi 5S (Studi Kasus Pada Karyawan PT. Indopherin Jaya, Kota
Probolinggo). Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang.
Pramesti, N. 2013. Analisis Persyaratan Dasar dan Konsep Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP) dengan Rekomendasi Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas (Studi Kasus:
KUD DAU Malang). Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang.
Prasetyo, A.T. 2000, Implementasi GMP dan HACCP dalam Menunjang Quality Assurance
Industri Pangan. Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang.
Purnomo. 1992. Penyamakan Kult Kaki Ayam. Yogyakarta: Kanisius.
Seto, Sagung. 2001. Pangan dan Gizi.
Sharphouse. 1971. Leather Technician’s Handbook. London: Product Association.
Sonaru, A.C. 2014. Analisa Ketidaksesuaian Persyaratan Cara Produksi Pangan yang Baik
Untuk Industri Rumah Tangga (CPP-IRT) Untuk Meminimasi Kontaminasi Produk Roti
(Studi Kasus: Perusahaan X). Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang.
Sudarmadji. 2005. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Vol. 1 No. 2
36
Sudarmaji. 2005. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis and
Critical Control Point). Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 1, No. 2. Universitas Airlangga.
Surabaya.
Sutejo. 2000. Rambak Cakar Ayam. Surabaya: PT. Trubus Agrisana
Thaheer, H. 2005. Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critica Control Points).
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Winarno dan Surono. 2004. GMP Cara Pengolahan Pangan yang Baik. Bogor: M-Brio
Press.
Yuwono, A.P. 1991. Peranan Kimia dalam Proses Penyamakan Kulit. Yogyakarta: BKKP
Perkuliahan.
37
LAMPIRAN
38
39
40
41
42
43
44