Anda di halaman 1dari 23

i

MAKALAH
KONDISI AKTUAL SUMBERDAYA MANUSIA
MASYARAKAT MARITIM

MATA KULIAH PENGANTAR MARITIM


PROGRAM STUDI TEKNIK PENGOLAHAN PRODUK PERIKANAN
SEMESTER V

Disusun Oleh :
1. Bunga Reda Pertiwi (NIT. 20.4.02.064)

2. Muhammad Yusuf A.Z (NIT. 20.4.02.082)

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


BADAN RISET DAN SUMBER DAYA MANUSIA KELAUTAN DAN
PERIKANAN
POLITEKNIK KELAUTAN DAN PERIKANAN SIDOARJO
2022
ii

Kata Pengantar

Alhamdulillah hirobbil „aalamiin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan


semesta alam atas segala karunia nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun
dan menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul
“KONDISI AKTUAL SUMBERDAYA MANUSIA MASYARAKAT MARITIM”
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Maritim.
Meski telah disusun secara maksimal oleh penulis, akan tetapi penulis
sebagai manusia biasa sangat menyadari bahwa makalah ini sangat banyak
kekurangannya dan masih jauh dari kata sempurna. Karenanya penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga para pembaca dapat
mengambil manfaat dan pelajaran dari makalah ini.

Sidoarjo, 20 September 2022

Penulis
iii

DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ...............................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................iii
I. PENDAHULUAN ..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
1.2 Rumusan masalah ......................................................................................5
1.3 Tujuan .........................................................................................................6
II. PEMBAHASAN ................................................................................................7
2.1 Kondisi Aktual Sumberdaya Manusia .........................................................7
2.2 Regulasi Hukum Dan Kebijakan Pemerintah .............................................8
2.3 Mindset Kultural Masyarakat Maritim .......................................................15
2.4 Infrastruktur dan Teknologi Maritim ..........................................................17
III. PENUTUP .......................................................................................................19
3.1 Kesimpulan ...............................................................................................19
3.2 Saran .........................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................20
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kondisi aktual adalah kondisi yang sedang terjadi saat ini dengan kata
lain adalah kondisi yang sedang hangat diperbincangkan pada suatu tempat
penelitian, kondisi aktual biasa menjelaskan keadaan pada saat itu dan
dibandingkan dengan keadaan yang dicita-citakan (Hidayat, 2011).
SDM merupakan suatu usaha kerja atau jasa yang memang diberikan
dengan tujuan dalam melakukan proses produksi. Dengan kata lain Sumber
Daya Manusia adalah kualitas usaha yang dilakukan seseorang dalam
jangka waktu tertentu guna menghasilkan jasa atau barang.Masih terkait
dengan hal yang pertama, pengertian SDM yang kedua adalah dimana
manusia mampu bekerja menghasilkan sebuah jasa atau barang dari usaha
kerjanya tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan beragam
kegiatan yang memiliki nilai ekonomis atau dengan kata lain adalah kegiatan
tersebut bisa menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
hidup. (Sonny Sumarsono (2003, H 4)
Pembangunan ekonomi masyarakat pesisir pada kecamatan yang
terletak di wilayah pantai Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat hendaknya
dilakukan sebagai suatu proses sosial yaitu pertama perubahan yang terjadi
terus menerus. Model Pengembangan Ekonomi (Witarsa). Kedua usaha
meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dengan implikasi menaikkan
pendapatan per kapita yang terus berlangsung dalam jangka panjang. Ketiga,
perbaikan dan atau penataan sistem kelembagaan di berbagai bidang
(ekonomi, sosial, hukum, politik, budaya, dan lain-lain) terutama dari aspek
perbaikan organisasi dan regulasi. Dengan demikian pembangunan ekonomi
di wilayah pesisir harus dipandang sebagai suatu mekanisme di mana saling
keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya pembangunan ekonomi di daerah tersebut (Lembaga Survey dan
Kajian Kalimantan Barat, 2013)
Hasil kajian Lembaga Survey dan Kajian Kalimantan Barat, 2013 bahwa
pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Barat yang terus meningkat justru tidak
linier dengan peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, sehingga berbagai
komoditi ekonomi hasil laut yang sangat potensial seperti berbagai jenis ikan
yang bisa diolah menjadi dendeng, abon, kerupuk, bakso, ikan asin, ikan teri,
dan udang ebi, budi daya ikan dan rumput laut serta komoditi lain belum
memberikan kontribusi nilai ekonomi masyarakat pesisir yang signifikan
dengan komoditi sumber laut. Kondisi ini tidak mencerminkan fenomena
seperti adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak disertai dengan
ketidakselarasan pendapatan sosial yang tinggi. Meningkatnya investasi
tetapi pengangguran justru tidak berkurang. Meningkatnya anggaran
pembangunan tetapi kemiskinan dan ketertinggalan, merupakan kenyataan
yang tidak dapat dipungkiri. Dari hasil survey terhadap jumlah penduduk di
Kecamatan Mempawah Hilir yang berjumlah 56.612 orang (laki-laki sebanyak
28.594 orang, perempuan sebanyak 28.018), di mana sebagian besar atau
68 persen dari jumlah penduduk lakilaki bekerja sebagai nelayan, sedangkan
sisanya 32 persen bekerja pada sektor lain. Sementara 79 persen penduduk
wanita bekerja sambilan membantu suami, berjualan dan lain. Carlssona
(2005) menyatakan bahwa ketika ekonom melihat organisasi ekonomi secara
keseluruhan mereka kemudian mengajukan banyak pertanyaan tentang
efisiensi. Namun, selama beberapa dekade, ekonom tidak bertanya tentang
biaya dan manfaat dari menurunnya atau kerusakan lingkungan (modal alam)
2

