Anda di halaman 1dari 4

Islam Menjunjung tinggi semangat egalitarianisme

Oleh : Muhammad Malik

Semangat egalitarianisme dalam Islam sebenarnya dilandasai oleh dua


faktor utama, yaitu faktor normatif dan faktor historis. Secara tekstual
normatif, dalam ajaran Islam banyak diketemukan teks-teks yang
mendekonstruksi pola pemikiran diskriminatif, baik itu diskriminasi dalam
bidang politik, ekonomi, status sosial, rasialisme, kebangsaan, suku, dan juga
bangsa. Cara pandang Islam terhadap manusia sangat elegan dan egalitarian.
Kebaikan manusia menurut perspektif al-Quran tidak bisa diukur dengan
status sebagaimana di atas. Menurut al-Quran, manusia yang paling
terhormat adalah manusia yang bisa mensenyawakan antara kesalehan
invidual dan kesalehan kolektif. Artinya ia mempunyai jalur hablun min Allah
yang kuat dan hablun min al-nas yang sempurna. Orang seperti inilah yang
dikategorikan sebagai orang yang takwa dalam al-Quran. 1
Rasialisme dalam pandangan al-Quran merupakan konsep yang bukan
hanya bertentangan dengan kaidah-kaidah tekstual-normatif, akan tetapi juga
bertentangan dengan nilai-nilai universalitas kemanusiaan dalam sejarah
peradaban manusia. Dalam lintas sejarah peradaban manusia, rasialisme ini
merupakan dosa pertama yang dilakukan oleh Iblis. Keengganan Iblis untuk
sujud kepada Adam As. merupakan bentuk konkrit arogansi yang disebabkan
oleh rasialisme. Iblis merasa bahwa dirinya lebih tinggi derajadnya daripada
Adam. Hal ini karena bahan baku iblis berasal dari api, yang secara sepintas
tampak agresif, dinamis dan kokoh, sedangkan Adam hanyalah terbuat dari
tanah yang sepintas tampak pasif, jumud, dan lemah. Perasaan iblis yang
merasa bahwa dirinya lebih tinggi daripada Adam dengan alasan sebagaimana
di atas, merupakan sikap yang menjadi landasan bagi munculnya rasialisme
di bumi ini.

