Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH MODAL SOSIAL AGRIBISNIS

“BONDING SOCIAL CAPITA ANALISIS RELASI SOSIAL MASYARAKAT


PULAU-PULAU KECIL DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI DAN MODAL
SOSIAL BRIDGING DALAM PENGELOLAAN BANTARAN SUNGAI CITARUM
SEKTOR 7 KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Modal Sosial Agribisnis
Dosen Pengampu: Dr. Ir. Nurbaya Busthanul, M.Si

OLEH :
KELOMPOK 8
KANAYA AMANDA UMMU UMAEMAH (G021211019)
RISKA JULIANTI (G021211074)
ANDI MUH RAYHAN RAMADHAN (G021211100)
DENATHA MIKAEL PABILANG (G021211130)
WAHYU TRIADI HARWINANTO (G021211176)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Modal Sosial Agribisnis
dengan judul “Bonding Social Capita Analisis Relasi Sosial Masyarakat Pulau-Pulau Kecil Di
Taman Nasional Wakatobi Dan Modal Sosial Bridging Dalam Pengelolaan Bantaran Sungai
Citarum Sektor 7 Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung” ini.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu syarat guna memenuhi tugas pada mata
kuliah Modal Sosial Agribisnis yang diampu oleh Ibu Dr. Ir. Nurbaya Busthanul, M.Si selaku
dosen pada mata kuliah ini.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat baik
secara langsung maupun secara tidak langsung dalam proses penyusunan makalah dari awal
hingga selesainya makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sekalian untuk membantu dalam penyempurnaan makalah ini kedepannya.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kami sangat berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca.

Makassar, 30 Maret 2023

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI .............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................3
1.1 Latar Belakang ............................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................7
1.3 Tujuan ..........................................................................................................7
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................8
2.1 Pengertian Modal Sosial ............................................................................8
2.2 Bentuk-Bentuk Modal Sosial ....................................................................9
2.3 Perbedaan Bonding Social Capital dan Bridging Sosial Capital ........11
2.4 Elemen Penyusun Modal Sosial..............................................................12
2.5 Unsur-Unsur Pokok Modal Sosial ..........................................................14
2.6 Contoh kasus 1 .........................................................................................14
2.7 Contoh kasus 2 .........................................................................................20
BAB III PENUTUP ................................................................................................26
3.1 Kesimpulan ................................................................................................26
3.2 Saran ..........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................29

2
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Setiap komunitas memiliki sumber dan potensi modal sosial yang dapat diakses dan
dimanfaatkan oleh anggotanya. Suatu masyarakat atau komunitas merupakan suatu potensi modal
sosial, dimana komunitas atau masyarakat tersebut memberi kesadaran serta batas terhadap warga
termasuk berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama. Beberapa sumber
modal sosial antara lain nilai dan kearifan local yang mengakomodasi kepentingan bersama,
kebiasaan atau tradisi, lembaga pendidikan, ajaran agama, lembaga adat dan lain-lain.

Sementara potensi modal sosial antara lain ada nilai dan norma yang dapat menjadi wadah
dalam mengatur untuk kepentingan bersama, ada lembaga atau institusi yang berkontribusi dalam
member layanan untuk kepentingan bersama, ada tokoh masyarakat yang terpercaya dan dipercaya
warga komunitas, serta semangat kegotong-royongan. Kekuatan modal sosial dapat dijelaskan
melalui dua tipologinya yang meliputi pengikat, perekat (bonding social capital), penyambung,
menjembatani ( bridging social capital) dan pengait. Bahkan kekuatan modal sosial dapat menjadi
pelumas yang memperlancar hubungan dan kerjasama, sehingga harapan-harapan individu dapat
tercapai secara efisien dan efektif.

Perhatian para ahli terhadap dinamika sosial masyarakat di pulau-pulau kecil semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya risiko masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil untuk
jatuh pada kondisi kemiskinan kronis. Kerentanan ini sebagian besar diakibatkan oleh tekanan
ekologis dan dinamika sosial politik misalnya perubahan iklim dan penetrasi globalisasi. Para ahli
saat ini menempatkan pulau-pulau kecil dalam fokus ilmiah untuk membahas konsekuensi dari
bahaya perubahan iklim global. Narasi perubahan iklim sendiri telah lama menggunakan istilah
masyarakat kepulauan sebagai cara untuk menunjukkan dampak perubahan iklim yang merugikan
(Kelman 2018).

Perubahan iklim ditengarai berdampak pada meningkatnya risiko kegagalan mata


pencaharian di pedesaan. Risiko-risiko ini dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis, yaitu risiko
lintas ruang, risiko dari waktu ke waktu, risiko lintaskelas asset, dan risiko lintas rumah.
Keterbatasan sumber daya alam diiringi fragmentasi sosial serta kerugian ekonomi di pasar global,
mengakibatkan pulau-pulau kecil bertambah rentan. Penetrasi pasar melalui komersialisasi dari
produk hasil-hasil perikanan dan masuknya barang-barang dari luar pulau-pulau kecil telah
menciptakan perubahan yang besar dalam masyarakat. Penetrasi pasar memicu munculnya
ketidakseimbangan dalam hubungan antara ideologi atau aspek budaya masyarakat dengan
struktur sosial masyarakat (Sakaria et al. 2014).

3
Meskipun rentan terhadap segala perubahan eksternal, namun pulau-pulau kecil dengan
aktivitas nafkah di dalamnya merupakan bagian dari sistem pangan yang berkontribusi besar
terhadap masyarakat global. Komunitas lokal di pulau-pulau kecil, khususnya di negara
berkembang sangat bergantung pada sektor perikanan skala kecil, baik untuk memenuhi kebutuhan
subsisten pangannya sendiri ataupun sebagai mata pencaharian masyarakat. Keterisolasian
komunitas dan kecilnya skala usaha ekonomi lokal membuat produksi perikanan sensitif terhadap
cara nelayan berinteraksi dengan anggota komunitas lain dan terhadap perubahan lingkungan
setempat (Yamazaki et al. 2018).

Pulau Wangi-wangi merupakan pusat dari kegiatan pemerintahan dan perdagangan


Kabupaten Wakatobi. Pulau Wangi-wangi dihuni oleh dua etnis besar, yakni etnis Buton
kepulauan yang memiliki relasi dengan Kesultanan Buton, dan Etnis SamaBajo. Etnis Buton di
Pulau Wangi- wangi terdiri dari orang Wanci Mandati, orang Lia, orang Waha, dan orang Wanci
yang mendiami pulau Kapota. Setiap kelompok etnis Buton kepulauan memiliki Lembaga adat
yang disebut dengan “Sara”. Pada zaman dahulu, Sara berperan besar di dalam pengaturan
kehidupan kemasyarakatan hingga mekanisme pengaturan penggunaan sumberdaya. Menurut
Hadara et al. (2017) di Kepulauan Wakatobi pada zaman dahulu berdiri beberapa kedatuan atau
kerajaan- kerajaan kecil, yakni Kedatuan Suiya, Kedatuan Komba-komba, kedatuan Waha,
Kedatuan Wanse di Pulau Wangi-wangi, Kedatuan Patua di Pulau Tomia, Kedatuan Rukuya di
Pulau Binongko, dan yang terkenal adalah Kerajaan Kaledupa atau Barata Kahedupa di Pulau
Kaledupa.

Hubungan dua etnis besar yakni antara tiga kelompok etnis Buton kepulauan dengan orang
Sama Bajo sungguh unik. Orang Sama Bajo mendiami wilayah pesisir sebelah barat tenggara
pulau Wangi-wangi, sementara orang Buton Kepulauan mendiami seluruh wilayah daratan dan
pulau Kapota. Orang Wanci Mandati sebagian besar merupakan pedagang dan petani perkebunan,
orang Waha sebagian besar merupakan nelayan pelagik, dan orang Lia selain sebagai petani
perkebunan, juga merupakan nelayan demersal.

Hubungan orang Sama Bajo dan orang Wanci Mandati terbangun karena hubungan
simbiosis mutualisme. Keberhasilan orang-orang Mandati khususnya tidak terlepas dari peran
orang-orang Bajo, karena diawal mula usaha berdagang di Pulau Buru, Jawa, Kalimantan,
Sumatera, bahkan hingga ke Singapura, peran Bajo sebagai pemasok barang- barang dagangan
orang-orang Mandati, antara lain sirip ikan hiu, teripang, lola, dan sebagainya berasal dari nelayan
Bajo di Mola. Selain itu juga, sebelum memiliki kapal sendiri untuk berlayar, orang-orang Mandati
juga meminjam kapal orang-orang Bajo Mola untuk berangkat membawa barang dagangan ke
Pulau Buru, ke Pulau Jawa, hingga ke Singapura (Wianti, Dharmawan, and Kinseng 2012).

Menarik untuk disimak, hubungan etnis orang Waha dan Lia terhadap orang Sama Bajo.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa orang Waha dan orang Lia, sebagian besar
merupakan nelayan. Orang Sama Bajo sendiri memiliki identitas yang sangat kuat sebagai nelayan.