wilayah pesisir laut akibat kegiatan proses produksi. Hal ini juga dapat
mengakibatkan suatu kondisi di mana kegiatan produktif melebihi
kemampuan ekosistem untuk mendukung produksi ekonomi.
Ketika batas ekologi terlampaui dari waktu ke waktu, sebuah kesulitan
sosial akhirnya dapat terjadi melalui runtuhnya sumber daya terkait seperti
perikanan. Spektrum yang luas dari informasi tentang proses ekosistem,
kesehatan, manfaat dan nilai-nilai ekonomi pesisir sangat penting dikelola
dengan baik dan benar dalam mempertahankan modal alam di wilayah
pesisir untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Tujuan
penelitian (1) untuk mengetahui permasalahan umum yang dihadapi
masyarakat pesisir di Kabupaten Pontianak. (2) Mengetahui komponen urgen
pengelolaan sumberdaya pesisir, (3) Mengidentifikasi faktor-faktor internal
yang Jurnal Economia, Volume 11, Nomor 1, April 2015 mempengaruhi
pemberdayaan masyarakat pesisir, (4) Mengidentifikasi faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir, (5)
Mengidentifikasi Peringkat prioritas comanagement sumberdaya perikanan.
Ekonomi masyarakat pesisir merupakan kegiatan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Pengaturan wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tahun 2011, Mahkamah Konstitusi
(2010:164-165) menyatakan bahwa hak pengusahaan perairan pesisir
bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak ini
dikhawatirkan akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dikuasai oleh
pemodal besar, sehingga nelayan tradisional yang telah menggantungkan
kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir.
Menurut Mahkamah Konstitusi, salah satu tujuan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil adalah memperkuat peran serta masyarakat
dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil agar tercapai keadilan,
keseimbangan dan berkelanjutan. Dalam pengusahaan perairan pesisir,
menurut Suseno (201:27-8) terdapat beberapa aspek yang perlu
diperhatikan, yaitu aspek sosial, perikanan, jasa-jasa lingkungan, dan
keseimbangan lingkungan hidup. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan hidup dalam proses pembangunan adalah prinsip yang
senantiasa harus menjadi dasar utama bagi seluruh stakeholder.
Secara umum prinsip pengelolaan sumber daya meliputi empat hal, yaitu
1) prinsip kehati-hatian. Hal ini termasuk dalam Code of Conduct for
Responsible Nature 1995, yang menyebutkan negara harus memberlakukan
pendekatan yang bersifat kehati-hatian secara luas demi konservasi,
pengelolaan, dan pengusahaan sumber daya hayati guna melindungi dan
mengawetkan lingkungannya, 2) prinsip tanggung Jawab, pengelolaan yang
bertanggung jawab tidak memperbolehkan hasil tangkapan melebihi jumlah
potensi lestari yang boleh ditangkap, 3) prinsip Keterpaduan, yaitu
keterpaduan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan
masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya, 4) prinsip Berkelanjutan
yaitu konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
mengintegrasikan komponen ekologi, ekonomi dan sosial.
Setiap komponen itu saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu
kekuatan dan tujuan. Alasan pentingnya tujuan pengelolaan ekonomi pesisir
bahwa ekonomi ekologi meneliti hubungan antara ekosistem, ekonomi, dan
kesejahteraan manusia. Hal ini bisa dibilang salah satu daerah yang paling
cepat berkembang dalam bidang ekonomi. Sweeden et al (2008) menyatakan
pemahaman ekonomi pesisir memberikan kontribusi ekonomi penting dari
3

ekosistem untuk perekonomian karena beberapa alasan. Pertama, ekosistem


pesisir yang sangat produktif dan memberikan kontribusi sejumlah besar nilai
ekonomi terhadap perekonomian pesisir. Kedua, semua negara pada
umumnya, dan ekonomi pesisir khususnya, memiliki sistem yang kompleks
dari kepemilikan, pasar, organisasi produktif, Model Pengembangan Ekonomi
…. (Witarsa) 29 dan pemerintah yang menentukan siapa yang menerima
manfaat ekonomi dan yang membayar biaya produksi. Carlssona (2005)
menyatakan,“comanagement, or the joint management of the commons, is
often formulated in terms of some arrangement of power sharing between the
State and a community of resource users. In reality, there often are multiple
local interests and multiple government agencies at play, and comanagement
can hardly be understood as the interaction of a unitary State and a
homogeneous community”. (Berkes 1998:12). Singleton (1998:7)
menyatakan, ”co-management as „the term given to governance systems that
combine state control with local, decentralized decision making and
accountability and which, ideally, combine the strengths and mitigate the
weaknesses of each”. Grazia et al (2007) menyatakan, ”co-management a
situation in which two or more social actors negotiate, define and guarantee
amongst themselves a fair sharing of the management functions, entitlements
and responsibilities for a given territory, area or set of natural resources”.
Arifin (2004:6) menyatakan comanagement memadukan antara unsur
masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dll) dan
pemerintah yang menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasaan
aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi. Dalam jangka panjang,
pelaksanaan co-management ini diyakini akan memberikan
perubahanperubahan ke arah yang lebih baik yaitu: 1) meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir dan laut dalam
menunjang kehidupan, 2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga
mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan secara terpadu, 3)
meningkatkan pendapatan masyarakat dengan bentuk-bentuk pemanfaatan
yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan. Seperti yang
dikatakan oleh Cundill dan Christo (2009) co-management is a relationship
between a resource-user group and another organization or entity (usually a
government agency) for the purposes of fisheries management in which
some degree of responsibility and/or authority is conferred to both parties.
Co-management presupposes that parties have, in a formal or semi-formal
way, agreed on a process for sharing management rights and responsibilities.
But getting to comanagement involves institution building, the development of
trust and social capital, and generally a long voyage on a bumpy road. Co-
management emerges out of extensive deliberation and negotiation, and the
actual arrangement itself evolves over time. Menjamin keadilan dan
berkelanjutan sumberdaya perikanan perlu diperhatikan untuk menjaga
ekosistem pesisir. Luky dan Dede (2009:41) menyatakan one of the key
factors in understanding the dynamics between fishers, fish farmers and the
economic and social environment is the concept of fishing rights. Prior to
introducing a fisheries co-management arrangement, and in order to ensure
fairness and sustainability in the management of fishing Jurnal Economia,
Volume 11, Nomor 1, April 2015 30 communities, the rights-based fisheries
concept must be considered. Agus et al (2010:2) menegaskan secara
alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga
dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya
perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya
4

perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi


kebijakan perikanan itu sendiri. Terkait dengan tiga dimensi tersebut,
pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan
keseimbangan ketiga dimensi tersebut, di mana kepentingan pemanfaatan
untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar
dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain,
pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam sebuah
batasan ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target
pengelolaan. Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui
pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem
approach to fisheries) menjadi sangat penting. A. Muluk et al (2009)
menyatakan Hirarki Co-Management Perikanan muncul karena adanya
berbagai kemungkinan proses pengambilan keputusan yang melibatkan
masyarakat lokal dan pemerintah. Terdapat 3 hal yang menentukan variasi
bentuk CoManagement serta hirarkinya yaitu: (1) Peranan pemerintah dan
masyarakat dalam pengambilan keputusan; (2) Bentuk tugas dan fungsi
manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan
masyarakat atau didistribusikan di antara kedua pihak; (3) tahapan proses
manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan betul-betul terwujud
(sebagai contoh, pada tahapan perencanaan, implementasi atau
evaluasi).Nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang
di kawasan pesisir pantai. Dalam konteks ini masyarakat nelayan
diidentifikasikan sebagai kesatuan sosial kolektif masyarakat yang hidup di
kawasan pesisir yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut
dengan mata pencahariannya menangkap ikan dilaut, yang pola prilakunya
diikat oleh sistem nilai budaya yang berlaku, memiliki identitas bersama dan
batas-batas kesatuan sosial, struktur sosial yang mantap dan masyarakat
terbentuk karena sejarah sosial yang sama.
Menurut Arif Satria (2015:23) wilayah pesisir merupakan entitas sosial
ekonomi, sosial- budaya, serta sosial ekologis yang menjadi batas antara
daratan dan lautan. Sebagai masyarakat pesisir, nelayan dituntut mampu
beradaptasi terhadap kondisi sumber daya pesisir (SDP) dan laut yang khas
seperti ikan yang mampu berimigrasi, pemanfaatan SDP oleh berbagai pihak
degradasi SDP, dan kurang jelasnya batasan- batasan kepemilikan SDP.
Sebuah entitas sosial, masyarakat nelayan memiliki sistem budaya yang
tersendiri dan berbeda dengan masyarakat lain yang hidup di daerah
pegunungan, lembah atau di daerah dataran rendah, dan perkotaan.
Masyarakat yang menetap di wilayah pesisir memiliki cara pandang tertentu
tentang pengetahuan dan teknologi, religi (pandangan hidup), bahasa, seni,
mata pencaharian, dan organisasi.
Melalui analogi ada tujuh unsur universal budaya. Ketujuh unsur tersebut
diarahkan pada pemberdayaan dan sumber daya kelautan pertumbuhan dan
dinamika masyarakat yang menetap di wilayah perairan, pesisir (Martin dan
Meliono, 2011).
Bagi masyarakat pesisir, sikap hidup dasar masyarakat tersebut adalah
memiliki atau menganggap bahwa laut merupakan sumber daya alam
kelangsungan kesejahteraan. Oleh karena itu, masyarakat pesisir di wilayah
Indonesia memiliki cara pandang tertentu terhadap sumber daya laut dan
persepsi kelautan. Melalui latar belakang budaya yang dimiliki oleh
masyarakat pesisir, muncul berbagai pengetahuan lokal yang digunakan
sebagai pedoman untuk mengatasi berbagai gejala alam, pengetahuan
tentang habitat laut dan pelayaran. Sistem pengetahuan merupakan salah
satu unsur kebudayaan universal, yang ada dan bisa didapatkan di dalam
5

semua kebudayaan di dunia, baik dalam masyarakat pedesaan yang kecil


terpencil maupun dalam masyarakat perkotaan yang besar kompleks
(Koentjaraningrat, 1992: 2).
Sistem pengetahuan lahir dari hasil pengalaman dan daya kreativitas
Hairudin & Sri Wahyuni / JMM Vol 3 No 2 (2019) 50-64 52 masyarakat untuk
digunakan sebagai petunjuk atau pedoman dalam melakukan aktivitas demi
kelangsungan hidup seharihari. Sistem pengetahuan tersebut diwariskan dari
satu generasi kegenerasi berikutnya. Dalam proses pewarisan, sistem
pengetahuan tidak diterima begitu saja, tetapi telah teruji kebenarannya
berdasarkan pada berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang berulang-
ulang dialami, seperti didengar, dilihat, dan dirasakan, baik dari sendiri
maupun dari orang lain.
Masyarakat dalam mengelola serta ada memelihara dan memanfaatkan
sumber daya hayati berdasarkan pengetahuan yang dimiliki yang
diaplikasikan dalam kehidupan. Mereka sehari-hari karena karateristik
penduduknya bersifat heterogen, solidaritas bersifat mekanik, sumber
penghasilan sebagai nelayan, memiliki ketergantungan terhadap laut, wilayah
melaut daerah pesisir pantai dan laut dalam, alat tangkap yang digunakan
masih bersifat tradisional seperti jaring,pancing dan sampan , pendapatan
berskala kecil dan memiliki pola kerja yang berpindah-pindah sesuai dengan
kondisi laut. Kemudian hal ini yang masih dipertahankan dan di wariskan ke
generasi seterusnya.
Sejalan dengan perkembangan modernisasi, sistem pengetahuan
berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakat setempat. Dalam perkembangannya senantiasa
melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal guna menyesuaikan
kondisi kekinian. Perkembangan sistem pengetahuan dan teknologi yang
makin pesat itu, tidak berarti akan menggiurkan semua orang atau
masyarakat nelayan untuk menerima dan menerapkan teknologi modern
tersebut, akan tetapi ada sekelompok orang atau masyarakat nelayan yang
masih tetap mempertahankan cara-cara yang mereka miliki dalam
menghasilkan tangkapan seperti cara berkelong, memancing, mencari kuda
laut, gamat, sotong dan udang.
Untuk mempertahankan hal tersebut perlu senantiasa dilakukan
pengkajian tentang pengetahuan tradisional nelayan Pulau Kasu seperti
musim air, musim angin, musim arus, bulan dan tanda alam lainya. Katarestik
nelayan adalah nelayan tradisional pulau kecil dan masyarakat desa pantai
yang wilayah areal tangkap adalah pesisir pantai, wilayah karang dangkal,
padang lamun, laut dalam, dan wilayah mangrove. Dengan hasil tangkapan
berupa ikan, kuda laut, sotong dan udang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi aktual sumberdaya manusia masyarakat


maritim ?
2. Apakah dalam hal regulasi hukum dan kebijakan pemerintah telah
sesuai dengan yang diharapkan ?
3. Apakah mindset kultural masyarakat maritim yang ada saat ini
sudah dapat mendukung dan mendorong pembangunan ?
6

4. Apakah Infrastruktur dan Teknologi yang ada dapat


mengembangkan sumberdaya manusia maritim ?
1.3 Tujuan
Agar mengetahui kondisi aktual sumberdaya manusia masyarakat maritim
yang meliputi permasalahan regulasi hukum dan kebijakan pemerintah, mindset
kultural masyarakat maritim, infrastruktur dan teknologi.
7

II. PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Aktual Sumberdaya Manusia Masyarakat Maritim

Sumber : Data Sekunder


Google

Kondisi wilayah pesisir di Indonesia secara umum, dan di beberapa


wilayah secara khusus sudah sangat memprihatinkan. Oleh karena itu
dibutuhkan kepedulian dan tindakan nyata dari berbagai pihak untuk
mengatasi kondisi ini, termasuk partisipasi dari masyarakat setempat.
Masyarakat pesisir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
pembangunan di wilayah pesisir. Masyarakat pesisir, telah lama mendiami
daerah pesisir. Mereka tentunya sangat berkepentingan terhadap lingkungan
pesisir dan laut karena pesisir dan laut tersebut berperan sebagai tempat
mencari pendapatan hidup. Keberadaan masyarakat pesisir tentunya tidak
terlepas dari nilai-nilai lokal, baik nilai-nilai yang masih mereka pertahankan
maupun nilai-nilai yang telah mereka tinggalkan, baik nilai-nilai yang sudah
lama ada dan terus diwarisi maupun nilai-nilai yang baru muncul karena
kesadaran mereka terhadap lingkungan pesisir dan laut yang semakin
terdegradasi.
Masyarakat pesisir pada umumnya mempunyai kebudayaan yang
berbeda dengan masyarakat non pesisir, karena adanya perbedaan
kebutuhan dan kondisi lingkungan. Pengetahuan masyarakat pesisir yang
identik dengan pengetahuan nelayan / penangkapan ikan cenderung akan
mengarah kepada pengetahuan mengenali cuaca dan kondisi alam serta
pengetahuan lingkungan masyarakat pesisir.
Proses transformasi sistem pengetahuan di dapatkan dari generasi
selanjutnya oleh generasi sebelumnya. Hal tersebut bisa dikatakan bahwa
mata pencaharian nelayan merupakan aktivitas ekonomi yang paling tua
dalam ekonomi maritim yang di buktikan dengan peninggalan arkeologis dari
jaman batu pertengahan berupa ditemukanya sampah dapur yang sudah
memfosil yang berasal dari kulit kerang dan tulang dari berbagai binatang laut
yang merupakan sisa makanan zaman batu.
8

Bukti menunjukan betapa nenek moyang terdahulu sudah memanfaatkan


sumber daya bahari sebagai makanan mereka. Proses penyampaian sistem
pengetahuan oleh nelayan di dapatkan secara turun temurun melalui
percakapan lisan orang tua terdahulu, kerabat dekat, dan pengalam nelayan
sendiri ketika melakukan aktivitasnya di laut dalam bentuk fenomena alam
yang dilihat secara langsung. sistem pengetahuan yang dipelajari masyarakat
nelayan banyak tanpa meniggalkan catatan atau dokumen sehingga untuk
melacak secara tepat awal muncul keberadaanya sukar di lakukan.
Pengetahuan tentang laut biasanya di wariskan secara turun temurun dari
generasi ke generasi sehingga menjadi kearifan lokal budaya setempat.
pengetahuan tradisional tentang laut di ajarkan orang tua kepada anaknya
ketika mereka masih kecil dan mengenyam pendidikan formal. Nelayan
beranggapan bahwa perlu adanya di samping pendidikan formal
pengetahuan tentang laut juga sangat dibutuhkan untuk dipelajari karena
pengetahuan melaut sudah di turunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Secara tradisional, pengetahuan tentang laut tidak memandang
tinggi rendahnya suatu pendidikan formal yang dimiliki seseorang hal ini
dikarenakan ilmu pengetahuan tentang laut secara tradisional khususnya
masyarakat nelayan pesisir tidak bisa didapatkan melalui pendidikan formal
sehingga pendidikan tidak bisa menjadi tolak ukur dalam mengetahui dalam
sistem pengetahuan masyarakat nelayan pesisir.

2.2 Regulasi Hukum Dan Kebijakan Pemerintah

Sumber : Data Sekunder


Google

Indonesia sebagai Negara hukum, termasuk kategori Negara hukum


modern. Konsepsi Negara hukum modern secara konstitusional dapat dirujuk
pada rumusan tujuan Negara yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial.
Nomrmalisasi tujuan Negara tersebut, khususnya memajukan kesejahteraan
umum dan mewujudkan keadilan sosial antara lain termuat dalam Pasal 33
9

UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hak penguasaan Negara
mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian dan kegiatan
perekonomian yang dikehendaki dalam Negara Indonesia, tetapi Pasal 33
bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan
kesejahteraan sosial. Berdasarkan pemikiran yang demikian, maka upaya
memahami Pasal 33 tidak terlepas dari dasar pemikiran tentang
kesejahteraan sosial (Bagir Manan, 1995 : 55). Atas dasar itu pula, sehingga
tujuan hak penguasaan Negara atas sumberdaya alam ialah keadilan sosial
dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keterkaitan hak penguasaan
Negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menurut Bagir Manan
(dalam Abrar Saleng, 2004: 17) akan mewujudkan kewajiban Negara : (1)
Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang di dapat
(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat; (2) Melindungi dan menjamin segala hak-hak
rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan
alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati oleh
rakyat; (3) Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan
menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan
haknya dalam menikmati kekayaan alam. Ketiga kewajiban di atas, sebagai
jaminan bagi tujuan hak penguasaan Negara atas sumberdaya alam yang
sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu,
Negara hanya melakukan bestuursdaad dan beheersdaad dan tidak
melakukan eigensdaad. Artinya secara a contrario, apabila hak penguasaan
Negara diartikan sebagai eigensdaad maka tidak ada jaminan bagi
pencapaian tujuan hak penguasan Negara yaitu sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Lebih lanjut Bagir Manan merumuskan cakupan
pengertian dikuasai oleh Negara atau hak penguasaan Negara sebagai
berikut: (1) Penguasaan semacam pemilikan oleh Negara. Artinya Negara
melalui pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk
menentukan hak, wewenang atasnya. Termasuk di sini bumi, air dan
kekayaaan yang terkandung di dalamnya. (2) Mengatur dan mengawasi
penggunaan dan pemanfaatan; (3) Penyertaan modal dan dalam bentuk
perusahaan Negara untuk usaha-usaha tertentu. Apabila konsep Negara
kesejahteraan dan fungsi Negara menurut W. Friedmann dikaitkan dengan
konsepsi hak penguasaan Negara untuk kondisi Indonesia dapat diterima
dengan beberapa kajian kritis sebagai berikut (Abrar Saleng, 2004 : 18-19) :
Pertama, hak penguasaan Negara yang dinyatakan dalam pasal 33 UUD
1945 memposisikan Negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan
rakyat. Fungsi Negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Artinya
melepaskan suatu bidang usaha atas sumberdaya alam kepada koperasi,
swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan
yang bersifat khusus. Karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh Negara. Kedua, hak
penguasaan Negara dalam pasal 33 UUD 1945, membenarkan Negara untuk
mengusahakan sumberdaya alam yang berkaitan dengan public utilities dan
public service atas dasar pertimbangan : filosofis (semangat dasar dari
10

perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis


(kepentingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoly yang
merugikan perekonomian Negara), ekonomi (efisien dan efektifitas) dan demi
kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Khusus
berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya laut
maka dapat dijelaskan bahwa paling sedikit terdapat tiga ciri dari kebijakan
pengelolaan sumberdaya laut yang dipraktekkan selama ini, yakni (1)
sentralistik, (2) didasarkan pada dokrin common property dan (3)
mengabaikan pluralism hukum. Sentralistik kebijakan menyangkut substansi
sekaligus proses pembuatannya. Substansi kebijakan yang sentralistik
tercermin pada kewenangan pengelolaan sumberdaya laut, setidak-tidaknya
hak itu terjadi disektor perikanan.
Disektor ini, proses perizinan maupun pejabat yang berwenang
memberikan hampir seluruhnya berada di tangan pemerintah pusat.
Kalaupun ada pendelegasian kewenangan kepada gubernur, hal itu semata-
mata dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat di daerah.
Demikian pula proses penetapan kebijakannya, hampir semuanya melibatkan
pemerintah pusat. Indikasinya, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam laut
pada umumnya dikemas dalam bentuk undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan presiden yang dalam proses penetapannya semata-
mata melibatkan aparat pemerintah pusat. Kebijakan pengelolaan
sumberdaya laut yang diasarkan pada common property sebagai ciri kedua
juga mengandung sejumlah kelemahan.
Dengan mendasarkan kebijakan pada dokrin common property maka laut
diposisikan sebagai sumberdaya milik bersama. Konsekuensinya, laut
diperlakukan laksana harta tak betuan dimana setiap orang leluasa
melakkukan okupasi dan eksploitasi (open access). Karakteristik seperti ini
sangat jelas dalam Undang-Undang Perikanan dan kebijakan lainnya. Ini pula
yang antara lain melatar belakangi munculnya berbagai konflik dalam
penggunaan sumberdaya terutama antara nelayan tradisonal dengan
perusahaan penangkapan ikan. Sebagai dasar pembentukan kebijakan
pengelolaan laut, dokrin common property sesungguhnya mempunyai banyak
kelemahan. Francois T Christy (dalam M. Arif Nasution dkk, 2005 : 105)
mengungkapkan adanya empat akibat buruk dari suatu kebijakan
pengelolaan sumberdaya laut yang didasarkan pada dokrin common property
yaitu (a) pemborosan sumberdaya secara fisik, (b) inefisiensi secara
ekonomi, (3) kemiskinan nelayan, dan (4) konflik antara pengguna
sumberdaya. Sementara pengabaian pluralism hukum, yang merupakan ciri
ketiga dari kebijakan pengelolaan laut selama ini, menjelama dalam bentuk
ketiadaan pengakuan terhadap sistem pengeloaan sumberdaya laut
berdasarkan hukum adat.
Padahal secara faktual sistem pengelolaan semacam itu masih
dipraktekkan di berbagai daerah. Beberap contoh yang dapat dikemukakan,
seperti sistem hak wilayah laut di Maluku atau perikanan Bagang dan
romping di Sulawesi Selatan. Bahkan pada derajat tertentu, pluralism hukum
dalam pengelolaan sumberdaya laut juga mengisyaratkan bahwa laut dapat
11

menjadi obyek pemilikan tunggal, sesuatuyang berbeda secara diametal


dengan doktrin common property. Peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan perairan pulau-pulau kecil
adalah sebagai berikut : (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Lingkungan Hidup. Undang-undang ini menentukan bahwa sasaran
pengelolaan lingkungan hidup adalah (a) tercapainya keselarasan,
keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; (b)
terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana, hak dan
kewajiban dan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA). Di dalam UUPA diatur mengenai hak menguasai oleh
Negara atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya. Selain itu juga diatur hak ulayat, hak-hak atas tanah, dan hak
atas air. (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-Undang nomor 5
Tahun 1990 tersebut lebih banyak memusatkan perhatian pada pengaturan
tentang kelestarian sumberdaya alam. Konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian
sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistem, sehingga dapat
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-Undang ini terkesan lebih menitik
beratkan perhatian pada eksploitasi dari pada kelestarian sumberdaya
tambang. Di dalam undang-undang ini hanya terdapat satu pasal
perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan. (5) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang Pembentukan Undang-undang
Tata Ruang didasarkan pada asas-asas pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi,
selaras, seimbang dan berkelanjutan dan asas keterbukaan, persamaan,
keadilan dan perlindungan hukum. Undang-undang Tata Ruang mengatur
tata ruang yang meliputi darat, laut dan udara, sehingga undang-undang ini
sangat penting dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (6)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Pasal 4
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan
bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana
dimaksud di atas memberi wewenang kepada pemerintah untuk : (a)
Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan; (b) Menetapkan status wilayah tertentu
sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai
bukan kawasan hutan; (c) Mengatur dan menetapkan hubungan hukum
antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai
hutan. Penguasaan hutan Negara tetap memperhatikan hak masyarakat
adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. (7) Undang-Undang
12

Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Pasal 3 ayat (2) menyebutkan


bahwa : “Pemerintah melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam secara
terpadu dan terarah dengan melestarikan sumberdaya alam beserta
lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia”
Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah menunjukkan bahwa
pengelolaan sumberdaya ikan masih berjalan pada semangat sentralistik.
Ruang bagi partisipasi public dalam pengambilan keputusan berkaitan
dengan pengelolaan ikan tidak ditemukan dalam undang-undang Perikanan.
Demikian pula perlindungan pada hak masyarakat adat. Tidak ada satu
pasalpun dalam undang-undang ini yang menyebutkan tentang masyarakat
adat dan hak-haknya atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya ikan.
(8) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Perairan. Di dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang perairan, pengaturan air
dibatasi pada air yang terdapat di atas atau di bawah permukaan tanah, dan
tidak termasuk ait yang terdapat di laut. (9) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Di dalam undang-undang ini,
pemerintah memberikan kewenangan kepada pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengelola perairan laut pesisir dan
perairan laut pulau-pulau kecil sampai batas 12 mil. (10) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan. Undang-undang Hankam ini mengatur mengenai pengamanan
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang dilaksanakan dengan
konservasi dan diversifikasi serta didayagunakan bagi kepentingan
pertanahan keamanan Negara. (11) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990
tentang Keparawitasataan. Di dalam Undang-undang Keparawisataan diatur
pengusahaan obyek dan daya tarik wisata. 1.2. Masyarakat Hukum Adat dan
Hak-Haknya. Menurut Soekanto (1983 : 3), masyarakat hukum adat
merupakan subjek hukum, oleh karena bersifat otonom, yang kemudian
disebut otonomi desa; artinya masyarakat hukum tersebut
menyelenggarakan perbuatan hukum, misalnya mengambil keputusan yang
mengikat warga masyarakat , menyelenggarakan peradilan, mengatur
penggunaan tanah, mewarisi dan sebagainya. Menurut Ter Haar (Riyanto ,
2004 : 7), masyarakat hukum adat adalah kesatuan manusia yang teratur,
menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan
mempunyai kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para
anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam
masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak
seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, atau
meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-
lamanya. Soepomo (Riyanto, 2004 : 7-8) dalam mendiskripsikan masyarakat
hukun adat/persekutuan hukum adat menyatakan bahwa persekutuan-
persekutuan hukum di Indonesia dapat dibagi menjadi dua golongan,
menurut dasar susunannya, yaitu (a) yang berdasarkan pertalian suatu
keturunan (genealogis); dan (b) yang mendasarkan lingkungan daerah
(territorial).
13

Masyarakat adat merupakan salah satu segmen riil dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara dan memiliki berbagai kepentingan yakni
kepentingan politik, ekonomi, budaya, hukum, politik, perekonomian, sejarah
dan hak atas kehidupan otonom. Masyarakat adat juga memiliki lingkungan
alam dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta kebebasan
untuk mengelola serta memanfaatkan sumberdaya alam secara arif (Titahelu
: 1998) Salah satu antropolog Indonesia yaitu Koentjaraningrat (1993)
menggunakan istilah masyarakat terasing yaitu masyarakat yang terisolasi
dan memiliki kemampuan terbatas untuk berkomunikasi dengan masyarakat
lain yang lebih maju. Kelompok masyarakat tersebut bersifat terbelakang
serta tertinggal dalam prsoses mengembangkan kehidupan ekonomi, politik,
sosial budaya dan ideologi.
Soebroto (1999) menggunakan istilah masyarakat adat untuk
menunjukkan kelompok masyarakat itu dengan karakteristik bersifat otonom
yaitu kuasa untuk mengatur sistem kehidupannya sendiri (hukum, politik,
ekonomi) dan bersifat otonom yaitu suatu kesatuan yang lahir atau dibentuk
oleh masyarakat itu sendiri. Hasil dari kegiatan Kongres Masyarakat Adat
Nusantara merumuskan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-
komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di
atas wilayah adat yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam,
kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat
yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya (Rudito, 1999).
Hubungan-hubungan sosial antar anggota persekutuan masyarakat adat
diatur oleh hukum adat yang mengatur hubungan-hubungan hukum (hak dan
kewajiban) antara orang atau organisasi dalam suatu persekutuan adat
dengan sumber-sumber alam diwilayah mereka. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, maka dari hukum adat akan muncul konsepsi tentang hak
adat. Pada dasarnya hak adat dapat dikatakan sebagai hak masyarakat adat
untuk menguasai, memiliki, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam
dalam wilayahnya.
Dalam konsep hak tenurial adat, subyek hukum yang berhak mengelola
dan memanfaatkan sumber-sumber alam hanyalah anggota masyarakat adat
setempat, yang bukan anggota masyarakat adat setempat tidak memiliki hak
apapun, kecuali atas izin masyarakat adat yang bersangkutan, sebab inti dari
hak adat adalah kedaulatan masyarakat adat setempat atas wilayah mereka.
Identifikasi tentang masyarakat adat bukan saja berkaitan pada konsep-
konsep yuridis tentang apa yang disebut sebagai masyarakat adat dan
dimanakah kedudukannya, tetapi pada dasarnya juga mengarah pada suatu
tuntutan pengakuan dari masyarakat adat atas hak-hak mereka yang
berhubungan dengan kedudukannya sebagai masyarakat adat. Tuntutan
pengakuan dari masyarakat adat atas hak-hak mereka berpegang pada dua
hal yaitu : · Kedudukannya sebagai komunitas masyarakat adat; ·
Berakar pada susunan asli dan pertumbuhan masyarakat itu sendiri.
Pengakuan atas eksistensi atau keberadaan masyarakat adat sangat
beragam satu dengan lainnya.
14

