Anda di halaman 1dari 29

EKONOMI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (EKI 314) C5

“KEBIJAKAN PEMECAHAN MASALAH LINGKUNGAN”

DOSEN PENGAMPU :

Drs. I Wayan Wenagama, M.P.


I Nyoman Wahyu Widiana, S.E., M.Si.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 4
Ni Luh Nyoman Tri Putri (2007511171)
I Made Bagus Arimanu Dwipayana (2007511178)

PROGRAM STUDI EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2022/2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
ABSTRAK ................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 5
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 7
1.4 Manfaat Penulisan .......................................................................................... 8
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 9
2.1 Model Kebijakan Lingkungan ........................................................................ 9
2.2 Pendekatan Komando dan Kontrol dalam Masalah Ekonomi Sumber Daya
dan Lingkungan ....................................................................................................... 14
2.3 Penetapan Standar yang Efisien Alokatif ..................................................... 19
2.4 Pemakaian Standar yang Efisien Biaya ........................................................ 23
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 27
3.1 Kesimpulan................................................................................................... 27
3.2 Saran ............................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 29

ii
ABSTRAK
Tingginya pertumbuhan penduduk yang diimbangi dengan padatnya aktivitas
perekonomian umat manusia berdampak pada berkurangnya kelestarian sumber daya
alam dan peningkatan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi terus menerus. Hal
tersebut akan berdampak buruk bagi keberlangsungan kehidupan makhluk hidup.
Diperlukan kebijakan dan hukum lingkungan untuk mengatasi hal tersebut. Peraturan
tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia diatur dalam Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan
14 asas hukum. Pendekatan komando dan kontrol digunakan untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan instrument intervensi pemerintah. Dalam hal permasalahan
lingkungan, diperlukan suatu standar atau konsep yang efisien alokatif dalam
mengangani permasalahan lingkungan tersebut dalam artian permasalahan lingkungan
dapat diatasi atau diminimalkan kerusakannya. Standar efisien biaya digunakan
mengingat dilakukan mengingat terbatasnya anggaran yang dimiliki tetapi banyaknya
permasalahan lingkungan yang ada.

Kata kunci : kebijakan lingkungan, pendekatan CAC, standar efisiensi

iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga
terwujud paper yang berjudul “ Kebijakan Pemecahan Masalah Lingkungan”. Paper
ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi nilai tugas kelompok pada mata kuliah
Ekonomi Pembangunan Berkelanjutan. Selain itu, pembuatan paper ini juga bertujuan
untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang bagaimana limbah padat
dan beracun disekitar kita serta mengetahui bagaimana penanganan limbah padat
berbahaya ini.

Selama proses penyusunan paper ini, penulis memperoleh banyak bantuan


dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Untuk itu
dari hati yang paling dalam penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulisan paper ini. Serta juga kami berterima kasih pada
Bapak Drs. I Wayan Wenagama, M.P dan I Nyoman Wahyu Widiana, S.E., M.Si.
selaku Dosen Pengampu mata kuliah Ekonomi Pembangunan Berkelanjutan kelas C5
yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, untuk itu kami memohon
maaf apabila dalam penyusunan paper ini terdapat kekeliruan dan kesalahan. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan paper ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran para
pembaca agar makalah ini menjadi lebih sempurna dan bermanfaat bagi setiap orang

Jimbaran, 12 November 2022

Penyusun

iv
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk berdampak kepada peningkatan laju
pembangunan diberbagai sektor dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
makhluk hidup. Hal ini mengakibatkan kondisi lingkungan hidup di sejumlah
kawasan di Indonesia saat ini diindikasikan mengalami penurunan yang
diakibatkan dari penggunaan sumberdaya alam yang semakin meningkat dari
berbagai kegiatan manusia, termasuk pemanfaatan ruang bagi kehidupan manusia
dan mahluk hidup lainnya. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk akan
mengikuti deret ukur dan berbanding terbalik dengan ketersediaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup yang memiliki keterbatasan. Sebagai ilustrasi, sumber
daya lahan, kemampuan lahan sangat berperan penting dalam menopang kehidupan
manusia dan mahluk hidup lainnya. Dengan peningkatan jumlah penduduk, maka
ketersediaan sumber daya lahan dan kemampuan lahan semakin terbatas
dikarenakan semakin tingginya jumlah kebutuhan makhluk hidup dibandingkan
ketersediaan sumberdaya lahan yang ada. Selain itu, kualitas dan kondisi lahan
yang semakin menurun akibat dari kegiatan manusia yang tidak memperhatikan
aspek keberlanjutan dari fungsi lingkungan hidup semakin memperburuk kualitas
lingkungan.

Hal lain yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan adalah terjadinya


ketidaksesuaian penggunaan lahan, antara lain ditunjukkan dengan banyaknya
lahan kritis atau bahkan penggurunan lahan. Sedangkan untuk sumber daya air
memiliki tren yang sama, yaitu semakin menurun baik kualitas maupun
ketersediaannya pada air permukaan maupun pada air tanah. Hal ini terjadi karena
pengelolaan sumberdaya air yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan baik di hulu maupun di hilir, serta peningkatan pembangunan
di sektor perindustrian yang merambah dari hulu ke hilir. Sebagai ilustrasi. Kota-
kota besar saat ini mengalami krisis air, dimana ketersediaan air yang ada tidak

5
dapat memenuhi kebutuhan jumlah penduduk yang tinggal disuatu kota. Selain itu
kualitas air yang buruk, mengakibatkan dibutuhkannya teknologi untuk mengolah
air menjadi layak konsumsi. Oleh karena itu dibutuhkan upaya yang optimal untuk
pengelolaan sumberdaya air, sehingga ketersediaan dan kualitasnya dapat selalul
terjaga.

