Ada dua dunia menurut Plato yakni dunia “ide” dan dunia penampakan. Plato menyatakan bahwa pada mulanya manusia adalah roh murni yang mengkontemplasikan yang ideal dan ilahi. Oleh karena ketidaksetiaan pada hakikatnya, ia terhukum hingga jiwa dibuang ke dunia penampakan dan dipenjarakan dalam tubuh. Jiwa membutuhkan eros (cinta) untuk keluar dari penjara tubuh. Bagi Plato, manusia tetaplah manusia walaupun di dunia “ide” ataupun dunia penampakan. 2. Aristoteles ( 384 – 322 SM) Aristoteles berbeda dengan Plato. Bagi Aristoteles, manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh dan jiwa itu satu. Aristoteles ingin menjelaskan manusia sebagai makhluk hidup badani dan kosmis dengan cara Hylomorphisme : materi (Hyle) dan bentuk (Morphe). Jiwa sendiri terletak pada aktualitas pertama dan potensialitas kedua. Namun, pada akhirnya ia gagal menjelaskan manusia badani dan kosmis karena Hylomorphisme tidak bisa menjelaskan nous (Ratio). Manusia semakin manusia jika dia semakin menjelaskan kapasitas berpikir.
3. Epikuros ( 341 – 270 SM)
Menurut Epikuros, manusia terbentuk dari atom, maka konsekuensinya ialah manusia itu hanyalah jasmani karena atom adalah materi. Jiwa ambil bagian dalam tubuh. Jiwa adalah benda yang tersusun atas bagian-bagian halus dan tersebar di seluruh struktur tubuh kita seperti nafas hangat. Tanpa tubuh maka jiwa akan lebur. Jika manusia tersusun dari atom, konsekuensinya ialah manusia tidak ada yang mengatur dan tak ada hukum kodrat, maka manusia itu bebas.
4. Rene Descartes (1596 – 1650)
Pengertian atas manusia bagi descartes didasarkan pada teorinya tentang sebstansi dan pendasaran epistemologinya. Manusia berbeda dengan binatang oleh karena manusia memiliki res extensa dan res cogito (akal budi). binatang hanya memiliki res extensa saja. Semakin manusia berpikir maka semakin manusia mengada karena pada dasarnya manusia memiliki kemampuan untuk berpikir.
5. Thomas Hobbes (1588 – 1679)
Jika ingin mengetahui apa itu manusia, maka kita harus kembali pada keadaan State of nature dari manusia. Pada saat berada pada state of nature, manusia hidup individualis dengan mengikuti kesenangan diri. Tubuh manusia seperti mesin. Tindakannya mengarah kepada apa yang enak (baik) dan menyakitkan (buruk). Oleh sebab itu, Hobbes memandang manusia pada mulanya itu buruk.
6. Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778)
Rousseau berbeda dengan Hobbes. Jika Hobbes mengatakan bahwa manusia pada mulanya itu buruk, Rousseau mengatakan bahwa manusia pada mulanya itu baik. Ini adalah kebaikan natural manusia. Manusia menjadi rusak justru karena adanya masyarakat. Rousseau percaya akan adanya kebaikan yang kodrati.
7. David Hume (1711 – 1776)
Jika ingin mencari kodrat manusia, maka kita dapat melihat dari bagaimana manusia ingin mengetahui sesuatu (pengetahuan). Manusia mengetahui sesuatu melalui indera yang kemudian ditangkap menjadi persepsi dan pada akhirnya menusia bertindak. Bagi Hume, rasio adalah budak perasaan.
8. Immanuel Kant (1724 – 1804)
Jika ingin mencari tahu manusia, maka kita harus mencari perbandingannya. Manusia memiliki rasio, maka mari kita mencari makhluk lain yang memiliki rasio. Menurut Kant, tidak ada makhluk lain yang dapat menjadi perbandingan dari manusia, maka kant mencoba membandingkan dengan binatang. Rasionalitas memiliki dua jenis ; rasionalitas instrumental, dan rasionalitas substantif. Binatang hanya memiliki rasionalitas instrumental saja, sedangkan manusia memiliki keduanya. Immanuel Kant justru berbeda dengan Rousseau dan Hume yang membawa manusia pada keadaan state of nature. Jika ingin menentukan apa kodrat manusia, kita dapat melihat dari moment yang membawa manusia lepas dari state of nature yakni pilihan bebas. manusia itu flexible seperti bunglon.
9. G.W.F. Hegel (1770 – 1831)
Hegel memakai filsafat monisme. Bagi filsafat monisme, segala sesuatu adalah satu. Memahami satu benda haruslah memahami benda di seluruh ruang. Hegel menyatakan bahwa individu itu tidak penting. Hegel lebih memandang pada kekolektifitasan. Manusia adalah roh absolut (roh tak terbatas) yang ingin mengenali diri dengan bermanifestasi ke dalam yang terbatas. Manusia itu pangkalan roh yang sedang berkumpul. Satu moment dari roh mutlak yang sedang berdialegtika. Salah satu moment dari rangkaian moment. Roh mutlak pada hakikatnya adalah ide yang berpikir.
10. Soren Aabye Kierkegaard (1813 – 1855)
Kierkegard mengkritik Hegel tentang idealisme. Kierkegard berpegang teguh pada eksistensialisme. Jika ingin mengenali sesuatu, maka kita harus berangkat dari eksistensi, bukan dari essensi. Manusia tidak hanya sekedar being (essensi), melainkan becoming (eksistensi). Perwujudannya ialah ketika manusia dapat membuat pilihan. Manusia membuat pilihan berdasarkan kebenaran. Kebenaran itu subjektif dan melibatkan seluruh diri. Tahap tahap eksistensi sebagai manusia menjati diri yang sejati dapat dilalui lewat tahap sintetis (tahap estetis), relasi diri (tahap etis), dan pada akhirnya ialah iman (tahap religius).