Anda di halaman 1dari 4

Merindu Ulama Pewaris Para Nabi

Dewasa ini banyak sekali ulama yang berperan multifungsi. Sering ditemui, mereka berperan di
luar dimensi tanggungjawab esensial yang sepatutnya diemban. Sehingga, banyak persoalan
keumatan belakangan ini, entah menyangkut kemerosotan moral umat, perilaku kekerasan atas
nama agama di kalangan umat, tingkat pendidikan umat yang rendah serta kungkungan lingkaran
kemiskinan yang membelit umat masih menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai.

Sebagai agen perubahan sosial, ulama merupakan tumpuan paling terakhir di mana segala
lapisan masyarakat mengadukan permasalahannya. Apalagi mereka punya otoritas yang
dilegitimasi tuntunan doktrinal agama, baik yang tertulis dalam hadis berbunyi: “Ulama adalah
pewaris anbiya (para Nabi)” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi). Juga, ayat al-Qur’an yang
mengatakan bahwa mereka adalah diantara hamba yang paling takut (khasy) kepada Allah Swt
(Q.S. Fathir (35): 28.

Ulama sebagaimana disitir Q.S. Fathir (35): 28 adalah sosok yang dalam dirinya terpenuhi tiga
aspek pokok, yaitu secara kognitif punya kecerdasan dan mumpuni dalam bidang ilmu, mampu
menghayati pengetahuannya itu dalam sikap dan keyakinan (afektif), serta membuktikannya
dalam aktivitas (psikomotorik) keseharian dan punya dedikasi kuat untuk menyebarkan ilmu
yang dimilikinya untuk kemaslahatan umat.

Ulama dengan gambaran seperti itu merupakan dambaan umat sepanjang zaman. Sosok yang
akan senantiasa dibutuhkan dimana pun dan kapan pun juga. Sosok yang bisa menggantikan
peran para Nabi dan mewarisi misinya di muka bumi ini.

Namun sayangnya, tak sedikit pula di tengah-tengah kita saat ini, yang dalam kacamata awam
kita kenali sebagai ulama justru memperlihatkan sikap, ucapan, dan perbuatan yang samasekali
tak mencerminkan apa yang dimaksudkan oleh Q.S. Fathir (35): 28, apalagi wasiat hadis Nabi
Muhammad Saw.

Pada suatu kesempatan, ulama besar Islam dalam sejarah, Abu Hamid Al-Ghazali (Imam Al-
Ghazali) pernah mengatakan dalam karya monumentalnya, Ihya ‘Ulum ad-Din. Beliau katakan,
bahwa tak selalu ulama menjadi inspirasi baik dan membawa manfaat besar bagi umatnya.

Imam Al-Ghazali membagi ulama kedalam dua jenis. Ada ulama yang sosoknya persis seperti
apa yang disabdakan baginda Rasulullah Saw dalam hadisnya dan dalam Q.S. Fathir (35): 28,
tapi banyak pula ulama yang kadang malah menjadi penyebab petaka dan menimpakan bencana
bagi umatnya.

Beliau menyebut ulama jenis pertama sebagai al-ulama al-ahsan (ulama yang baik/ ulama
akhirat), sementara ulama kategori kedua beliau sebut sebagai al-ulama as-su’ (ulama dunia/
ulama yang buruk).

Ulama yang buruk menurut Imam Al-Ghazali adalah ulama yang hanya memanfaatkan ke-
ulama-an dan ilmunya untuk tujuan-tujuan pribadinya saja. Ulama semacam ini hanya hobi
mencari harta, kehormatan, dan jabatan saja. Al-ulama as-su’ lebih mementingkan dan
memikirkan kekuasaan (politik) dan kekayaan pribadinya sebagai tujuan utama. Sehingga
akhirnya kewajiban mengayomi umat dan menjadi teladan yang baik bagi mereka pun
terabaikan.