Terdapat keterbatasan sumber daya alam serta potensi penurunannya baik


secara kuantitas maupun kualitas, maka pemanfaatan sumber daya alam harus
dilakukan secara bijaksana, yaitu memperhatikan kemampuan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup. Perlu diperhatikan pula hubungan antar wilayah,
untuk kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh suatu wilayah tertentu, sehingga
dapat dipenuhi dengan penyediaan dari wilayah lainnya (prinsip ekspor-impor). Hal
lain yang menjadi tantangan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup adalah mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
manusia dalam jangka pendek dengan keberlanjutan pemanfaatannya untuk
menunjang kehidupan yang keberlanjutan dalam pembangunan serta
memperhatikan kesejahteraan sosial, ekonomi dan kelestarian fungsi lingkungan
hidup hingga masa yang akan datang. Oleh karena itu kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lainnya dan
keseimbangan antar keduanya (daya dukung lingkungan hidup) serta kemampuan
lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya (daya tampung lingkungan hidup) penting untuk
diketahui, dipahami dan dijadikan dasar dalam perencanaan pemanfaatan sumber
daya alam, perencanaan pembangunan dan perencanaan pemanfaatan ruang.

Dalam upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup


merupakan salah satu aspek yang penting diperhatikan, dimana pertumbuhan
ekonomi dan pencapaian kesejahteraan sosial diharapkan tidak mengabaikan
kelestarian fungsi lingkungan. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan hal
tersebut untuk diterapkan dalam perencanaan pemanfaatan sumber daya alam dan

6
perencanaan pemanfaatan ruang. Bahkan, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang menegaskan diperhatikannya daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup dalam penyusunan rencana tata ruang. Memperhatikan
kondisi lingkungan hidup saat ini dan melaksanakan amanat peraturan perundang-
undangan, telaahan terhadap aspek lingkungan hidup sangat penting dilakukan dan
diintegrasikan hasilnya ke dalam perencanaan pembangunan. Untuk itu,
implementasi telaahan aspek lingkungan hidup yang memperhatikan batas
kemampuan lingkungan hidup maupun standar kebutuhan perikehidupan perlu
disepahami oleh para pembuat kebijakan, rencana maupun program dan para
pemangku kepentingan.

Pada saat ini perhatian terhadap perbaikan kualitas lingkungan oleh berbagai
pihak terkait seperti pemerintah, dunia usaha, akademisi, organisasi non pemerintah
dan lainnya makin meningkatkan. Perhatian banyak ditujukan pada dampak
lingkungan dari kegiatan, produk dan jasa dari suatu organisasi. Selain itu
tercapainya keseimbangan antara lingkungan, masyarakat/sosial dan ekonomi
merupakan pertimbangan utama untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya
juga menjadi perhatian para pihak. Telah banyak upaya yang telah dilakukan untuk
tercapai peningkatan kualitas lingkungan dalam menuju pembangunan
berkelanjutan.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan model kebijakan lingkungan?
1.2.2 Bagaimana pendekatan komando dan kontrol dalam masalah ekonomi
sumberdaya dan lingkungan?
1.2.3 Bagaimana penetapan standar yang efisien alokatif?
1.2.4 Bagaimana pemakaian standar yang efisien biaya?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan model kebijakan lingkungan.

7
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana pendekatan komando dan kontrol dalam
masalah ekonomi sumberdaya dan lingkungan.
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana penetapan standar yang efisien alokatif.
1.3.4 Untuk mengetahui bagaimana pemakaian standar yang efisien biaya.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Penulis
1. Membantu penulis memahami bagaimana model kebijakan, pendekatan
komando dan control dalam masalah ekonomi sumberdaya, penetapan
standar yang efisien alokatif, dan pemakaian standar yang efisien biaya
lingkungan.
2. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada penulis tentang model
kebijakan, pendekatan komando dan control dalam masalah ekonomi
sumberdaya, penetapan standar yang efisien alokatif, dan pemakaian
standar yang efisien biaya lingkungan.
3. Memberikan pengalaman kepada penulis dalam bentuk sumbangan
pemikiran dan wawasan tentang model kebijakan, pendekatan komando dan
control dalam masalah ekonomi sumberdaya, penetapan standar yang
efisien alokatif, dan pemakaian standar yang efisien biaya lingkungan.
1.4.2 Bagi Pembaca
1. Memberikan pengetahuan tentang model kebijakan, pendekatan komando
dan control dalam masalah ekonomi sumberdaya, penetapan standar yang
efisien alokatif, dan pemakaian standar yang efisien biaya lingkungan.
2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan atau referensi terkait materi dalam
paper tentang model kebijakan, pendekatan komando dan control dalam
masalah ekonomi sumberdaya, penetapan standar yang efisien alokatif, dan
pemakaian standar yang efisien biaya lingkungan.

8
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Model Kebijakan Lingkungan


Kerusakan lingkungan dan degradasi sumber daya alam akibat aktifitas
manusia telah menjadi berita yang sering terdengar belakangan ini. Kerusakan
lingkungan bukan saja akan mengurangi kemampuan sumber daya alam dan jasa
lingkungan dalam menyuplai kebutuhan manusia, namun juga memiliki
konsekuensi yang cukup dalam di tengah penderitaan yang diderita oleh masyarakat
akibat kerusakan lingkungan, seperti kekeringan, kekurangan pangan dan banyak
lagi biaya sosial yang begitu besar yang ditanggung oleh masyarakat akibat
kerusakan lingkungan yang terjadi. Maka dari itu, diperlukan kebijakan atau hukum
mengenai pengelolaan lingkungan agar kelestarian lingkungan hidup tetap dapat
terjaga.

Lusiana Tijow (1972) mendefinisikan hukum lingkungan sebagai hukum


yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), dimana lingkungan
mencakup semua benda dan kondisi, termasuk didalamnya manusia dan tingkah
perbuatannya yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan memengaruhi
kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.
Dalam pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada pada
lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum lingkungan yang
secara klasik lebih menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau Use-
Oriented Law. Hukum lingkungan menetapkan ketentuan dan norma-norma guna
mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan
dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya
agar dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang
maupun generasi-generasi mendatang. Hukum lingkungan modern berorientasi
pada lingkungan, sehingga sifat dan waktunya juga mengikuti sifat dan watak dari
lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi.

9
Syarif et al (2010) dalam bukunya yang berjudul “Hukum Lingkungan Teori,
Legislasi dan Studi Kasus” menyatakan terdapat beberapa prinsip dasar dari hukum
lingkungan yang meliputi :

a) Pembangunan berkelanjutan (sustainable development)


Pengertian dari sustainable development adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan
generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya.
b) Prinsip Keadilan Antargenerasi (The Principle of Intergenerational Equity)
Negara dalam hal ini harus melestarikan dan menggunakan
lingkungan serta sumber daya alam bagi kemanfaatan generasi sekarang dan
mendatang. Prinsip keadilan antargenerasi ini menyatakan hak untuk
melakukan pembangunan dilakukan dengan memenuhi kebutuhan generasi
sekarang tanpa mengurangi kemanpuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhannya.
c) Prinsip Keadilan Intragenerasi (The Principle of Intragenerational Equity)
Keadilan intragenerasi merupakan keadilan yang ditujukan pada
mereka yang hidup di dalam satu generasi. Keadilan intragenerasi ini terkait
dengan distribusi sumber daya secara adil, yang berlaku pada tingkat
nasional maupun internasional. Lebih dari itu, di samping terkait dengan
distribusi sumber daya dan manfaat/ hasil pembangunan. Konsep keadilan
intragenerasi juga bisa dikaitkan dengan distribusi risiko/biaya sosial dari
sebuah kegiatan pembangunan.
d) Prinsip Pencemar Membayar (Polluter-Pay Principle)
Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk internalisasi
biaya lingkungan. Sebagai salah satu pangkal tolak kebijakan lingkungan,
prinsip ini mengandung makna bahwa pencemar wajib bertanggung jawab
untuk menghilangkan atau meniadakan pencemaran tersebut. Ia wajib
membayar biaya-biaya untuk menghilangkannya. Oleh karena itu, prinsip
ini menjadi dasar pengenaan pungutan pencemaran.
e) Principle of Preventive Action

10
Prinsip ini mewajibkan agar langkah pencegahan dilakukan pada
tahap sedini mungkin. Dalam konteks pengendalian pencemaran,
perlindungan lingkungan paling baik dilakukan dengan cara pencegahan
pencemaran dari pada penanggulangan atau pemberian ganti kerugian.
Prinsip ini menentukan bahwa setiap negara diberi kewajiban untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan tidak boleh melakukan
pembiaran terjadinya kerusakan lingkungan yang bisa berasal dari kejadian
di dalam negerinya dan kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan.

2.1.1 Kebijakan Lingkungan di Indonesia


Kebijakan lingkungan (environmental policy) adalah kebijakan
negara atau pemerintah di bidang lingkungan hidup. Kebijakan lingkungan
dengan demikian menjadi bagian dari kebijakan publik (public policy).
Kebijakan pembangunan Nasional menerapkan prinsip pembangunan
berkelanjutan yang memadukan ketiga pilar pembangunan yaitu bidang
ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Dalam penerapan prinsip
Pembangunan Berkelanjutan tersebut memerlukan kesepakatan semua
pihak untuk memadukan tiga pilar pembangunan secara proporsional.
Sejalan dengan itu makakebijakan pemerintah daerah harus sesuai dengan
konsep pembangunan berkelanjutan yang timbul dan berkembang karena
adanya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat
dilepaskan dari kondisi lingkungan hidup (Mina,R. 2016).

Peraturan tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia diatur


dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dengan 14 asas hukum yang mencakup : asas
tanggung jawab negara, asas kelestarian dan keberlanjutan, Asas keserasian
dan keseimbangan, Asas keterpaduan, Asas manfaat, Asas kehati-hatian,
Asas keadilan, Asas ekoregion, Asas keanekaragaman hayati, Asas
pencemar membayar, Asas partisipatif, Asas kearifan lokal, Asas tata kelola
pemerintahan yang baik, dan Asas otonomi daerah.

11
Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam
bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer
otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah yang mencakup :

1. Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan


hidup.
2. Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
3. Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
4. Menetapkan pendekatan kewilayahan

Sri Listyarini dan Lina Warlina (2021) menyatakan bahwa Pengelolaan


Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional
dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit dirumuskan dalam program
PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) yang disebut sebagai
pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program tersebut
mencakup:

1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber


Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan
informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas
sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan
evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai
melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data
spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh
masyarakat luas di setiap daerah.
2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan
Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan
pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup

12
hutan, laut, air, udara, dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam
program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk
mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan
berkelanjutan. Sasaran lain di program ini adalah terlindunginya
kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan
sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif.
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran
Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan
hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat
pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri
dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas
lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu
lingkungan yang ditetapkan.
4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan,
menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta
menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam
dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran
program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam
dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat
hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum
secara adil dan konsisten.
5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber
Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan
dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran
program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam

13
pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup
sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan,
perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.

2.2 Pendekatan Komando dan Kontrol dalam Masalah Ekonomi Sumber


Daya dan Lingkungan
Pendekatan komando dan kontrol atau dalam Bahasa inggris Command and
Control (CAC) merupakan salah satu pendekatan yang paling sering digunakan di
dalam penaatan hukum lingkungan. Wibisana, A.G (2016) menyatakan Secara
tradisional, pendekatan ini ditunjukkan dengan adanya begitu banyak peraturan
administrasi (administrative regulation) yang ditujukan sebagai sistem kontrol, di
mana regulator menyusun sebuah kerangka bagi kegiatan-kegiatan dengan maksud
untuk mengkondisikan, mengawasi, serta menetapkan aturan bagi kegiatan-
kegiatan tersebut. Karena itulah, maka selama ini peraturan administrasi memegang
peranan yang sangat penting di dalam penegakan dan penaatan hukum lingkungan,
sehingga bahkan hukum lingkungan dianggap sebagai bagian dari Hukum
Administrasi Negara.

Peraturan administrasi dikritik oleh banyak pihak sebagai bentuk


pengaturan yang paling intervensionis, sehingga banyak pihak mempertanyakan
mengapa kita masih membutuhkan peraturan administrasi dalam hukum
lingkungan, mengingat bisa saja kita menggunakan aturan hukum perdata yang
memungkinkan internalisasi eksternalitas terjadi tanpa adanya campur tangan
pemerintah yang terlalu besar. Menanggapi kritik tersebut, Shavel memberikan
alasan bahwa untuk situasi-situasi tertentu, regulasi lebih efektif dari pada teori
pertanggungjawaban hukum perdata (liability theory), yaitu apabila :

1. Kecilnya kemungkinan adanya pihak (korban) yang berminat untuk


mengajukan gugatan.
Seperti kita ketahui, banyak sekali kasus-kasus hukum lingkungan yang
kerugiannya sangat menyebar, sehingga bagi individu, kerugian yang

14
diderita tidaklah begitu besar, bahkan lebih kecil dari pada biaya perkara
yang dibutuhkan. Dalam kasus lain, bahkan tidak ada seorang pun yang
merasa dirugikan akibat adanya pencemaran. Dalam kedua hal ini, kecuali
telah ada aturan yang efektif mengenai Class action dan NGO’s legal
standing, maka pencemar akan merasa bebas dari ancaman bahwa ia harus
bertanggung jawab akan akibat dari kegiatannya. Hal ini tentu berdampak
buruk, sebab pencemar tidak akan lagi bertindak secara hati-hati dan penuh
perhitungan.
2. Adanya kemungkinan yang sangat besar, khususnya di dalam masalah
pencemaran lingkungan, bahwa kerugian timbul beberapa waktu yang lama.
Di sini, akan sulit untuk menelusuri pihak mana yang bertanggung jawab
atas timbulnya kerugian tersebut. Apabila pencemar tahu bahwa
kemungkinannya akan kecil sekali bahwa dia akan dimintai pertanggung
jawaban, maka tingkat kehati-hatiannya pun akan semakin berkurang.
3. Adanya kesulitan bagi para korban untuk membuktikan bahwa kerugiannya
disebabkan oleh pencemaran dan/atau bahwa pencemaran itu diakibatkan
oleh kesalahan tergugat (pencemar). Kesulitan ini pun berakibat sama, yaitu
turunnya tingkat kehati-hatian dari pencemar.
4. Apabila pencemaran dan kerugian dapat dikatikan dengan kegiatan
perusahaan dan gugatan dikabulkan, maka efek penjera bagi para pengambil
keputusan di dalam perusahaan tetaplah merupakan sebuah masalah.
Pertama, hal ini dikarenakan kemungkinan adanya masalah insolvency
(yaitu jumlah seluruh asset perusahaan tidak mampu menutupi seluruh
biaya ganti kerugian) atau kekeliruan hakim dalam menentukan jumlah
ganti kerugian (menjadi lebih kecil dari yang seharusnya). Apabila ini
terjadi, maka tingkat kehati-hatian lagi-lagi akan berkurang dari yang
semestinya. Kedua, seiring berjalannya waktu bisa saja pemilik dan
pengambil kebijakan di dalam perusahaan telah berganti, sehingga yang
harus bertanggung jawab adalah pemilik/manajemen baru. Apabila ini
terjadi, maka pemilik/pengambil kebijakan yang sebenarnya tidak hanya
dibebaskan dari pertanggungjawaban, tetapi juga akan mengakibatkan

15
tingkat kehatihatian yang rendah. Dalam hal ini, dapat saja terjadi bahwa
seseorang, setelah melakukan pencemaran dan mengambil keuntungan
besar dari tindakannya ini, segera menjual perusahaannya, karena ia yakin
bahwa kerugian akan tidak akan timbul dalam waktu yang dekat.

Dari gambaran di atas, jelas bahwa kita masih membutuhkan pengaturan


administrasi, paling tidak untuk hal-hal di mana sistem pertanggungjawaban
diperkirakan tidak akan menghasilkan penaatan yang efektif. Pengaturan
administrasi diharapkan akan mampu menyediakan aturan-aturan yang seragam
dan rasional, dan yang mampu menjamin keadilan (fairness) bagi mereka yang
diatur. Menurut, Bell dan McGillivray dalam Wibisana, A.G (2016), pembuatan
kebijakan dalam administrative regulation mempunyai proses sebagai berikut:

1. penetapan kebijakan umum;


2. penetapan standar atau kebijakan spesifik dalam kaitannya dengan
masalah lingkungan yang menjadi perhatian;
3. penerapan standar dan kebijakan ini pada kasus-kasus individual,
misalnya dengan diberikannya izin;
4. penegakan standar dan kewajiban-kewajiban di dalam izin;
5. penyediaan informasi mengenai lingkungan dan proses pembuatan
kebijakan, sehingga peraturan yang dibuat menjadi transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik;
6. penggunaan mekanisme-mekanisme untuk memonitor, mengevaluasi
dan memperbaiki sistem peraturan yang telah dilakukan.

Campur tangan pemerintah dalam penentuan kegiatan individu dapat


diuraikan ke dalam beberapa bentuk, dengan spektrum mulai dari campur tangan
yang paling ringan, sampai ke bentuk yang paling intervensionis. Regulasi
mengenai informasi (information regulation) merupakan bentuk campur tangan
yang paling sedikit (rendah). Dalam hal ini, Pemerintah hanya mewajibkan individu
untuk menyediakan informasi, misalnya berupa laporan, kepada aparat Pemerintah
atau kepada publik. Dalam bentuk campur tangan seperti ini, Pemerintah tidak

16
mengatur perilaku dari individu, kecuali perilaku yang terkait dengan penyediaan
informasi.

Sementara itu, di level intervensi yang lebih tinggi, pemerintah dapat pula
melakukan campur tangan dalam bentuk penentuan kualitas, kinerja, hasil, atau
tindakan apa yang harus dilakukan. Campur tangan seperti inilah yang terwujud di
dalam bentuk standar, yang terdiri dari standar target (target standard) atau kualitas
(quality standards), standar kinerja atau hasil (performance or output standard),
dan standari spesifikasi (specification standard).

Bentuk campur tangan Pemerintah yang paling besar adalah prior approval, atau
perizinan. Dalam konteks ini, pada dasarnya individu dilarang untuk melakukan
kegiatan, kecuali mereka telah memperoleh izin atau persetujuan dari Pemerintah.
Untuk dapat memperoleh izin atau persetujuan Pemerintah, individu diharuskan
untuk memenuhi berbagai persyaratan, yang di dalamnya biasanya termasuk
persyaratan untuk mematuhi berbagai kewajiban dan standar.

2.2.1 AMDAL Sebagai Bentuk Pendekatan CAC


Syarif, Laode M (2010) dalam buku Hukum Lingkungan
menyatakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau disingkat
AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan yang selanjutnya disingkat UKL-UPL adalah pengelolaan dan
pemantauan terhadap suatu usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak
penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan dalam proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Dengan demikian AMDAL dan UKL-UPL merupakan suatu dokumen
kajian lingkungan atas suatu rencana kegiatan dan/atau usaha yang
digunakan sebagai syarat dalam proses pengambilan keputusan.

17
Kewajiban bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang dapat
memberikan dampak penting didasarkan kriteria dampak penting
sebagaimana tertuang dalam Pasal 22 Ayat 2 UUPPLH, yaitu:

1. besarnya jumlah penduduk yang terkena dampak rencana usaha dan/


atau kegiatan,
2. luas wilayah usaha dan/atau kegiatan,
3. intensitas berlangsung dan lamanya dampak,
4. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak,
5. sifat kumulasi dampak,
6. berbalik dan/atau tidak berbaliknya dampak,
7. kriteria lain perkembangan ilmu teknologi sesuai dengan pengetahuan.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas, maka dokumen AMDAL disusun


dalam beberapa dokumen yang terdiri atas:

1. Kerangka Acuan,
2. Rencana Pengelolaan Lingkungan, dan
3. Rencana Pemantauan Lingkungan.

Rincian muatan AMDAL sesuai Pasal 25 UUPPLH berisi tentang:

1. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan,


2. evaluasi kegiatan sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan,
3. saran, masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan,
4. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang
terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan,
5. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup, dan
6. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

18
AMDAL sebagai suatu kajian kelayakan terhadap rencana usaha dan/
atau kegiatan harus disusun oleh orang yang memiliki kompetensi.
Penyusunan dokumen lingkungan hidup didasarkan pada Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 16 Tahun 2012 tentang
Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup. Selain itu, sebagai
kajian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup, maka penyusunan AMDAL harus memberi ruang bagi
keterlibatan masyarakat yang meliputi :

1. masyarakat yang terkena dampak,


2. pemerhati lingkungan hidup, dan/atau
3. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan alam proses AMDAL.

2.3 Penetapan Standar yang Efisien Alokatif


Dalam hal permasalahan lingkungan, diperlukan suatu standar atau konsep yang
efisien alokatif dalam mengangani permasalahan lingkungan tersebut. Standar yang
efisien alokatif maksudnya adalah bahwa standar yang digunakan efisien dimana
permasalahan lingkungan dapat diatasi atau diminimalkan kerusakannya.

2.3.1 Konsep Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup


Jika dilihat dari definisinya, daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk dapat
mendukung kehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antarkeduanya. Dengan demikian, konsep daya dukung secara umum dapat
dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi ketersediaan dan kebutuhan. Dari sisi
ketersediaan, dengan melihat karakteristik wilayah, potensi sumber daya
alam yang ada di suatu wilayah. Dari sisi kebutuhan, yaitu dengan melihat
kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya dan arahan kebijakan
prioritas suatu wilayah. Daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam
perencanaan tata ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang berdasarkan
tata ruang nantinya tidak sampai melampaui batas-batas kemampuan
lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung aktivitas manusia
tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemampuan tersebut

19
mencakup kemampuan dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam
menyediakan sumberdaya alam, dan kemampuan untuk melakukan
perbaikan kualitas lingkungan apabila terdapat dampak yang mengganggu
keseimbangan ekosistem. Penataan ruang yang mengabaikan daya dukung
lingkungan dipastikan akan menimbulkan permasalahan dan degradasi
kualitas lingkungan hidup seperti banjir, longsor dan kekeringan,
pencemaran dan lain sebagainya.

Esensi dasar dari daya dukung adalah perbandingan antara


ketersediaan dan kebutuhan atau supply dan demand. Hal ini menjadi
penting karena supply umumnya terbatas, sedangkan demand tidak terbatas.
Perhitungan menjadi sulit, karena terlalu banyak faktor yang mempengaruhi
kebutuhan dan ketersediaan. Dengan kata lain, terlalu banyak elemen yang
mempengaruhi komponen daya dukung lingkungan. Kesulitan tersebut
mengakibatkan daya dukung umumnya berlaku pada sistem tertutup, tanpa
memperhitungkan interaksi antar wilayah, sehingga lebih banyak
berkembang daya dukung sektoral (pertanian, pariwisata, sosial dan lain-
lain) yang dikembangkan berdasarkan tujuan dan fungsi tertentu.

Secara umum konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan


hidup dapat digambarkan melalui framework sisi permintaan (demand) dan
sisi penawaran (supply side). Sisi permintaan lebih didasarkan pada
kebutuhan (needs) dan pola konsumsi akan sumber daya alam dan jasa
lingkungan seperti lahan, air dan sumber daya alam lainnya. Kebutuhan ini
akan banyak dipengaruhi oleh perkembangan penduduk baik di suatu
wilayah administratsi maupun wilayah ekoregion. Interaksi kebutuhan akan
sumber daya alam dan jasa lingkungan dengan jumlah yang diekstrasi akann
meninggalkan jejak ekologis (ecological foot print) yang menunjukkan
jejak ekosisitim per satuan penggunaan sumber daya. Sisi supply
menggambarkan seberapa besar (baik dari kuantitas maupun kualitas)
sumber daya alam mampu mendukung kebutuhan manusia. Sisi supply ini
bisa digambarkan, misalnya, dengan neraca air, neraca sumber daya dan

20
lingkungan, neraca lahan, potensi lahan untuk memenuhi kebutuhan
produksi setara beras dan sebagainya. Interaksi penyediaan dan
penggunaannya akan menggambarkan daya dukung sumber daya alam dan
lingkungan (carryng capacity). Keseimbangan sisi supply dan sisi demand
dari sumber daya alam yang digambarkan oleh Ecological footprint dan
carryng capacity ini akan menentukan besaran daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup beserta status (state) yang diakibatkan oleh
pemanfaatan sumber daya alam tersebut.

2.3.2 Penerapan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)


Berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
faktor utama yang harus menjadi fokus perhatian adalah terkait dengan
perizinan, karena faktor perizinan dapat dijadikan pegangan bagi pelaku
usaha yang akan mengelola lingkungan. Perizinan lingkungan dikaitkan
dengan keharusan memperoleh AMDAL (Ananlisis Mengenai Dampak
Lingkungan) sebagai instrumen pencegahan pencemaran lingkungan
dimana asas ini telah dituangkan dalam bentuk produk hukum, sehingga
menjadi kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap orang di Indonesia,
artinya untuk terbitnya atau disetujuinya suatu izin lingkungan hendaknya
harus diperoleh lebih dahulu AMDAL.

AMDAL untuk pertama kalinya lahir dengan dicetuskannya


Undang-Undang lingkungan hidup yang disebut National Environmental
Policy Act (NEPA) oleh Amerika Serikat pada Tahun 1969. NEPA mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1970. Pasal 102 ayat (2) (C) dalam undang-
undang ini menyatakan bahwa semua usulan legislasi dan aktivitas
pemerintah federal yang besar diperkirakan akan mempunyai dampak
penting terhadap lingkungan diharuskan disertai laporan Enviromental
Impact Assesment (Analisis Dampak Lingkungan). AMDAL dengan cepat
menyebar di negara-negara maju yang kemudian disusul oleh negara
berkembang dengan banyaknya pihak yang telah merasakan bahwa
AMDAL adalah alat yang mampu untuk menghindari terjadinya kerusakan

21
lingkungan yang lebih parah akibat aktivitas manusia. Dengan mengacu
pada NEPA, maka untuk pertama kalinya pada tahun 1982 Indonesia
mencetuskan UndangUndang Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang ini merupakan langkah awal Indonesia untuk menjadikan
pembangunan berwawasan lingkungan. Pasal 16 UULH Nomor 4 Tahun
1982 menyatakan bahwa setiap rencana yang diperkirakan mempunyai
dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib dilengkapi dengan
analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan
peraturan pemerintah.

Untuk menindaklanjuti pelaksanaannya, dikeluarkanlah Peraturan


Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan dalam Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 42 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3338. Isinya menyatakan bahwa AMDAL
dimaksudkan sebagai bagian dari studi kelayakan pembangunan suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
1986 kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 1993 yang kemudian diganti lagi dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Semenjak itulah semakin banyak munculnya peraturan perundang-
undangan lain mengenai AMDAL, salah satu yang tergolong sangat penting
untuk menentukan bentuk kajian lingkungan yang akan dilakukan adalah
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor: P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tentang Rencana Usaha
dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Dampak Lingkungan
Hidup.

Penyimpangan terhadap prosedur penerapan AMDAL sebagai


syarat perizinan memiliki mekanisme penegakan hukum yaitu penegakan
hukum administrasi, perdata dan pidana. Di antara ketiga bentuk penegakan
hukum yang tersedia, penegakan hukum administrasi dianggap sebagai

22
upaya penegakan hukum terpenting. Hal ini karena penegakan hukum
administrasi lebih ditunjukan kepada upaya mencegah terjadinya
pencemaran dan perusakan lingkungan. Di samping itu, penegakan hukum
administrasi juga bertujuan untuk menghukum pelaku pencemaran dan
perusakan lingkungan.

2.4 Pemakaian Standar yang Efisien Biaya


Pemakaian standar yang efisien biaya adalah upaya untuk mengatasi
permasalahan lingkungan dengan pengalokasian biaya seminimal mungkin dan
hasil semaksimalnya. Hal tersebut dilakukan mengingat terbatasnya anggaran yang
dimiliki tetapi banyaknya permasalahan lingkungan yang ada. Permasalahan
lingkungan tersebut disebabkan oleh kondisi alam maupun aktivitas manusia.
Dengan demikian permasalahan lingkungan hanya dapat diupayakan seminimal
mungkin kerusakannya dan tidak dapat dihilangkan.

2.4.1 Contoh Penggunaan Konsep Daya Dukung dan Daya Tampung


Lingkungan Hidup Wilayah Pedesaan
Konsep daya dukung lingkungan meliputi tiga faktor utama, yaitu :
kegiatan/aktivitas manusia, sumberdaya alam dan lingkungan. Kualitas
lingkungan dapat terjaga dan terpelihara dengan baik apabila manusia
mengelola daya dukung pada batas antara minimum dan optimim. Dalam
menerapkan konsep daya dukung lingkungan perlu dilakukan analisis
mengenai daya dukung yang membandingkan kebutuhan antara tata guna
lahan dengan lingkungan alam atau sistem lingkungan buatan. Hal ini
bertujuan untuk mempelajari dampak dari pertumbuhan penduduk dan
sistim pembangunan kota, sistim fasilitas umum, dan pengamatan
lingkungan. Daya dukung lingkungan terkait dengan kapasitas ambang
batas sebagai dasar untuk membatasi rekomendasi pertumbuhan. Prosedur
analisis daya dukung lingkungan meliputi : melihat faktor
pembatas/ambang batas atau mengidentifikasikan kualitas lingkungan dan
geografi. Sedangkan variabel pokok yang harus diketahui dalam analisis
daya dukung lingkungan adalah potensi lahan dan jumlah penduduk.

23
Pesatnya perkembangan di sektor industri dan pemukiman
berdampak pada berkurangnya lahan–lahan yang subur sehingga
pembangunan pertanian khususnya pelestarian swasembada pangan
menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama terhadap ketersedian
sumberdaya lahan. Tantangan tersebut dapat kita lihat puluhan ribu hektar
lahan pertanian yang produktif setiap tahun beralih fungsi menjadi sektor
non pertanian. Masalah lahan lebih nyata terlihat di daerah perdesaan karena
kurang lebih 80 persen penduduk tinggal di perdesaan, dengan sumber mata
pencaharian utama di bidang pertanian. Dengan demikian di perdesaan
sangat potensil terjadi konflik sosial atau fisik masalah lahan .
Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat akhir-akhir ini
merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian
dipedesaan. Salah satu pemicu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan
lain adalah rendahnya isentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat
keuntungan berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha pertanian
dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya
biaya pengendalian seperti cuaca, hama dan penyakit, tidak tersedianya
sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi lahan banyak terjadi justru pada
lahan pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi menjadi lahan non-
pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981-1999, sekitar 30% (sekitar
satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa, dan sekitar 17% (0,6 juta ha) di
luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih ke non-pertanian, terutama ke
areal industri dan perumahan.
Banyak areal lumbung beras nasional yang beralih guna seperti di
Bali dan seperti pusat pembangunan di perkotaan. Daerah pertanian ini
umumnya sudah dilengkapi dengan infrastruktur pengairan sehingga
berproduksi tinggi. Alih guna lahan sawah ke areal pemukiman dan industri
sangat berpengaruh pada ketersedian lahan pertanian, dan ketersediaan
pangan serta fungsi lainnya. Pembangunan nasional yang mengedepankan
pertumbuhan ekonomi mengabaikan pemerataan dan menjadikan
pendekatan keamanan (stabilitas politik) sebagai pengawalnya telah

24
menggerakkan ekonomi nasional. Namun gagal menjadikan gerak ekonomi
nasional tersebut sebagai pendorong laju perkembangan desa.
Daya dukung lahan dihitung dari kebutuhan lahan per kapita. Daya
dukung lahan dapat diketahui melalui perhitungan daya tampung lahan.
Nilai yang didapat dari hasil perhitungan daya tampung dapat digunakan
sebagai acuan untuk mengetahui kawasan mana saja yang berada pada
kondisi ambang batas yang masih dapat dimanfaatkan. Daya dukung lahan
berdasarkan daya tampung, dihitung dengan menggunakan variabel luasan
fungsi lahan dibagi dengan jumlah penduduk eksisting. Apabila nilai daya
dukung lahan tersebut melebihi nilai yang ditentukan maka dikatakan
populasi penduduk pada wilayah tersebut sudah melebihi daya dukung
lingkungannya (di luar ambang batas). Ukuran penggunaan lahan di wilayah
pedesaan untuk ukuran jumlah populasi penduduk tertentu membutuhkan
konsumsi lahan dengan luasan tertentu. Semakin besar jumlah penduduk
kota maka semakin kecil konsumsi lahan per ha per kapitanya.
Hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dapat
mencerminkan daya dukung lingkungan, populasi seharusnya selalu berada
pada titik keseimbangan di mana lingkungan dapat mendukung. Batas di
antara titik keseimbangan tersebut yang dinamakan daya dukung
lingkungan. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk semakin tinggi
pula tingkat permintaan terhadap lahan. Jika ketersediaan lahan tidak
mencukupi maka respon yang muncul di antaranya adalah membuka hutan
dan menanami daerah rawan erosi, dan hal yang demikian ini menunjukkan
kondisi kelangkaan lahan.

2.4.2 Contoh Penerapan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)


Salah satu contoh AMDAL dalam kehidupan sehari-hari adalah
kasus sampah yang menggunung di Bantar Gebang Bekasi. Menurut data
dan informasi yang ada, orang-orang yang tinggal di sekitar tempat
pembuangan sampah akhir itu mengalami berbagai macam penyakit.
Penyakit yang dialami oleh masyarakat di sana di antaranya yaitu Mialgia,

25
alergi kulit, reumatik, asma, hipertensi, ISPA, dan sebagainya. Data itu
menunjukkan bahwa TPA Bantar Gebang menjadi masalah serius yang
menimbulkan dampak yang buruk bagi masyarakat. Banyaknya jumlah
sampah yang menggunung di TPA Bantar Gebang tersebut juga
menimbulkan pencemaran air yang memburuk. Itulah sebab banyak
penyakit yang dialami oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Untuk menanggulangi masalah sampah di Bantar Gebang tersebut,


maka harus dilakukan analisa lebih lanjut dan bagaimana solusinya. Sistem
pengelolaan yang digunakan di sana sudah ketinggalan zaman, sehingga
tidak bisa bekerja dengan maksimal. Hal ini bergantung dari tindakan
pemerintah untuk menanganinya, dan kesadaran masyarakat di sekitarnya
dalam pembuangan sampah. Berbagai masalah lingkungan yang terjadi di
sekitar harus bisa diatasi dengan baik. Itulah fungsinya AMDAL, yang akan
membantu setiap masalah lingkungan agar tidak menimbulkan masalah lain
atau dampak yang buruk bagi masyarakat.

AMDAL merupakan hal penting dan utama sebelum proses


pembangunan berlangsung sebagai upaya pencegahan pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Pasalnya, kerusakan
lingkungan akan memberi efek negatif bagi masyarakat dan semua makhluk
hidup dan dapat menggagalkan sebuah proyek pembangunan. Itulah
sebabnya, instansi atau perusahaan penyelenggara pembangunan harus
memperhatikan lingkungan sekitar dan memiliki surat izin AMDAL yang
legal. Namun, permasalahan TPA tersebut tetap ada walaupun mungkin
sudah dilakukan analisis AMDAL sebelum proses pembangunan
berlangsung. Dengan begitu diperlukan perbaikan pengelolaan TPA agar
kedepannya tidak memberikan dampak negative bagi masyarakat luas.

26
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kebijakan atau Hukum lingkungan diperlukan untuk mengurangi maupun
mencegah terjadinya kerusakan terhadap lingkungan hidup. Terdapat
beberapa prinsip dasar dari Hukum Lingkungan yang mencakup : prinsip
pembangunan berkelanjutan, prinsip keadilan antar generasi, prinsip
keadilan intra generasi, prinsip pencemar membayar dan prinsip Tindakan
pencegahan. Di Indonesia, Kebijakan pembangunan Nasional menerapkan
prinsip pembangunan berkelanjutan yang memadukan ketiga pilar
pembangunan yaitu bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
Peraturan tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia diatur dalam
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dengan 14 asas hukum. Dengan adanya
desentralisasi dan otonomi daerah, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik
tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan
hidup secara eksplisit dirumuskan dalam program PROPENAS (Program
Pembangunan Nasional)
2. Pendekatan komando dan kontrol dalam upaya mengatasi masalah
lingkungan ditunjukkan dengan adanya begitu banyak peraturan
administrasi (administrative regulation) yang ditujukan sebagai sistem
kontrol. Pemerintah sebagai regulator membuat regulasi dan melakukan
intervensi atas kegiatan kegiatan swasta yang berkaitan dengan masalah
lingkungan. Intervensi terkecil dalam bentuk regulasi mengenai informasi,
kemudian dilevel yang lebih tinggi intervensi penetapan standar yang
mencakup standar target, kinerja dan spesifikasi. Kemudian intervensi
tertinggi berupa prior approval, atau perizinan. AMDAL merupakan salah
satu bentuk pendekatan komando dan kontrol dalam upaya penanganan
masalah lingkungan. AMDAL merupakan suatu dokumen kajian

27
lingkungan atas suatu rencana kegiatan dan/atau usaha yang digunakan
sebagai syarat dalam proses pengambilan keputusan.
3. Dalam hal permasalahan lingkungan, diperlukan suatu standar atau konsep
yang efisien alokatif dalam mengangani permasalahan lingkungan tersebut.
Standar yang efisien alokatif maksudnya adalah bahwa standar yang
digunakan efisien dimana permasalahan lingkungan dapat diatasi atau
diminimalkan kerusakannya.
4. Pemakaian standar yang efisien biaya adalah upaya untuk mengatasi
permasalahan lingkungan dengan pengalokasian biaya seminimal mungkin
dan hasil semaksimalnya. Hal tersebut dilakukan mengingat terbatasnya
anggaran yang dimiliki tetapi banyaknya permasalahan lingkungan yang
ada. Permasalahan lingkungan tersebut disebabkan oleh kondisi alam
maupun aktivitas manusia. Dengan demikian permasalahan lingkungan
hanya dapat diupayakan seminimal mungkin kerusakannya dan tidak dapat
dihilangkan. Pemakaian konsep Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan serta Analisis Dampak Lingkungan dapat menjadi salah satu
standar yang efisien dalam menganggulangi permasalahan lingkungan

3.2 Saran

Dari pemaparan materi tentang kebijakan permasalahan lingkungan


di atas. Penulis menyarankan agar aktivitas manusia yang berpotensi
mencemarkan lingkungan diminimalkan. Selain itu, dalam aktivitas
penggunaan sumber daya yang ada, hendaknya memperhatikan kelestarian
dan keberlangsungannya di alam dengan menerapkan analisis daya dukung
dan daya tamping lingkungan serta Analisis Dampak Lingkungan
(AMDAL)

28
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Lingkungan Hidup. 2014. Pedoman Penentuan Daya Dukung dan


Daya Tampung Lingkungan Hidup.

Listyarini, S., & Warlina, L. Konsep Kebijakan Lingkungan. Tinjauan Mata


Kuliah.

Purnaweni, Hartuti. 2014. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan


Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Lingkungan, 12(1), hal.
53-65

Sukananda, Satria dan Danang Adi Nugraha. 2020. Urgensi Penerapan Analisis
Dampak Lingkungan (AMDAL) Sebagai Kontrol Dampak terhadap
Lingkungan Indonesia. Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan, 1(2), hal.
119-137

Syarif, L. M., & Wibisana, A. G. (2010). Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan
Studi Kasus. Jakarta: PT. RajaGrafindo.

Tijow, L. (1972, June). Kebijakan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Di


Indonesia. In Conference on the Human Environment" yang
diselenggarakan di Stockholm tanggal (Vol. 5, p. 16).

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009

Wibisana, A. G. (2016). Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control,


Instrumen Ekonomi, dan Penaatan Sukarela. Draft Buku Hukum
Lingkungan Indonesia.

29

Anda mungkin juga menyukai