Demikian pula bentuk pengakuan terhadap eksistensi atau keberadaan


masyarakat adat oleh pemerintah daerah yang berbeda. Selain kebijakan
yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat, terdapat pula
kesepakatan-kesepakatan internasional yang sebagian telah diratifikasi ke
dalam kebijakan-kebijakan perundang-undangan Republik Indonesia dan
juga wacana-wacana masyarakat di tingkat nasional misalnya antara lain
tentang sistem penguasaan tanah. Hukum adat sebenarnya mengakui
bahwa penguasaan suatu wilayah petuanan negeri ditandai dengan aktivitas
atau kegiatan-kegiatan dari warga atau anak negeri tersebut, misalnya
dengan kegiatan berkebun, berburu untuk mencari hasil hutan dan
sebagainya ( Ter Haar ) Semua ini merupakan bukti bahwa warga atau anak
negeri dari negeri tersebut telah berulang kali mengusahakan tempat atau
wilayah tersebut, sehingga secara nyata (de facto) mereka menguasai
wilayah tersebut. Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah apakah
secara hukum (de yure) hal itu dapat diterima. Berkaitan dengan masalah
hukum ini sebenarnya harus dibarengi atau diikuti dengan pengakuan baik
lisan maupun tertulis bahwa wilayah tersebut memang milik warga atau milik
negeri tersebut. Hal itu dapat kita lihat dari kesepakatan-kesepakatan antar
warga atau negeri-negeri tertentu, yang ditaati oleh mereka baik secara
individu (pribadi) maupun warga masyarakat negeri secara keseluruhan.
Patut diakui bahwa penguasaan baik de facto maupun de yure seperti
disebutkan di atas kadang-kadang tidak di akui juga oleh penguasa negara,
sehingga melahirkan konflik atau pertentangan.
Negara hadir dengan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan
yang cenderung merugikan warganya sendiri. Padahal negara seharusnya
mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber-
sumber (Sumber-sumber Agraria meliputi tanah atau bumi dan barang-
barang atau benda-benda yang terkandung didalamnya termasuk dalam
wilayah perairan maupun udara ) agraria yang mereka miliki. Selama ini ada
kelemahan yang dimiliki oleh masyarakat adat ialah batas-batas wilayah yang
kurang jelas, siapa pemegang hak atas wilayah tersebut, objek apa saja yang
ada di atas tanah tersebut dan jenis hak apa saja yang melekat pada bidang
tanah itu dan sebagainya. Kondisi inilah yang membuat masyarakat adat
mempunyai kemampuan tawar-menawar (bargaining power) yang agak
lemah, menghadapi pihak-pihak tertentu, katakanlah pemerintah dan
pengusaha yang mendapat izin dari pemerintah karena mempunyai
kekuasaan dan uang. Masyarakat yang mengakui keberadaannya sebagai
masyarakat adat, tidak dapat diterima begitu saja, tetapi harus
memperlihatkan identitas, kriteria dan aktivitas tertentu yang mencerminkan
nilai-nilai dan norma sebagai suatu masyarakat adat. Pengelolaan atas
sumberdaya laut pada hakikatnya berjalan beriringan dengan pengelolaan
atas sumberdaya yang ada di darat.
Jadi, sumber daya di darat maupun sumberdaya di laut adalah
merupakan milik masyarakat adat. Dikatakan sebagai suatu milik dari
masyarakat berarti adanya hak dari masyarakat itu diatas suatu wilayah
tertentu yang cukup luas. Hak tersebut bukan merupakan hak yang disebut
15

bersifat hukum privat ataupun bersifat hukum public, tetapi merupakan


sekumpulan hak dan kewajiban dari (a) masyarakat atau keluarga anggota
masyarakat adat; (b) masyarakat adat secara bersama-sama, dan (c) orang
lain bukan anggota masyarakat adat tetapi memperoleh ijin memakai atau
menggunakan tanah dengan memenuhi syaratr-syarat tertentu sebelumnya,
yakni membayar sesuatu (recognitie). Apa yang dikemukakan terakhir ini
menunjukkan bahwa masyarakat adat yang menempati peisisr laut, memiliki
wilayah petuanan atau wilayah ulayat yang dapat berada di darat maupun di
pesisir laut. Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan perairan pada pulau-
pulau kecil, maka hukum adat dan hukum kebiasaan yang ada di dalam
masyarakat yang memukimi pesisir dan pulau-pulau kecil, merupakan salah
satu akses yang diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumber-sumber
daya alam setempat, dan juga untuk melindungi sumberdaya tersebut
terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi berupa degradasi,
atau eksploitasi berlebihan. Negara seringkali tidak dapat melakukan
pengawasan jauh sampai ke dalam lingkup dimana usaha-usaha berskala
kecil, menengah maupun besar beroperasi di wilayah pesisir dan laut atau
pulau-pulau kecil yang jauh dari pusat-pusat pemerintahan. Sebaliknya,
tempat-tempat usaha tersebut banyak berada disekitar bahkan ditengah-
tengah masyarakat yang memukimi pesisir maupun pulau-pulau kecil.

2.3 Mindset Kultural Masyarakat Maritim

Sumber : Data Sekunder


Google

Penguasaan riil atas wilayah oleh masyarakat adat sangat berkaitan


dengan hubungan-hubungan atau relasi yang mereka lakukan untuk
memenuhi kebutuhannya di atas wilayah tersebut dan umumnya adalah
sesuatu yang bersifat turun-temurun dari para leluhurnya.
Di dalam wilayah ini sebenarnya secara de yure terdapat wewenang dari
komunitas masyarakat adat. Wewenang yang dimaksudkan disini terkait
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam menurut prinsip-
prinsip hukum adat dengan kekhasan masing-masing. Ketika pengelolaan
16

wilayah pesisir dan perairan pulau-pulau kecil dikelola oleh kelompok


pengusaha yang mendapat izin dari pemerintah maka hak-hak masyarakat
adat menjadi tersingkir. Jadi dalam kenyataan penguasaan dan pengaturan
atas wilayah perairan pesisir dan pulau-puau kecil yang potensial senantiasa
menjadi kepentingan pengusaha dan didukung oleh pemerintah sehingga
kepentingan dari masyarakat nelayan yang merupakan bagian dari
masyarakat adat terabaikan. Berkaitan dengan batas-batas dan wewenang
yang dimiliki -dengan komunitas masyarakat adat.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah
menentukan batas kewenangan di laut bagi kabupaten dan kota sejauh 4 mil
laut, dan 4 mil sampai 12 mil bagi provinsi. Hal ini mengandung dua
pengertian yakni : (1) adanya pengabaian dari negara; (2) hukum adat
sebagai suatu realitas sosial yang ada tidak diatur oleh negara, namun
negara memandang hukum adat tersebut dapat digeser melalui berbagai
kebijakan dalam kurun waktu tertentu. Keadaan yang demikian pasti
menimbulkan ketidak seimbangan karena terdapat dominasi yang kuat dari
pihak pemerintah.
Pada hal secara konstitusional komunitas masyarakat adat diakui
eksistensinya termasuk wilayah petuanan ( ulayat ) baik di laut maupun di
darat. Dengan demikian, perlu adanya keseimbangan dalam penguasaan
wilayah pesisir dan perairan pulau-pulau kecil oleh masyarakat adat dikaitkan
dengan kebijakan pemerintah tentang batas wewenang pengelolaan wilayah
pesisir dan laut. Dalam perspektif ini terdapat juga sebuah pengakuan yaitu
pengakuan yang diberikan oleh negara yang dapat dikategorikan sebagai
pengakuan obyektif.
Penerapan keseimbangan disini pada hekikatnya adalah keseimbangan
antara kepentingan-kepentingan negara maupun kepentingan swasta pada
satu sisi dan pada sisi yang lain perlu diperhatikan kepentingan
masyarakat adat juga. Dengan demikian wewenang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diimplementasikan dengan baik,
berdasarkan nilai, asas dan norma dalam suatu nuansa yang harmonis tanpa
menimbulkan konflik.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis menarik beberapa
permasalahan yang diidengtifikasikan untuk mendapat solusi penyelesaian
adalah sebagai berikut, bagaimana pengaturan dan perlindungan hukum
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap eksistensi
masyarakat adat.