Sementara ulama akhirat (al-‘ulama al-hasanah) adalah mereka yang menjadikan segala hal
duniawi sebagai pelengkap saja, bahkan ada yang menganggap hal- hal politik dan kekuasaan
adalah "musuh" yang harus diwaspadai. Ulama akhirat percaya bahwa kekayaan dan jabatan
akan datang dengan sendirinya. Keduanya dianggap sebagai fitnah (cobaan) yang diberikan
Allah Swt.

Pemakluman Imam Al-Ghazali bahwa ulama yang lekat dengan kekuasaan dan suatu jabatan
lebih dekat kepada sebutan ulama yang buruk memang tak terelakkan. Itu juga merupakan
respons moral dan intelektual beliau ketika mendapati perilaku penguasa dan pejabat yang
memang sudah tak pantas dilihat mata dan cenderung melenceng dari etika hidup dan kerja yang
dianjurkan Islam dan diteladankan oleh Rasulullah Saw.

Namun, mengidentifikasi ulama yang buruk di zaman sekarang ini mungkin bisa dikatakan agak
problematik dan sesuatu yang tak mudah. Tak seperti ulama di zaman Imam Al-Ghazali yang
merupakan ilmuan semata, di masa kini mudah ditemui ulama yang juga menjadi penguasa atau
menjabat suatu jabatan publik.

Dalam konstelasi keterlibatan ulama dalam pelbagai aspek kehidupan, kemusykilan untuk
mengenali ulama yang buruk mengemuka. Namun hitam atau putihnya seorang ulama tetap saja
bisa diketahui dari efek atau akibat yang diakibatkan dari ulah yang diperbuatnya. Dari itulah,
apa yang dikhawatirkan dari ulama yang buruk tentu saja efek sosial yang akan lahir,
menyangkut kapasitas mereka yang dianggap sebagai teladan dan ikutan.

Keburukan ulama yang tergambar dalam peran esensial mereka dalam hal memanajemeni
masyarakat akan menjadi hal yang amat mengganggu. Meski keburukan dalam hal itu belum
seberapa mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan keburukan mereka jika menyangkut
kemampuan utama mereka, yakni bagaimana mereka menyebarkan pemahaman doktrin agama
yang keliru, yang kemudian disebar dan diproyeksikan kepada umat.

Pikiran-pikiran dan tafsiran ulama yang keliru atas sumber-sumber Islam dapat mengakibatkan
umat terjerumus dalam bencana. Dengan tulisan dan ucapannya seorang ulama yang buruk dapat
saja memperlakukan doktrin agama terdistorsi sedemikian rupa, sehingga ulama menjauh dari
esensinya sebagai pewaris agama itu sendiri. Agama yang pada awalnya hadir untuk
kemaslahatan dan kebaikan, justru dapat jatuh pada harkatnya yang terendah sebagai penyebab
segala petaka (fitnah).

Realitas objektif umat Islam kini banyak mengisahkan peristiwa tragis dan ironi, tragedi
kemanusiaan, khususnya belakangan hari ini di pelbagai belahan bumi, dapat dikatakan
merupakan hasil dari buah intelektual yang benihnya ditanamkan kaum ulama kepada umat, atau
setidaknya pertanggungjawabannya itu dapat dialamatkan kepada mereka.

Kisah pilu di dunia Islam seperti keterbelakangan negeri-negeri Muslim, lingkar kekerasan yang
tiada berujung, peran etika dan moral Islam yang makin memudar, antagonisme dan intoleransi
hubungan antar aliran, kekerasan atas nama agama, hingga kekangan cara pandang keagamaan
yang liat dan membonsai misi profetik agama, dapat saja didiagnosa sebagai adanya penafsiran
“keliru” ulama terhadap doktrin agama.