1
Q.S. Al-Hujurat: 13
Oleh karena itu manakala ada sebuah bangsa atau pun juga agama
yang bersikukuh mempertahankan sikap rasialisme ini, maka sebenarnya ia
mengadopsi paradigma yang dipelopori oleh iblis.
Egalitarianisme dalam Islam juga terlihat pada ajarannya yang dalam
melihat kualitas seseorang tidak didasarkan pada status sosial, ekonomi, dan
juga poitik. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama
untuk mengakses nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Hal ini pula yang
membedakan Islam dengan beberapa agama lainnya. Di dalam agama Hindu
misalnya, tepatnya di Kota Benares yaitu kota yang dianggap suci oleh umat
Hindu (kalau dalam agama Islam semacam Mekkah ataupun Madinah), tidak
sembarangan orang bisa masuk kuil untuk melakukan peribadatan. Hanya
orang-orang yang mempunyai kasta yang tinggi saja yang bisa masuk untuk
beribadah di dalam kuil. Sementara itu bagi kasta yang rendah seperti Sudra
dan Harijan harus puas menunggu pulangnya sang Brahma dari kuil untuk
meminta berkahnya. Hal ini sangat berbeda dengan ajaran Islam yang
memberi kebebasan kepada semua lapisan masyarakat, dari status apapun,
untuk masuk masjid yang mereka miliki.
Di dalam ajaran Hindu ditegakkan prinsip bahwa haram hukumnya
bagi kasta yang tinggi menyentuh kasta yang rendah. Begitu juga sebaliknya,
kasta yang rendah haram disentuh oleh kasta yang tinggi. Hal ini karena
ajaran mereka mengemukakan bahwa kasta yang rendah itu adalah najis
sifatnya, karena itu dilarang disentuh oleh kasta yang tinggi.
Di samping itu, kedudukan kasta yang rendah itu sangat bergantung
pada kasta yang tinggi. Kasta yang rendah ini bisa naik derajatnya sangat
tergantung pada kasta yang tinggi. Oleh karena itu terkadang mereka (kasta
yang rendah) ini rela menjilat ludah dari kalangan brahma untuk
meningkatkan status mereka. Atau kalau tidak demikian, mereka rela berebut
untuk memakan makanan sisa dari golongan masyarakat yang berkasta
tinggi. Ketergantungan yang membabi buta inilah yang dianggap bisa
mengangkat derajat bagi kasta rendah. Dengan demikian, tinggi rendahnya
kedudukan seseorang ditentukan oleh ludah dan makanan sisa dari
masyarakat yang berkasta tinggi, bukan karena peningkatan kualitas
keimanan yang berujung pada peningkatan kesalehan individual dan
kesalehan sosial-kolektif.
Islam adalah agama yang menentang paham rasialisme. Cara pandang
Islam terhadap manusia tidaklah didasarkan pada golongan, suku, ras,
bahasa, status sosial, status ekonomi, status politik, ideologi, jenis kelamin,
budaya dan sebagainya. Dari aspek normative sangat jelas dinyatakan bahwa
orang yang mempunyai kedudukan paling tinggi adalah orang yang taqwa,
yaitu orang-orang yang bisa mendialogkan antara kesalehan individual dengan
kesalehan sosial-kolektif. Sedangkan dari aspek historis bisa dilihat betapa
sahabat rasulullah itu sangat hiterogen. Ada sahabat yang berstatus budak
seperti Bilal, ada tokoh terhormat seperti Abu Bakar, ada pemuda cerdas
seperti Ali, ada pengusahan kaya seperti Usman, dan sebagainya.
Cara pandang Islam yang tidak membeda-bedakan status dan golongan
ini menjadi penutup atas nasehat rasulullah SAW kepada umatnya. Nasehat
terakhir rasulullah SAW tersebut terekam dalam pidatonya ketika haji wada
(haji terakhir yang dilakukan oleh rasulullah). Beliau mengatakan:

Wahai manusia, ingatlah Allah! Ingatlah Allah berkenaan dengan agamamu


dan amanat-amanatmu. Ingatlah Allah! Ingatlah Allah berkenaan dengan orang-
orang yang kamu kuasai dengan tanganmu.
Kamu harus memberi makan kepada mereka seperti yang kamu makan. Kamu
harus memberi pakaian kepada mereka seperti yang kamu pakai. Dan kamu
tidak boleh membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup
mengerjakan. Mengapa, sebab mereka itu adalah daging, darah dan makhluk
seperti kamu.
Ingatlah, barangsiapa berbuat zalim terhadap buruhnya, kepada
pembantunya, maka akulah musuh mereka di Hari Kiamat dan Allah menjadi
hakimnya.2

2
Dikutip dari Nurcholish Madjid, Perjalanan Religius Umrah dan Haji (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm.
74-75.
Berdasarkan pada pidato rasulullah SAW tersebut itu, maka sebenarnya
bisa diambil benang merah bahwa Islam itu sangat menjunjung tinggi hak
asasi manusia, menentang rasialisme, dan menjunjung tinggi egalitarianisme.
Atas dasar hal tersebut maka tidak salah jika Islam itu dikatakan sebagai
agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena
itu pula ayat terakhir yang turun adalah: pada hari ini Aku sempurnakan
agamamu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu dan Aku ridhoi Islam
sebagai agamamu.
Watak egalitarianisme dalam Islam juga tampak pada ajarannya yang
menentang pola hidup feodalis yang berujung pada penguatan kultus individu
(individual cults). Dalam sejarah agama-agama dunia sering dijumpai bahwa
betapa para pemeluk agama itu seringkali terjebak pada pola hidup feodalis
dan kultus yang berlebihan. Lebih ironis lagi apabila kultus yang berlebihan
itu kemudian berubah dan dipandang sebagai bagian inti dari doktrin
teologisnya yang harus diyakini kebenarannya. Hal ini terjadi pada beberapa
agama dunia.

Anda mungkin juga menyukai