Anda di halaman 1dari 3

Nama : Maharani

NIM : 02011282025186
Kelas : D Palembang
No.DPNA : 18

UAS Hukum Acara MK

1. Kedudukan hukum (legal standing) dapat dilihat dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 24/2003”)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mana
telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia ;
b. Yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama.
c. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
d. Badan hukum publik atau privat; atau
e. Lembaga negara.

Achmad Roestandi, dalam buku Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab (hal. 43-
44), juga menjelaskan hal serupa, bahwa dengan merujuk pada Pasal 51 UU 24/2003,
MK dalam beberapa putusannya telah merumuskan kriteria agar seseorang atau suatu
pihak memiliki legal standing, yaitu:
Kriteria Pertama berkaitan dengan kualifikasinya sebagai subjek hukum, dimana
pemohon harus merupakan salah satu dari subjek hukum berikut ini :
a. Perorangan warga negara;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.

Kriteria kedua yang berkaitan dengan anggapan pemohon bahwa hak dan wewenang
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang dengan rincian
sebagai berikut :
a. Adanya hak/kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. Hak/kewenangan konstitusional permohon tersebut dianggap oleh pemohon
telah dirugikan oleh undang-undang yang sedang diuji;
c. Kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau setidak-tidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkan permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tersebut akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan dipenuhinya persyaratan tentang kualifikasi subjek hukum dan persyaratan
kerugian tersebut di atas, maka pemohon mempunyai legal standing. Adanya
ketentuan mengenai legal standing, berarti tidak semua orang atau pihak mempunyai
hak mengajukan permohonan ke MK. Hanya mereka yang benar-benar mempunyai
kepentingan hukum saja yang boleh menjadi pemohon.

2. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2/SKLN-X/2012, dengan putusan


Tidak Diterima
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2/SKLN-X/2012 merupakan perkara SKLN yang
diajukan oleh Presiden terhadap termohon DPR dan BPK. Pokok permohonan
Presiden dalam SKLN ini terkait dengan ada tidaknya keharusan persetujuan DPR
atas rencana Presiden melakukan pembelian 7% saham PT. Newmont Nusa Tenggara.
Dalam SKLN yang melibatkan tiga lembaga negara ini yaitu Presiden (Pemohon),
DPR (Termohon I) dan BKP (Termohon II), MK berpendapat hanya Presiden dan
DPR yang memenuhi objectum litis sebagaimana dipersyaratkan dalam SKLN.

Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/SKLN-X/2012, dengan Putusan


Diterima
Sengketa kewenangan lembaga negara lainnya yang telah diputus oleh MK yaitu
sengketa antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemohon dan Dewan
Perwakilan Rakyat Papua dan Gubernur Papua sebagai termohon. Sengketa ini
diawali ketika DPRP bersama Gubernur Papua menerbitkan Peraturan Daerah Khusus
Provinsi Papua No. 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil
Gubernur, serta DPRP mengeluarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Papua
No. 064/Pimp DPRP-5/2012 tentang Penetapan Jadwal Tahapan Pelaksanaan
Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Periode 2012-2017,
bertanggal 27 April 2012 yang dianggap Pemohon telah mengambil alih
kewenangannya dalam menyusun dan menetapkan pedoman teknis tentang tahapan
Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua.

Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 068/SKLN-III/2004, dengan Putusan


Ditolak
Putusan No. 068/SKLN-III/2004 merupakan putusan dari perkara sengketa
kewenangan lembaga negara antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan
Presiden dan DPR. DPD sebagai Pemohon yang kemudian dikuasakan kepada 5
(lima) orang anggotanya yaitu I Wayan Sudirta S.H, Ir Ruslan Wijaya, S.E.,M.Sc,
Anthony Charles Sunarjo, Muspani,S.H., Ir. H. Marwan Batubara, M.Sc. Termohon
dalam perkara ini adalah Presiden sebagai Termohon I dan DPR sebagai Termohon II.

3. Makna dari pernyataan tersebut adalah bahwa dalam mengadili perkara ini,
Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan undang-undang yang
ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh menilai hasil
Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara atau
rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau
hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon
tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan.
4. Pendapat saya terhadap kasus tersebut yakni dengan maraknya kasus tersebut telah
banyak kita ketahui bahwa banyak pejabat dari negara Indonesia melakukan tindak
korupsi. Baik dalam pemerintahan maupun dalam pejabat pengadilan. Seperti kasus
Arief Hidatat ini selaku Ketua Mahkamah Konstitusi yang semakin merusak nama
baik pemerintah yang dimana seharusnya menjadi pedoman bagia masyarakat tetapi
malah menyengsarahkan masyarakat. Dan lagi lagi setelah tertangkap ia berperilaku
manis dengan membawa Tuhan Yang Maha Esa seaakan lupa dengan dosa yang ia
perbuat. Mengutip dari artikel “Pentingnya jaminan independensi kekuasaan
kehakiman dalam konstitusi sebenarnya sudah lama didorong agar lebih kuat (KRHN
dan LeIP, 1999), apalagi merujuk pada pengalaman selama ini kekuasaan sering
mengintervensi hakim. Menjaga independensi hakim memang tidak mudah..” yang
menjelaskan bahwa Magkamah Konstitusi tidak dapat memihak siapa pun berbeda
dari yang dilakukan oleh Arief Hidayat yang melakukan tindak korupsi yang
sewajarnya ditangkap oleh KPK dan dijatuhi hukuman.

5. Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan dapat di jadikan perhatian untuk
menafsirkan naskah yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
acapkali mempengaruhi legislator ketika naskah hukum itu dirumuskan. Misalnya
pada kalimat di atas”dipilih secara demokratis”dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan,”Gubernur,Bupati,dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis

Anda mungkin juga menyukai