Pelbagai fakta memilukan itu dapat menegaskan betapa ulama yang buruk sesungguhnya ada di
tengah-tengah umat. Dan kehadiran mereka berpotensi jauh lebih berbahaya dari simbol
kejahatan yang ada. Ulama yang seperti itu dapat dengan mudah berkamuflase dalam jubah
kebesarannya sebagai orang terdepan menegakkan agama. Akan tetapi, ambisi duniawinya dalam
mengejar kehormatan, harta, dan jabatan tidak dapat ditutup-tutupi.

Celakanya, apa yang datang dari ulama yang tergolong buruk seringkali terpaksa ditelan bulat-
bulat oleh umat. Hal ini pada satu segi merupakan buah dari lemahnya mekanisme filter umat
dalam memilah mana pendapat yang memang benar-benar berujung kepada kemaslahatan, dan
mana yang berselubung kepentingan duniawi di dalamnya. Apalagi, kreativitas umat untuk
menggali pesan-pesan ilahi langsung dari kitab suci terkadang sering dianggap sebagai ekspresi
keagamaan yang menyalahi tradisi.

Ulama sebagai otoritas ilmu agama tentu amat sangat diperlukan. Kendatipun di masa kini
banyak orang dapat mempelajari agama secara mandiri. Namun begitu, transfer ilmu dari ulama
adalah hal yang sampai kapan pun akan terus berlaku, sebab hal ini merupakan modus kerja ilmu
itu sendiri.

Agama Islam sendiri ditopang oleh sanad, yakni mata rantai transmisi keilmuan dari guru ke
murid, sejak Guru Pertama Baginda Nabi Muhammad Saw kepada Sahabat, Tabiin, Tabiut
Tabiin, dan terus sampai dengan guru-guru di zaman kiwari. Memelihara sanad ini merupakan
salah satu bagian dari disyariatkannya agama (hifzh ad-din).

Pemeliharaan atas agama itu hanya dapat dikatakan berhasil jika ulama menjadi sumber agama
yang otoritatif, dalam artian umat mengikutinya dengan tanpa paksaan dan sekaligus pula
mengalami pencerdasan. Sehingga fatwa, risalah, taushiyah, dan hal-hal lain yang berkaitan,
misalnya, dengan dunia politik, hukum, sosial-kebudayaan, juga penilaian terhadap kemanusiaan
harus berporos pada kemaslahatan umat, yang dalam terminologi ushul fiqh termasuk ke dalam
tujuan-tujuan diturunkannya syariat (al-maqashid as-syari’ah), yang dirumuskan oleh Imam asy-
Syathibi bertujuan untuk memelihara agama (hifzh ad-din), harta (hifzh al-mal), nyawa (hifzh an-
nafs), akal (hifzh al-‘aql), dan menjamin kelangsungan generasi umat di masa-masa selanjutnya
(hifzh an-nasl).

Sulit untuk dinalar dengan akal sehat menyikapi aksi teror, aksi-aksi destruktif, ujaran kebencian,
dan gelombang hoaks yang berlindung di balik kesucian Islam. Baik pelaku maupun para
penafsirnya sejatinya dapat dianggap telah membajak Islam, dan mereka itu dapat digolongkan
sebagai al-ulama as-su’ (ulama yang buruk) sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali.

Tidaklah masuk akal apabila hal-hal yang membawa petaka (fitnah) merupakan pelaksanaan dari
kehendak Allah Swt yang Maha Rahman (Kasih) dan Rahim (Sayang) di muka bumi ini. Hanya
agama dan kitab suci yang tafsirnya telah diselewengkan saja yang mampu menanggung beban
itu. Hari-hari sekarang ini terasa sekali amat besar harapan akan lahir dan tampilnya ulama-
ulama yang senantiasa menjadi penyejuk dan pelita di tengah-tengah umat. Wallâhu a’lam bi
ash-shawâb.

Andriansyah Syihabuddin
Alumni Pondok Pesantren Annida Al-Islamy, Bekasi; editor di sebuah penerbit di Jakarta.
Twitter: @abumubirah.

Anda mungkin juga menyukai