4
Hasil tangkapan nelayan Lia, selain dijual di pasar lokal juga ditampung oleh pedagang-pedagang
pengumpul hasil laut di Mola yang dikelola oleh punggawa-punggawa besar yang merupakan
orang Sama Bajo. Kasus keracunan ikan, yang terjadi pada tahun 2017, yang diduga dilakukan
oleh nelayan Sama Bajo karena menggunakan racun rumput (dangke) sebagai campuran umpan
ikan. Kasus ini menggemparkan dan menelan korban jiwa yang sebagian besar adalah orang darat.
Kasus ini membuat hubungan antara orang Lia dan Mandati dengan orang Sama Bajo memanas.

Bibit konflik diantara orang Sama Bajo dan orang Lia telah ada khususnya pada tahun 2011
terkait kegiatan penambangan pasir di wilayah pesisir Lia. Orang Lia merasa dirugikan atas
perbuatan orang Sama BajoMola, karena hasil tangkapannya berkurang karena penggunaan racun
sebagai umpan merusak biota karang yang merupakan wilayah tangkap nelayan Lia. Ditambah
lagi, karena kasus keracunan ikan tersebut, hasil tangkapan nelayan Lia tidak diminati pembeli,
karena konsumen takut mengalami keracunan.

Banyak nelayan Lia yang merugi. Kejadian ini semakin merusak hubungan antara orang Lia
dan orang Sama Bajo. Hubungan etnis Waha dengan orang Sama Bajo Mola relatif lebih bersifat
asosiatif. Pekerjaan orang Waha yang merupakan nelayan pelagik besar dengan hasil tangkapan
berupa ikan laut dalam yakni tuna dan cakalang, tidak banyak dipengaruhi oleh kasus keracunan
ikan. Hubungan antara keduanya juga telah terbangun dari kegiatan penangkapan ikan secara
berkelompok yang dikenal dengan istilah bapongka di laut Banda, dan kegiatan jual beli hasil
tangkapan karena pedagang pengumpul dan pengolah ikan tuna adalah orang Sama Bajo di Mola.

Berbeda dengan relasi orang darat dan orang Sama Bajo, di Kaledupa, hubungan antara
orang darat dan orang Sama Bajo diwarnai dengan sejarah kelam, dan warna sejarah itu
memberikan konsekuensi terhadap relasi yang dibangun antara orang Sama Bajo dan orang darat
Kaledupa. Menurut Wianti et al. (2012) bahwa orang-orang Buton Kaledupa yang menempatkan
orang-orang Bajo sebagai golongan masyarakat rendahan.

Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang kaledupa
dengan istilah “amai wa’du” sebagai golongan masyarakat yang terendah yakni setara dengan
kelompok papara atau golongan masyarakat budak. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo
adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa.
Selain juga dengan pengalaman keterlibatan mereka terhadap gerombolan DI/TII, maka alasan-
alasan tersebutlah yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan intimidasi terhadap
masyarakat Bajo.

Pulau Kaledupa sendiri merupakan Pulau terbesar diantara tiga pulau lainnya yang memiliki
sumberdaya yang berlimpah, Gugusan karang Kaledupa yang kaya akan sumberdaya perikanan,
lahan yang subur sangat potensial untuk kegiatan pertanian perkebunan dan hortikultura, ditambah
dengan kondisi mangrove yang masih terjaga, dan banyaknya wilayah terlindung yang sangat
cocok untuk kegiatan pengembangan rumput laut menjadi daya pikat bagi orang Sama Bajo untuk

5
bermukim di Pulau Kaledupa. Jumlah perkampungan Sama Bajo terbanyak di Kepulauan
Wakatobi jika dibandingkan dua pulau lainnya, meskipun dari sisi jumlah penduduk relatif lebih
kecil dibandingkan perkampungan Bajo di Mola Pulau Wangi-wangi.

Perkampungan Sama Bajo di Kaledupa antara lain, Kampung Sama Bajo Sampela di
perairan sebelah Timur pulau Kaledupa yang sering berinteraksi dengan masyarakat darat
Kaledupa di Ambeua, Kampung Sama Bajo Mantigola, sebagai kampung Bajo pertama dan tertua
di Kepulauan Wakatobi, yang merupakan lokasi penelitian, berada di perairan sebelah Barat pulau
Kaledupa. Interaksi sosial mereka lebih banyak kepada orang Kaledupa di Desa Horuo, Kampung
Sama Bajo Lo Hoa merupakan kampung terkecil di Kepulauan Wakatobi, berada di bagian Selatan
Pulau Keladupa yang sebagian besar interaksinya terjalin dengan orang Kaledupa Langgee dan
orang Darawa atau yang sebagian besar adalah petani rumput laut.

Masyarakat lokal di TNW, membangun relasi unik di antara anggota masyarakat yang
terdiferensiasi menjadi: (1) orang darat yang mendiami daratan pulau dan sebagian besar bermata
pencaharian berkebun, berdagang, dan melaut sebagai nelayan, dan (2) orang Sama Bajo yang
hidup di wilayah pesisir pulau-pulau kecil TNW, membangun kampung terapung di wilayah
perairan sekitar Pulau Kaledupa, dan sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan pancing
dasar dan nelayan tuna di laut Banda. Relasi sosial ini kemudian menjadi bagian penting dari modal
sosial untuk merespon perubahan- perubahan yang terjadi di pulau-pulau kecil, seperti yang telah
diuraikan sebelumnya.

Suatu hal yang menarik adalah bahwa modal sosial berupa jaringan sosial juga dapat menjadi
sumber kerentanan internal masyarakat itu sendiri. Rumah tangga nelayan Bajo di Wakatobi relatif
lebih rentan ketika berinteraksi dengan orang darat, khususnya orang darat Kaledupa yang tidak
memberikan peluang bagi berkembangnya perekonomian di Kampung Mantigola. Orang Sama
Bajo sendiri merupakan kelompok masyarakat marjinal yang sebagian besar merupakan nelayan
skala kecil (small scale fishers).

Potensi mereka untuk memodernisasi dan berpartisipasi dalam mencapai tujuan


pembangunan berkelanjutan menjadi kurang optimal. Nelayan skala kecil, layaknya orang Sama
Bajo, umumnya dianggap oleh pemerintah sebagai kelompok orang yang miskin, terpinggirkan
dan rentan terhadap guncangan sosial dan ekonomi, dan oleh karena itu memerlukan beberapa
tingkat dukungan dan perlindungan sosial dan ekonomi. Kewajiban Pemerintah Indonesia untuk
memberikan dukungan dan perlindungan kepada orang-orang miskin dan tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya, diamanatkan oleh Pasal 34 (2) dari Konstitusi Dasar negara Republik
Indonesia (Halim et al. 2019).

6
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu untuk menganalisis relasi yang dibangun antara dua
kelompok masyarakat di TNW, yakni kelompok masyarakat orang darat dan kelompok masyarakat
orang Bajo. Asumsi penelitian yang dibangun di dalam ini adalah interaksi sosial diantara orang
darat dan orang Sama Bajo yang mendiami tiga pulau di TNW tentu akan terkait dengan modal
sosial yang dibangun diantara keduanya, dan dampaknya pada kedua kelompok masyarakat akan
berbeda-beda sesuai dengan konteks sosial masyarakat di tiga pulau yang berbeda di TNW.

Analisis relasi sosial yang akan dibangun di dalam tulisan ini adalah membanding relasi
sosial bridging social capital dan bonding social capital diantara dua kelompok etnis yang hidup
dan mendiami pulau-pulau kecil dalam gugus wilayah TNW. Selama ini belum banyak kajian yang
membahas mengenai dua pola relasi sosial tersebut, baik bridging maupun bonding, khususnya
yang menggambarkan betapa dinamisnya hubungan sosial antara komunitas lokal orang darat dan
orang Sama Bajo dan kaitannya dengan kemampuan masyarakat Sama Bajo yang minoritas untuk
membangun daya lenting menghadapi perubahan lingkungan pulau-pulau kecil baik secara
ekonomi, ekologis dan sosial.

Kontribusi para ahli sosial pada temuan-temuan hasil penelitian bertopik modal sosial adalah
mengembangkan hasil-hasil studi modal sosial yang ditemukan oleh Bourdieu, Coleman, dan
Putnam. Khususnya studi yang menunjukkan perbedaan antara bentuk- bentuk relasi sosial antara
modal sosial bonding dan bridging. Bentuk-bentuk bridging dan bonding social capital memiliki
karakteristik unik yang memiliki peran besar makna dari modal sosial dan hasil dari bekerjanya
kekuatan modal sosial. Modal sosial harus tersedia di komunitas untuk memastikan bahwa
komunitas masyarakat menjadi lebih berdaya lenting untuk menghadapi perubahan.

1.3 Tujuan

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui gambaran perbedaan relasi sosial yang
terbangun pada dua kelompok masyarakat. Fokus analisa pada pengukuran bonding social capital
dan relasi yang menghubungkan kelompok masyarakat darat dengan kelompok masyarakat Sama
Bajo atau bridging social capital pada tiga konteks hubungan sosial berbeda, yakni relasi orang
Sama Bajo Mola dengan masyarakat darat Mandati, Lia, dan Waha, di Pulau Wangi-wangi, relasi
orang Sama Bajo Mantigola dengan masyarakat darat Kaledupa di Pulau Kaledupa, dan relasi
orang Sama Bajo Lamanggau dengan masyarakat darat Tomia di Pulau Tomia.

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Modal Sosial


Teori modal sosial pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Bourdieu pada tahun
1972 dan Coleman pada tahun 1988 (Hauberer, 2011). Definisi mendasar yang diperkenalkan
adalah modal sosial merupakan sumber daya yang melekat dalam hubungan sosial dapat
memanfaatkan sumber daya tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompok, modal sosial juga
sebuah aspek yang berguna untuk kehidupan manusia yaitu menyangkut relasi yang melekat
dalam masyarakat.
Modal sosial dalam ekonomi suatu usaha adalah rasa percaya dan kemampuan seseorang
dalam membangun jaringan suatu usaha serta kepatuhan terhadap norma atau tata nilai yang
berlaku dalam kelompok maupun masyarakat disekitarnya dimana modal sosial dapat memberikan
keuntungan untuk mengakses modal lainya serta memfasilitasi kerjasama antar kelompok
masyarakat. Teori modal sosial terutama berakar pada gagasan kepercayaan, norma, dan jaringan
informal berikut adalah pengertian modal sosial menurut para ahli :
1. Cohen dan Prusak (2001) memberikan pengertian bahwa modal sosial sebagai stok dari
hubungan yang aktif antar masyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleh
kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding) dan nilai-nilai bersama
(shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi
bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif (dalam Hasbullah, 2006).
2. Hasbullah (2006) mendefinisikan bahwa modal sosial adalah sumber daya yang dapat
dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Sumber daya
(resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk di konsumsi, di simpan dan di
investasikan.
3. Fukuyama (1995) mendefinisikan modal sosial dalam hal kepercayaan sebagai suatu
kemampuan masyarakat dalam bekerja sama untuk tujuan umum dalam kelompok dan
organisasi.
4. Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu fitur organisasi sosial, seperti
kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan
memfasilitasi tindakan terkoordinasi.

8
5. Bank dunia (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi
institusional, hubungan- hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk
kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat.
6. Hughes dan Perrons (2010) mengutip pendapat Inkpen dan Tsang (2005) tentang modal
sosial. Modal sosial menampilkan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan
keuntungan dari jaringan. Keuntungan ini dapat meliputi akses kepada pengetahuan,
sumberdaya, teknologi, pasar, dan kesempatan bisnis.

Dari beberapa pengertian modal sosial diatas maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial
merupakan sebuah salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide,
kesaling percayaan dan kesaling menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. modal sosial
sebagai sumber daya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu komunitas, baik antar individu
maupun institusi yang melahirkan ikatan emosional berupa kepercayaan, hubungan-hubungan
timbal balik, dan jaringan- jaringan sosial, nilai-nilai dan norma-norma yang membentuk struktur
masyarakat yang berguna untuk koordinasi dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama.

2.2 Bentuk-Bentuk Modal Sosial


Bentuk modal sosial ini dibedakan menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Modal sosial terikat (Bonding Social Capital)
Modal sosial terikat cenderung bersifat eksklusif, baik dalam bentuk
kelompok maupun bagi anggota kelompok sendiri. Dalam konteks ide, relasi, dan
perhatian, lebih berorientasi ke dalam (inward looking). Ragam masyarakat atau
individu yang menjadi anggota kelompok ini umumnya homogenius (seluruh
anggota kelompok berasal dari suku yang sama). Di dalam bahasa lain bonding
social capital ini dikenal pula sebagai ciri sacred society. Menurut Putman (1993)
dalam Hendry (2015), pada masyarakat sacred society dogma tertentu
mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat yang totalitarian,
hierarchical dan tertutup. Di dalam pola interaksi sosial sehari-hari selalu dituntun
oleh nilai-nilai dan norma-norma yang menguntungkan level hierarki tertentu dan
feodal.
Hasbullah (2006) dalam Hendry (2015) menyatakan, pada masyarakat yang
bonded atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta
memiliki tingkat kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan

9
kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial
yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekedar dalam batas kelompok dalam keadaan
tertentu, struktur hierarki feodal, kohesifitas yang bersifat bonding social capital.
Salah satu kehawatiran banyak pihak selama ini adalah terjadinya penurunan
keanggotaan dalam perkumpulan atau asosiasi, menurunnya ikatan kohesifitas
kelompok, terbatasnya jaringan-jaringan sosial yang dapat diciptakan, menurunnya
saling mempercayai dan hancurnya nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
tumbuh dan berkembang pada suatu entitas sosial.
Bonding sosial captal dikenal pula sebagai ciri sacred society dimana
dogma tertentu mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat yang
totalitarian, hierarchical dan tertutup. Pola interaksi sehari-hari selalu dituntun oleh
nilai-nilai dan norma yang menguntungkan level khirarkhi tertentu dan
feudal.Kekuatan modal sosial pada bonding ini hanya terbatas pada dimensi
kohesifitas kelompok. Masyarakat yang bonded atau inward looking atau sacred
memiliki tingkat kohesifitas, kebersamaan dan interaksi sosial yang kuat dan intens,
namun tidak memperlihatkan kemampuan masyarakat tersebut untuk mendapatkan
modal sosial yang kuat. Kohesifitas yang bersifat bonding akan tetap mampu
memberi dampak bagi kemungkinan.
2. Modal Sosial yang menjembatani (Bridging Sosial Capital)
Salah satu kekuatan dan energy modal sosial adalah kemampuan
menjembatani atau menyambung relasi-relasi antar individu dan kelompok yang
berbeda identitas asal. Kekeuatan ini didasarkan pula pada kepercayaan dan norma
yang ada dan sudah terbangun selama ini. Kemampuan bonding ini membuka
peluang informasi keluar, sehingga potensi dan peluang eksternal dari suatu
komunitas dapat diakses. Prinsip-prinsip yang dianut pada pengelompokan bonding
social capital ini adalah universal tentang kebersamaan, kebebasan, nilai-nilai
kemajemukan dan kemanusiaan, terbuka dan mandiri (Hasbullah,2004, 29).
Prinsip- prinsip tersebut mencerminkan bentuk kelompok atau organisasi yag lebih
modern. Dengan sikap kelompok yang outward looking memungkinkan untuk
menjalin koneksi dan jaringan kerja yang saling menguntungkan dengan asosiasi
atau kelompok di luar kelompoknya. Suatu suku bangsa yang menjalankan prinsip–

10
prinsip bridging social capital membuka jalan untuk lebih cepat berkembang di
bandingkan dengan suku lain yang didominasi oleh pandangan kesukuan yang
memiliki ciri kohesifitas ke dalam kelompok tinggi, Dalam gerakannya, kelompok
ini lebih memberi tekanan pada dimensi fight for (berjuang untuk) yaitu mengarah
pada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
kelompok, sikap yang dimiliki cenderung terbuka, memiliki jaringan yang
fleksibel, toleran, memungkinkan untuk memiliki banyak jawaban dalam
penyelesaian masalah, akomodatif untuk menerima perubahan, dan memiliki sifat
altruistic, humanitarianistik, dan universal.
Karakteristik yang muncul sebagai konsekuensi dari prinsip bridging social
capital adalah keanggotaan kelompok biasanya heterogen dari berbagai latar
belakang sosial budaya. Hetergenitas bukan hanya muncul dari keanggotaannya
tapi juga kompleksitas relasi yang terbangun. Relasi yang terbangun didasarkan
kepentingan untuk saling menguntungkan karena perbedaan dan variasi potensi
yang dimiliki oleh kelompok. Durkheim dalam konsep solidaritasnya dikenal
dengan solidaritas sosial yang bersifat organic. Artinya solidaritas, rasa
tanggungjawab, harapan, kewajiban moral muncul karena keterikatan pada
perbedaan. Modal sosial yang bersifat bridging inilah yang menjadi kekuatan yang
relevan untuk dikembangkan.
Bridging social capital bukan hanya merefleksikan kemampuan suatu
perkumpulan atau assosiasi sosial tertentu melainkan melainkan juga suatu
kelompok masyarakat secara luas. Bridging social capital dapat menggerakkan
identitas yang lebih luas dan reciprocity yang lebi variatif dan akulturasi ide yang
lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip pembangunan yang
lebih diterima oleh universal. Orientainya adalah memberi tekanan pada dimensi
berjuang yakni mengarah pada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi oleh suatu kelompok.Modal sosial ini biasanya mampu
memberikan kontribusi besar bagi perkembangan.
2.3 Perbedaan Bonding Social Capital dan Bridging Sosial Capital
Bonding Brinding

11
 Terikat/ ketat jaringan yang  Terbuka
ekslusif
 Pembedaan yang kuat  Memiliki jaringan yang lebih
fleksibel
 Hanya ada satu alternatif jawaban  Toleran
 Sulit menerima arus perubahan  Memungkinkan untuk memiliki
banyak alternatif jawaban dan
penyelesaian masalah
 Kurangnya akomodarif terhadap  Akomodatif untuk menerima
pihak luar perubahan
 Mengutamakan kepentingan  Cenderung memiliki sikap yangg
kelompok serta solidaritas altruistik, humanitarianistik, dan
kelompok universal
2.4 Elemen Penyusun Modal Sosial
Studi dasar modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat membentuk
entitas atau kelompok kerjasama dalam jaringan. Partnership atau hubungan yang sedang diatur
oleh pola keterkaitan timbal balik dan saling menguntungkan, berdasarkan pada nilai-nilai dan
norma-norma, dan dibangun atas dasar kepercayaan.
1. Nilai
Nilai adalah abstrak dan berada dalam bentuk pemikiran atau alasan, tetapi nilai dapat
disimpulkan dan ditafsirkan dari kata-kata, perilaku, tindakan yang dihasilkan, sehingga
perkataan, perilaku, dan tindakan yang dihasilkan oleh subjek adalah manifestasi dari
nilai. Karena modal sosial sangat ditentukan oleh konfigurasi nilai yang diciptakan
dalam masyarakat; maka untuk orang yang menghargai nilai-nilai kejujuran, keadilan,
kebersamaan, prestasi, sehingga keberadaan masyarakat akan jauh lebih berkembang
daripada orang yang tidak menghargai nilai-nilai.
2. Norma
Norma sosial penting untuk menjelaskan bagaimana masyarakat menjalankan
fungsinya, norma yang stabil atau yang berubah secara perlahan-lahan merupakan
komponen penting dari mekanisme pengaturan diri masyarakat yang stabil. Norma-
norma sosial diciptakan secara sengaja dalam pengertian bahwa orang-orang yang

12
memprakarsai atau ikut mempertahankan suatu norma merasa diuntungkan oleh
kepatuhannya pada norma dan merugi karena melanggar norma. Untuk mengendalikan
perilaku yang berkembang di masyarakat, norma-norma sosial akan banyak terlibat,
kemudian antara nilai dan norma selalu memiliki keterkaitan. Norma itu sendiri dapat
diartikan sebagai seperangkat aturan yang diharapkan untuk ditaati dan diikuti oleh
anggota masyarakat dalam suatu entitas tertentu sosial (Hasbullah, 2006). Biasanya
norma dilembagakan dan sanksi sosial dapat mencegah seseorang untuk melakukan
sesuatu yang menyimpang yang berlaku di masyarakat.
3. Kepercayaan
Kepercayaan adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan
sosial yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu
seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang
saling mendukung sehingga tidak menimbulkan kerugian diantara kedua belah pihak.
Dalam pandangan Fukuyama (1995, 1997 dalam Hendrati 2013) kepercayaan adalah
kepercayaan masyarakat bersama dalam satu sama lain yang memungkinkan
masyarakat untuk bersatu dengan orang lain dan berkontribusi terhadap peningkatan
modal sosial. Tindakan kolektif berdasarkan kepercayaan yang tinggi akan saling
meningkatkan "partisipasi" masyarakat.
4. Jaringan
Menurut Knack dan Keefer (1997 dalam Boari dan Presutti, 2004), jaringan merupakan
hal terpenting dalam mengembangkan saluran komunikasi yang handal dan efektif
dalam melintasi batas-batas organisasi. Modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu
individu, melainkan terletak pada kecenderungan yang berkembang dalam kelompok
untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial
akan sangat tergantung pada kapasitas kelompok masyarakat yang ada untuk
membangun sejumlah asosiasi berikut untuk membangun jaringan. Terdapat berbagai
jenis jaringan yang ada dalam elemen modal sosial antara lain :
a) Jaringan informasi dimana jaringan informasi ini bisa berupa pameran, rapat serta
dokumen yang paten.
b) Jaringan bisnis terdapat berupa klien suplier serta pesaing dimana hal ini terjadi
dikarenakan mereka melakukan aktivitas bisnis bersama-sama dengan kita.

13
c) Jaringan penelitian yang berupa penelitian dalam laboratorium, penelitian pemerintah
atau survey dan organisasi transfer teknologi.
2.5 Unsur-Unsur Pokok Modal Sosial
Menurut Hasbullah (2006) terdapat enam unsur pokok dalam modal sosial berdasarkan
dari berbagai pengertian modal sosial yang telah ada antara lain:
a. Participation in a network kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam
suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling
berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan
(equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility).
b. Reciprocity Kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok
atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran terjadi dalam suatu kombinasi jangka
panjang dan jangka pendek dengan nuansa altruism tanpa mengharapkan imbalan.
c. Trust Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan
sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu
seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang
saling mendukung.
d. Social norms Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat
dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya tidak tertulis tapi
dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial
sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika melanggar.
e. Values sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota
kelompok masyarakat.
2.6 Contoh kasus 1
Bonding Social Capital Analisis Relasi Sosial Masyarakat Pulau-Pulau Kecil Di Taman
Nasional Wakatobi

Perhatian para ahli terhadap dinamika sosial masyarakat di pulau-pulau kecil semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya risiko masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil
untuk jatuh pada kondisi kemiskinan kronis. Kerentanan ini sebagian besar diakibatkan oleh
tekanan ekologis dan dinamika sosial politik misalnya perubahan iklim dan penetrasi globalisasi.
Para ahli saat ini menempatkan pulau-pulau kecil dalam fokus ilmiah untuk membahas

14
konsekuensi dari bahaya perubahan iklim global. Perubahan iklim ditengarai berdampak pada
meningkatnya risiko kegagalan mata pencaharian di pedesaan.

Meskipun rentan terhadap segala perubahan eksternal, namun pulau-pulau kecil dengan
aktivitas nafkah di dalamnya merupakan bagian dari sistem pangan yang berkontribusi besar
terhadap masyarakat global. Komunitas lokal di pulau-pulau kecil, khususnya di negara
berkembang sangat bergantung pada sektor perikanan skala kecil, baik untuk memenuhi
kebutuhan subsisten pangannya sendiri ataupun sebagai mata pencaharian masyarakat.
Keterisolasian komunitas dan kecilnya skala usaha ekonomi lokal membuat produksi perikanan
sensitif terhadap cara nelayan berinteraksi dengan anggota komunitas lain dan terhadap
perubahan lingkungan setempat.

Masyarakat lokal di Taman Nasional Wakatobi, membangun relasi unik di antara anggota
masyarakat yang terdiferensiasi menjadi orang darat yang mendiami daratan pulau dan sebagian
besar bermata pencaharian berkebun, berdagang, dan melaut sebagai nelayan dan orang Sama
Bajo yang hidup di wilayah pesisir pulau-pulau kecil Taman Nasional Wakatobi , membangun
kampung terapung di wilayah perairan sekitar Pulau Kaledupa, dan sebagian besar bermata
pencaharian sebagai nelayan pancing dasar dan nelayan tuna di laut Banda. Relasi sosial ini
kemudian menjadi bagian penting dari modal sosial untuk merespon perubahan- perubahan yang
terjadi di pulau-pulau kecil. Komunitas yang memiliki kohesivitas yang kuat akan memiliki aksi
kolektif untuk menghadapi perubahan iklim. Selanjutnya, komunitas yang resilient akan mampu
secara strategis menggunakan jaringan sosialnya untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya
di luar komunitasnya.

Suatu hal yang menarik adalah bahwa modal sosial berupa jaringan sosial juga dapat
menjadi sumber kerentanan internal masyarakat itu sendiri. Perikanan skala kecil terpinggirkan
dalam segala hal, antara lain budaya, sosial, ekonomi, geografis, hukum, dan politik. Status
mereka yang tidak menguntungkan sering dirasakan menjadi sebab dan akibat dari penangkapan
ikan yang berlebihan, praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, dan kegagalan tata
kelola. Potensi mereka untuk memodernisasi dan berpartisipasi dalam mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan menjadi kurang optimal. Nelayan skala kecil, layaknya orang Sama
Bajo, umumnya dianggap oleh pemerintah sebagai kelompok orang yang miskin, terpinggirkan

15
dan rentan terhadap guncangan sosial dan ekonomi, dan oleh karena itu memerlukan beberapa
tingkat dukungan dan perlindungan sosial dan ekonomi.

Analisis relasi sosial yang akan dibangun adalah relasi sosial bonding social capital
diantara dua kelompok etnis yang hidup dan mendiami pulau-pulau kecil dalam gugus wilayah
Taman Nasional Wakatobi. Kontribusi penting para ahli sosial pada temuan-temuan hasil
penelitian bertopik modal sosial adalah mengembangkan hasil-hasil studi modal sosial yang
ditemukan oleh Bourdieu, Coleman, dan Putnam. Khususnya studi yang menunjukkan perbedaan
antara bentuk-bentuk relasi sosial antara modal sosial bonding dan bridging. Bentuk-bentuk
bridging dan bonding social capital memiliki karakteristik unik yang memiliki peran besar makna
dari modal sosial dan hasil dari bekerjanya kekuatan modal sosial. Modal sosial harus tersedia di
komunitas untuk memastikan bahwa komunitas masyarakat menjadi lebih berdaya lenting untuk
menghadapi perubahan.

Pulau Wangi-wangi merupakan pusat dari kegiatan pemerintahan dan perdagangan


Kabupaten Wakatobi. Pulau Wangi-wangi dihuni oleh dua etnis besar, yakni etnis Buton
kepulauan yang memiliki relasi dengan Kesultanan Buton, dan Etnis Sama Bajo. Etnis Buton di
Pulau Wangi-wangi terdiri dari orang Wanci Mandati, orang Lia, orang Waha, dan orang Wanci
yang mendiami pulau Kapota. Setiap kelompok etnis Buton kepulauan memiliki Lembaga adat
yang disebut dengan “Sara”. Pada zaman dahulu, Sara berperan besar di dalam pengaturan
kehidupan kemasyarakatan hingga mekanisme pengaturan penggunaan sumberdaya. Kepulauan
Wakatobi pada zaman dahulu berdiri beberapa kedatuan atau kerajaan-kerajaan kecil, yakni
Kedatuan Suiya, Kedatuan Komba-komba, kedatuan Waha, Kedatuan Wanse di Pulau Wangi-
wangi, Kedatuan Patua di Pulau Tomia, Kedatuan Rukuya di Pulau Binongko, dan yang terkenal
adalah Kerajaan Kaledupa atau Barata Kahedupa di Pulau Kaledupa.

Hubungan dua etnis besar yakni antara tiga kelompok etnis Buton kepulauan dengan orang
Sama Bajo sungguh unik. Orang Sama Bajo mendiami wilayah pesisir sebelah barat tenggara
pulau Wangi-wangi, sementara orang Buton Kepulauan mendiami seluruh wilayah daratan dan
pulau Kapota. Orang Wanci Mandati sebagian besar merupakan pedagang dan petani
perkebunan, orang Waha sebagian besar merupakan nelayan pelagik, dan orang Lia selain
sebagai petani perkebunan, juga merupakan nelayan demersal. Hubungan orang Sama Bajo dan
orang Wanci Mandati terbangun karena hubungan simbiosis mutualisme. Keberhasilan orang-

16
orang Mandati khususnya tidak terlepas dari peran orang-orang Bajo, karena diawal mula usaha
berdagang di Pulau Buru, Jawa, Kalimantan, Sumatera, bahkan hingga ke Singapura, peran Bajo
sebagai pemasok barang-barang dagangan orang-orang Mandati, antara lain sirip ikan hiu,
teripang, lola, dan sebagainya berasal dari nelayan Bajo di Mola. Selain itu juga, sebelum
memiliki kapal sendiri untuk berlayar, orang-orang Mandati juga meminjam kapal orang-orang
Bajo Mola untuk berangkat membawa barang dagangan ke Pulau Buru, ke Pulau Jawa, hingga
ke Singapura.

Hubungan etnis Waha dengan orang Sama Bajo Mola relatif lebih bersifat asosiatif.
Pekerjaan orang Waha yang merupakan nelayan pelagik besar dengan hasil tangkapan berupa
ikan laut dalam yakni tuna dan cakalang, tidak banyak dipengaruhi oleh kasus keracunan ikan.
Hubungan antara keduanya juga telah terbangun dari kegiatan penangkapan ikan secara
berkelompok yang dikenal dengan istilah bapongka di laut Banda, dan kegiatan jual beli hasil
tangkapan karena pedagang pengumpul dan pengolah ikan tuna adalah orang Sama Bajo di Mola.

Berbeda dengan relasi orang darat dan orang Sama Bajo, di Kaledupa, hubungan antara
orang darat dan orang Sama Bajo diwarnai dengan sejarah kelam, dan warna sejarah itu
memberikan konsekuensi terhadap relasi yang dibangun antara orang Sama Bajo dan orang darat
Kaledupa. Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang
kaledupa dengan istilah “amai wa’du” sebagai golongan masyarakat yang terendah yakni setara
dengan kelompok papara atau golongan masyarakat budak. Bagi masyarakat Kaledupa,
masyarakat Bajo adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial
masyarakat Kaledupa.

Pulau Kaledupa sendiri merupakan Pulau terbesar diantara tiga pulau lainnya yang
memiliki sumberdaya yang berlimpah, Gugusan karang Kaledupa yang kaya akan sumberdaya
perikanan, lahan yang subur sangat potensial untuk kegiatan pertanian perkebunan dan
hortikultura, ditambah dengan kondisi mangrove yang masih terjaga, dan banyaknya wilayah
terlindung yang sangat cocok untuk kegiatan pengembangan rumput laut menjadi daya pikat bagi
orang Sama Bajo untuk bermukim di Pulau Kaledupa. Jumlah perkampungan Sama Bajo
terbanyak di Kepulauan Wakatobi jika dibandingkan dua pulau lainnya, meskipun dari sisi
jumlah penduduk relatif lebih kecil dibandingkan perkampungan Bajo di Mola Pulau Wangi-
wangi. Perkampungan Sama Bajo di Kaledupa antara lain Kampung Sama Bajo Sampela di

17
perairan sebelah Timur pulau Kaledupa yang sering berinteraksi dengan masyarakat darat
Kaledupa di Ambeua, Kampung Sama Bajo Mantigola, sebagai kampung Bajo pertama dan
tertua di Kepulauan Wakatobi, berada di perairan sebelah Barat pulau Kaledupa. Interaksi sosial
mereka lebih banyak kepada orang Kaledupa di Desa Horuo, Kampung Sama Bajo Lo Hoa
merupakan kampung terkecil di Kepulauan Wakatobi, berada di bagian Selatan Pulau Keladupa
yang sebagian besar interaksinya terjalin dengan orang Kaledupa Langgee dan orang Darawa
atau yang sebagian besar adalah petani rumput laut.

Di pulau Tomia yang merupakan pusat pariwisata bahari kepulauan Wakatobi, juga
ditemukan pemukiman orang Sama Bajo. Orang Sama Bajo, membangun perkampungan yang
bersatu dengan orang darat Tomia, serupa dengan kampung Mola di Pulau Wangi-wangi.
Kedatangan mereka dari tempat asal di Mola menuju Tomia pada awalnya hanya ingin
menangkap ikan di karang Tomia dengan menggunakan perahu soppe secara berkelompok
berjumlah tujuh orang dipimpin oleh seorang parika (nakhoda) bernama Langkala.

Setelah selesai melakukan aktivitas penangkapan ikan, mereka berlayar menuju pulau
Tomia untuk menjual hasil tangkapannya kepada masyarakat Tomia, demikian seterusnya.
Pertama kali mereka tinggal sementara dirumah milik La Onso, seorang penduduk asli Desa
Lamanggau. Dalam perkembangan berikut ada pula yang datang dari Kaledupa dan Nusa
Tenggara Timur. Keberadaan suku Bajo ditengah-tengah masyarakat Desa Lamanggau saat itu
diterima dengan baik oleh penduduk setempat sehingga mereka mengajak keluarganya di Desa
Mola untuk ikut serta ke Desa Lamanggau. Setelah mereka tiba kembali di Desa Lamanggau,
mereka mendirikan rumah disekitar pesisir pantai utara Desa Lamanggau untuk tinggalhingga
saat ini.

Hubungan antara orang Sama Bajo dan orang Tomia lebih harmonis. Orang Tomia sendiri
merupakan komunitas nelayan demersal yang memiliki keterampilan tinggi dalam menangkap
ikan. Salah satu teknik penangkapan ikan yang unik dari nelayan Tomia, adalah metode pancing
“intip-intip”. Kasus keracunan ikan yang terjadi pada tahun 2017 apakah berdampak pada kondisi
mata pencaharian orang darat Tomia, kondisi keracunan ikan di Wangi-wangi dan Kaledupa
tidak berdampak pada kondisi mata pencaharian nelayan di Pulau Tomia, baik pada orang darat
maupun orang Sama Bajo Lamanggau. Penggunaan alat tangkap dan bahan-bahan berbahaya
yang dilarang oleh pemerintah hampir tidak ditemukan lagi dalam beberapa tahun terakhir.

18
Selanjutnya bahaya kegiatan perikanan yang merusak lingkungan disadari oleh mereka akan
menimbulkan dampak buruk bagi wajah Pulau Tomia sebagai identitas wisata Pulau Wakatobi
dan jika terjadi akan merugikan semua nelayan di Pulau Tomia.

Interaksi antara masyarakat pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi sebagian besar
terkait pertukaran pengetahuan di dalam kegiatan tangkap, saling membantu dalam ketersediaan
umpan misalnya bulu ayam yang digunakan untuk umpan ikan cakalang, atau saling membantu
memperbaiki perahu dan mesin tempel. Interaksi yang lebih intens juga terjadi di karang saat
menangkap, dua kelompok nelayan berbeda etnis ini akan saling berbagi informasi satu sama
lain tentang lokasi tangkap ikan yang tepat dan berlimpah ikan.

Nelayan darat Tomia mengungkapkan juga bahwa interaksi yang dibangun antara kedua
belah pihak tidak melulu terkait kegiatan perikanan tangkap saja, tetapi juga diskusi tentang
permasalahan-permasalahan di desa, misalnya tentang pemilihan kepala desa, bantuan dana desa,
dan pencairan bantuan sosial dari pemerintah. Partisipasi seseorang di dalam kelompok dan
jaringan dapat meningkatkan akses kepada saluran informasi dan melipatgandakan sumber daya
dukungan sosial seseorang, serta mengurangi beberapa kelemahan yang terkait dengankurangnya
modal manusia atau finansial.

Para istri-istri nelayan juga memperkuat interaksi. Saling tukar menukar hasil tangkapan
menjadi suatu kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkan diantara masyarakat. Bahkan mereka
juga saling membantu menjualkan hasil tangkapan maupun hasil olahan ikan menjadi ikan asin
jika salah satu pihak yang telah berkawan karib tidak bisa menjualnya ke pasar. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa pasar merupakan tempat yang paling sering digunakan untuk saling
berinteraksi, dan biasanya para istri lah yang banyak berinteraksi di pasar.

Interkasi yang dilakukan oleh masyarat yang ada di pulau-pulau kecil di Taman Nasional
Wakatobi menciptakan banyak manfaat. Selain membangun sebuah relasi, interaksi sosial juga
sangat membantu dalam meningkatkan solidaritas antar sesama individu atau kelompok. Pada
saat sebuah kelompok masyarakat telah sering melakukan interaksi dan saling mengenal, maka
rasa solidaritas dan kepedulian akan tercipta dengan sendirinya.

19
2.7 Contoh kasus 2
Bridging Social Pengelolaan Bantaran Sungai Citarum Sektor 7 Kecamatan Balendah
Kabupaten Bandung

Sungai Citarum merupakan sungai terbesar dan terpanjang yang ada di provinsi Jawa Barat,
selain itu Sungai Citarum juga menjadi salah satu sungai yang vital juga strategis karena sekitar
80% sungai dimanfaatkan oleh masyarakat yang ada di bantaran sungai. Namun saat ini Sungai
Citarum memiliki berbagai permasalahan yang kompleks dimulai dari krisis air bersih,
pencemaran yang tinggi, limbah industri dan rumah tangga, krisis ketersediaan energi,
sedimentasi hingga bencana banjir.

Secara umum Sungai Citarum sendiri mempunyai permasalahan seperti: 1) Penebangan


hutan yang dilakukan tanpa adanya perencanaan dan pengawasan dibagian hulu, 2) Erosi tanah
yang mengakibatkan tingginya tingkat sedimentasi, hal ini menimbulkan pedangkalan sungai
yang pada akhirnya menyebabkan air sungai meluap melebihi kapasitasnya dan mengakibatkan
banjir, 3) Beralihnya fungsi resapan air menjadi lahan pemukiman warga, yang diakibatkan dari
adanya pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, 4) Limbah domestik seperti sampah rumah
tangga, kotoran manusia, sampah pertanian dan peternakan, kemudian limbah industri seperti
bahan kimia, B3 dan lainnya

Atas permasalahan yang terjadi, Bank Dunia – Nation Geographic Indonesia (2018)
memberikan predikat kepada Sungai Citarum sebagai “sungai terkotor di dunia” sehingga hal
tersebut menjadi perhatian berbagai pihak dan juga menimbulkan keprihatinan bagi masyarakat
serta pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah telah mengeluarkan berbagai program
dan kebijakan salah satunya adalah Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2018 tentang Percepatan
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Berdasarkan Perpres
tersebut pemeritah meciptakan sebuah program bernama Citarum Harum. Hadirnya program ini
secara perlahan diharapkan dapat menjadi langkah strategis yang mampu memberikan dampak
baik terhadap pencegahan dan pemulihan akibat pencemaran Sungai Citarum.

Tercemarnya Sungai Citarum membawa dampak buruk bagi masyarakat seperti banjir,
tingginya kandungan limbah di Sungai Ciatrum yang dapat menyebabkan kurangnya air bersih,
serta dapat membatasi masyarakat untuk memanfaatkan air sungai. Oleh karena itu penting bagi
masyarakat sekitar untuk memiliki kemampuan pengelolaan wilayah sungai yang baik.

20
Diharapkan dengan modal sosial yang terjalin, dapat memberikan dampak yang baik terhadap
bantaran sungai Citarum agar selalu bersih, asri, dan terhindar dari pencemaran. Salah satu lokasi
yang strategis serta dianggap memiliki potensi yang mumpuni untuk dimanfaatkan yaitu sektor
7 Citarum Harum.

Pemanfaatan modal sosial didalam pengelolaan bantaran sungai Citarum ini dapat
memeberikan kekuatan yang dapat dijelaskan melalui 3 tipologinya yang meliputi modal sosial
terikat (bonding social capital), modal sosial menjembatani (bridging social capital) serta modal
sosial menghubungkan (linking social capital). Bridging social capital merupakan bentuk modal
sosial yang menggambarkan koneksi atau jaringan yang menghubungkan orang-orang dari
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain yang berbeda atau lebih bersifat
eksternal

Bridging social capital merupakan bentuk modal sosial yang menggambarkan koneksi yang
mampu menghubungkan orang-orang dari suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok yang
lain yang berbeda, bridging social capital merupakan sebuah asosiasi yang menjembatani antara
komunitas, organisasi ataupun kelompook satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa masyarakat dan
stakeholder lainnya mampu menjalin jejaring/relasi dengan individu yang bersifat eksternal.
Jejaring individu terjalin diantara para Komandan Sub sektor ketiga wilayah yang ada di Sektor
7 Sungai Citarum dengan tujuan untuk melakukan komunikais dan koordinasi terkait dengan
pengelolaan bantaran sungai Citarum di sektor 7.

Selain itu terdapat beberapa tokoh masyarakat yang berjejaring dengan Ormas (organisasi
masyarakat) yakni PP (pemuda pancasila) dan manggala yang merancang strategi program kerja
untuk pengelolaan bantaran sungai Citarum, kemudian terdapat juga jejaring sosial diantara
pemerintah dengan puskesos (pusat kesejahteraan sosial), PSM, dan peduli disabilitas untuk
keperluan masyarakat secara umum, selain itu juga terdapat jejaring yang terjalin diantara
komunitas, lembaga ataupun organisasi salah satunya WPL yang berjejaring dengan Kementrian
Lingkungan Hidup dan Usid yang bertujuan untuk membuat sebuah program sanitasi dan ESP
(environment services program).

21
BBWS Citarum mempunyai tanggungjawab didalam menyediakan sarana pendukung
untuk setiap kegiatan masyarakat di bantaran sungai Citarum, BBWS juga bekerja sama dengan
TKPSDA didalam melakukan pemberdayaan komunitas lokal yang berada disekitaran sungai
Citarum, membantu meingkatkan perekonomian masyarakat melalui konservasi wilayah hulu
serta mengadakan program percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur sumber daya
air wilayah sungai citarum (P4- ISDA). didalam menjalankan kegiatannya seperti pemeliharaan
sungai, konservasi, pendayagunaan sumber daya alam dan evakuasi bencana, BBWS Citarum ini
menjalin jejaring bersama dengan PUPR, Universitas, DLH, Pemerintah Kota dan Kabupaten.

TKPSDA mempunyai peran didalam melakukan penanggulangan dan evakuasi bencana di


wilayah sungai Citarum, output dari TKPSDA sendiri yakni membuat rekomendasi yang terkait
dengan pengelolaan sungai Citarum kepada menteri PUPR sebagai hasil dari usulan atau evaluasi
pengelolaan sungai Citarum, hal ini dilakukan agar pengelolaan sungai Citarum mampu berjalan
secara maksimal dan lebih terkoordinasi secara baik dengan pihak yang terkait langsung didalam
pengelolaan sungai Citarum. Didalam menjalankan setiap kegiatannya, TKPSDA ini berjejaring
dengan komunitas atau lembaga baik itu lembaga pemerintah maupun non-pemerintah,
diantaranya adalah Bapedda (badan perencanaan pembangunan daerah), BBWS (Balai Besar
Wilayah Sungai), WPL (wrga peduli lingkungan) ,B2C2 (barudak baraya cisangkuy citarum),
PUPR dan komunitas masyarakat lainnya.

PUPR berperan didalam perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang


pengelolaan sumber daya air, sistem penyediaan air minum, sistem pengelolaan air limbah dan
drainase lingkungan serta persampahan, salah satu legiatan yang dilaksanakan oleh PUPR adalah
program rehibilitasi prasarana sungai Citarum dan kegiatan konservasi dan pembuatan Tempat
Pemrosesan Sampah seluas 74,6 ha. Didalam menjalankan setiap kegiatannya, PUPR ini
berjejaring dengan berbagai lembaga di sektor 7 Citarum Harum diantaranya TKPSDA, BBWS,
DLH, PUPR juga berperan sebagai media penghubung didalam menciptakan sebuah jejaring
diantara lembaga-lembaga terkait.

Satgas Citarum harum mempunyai peran didalam memberikan dampak yang positif bagi
masyarakat yang berada di sekitaran bantaran sungai Citarum, hal ini dilakukan dengan cara
mengadakan berbagai kegiatan diantaranya melakukan pengerukan sedimentasi, pengangkatan
sampah permukaan yang ada dibantaran sungai Citarum, menanam tanaman vetifer,

22
penanggulangan banjir yang dilakukan mulai dari proses evakuasi, distribusi logistik, pengobatan
hingga pengerukan lumpur pasca banjir, kemudian melakukan pelatihan tagana berbasis
komunitas masyarakat, membuat TPS swadaya, WC komunal dan Ipal komunal.

Satgas Citarum Harum juga menjalin hubungan dengan berbagai lembaga, masyarakat
serta komandan sub sektor antar wilayah disektor 7 yakni dansub Desa Rancamanyar, Dansub
Kelurahan Andir dan Dansub Desa Bojongmalaka, Satgas Citarum harum juga menjalin
hubungan dengan Dikti yang terjalin melalui kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) yang biasanya
rutin diselenggarakan di sektor 7, bekerja sama dengan CSR berbagai perusahaan yang dekat
dengan bantaran sungai Citarum sektor 7, selain itu satgas Citarum harum ini juga berjejaring
dengan MenkoPMK, jejaring yang terjalin berupa kerjasama yang dilakukan dalam memberikan
pelatihan mengenai penanggulangan limbah industri.

WPL atau Warga Peduli Lingkungan merupakan salah satu komunitas yang bergerak
didalam melakukan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di bantaran sungai Citarum. WPL
mempunyai peran didalam merancang strategi potensi di masyarakat agar mampu berfungsi
secara optimal dan mempunyai peran didalam melakukan perubahan secara berkelanjutan.
Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas WPL diantaranya adalah pengelolaan sampah,
persoalan sanitasi serta persoalan konservasi, WPL melakukan pendekatan melalui edukasi yang
disebut public awareness campaign dengan melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga
dengan berbagai format sosialisasi kepada masyarakat agar terbangun kesadaran untuk menjaga
lingkungannya.

Didalam menjalankan kegiatannya, WPL menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga


yang ada di tingkat lokal, nasional bahkan internasional, WPL juga menjalin jejaring dengan
komunitas antar wilayah yang berada di sektor 7 Citarum Harum, hubungan yang terjalin salah
satunya dengan TKPSDA, komunitas yang berada dibawah naungan TKPSDA, kemudian untuk
tingkat nasional WPL berjejaring dengan dinas sumber daya air, dan untuk tingkat internasional
WPL berjejaring dengan Canadian International Development Agency (CIDA), ADP World
Bank dan terakhir dengan Bill Gates Foundation, dan terakhir WPL juga berjejaring dengan WPL
yang berjejaring dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Usid yang bertujuan untuk membuat
sebuah program sanitasi dan ESP (environmrnt services program).

23
Jaringan sosial yang terjalin diantara para stakeholder tentunya mampu menciptakan
kerjasama yang baik didalam pengelolaan bantaran sungai Citarum. Kerjasama yang terjalin
menimbulkan keberhasilan-keberhasilan dalam pengelolaan bantaran sungai Citarum yang dapat
menginisiasi terjalinnya kerjasama dikemudian hari. Berbagai dampak baik telah ditimbulkan
dari adanya kerjasama yang terjalin diantara para stakeholder baik itu diantara masyarakat,
komunitas/lembaga maupun pihak komandan sub sektor itu sendiri, berbagai dampak atau
manfaat dari hasil kerjasama tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar, hasil kerjasama
tersebut meliputi tertatanya bantaran sungai Citarum, tingkat kebersihan sungai dan bantaran
sungai sudah meningkat karena sedimen secara bertahap selalu diangkat menggunakan alat berat,
tumbuhan yang ditanam disekitaran bantaran sungai Citarum menggunakan pupuk BIOS organic
sehingga memberikan manfaat baik bagi bantaran sungai Citarum, kualitas air sungai Citarum
sudah semakin membaik dan bisa digunakan untuk mengairi tumbuhan, tersedianya sarana dan
prasarana yang menunjang masyarakat untuk mengelola dan melestarikan bantaran sungai
Citarum, serta terdapat fasilitas-fasilitas yang menunjang setiap kegiatan masyarakat.

Walaupun kerjasama yang terjalin memberikan dampak yang baik terhadap keberlanjutan
pengelolaan bantaran sungai Citarum di sektor 7, namun kerjasama tersebut masih harus
ditingkatkan, berbagai upaya harus tetap dilakukan karena kondisi bantaran sungai Citraum
berlum sepenuhnya stabil sehingga masih diperlukan pengelolaan bantaran sungai Citarum
secara berkelanjutan agar memberikan dampak yang lebih baik sesuai dengan tujuan utama
dalam pengelolaan bantaran sungai Citarum sektor 7.

Didalam melakukan kerjasama dan jejaring diantara komunitas satu dengan komunitas
lainnya maupun diantara masyarakat dengan masyarakat lainnya yang bersifat eksternal,
tentunya diperlukan rasa toleransi didalam melaksanakan setiap kegiatan/kerjasama. Perbedaan
latar belakang, agama, kebiasaan dan lain sebagainya harus mampu dihadapi agar kerjasama yang
terjalin dapat berjalan dengan baik dan mampu menghasilkan dampak yang baik pula,
berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa masyarakat telah mempunyai nilai
toleransi yang baik terhadap masyarakat lainnya, baik dari segi agama, sosial dan aspek lainnya.

Masyarakat sudah mampu untuk saling menghormati perbedaan yang ada, dan tidak
bersikap rasis, sehingga didalam kenyataanya belum pernah terjadi konflik ataupun
permasalahan yang menyangkut perbedaan seperti permasalahan antar suku, agama dan lainnya,

24
sehingga masyarakat mampu rukun didalam menjalankan hubungan dengan pihak lain. Toleransi
yang baik diantara masyarakat menjadi hal yang menguntungkan karena dengan hal tersebut,
masyarakat sudah mampu menghargai satu sama lain. Didalam pengelolaan bantaran sungai
Citarum sektor 7 ini, masyarakat tidak pandang bulu sehingga mereka mampu berbaur dengan
siapa saja terlepas dari perbedaan yang mereka miliki, sehingga kerjasama dan jejaring yang
terjalin mampu dipertahankan dengan tujuan untuk pengelolaan bantaran sungai Citarum sektor
7 secara berkelanjutan.

Jaringan yang telah terjalin mempunyai tujuan dan fokus yang sama yakni untuk
pengelolaan bantaran sungai Citarum secara berkelanjutan, sumber daya manusia yang terdapat
didalam jaringan tersebut terikat melalui norma ataupun tata aturan yang mengatur bagaimana
seharusnya masyarakat bertindak, selain itu melalui jaringan yang terjalin dapat meningkatkan
jalinan komunikasi yang melandasi terciptanya interaksi sosial diantara masyarakat yang menjadi
salah satu faktor dalam meningkatkan solidaritas/keeratan diantara masyarakat.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam pembahasan hasil penelitian penerapan
Bonding Social Capita Analisis Relasi Sosial Masyarakat Pulau-Pulau Kecil Di Taman Nasional
Wakatobi Dan Modal Sosial Bridging Dalam Pengelolaan Bantaran Sungai Citarum Sektor 7
Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung dapat ditarik kesimpulan bahwa :
a. ketiga interaksi sosial di tiga pulau baik bonding maupun bridging social capital, ini
menunjukkan bahwa kekuatan bonding social capital masing-masing kelompok etnis
begitu kuat. Namun, terkait dengan semakin rentannya masyarakat di TNW karena
masifnya perubahan ekologi, restriksi terhadap wilayah penangkapan, dan penetrasi pasar
global, mendorong pentingnya setiap kelompok masyarakat di TNW untuk saling
menjembatani dan bersinergisatu sama lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hubungan menjembatani atau bridging social capital cenderung lemah pada dua hubungan
antara orang Sama Bajo dan orang darat di Pulau Wangi-wangi dan Pulau Kaledupa.
Sementara gejala bridging social capital cenderung kuat pada hubungan orang Sama Bajo
dan orang darat di Pulau Tomia. Hasil penelitian juga menegaskan betapa cerdasnya
masyarakat dari suatu sistem sosial mencari cara untuk keluar dari kerentanan.
b. Pengelolaan bantaran sungai Citarum merupakan tanggung jawab masyarakat bersama,
terutama masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai Citarum. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan, modal sosial dapat menjadi salah satu faktor keberhasilan
dalam pengelolaan sungai Citarum melalui 3 bentuk modal sosial yaitu bonding, bridging
dan lingking. Namun untuk Desa Rancamanyar, keeratan dan kerja sama antar pihak
masih perlu ditingkatkan. Melihat lokasi desa yang strategis dan memiliki potensi yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengelolaan Sungai Citarum yang sinergis dan
berkelanjutan dianggap penting untuk menjaga kualitas lingkungan sehingga potensi
yang ada dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kemandirian masyarakat.
3.2 Saran
Adapun saran untuk penerapan Bonding Social Capita Analisis Relasi Sosial Masyarakat
Pulau-Pulau Kecil Di Taman Nasional Wakatobi Dan Modal Sosial Bridging Dalam Pengelolaan
Bantaran Sungai Citarum Sektor 7 Kecamatan Baleedah Kabupaten Bandung yaitu :
 Saran untuk meningkatkan bonding social capital atau modal sosial yang memperkuat
hubungan antarindividu dalam masyarakat di Pulau-Pulau Kecil di Taman Nasional
Wakatobi, beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu :
a. Mengadakan kegiatan-kegiatan sosial yang melibatkan seluruh masyarakat Pulau-
Pulau Kecil, seperti arisan, gotong royong, atau kegiatan-kegiatan olahraga
bersama. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat membantu memperkuat hubungan
antarindividu, memperbaiki komunikasi, dan meningkatkan rasa solidaritas di
antara masyarakat.

26
b. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengembangan Taman
Nasional Wakatobi. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan
dan pengembangan, diharapkan masyarakat merasa memiliki dan peduli terhadap
Taman Nasional Wakatobi serta berkomitmen untuk menjaganya.
c. Membangun jaringan komunikasi yang baik antarwarga Pulau-Pulau Kecil.
Misalnya, melalui pembentukan kelompok diskusi atau forum diskusi daring yang
memungkinkan masyarakat saling bertukar informasi dan berbagi pengalaman.
d. Menyediakan fasilitas publik yang dapat menjadi pusat interaksi dan aktivitas sosial
bagi masyarakat. Misalnya, ruang serba guna atau taman yang dapat digunakan
untuk kegiatan-kegiatan bersama seperti pertunjukan seni, acara bazar, atau
kegiatan sosial lainnya.
e. Mengadakan pelatihan-pelatihan atau workshop untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam bidang-bidang tertentu seperti pengelolaan lingkungan,
pengolahan limbah, atau pengembangan usaha kecil. Pelatihan-pelatihan tersebut
dapat membantu masyarakat meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya
sehingga dapat membuka peluang kerja atau usaha yang lebih baik. Selain itu,
pelatihan-pelatihan juga dapat memperkuat hubungan antarindividu karena dapat
memperkenalkan masyarakat satu sama lain dan meningkatkan kerja sama di antara
mereka.
 Adapun saran yang dapat membantu dalam proses bridging dalam Pengelolaan Bantaran
Sungai Citarum Sektor 7 Kecamatan Baleedah Kabupaten Bandung yaitu :
a. Mengidentifikasi Stakeholder dimana identifikasi stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan bantaran sungai Citarum di sektor 7 Kecamatan Baleendah Kabupaten
Bandung. Para stakeholder dapat meliputi pemerintah, masyarakat setempat, LSM,
dan sektor swasta yang memiliki kepentingan dan peran dalam pengelolaan
bantaran sungai tersebut. Melalui identifikasi ini, pihak yang terkait dapat
memperoleh pemahaman yang jelas tentang apa yang diperlukan, apa yang harus
dilakukan, dan bagaimana mengarahkan upaya.
b. Melakukan Kajian dimana Sebuah kajian dapat dilakukan untuk mengetahui
kondisi aktual sungai, termasuk peta bencana banjir, pemetaan wilayah rawan
banjir, dan evaluasi kelayakan teknis untuk menerapkan sistem pengelolaan
bantaran sungai. Kajian ini dapat dilakukan oleh tim ahli atau konsultan ang
berpengalaman dalam pengelolaan bantaran sungai dan dapat melibatkan
stakeholder utama yang terlibat dalam pengelolaan sungai.
c. Membangun Komunikasi dimana dalam proses bridging, penting untuk
membangun komunikasi yang efektif antara stakeholder yang terlibat. Hal ini dapat
dilakukan melalui pertemuan, lokakarya, atau forum diskusi. Dalam komunikasi
ini, pihak yang terkait dapat berbagi informasi, pengalaman, dan pengetahuan
tentang pengelolaan bantaran sungai dan membahas upaya yang diperlukan untuk
mencapai tujuan bersama.
d. Melakukan Kegiatan Konservasi dimana pemeliharaan dan konservasi daerah
aliran sungai termasuk bantaran sungai perlu dilakukan sebagai upaya pengelolaan
sungai. Kegiatan konservasi dapat dilakukan dengan menghijaukan bantaran

27
sungai, mengurangi polusi air, dan menerapkan sistem pengolahan limbah yang
efektif. Dalam upaya ini, masyarakat setempat dapat berperan aktif dalam menjaga
dan merawat bantaran sungai serta menjaga kebersihan lingkungan.
e. Menerapkan Teknologi dimana penerapan teknologi modern dapat membantu
dalam pengelolaan bantaran sungai secara efektif. Misalnya, sistem peringatan dini
banjir, sistem pengolahan limbah, atau teknologi monitoring lingkungan yang dapat
membantu memantau kondisi sungai secara realtime dan mengambil tindakan cepat
jika terjadi kondisi yang mengancam.
f. Melakukan Pendidikan Lingkungan dimana pendidikan lingkungan yang tepat dan
efektif kepada masyarakat setempat sangat penting dalam upaya pengelolaan
bantaran

28
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. (2013). Potensi dan kekuatan modal sosial dalam suatu komunitas. SOCIUS: Jurnal
Sosiologi, 15-21.
Fyka, S. A. (2017). Studi Aktivitas Sosial dan Ekonomi Masyarakat Wilayah Pesisir di Kabupaten
Wakatobi. Buletin Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Haluoleo, 19(36), 275506.
Hadara, Tamanajo, and La Bia. 2017. History of Wakatobi from Pre-Integration to the District.
Kendari: Sekarlangit.
Halim, Abdul, Budy Wiryawan, Neil R. Loneragan, Adrian Hordyk, M. Fedi A. Sondita, Alan T.
White, Sonny Koeshendrajana, Toni Ruchimat, Robert S. Pomeroy, and Christiana Yuni.
2019. “Developing a Functional Definition of Small-Scale Fisheries in Support of Marine
Capture Fisheries Management in Indonesia.” Marine Policy 100(February 2019):238–48.
Imansyah, M. F. (2012). Studi Umum Permasalahan Dan Solusi Das Citarum Serta Analisis
Kebijakan Pemerintah. Jurnal Sosioteknologi, 11(25), 18–33.
Kamal, D. S., Mardin, M., & Wianti, N. I. (n.d.). Studi Perbandingan Modal Sosial pada Tipe
Keluarga Bajo di Desa Mantigola Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Jurnal
Ilmiah Membangun Desa Dan Pertanian, 4(1), 281380.
Kelman, Ilan. 2018. “Islandness within Climate Change Narratives of Small Island Developing
States (SIDS).” Island Studies Journal 13(1):149–66.
La Ola, T., Wianti, N. I., & Tadjuddah, M. (2020). Bridging and bounding social capital: social
interaction analysis of islets islanders in Wakatobi Marine National Park. Sodality: Jurnal
Sosiologi Pedesaan, 8(1), 30–46.
Mulyadi, M. (2016). Modal sosial dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Kelurahan
Tegal Panggung Yogyakarta. Kajian, 16(4), 707-737.
Neuman, W. L. (n.d.). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches.
Paramita, N., & Ningrum, S. S. (2020). Pengelolaan Lingkungan Sungai Berdasarkan
Sumber Pencemaranan Di Sungai Citarum Studi Kasus Kelurahan Tanjung Mekar.
JUARA: Jurnal Wahana Abdimas Sejahtera, 1(1), 38.
https://doi.org/10.25105/juara.v1i1.5 912
Rohmat, D., Setiawan, I., & Affriani, A. R. (2020). Zonasi Karakteristik Pencemaran Untuk
Penyusunan Strategi Dan Pola Aksi Penanganan Sungai Menuju Citarum Harum
(Pemetaan Dengan Citra Tegak Resolusi Tinggi). Jurnal Geografi Gea, 20(1), 16–25.
Sakaria, J. Anwar, M. Kolopaking Lala, A. Kinseng Rilus, and A. Kinseng Rilus. 2014. “The
Impact of Market Penetration on Social Capital Changes at the Fishing Community in

29
Small Island: A Case in Barrang Lompo Island Makassar City, South Sulawesi Province.”
International Journal of Sociology and Anthropology 6(3):92–104.
Tjahjono, H. K. (2017). Modal sosial sebagai properti individu: konsep, dimensi dan
indikator. JBTI: Jurnal Bisnis: Teori dan Implementasi, 8(2), 184-189.
Wianti, Isiyanti Nur, Arya Hadi Dharmawan, and Rilus A. Kinseng. 2012. “Local Capitalism of
Bajo.” Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan 6(1):36–56.
Wianti, N. I., Suriana, T. L. O., & Tadjuddah, M. (n.d.). KERENTANAN RUMAHTANGGA
BAJO MANTIGOLA DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI.
Yamazaki, Satoshi, Budy P . Resosudarmo, W ardis Girsang, and Eriko Hoshino. 2018.
“Productivity, Social Capital and Perceived Environmental Threats in Small-Island
Fisheries: Insights from Indonesia.” Ecological Economics 152(October 2018):62–75.
Yayan Andri, Y. M. A. A. (2021). Strategi Kebijakan Lingkungan Program Citarum Harum Di
Kabupaten Bandung. 3(2), 29– 39.

30

Anda mungkin juga menyukai