2.4 Infrastruktur dan Teknologi Maritim


17

Sumber : Data Sekunder


Google

Sektor Transportasi Laut yang telah dikembangkan oleh Pemerintah


Indonesia melalui program Tol Laut dan Poros Maritim Dunia sangat membantu
terhadap distribusi barang dan penumpang ke berbagai wilayah di Indonesia.
Namun, kebanyakan kapal kembali (return) dengan muatan (payload) yang
minim yang berpengaruh pada tingginya tariff barang. Adanya peranan pemda
setempat untuk menyediakan komoditi lokal untuk dieksport ke luar daerah.
Masalah lain ialah minimnya peran kapal-kapal penunjang (feeder vessels) untuk
mendistribusikan barang ke pelosok terpencil. Peranan kapal-kapal pelayaran
rakyat (perla) harus dikembangkan oleh pihak otoritas dengan memperhatikan
aspek kenyamanan dan keselamatan pelayarannya. Kapal-kapal penyeberangan
(Ferry ro-ro) perlu dikaji secara cermat terkait payload dan dimensi sehingga
tidak perlu subsidi pemerintah atau kapal terbengkalai yang terlihat di beberapa
lokasi di Indonesia.
ITS terus menyebarkan riset dan inovasinya dengan banyak sekali pihak
buat mendukung pengembangan teknologi maritim. aneka macam desain kapal
karya ITS sudah diakui di taraf internasional, diantaranya kapal tenaga matahari
yang dibuat mempunyai kecepatan maksimal melalui riset bentukan serta
arsitektur kapal. pula ada kapal berbahan bambu yang sudah menerima
penghargaan Institution Medal of Distinction dari Royal Institute of Naval
Architects (RINA), Inggris. di sisi lain ITS pula mendukung pemerintah buat
mendukung keamanan negara yaitu dengan membuatkan riset kapal perang.
Eksplor berbagai produk inovasi ITS pada bidang kemaritiman Material
alternatif Bambu buat Produksi Kapal kecil Berbasis Efisiensi dan Berwawasan
Lingkungan Kelangkaan kayu menjadi material pembuatan kapal mengakibatkan
kelangsungan industri mungil menengah (IKM) galangan kapal berbahan kayu
sebagai tidak menentu. Kelangkaan ini mengakibatkan tingginya harga kayu yg
berdampak di harga kapal yang semakin tidak terjangkau. inovasi penggunaan
material bambu merupakan solusi sebab bambu memiliki jumlah populasi yg
melimpah. IMTS: Perangkat Pemantauan Kapal yang Terintegrasi Secara
Nasional saat ini, banyak kapal yg tidak memiliki ijin memasuki daerah Indonesia
serta melakukan pencurian ikan atau illegal fishing. Faktor penyebabnya karena
18

tidak adanya sistem teknologi gosip serta komunikasi yg bisa memantau


eksistensi kapal- kapal yg melakukan illegal fishing. Hal ini diatasi dengan
adanya Intelligent Maritim Transportation System (IMTS) yang dapat melacak
eksistensi kapal illegal. AIS ITS Automatic Identification System sesuai data pada
tahun 2009 terdapat 293 kecelakaan di laut Indonesia, serta sebagian
kecelakaan tersebut terkait dengan fasilitas serta pipa yg terdapat dibawah laut.
The International Maritime Organization (IMO) menyatakan kewajiban
menggunakan Automatic Identification System (AIS) yg berfungsi menjadi sistem
pelacakan otomatis buat menghidari tabrakan kapal.
19

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kondisi aktual sumberdaya manusia di wilayah maritim berfokus pada
beberapa bidang antara lain :
1. Ketidakmampuan masyarakat maritim memahami regulasi hukum
dan kebijakan pemerintah yang berkembang ataupun berubah-
ubah.
2. Permasalahan mindset kultural kesulitan untuk menerima jika ada
pembangunan dengan penyebab norma atau nilai warisan budaya
leluhur.
3. Infrastruktur dan teknologi yang ditujukan untuk sumberdaya
manusia masyarakat pesisir tidak merata atau terjadi kesenjangan
antara luar jawa dan jawa.
3.2 Saran
Untuk mengatasi kondisi aktual sumberdaya manusia diperlukan
penyuluhan dan pengarahan maupun pelatihan agar pembangunan dan
perkembangan sumberdaya manusia masyarakat maritim bisa maksimal
dan menjadi salah satu faktor pendorong pembangunan di bidang
maritim.
20

DAFTAR PUSTAKA

Anessia, R. (2018) Pengelolaan Wilayah Pesisir Melalui Wisata Bahari Studi


Kasus Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang Kota Batam (13 Juli
2019, 22:31)

Ikhsan, M. (2016) Pola Pendidikan Anak Suku Laut di Kampung Wisata Pang
Long Kabupaten Bintan Universitas Maritim Raja Ali Haji.(diakses 13 Juli
2019, 12:21 WIB)

Kurnia, S. (2017) Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemindahan Hujan di


Kecamatan Tualang Kabupaten Siak : Pekanbaru. Politeknik Universitas
Riau. (diakses 13 Juli 2019, 20:51 WIB)

Martin, R., & Meliono, I. (2011) Ritual Petik Laut Pada Masyarakat Nelayan
Sendang Biru, Malang di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Kampus
Depok.

Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah


Pesisir Tropis. Jakarta : PT Gramedia.

Dwi Susilo, Rachmad K. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta : Rajawali Pers.


Garna, Judistira K. 2009. Metoda Penelitian Kualitatif. Bandung : Primaco
Akademika.

Keraf, Sonny A. 2002. Etika Lingkungan : Teori-teori etika, etika Lingkungan dan
Politik Lingkungan; dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kembali ke
Kearifan Tradisional. Jakarta : Buku Kompas.

Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya
Alam. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai