Anda di halaman 1dari 26

 

( IMPLIKASI PERKEMBANGAN ANAK USIA SEKOLAH


MENENGAH TERHADAP PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN )

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Sejak lahir, manusia merupakan kesatuan psikofisis atau psikomatis yang terus mengalami
pertumbuhan dan perkembangan serta harus mendapatkan perhatian
secara seksama. Istilah pertumbuhan dapat diartikan sebagai perkembangan. Perkembangan
adalah perubahan-perubahan yang dialami individu dan organisme menuju tingkat
kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif
dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) (Syamsu
Yusuf, 2007 : 15).
Sedangkan istilah pertumbuhan itu sendiri digunakan untuk menyatakan perubahan-
perubahan kuantitatif mengenai fisik atau biologis. Perubahan fisik meliputi perkembangan
biologis dasar sebagai hasil dari konsepsi, dan hasil dari interaksi proses biologis dan genetika
dengan lingkungan. Sementara perubahan psikis menyangkut keseluruhan karakteristik
psikologis individu, seperti perkembangan kognitif, emosi, sosial, dan moral.
Banyak karakteristik yang dimiliki masing-masing individu, antara karakteristik peserta didik
usia menengah dan peserta didik usia dewasa. Didalam beberapa karakteristik tersebut
menyebabkan implikasi-implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan fisik
dan perkembangan psikomotorik mempunyai kontribusi yang kuat terhadap  perkembangan
intelektual/kongnitif siswa. Rancangan pembelajaran yang konduktif akan mampu meningkatkan
motivasi belajar peserta didik sehingga dapat meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang
diinginkan.

1.2    Rumusan Masalah
1.  Bagaimana implikasi perkembangan fisik dan perilaku psikomotorik
2.    Bagaimana implikasi perkembangan bahasa dan perilaku psikomotorik
3.    Bagaimana implikasi perilaku sosial, moralitas, dan keagamaan
4.    Bagaimana implikasi perilaku apektif, konatif, dan kepribadian
5.    Bagaimana implikasi perkembangan emosi remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan
6.    Bagaimana implikasi perkembangan konsep diri
7.    Bagaimana implikasi tugas-tugas perkembangan remaja bagi pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Implikasi Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
a.         Pengertian Perkembangan Fisik dan Psikomotorik
      Perkembangan Fisik
Awal dari perkembangan pribadi seseorang pada asasnya bersifat biologis. Fisik atau
tubuh manusia merupakan sistem organ yang kompleks dan sangat mengagumkan.
Perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu sistem syaraf, otot-otot, kelenjar
endokrin dan struktur/fisik tubuh. Dalam taraf-taraf perkembangan selanjutnya kondisi
jasmaniah seseorang akan mempengaruhi kepribadiannya. Perkembangan fisik ini mencakup
aspek-aspek anatomis (struktur tubuh) dan fisiologis (fungsional tubuh). Perkembangan fisik
berlangsung mengikuti prinsip-prinsip cepalocaudal dan prowinodestral.
           Perkembangan Psikomotorik
Perkembangan psikomotorik merupakan perkembangan terkait dengan perilaku
motorik (koordinasi fungsional neuromuscular system) dan fungsi psikis (kognitif, afektif dan
konatif). Dua prinsip perkembangan utama yang tampak dalam semua bentuk perilaku
psikomotorik ialah bahwa perkembangan itu berlangsung dari yang sederhana kepada yang
kompleks, dan dari yang kasar dan global (grass bodily movements) kepada yang harus dan
spesifik tetapi terkoordinasikan (finely coordinated movements).

b.        Karakteristik Perkembangan Fisik dan Psikomotorik


1.      Karakteristik Perkembangan Fisik
a)      Perkembangan fisik pada masa kanak-kanak ditandai dengan mulai mampu melakukan
bermacam-macam gerakan dasar yang semakin baik, pertumbuhan panjang kaki dan tangan
secara proporsional, koordinasi gerak dan keseimbangan berkembang dengan baik, dan
ketahanan tubuh bertambah.
b)      Perkembangan fisik pada masa remaja yang paling menonjol terdapat pada perkembangan
kekuatan, ketahanan, dan organ seksual. Ditandai dengan pertumbuhan berat dan tinggi badan
yang cepat, pertumbuhan tanda-tanda seksual primer dan sekunder serta timbulnya hasrat seksual
yang tinggi (masa pubertas).
c)      Perkembangan fisik pada masa dewasa ditandai dengan kemampuan fisik menjadi sangat
bervariasi seiring dengan pertumbuhan fisik. Pertumbuhan ukuran tubuh yang proporsional
memberikan kemampuan fisik yang kuat. Pada masa dewasa pertumbuhan mencapai titik
maksimal dan mulai berhenti.
2.      Karakteristik Perkembangan Psikomotorik
a)      Perkembangan pada masa kanak-kanak ditandai oleh beberapa hal misalnya dapat melompat 15-
24 inchi, dapat menaiki tangga tanpa bantuan, dan dapat berjingkrak. Semakin lama mereka bisa
mengontrol tindakan mereka. Untuk perkembangan berikutnya mereka bisa makan, mandi,
berpakaian sendiri, membantu orang lain, menulis, menggambar dan lain-lain.
b)      Perkembangan psikomotorik pada masa remaja ditandai dengan keterampilan psikomotorik
berkembang sejalan dengan pertumbuhan ukuran tubuh, kemampuan fisik, dan perubahan
fisiologi. Kemampuan psikomotorik terus meningkat dalam hal kekuatan, kelincahan, dan daya
tahan. Secara umum, perkembangan psikomotorik pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan
karena perkembangan psikomotorik pada perempuan akan terhenti setelah mengalami
menstruasi.
c)      Perkembangan psikomotorik pada masa dewasa merupakan puncak dari seluruh perkembangan
psikomotorik. Latihan merupakan hal penentu dalam perkembangan psikomotorik. Melalui
latihan yang teratur dan terprogram, keterampilan psikomotorik akan dapat ditingkatkan dan
dipertahankan. Semua sistem gerak dan koordinasi dapat berjalan dengan baik.

c.         Perbandingan Perkembangan Fisik dan Psikomotorik antara Pria dan Wanita


             1)      Perkembangan pada Pria
a.       Fisik : lahir dengan tubuh relatif panjang, pertumbuhan tinggi lebih lama saat praremaja dan
sangat cepat saat remaja, proporsi otot lebih besar, berkembang lebih lambat serta lebih sedikit
lemak dalam tubuhnya.
b.      Psikomotorik : cara berjalan lebih kaku, kemampuan berlari lebih baik, kemampuan menulis,
menggunting dan menyusun sesuatu kurang rapi, serta lebih suka dengan kegiatan fisik yang
menantang (olahraga berat, climbing, dll).

             2)      Perkembangan pada Wanita


a.       Fisik : lahir dengan tubuh relatif lebih pendek, pertumbuhan tinggi lebih cepat saat praremaja
dan menurun saat remaja, proporsi otot lebih kecil, berkembang lebih cepat serta memiliki lebih
banyak lemak dalam tubuhnya.
b.      Psikomotorik : cara berjalan lemah gemulai, kemampuan berlari rendah, kemampuan menulis,
menggunting dan menyusun sesuatu lebih rapi, serta lebih suka dengan kegiatan fisik yang
sederhana (olahraga ringan, menari, dll)

d.        Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Fisik dan Psikomotorik


1.    Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Fisik
Faktor yang memengaruhi perkembangan fisik (motor skills) peserta didik dibedakan
menjadi dua, yakni faktor internal (keturunan, gangguan emosional, jenis kelamin, dan
kesehatan) dan faktor eksternal (lingkungan, gizi, dan status sosial ekonomi).
2.    Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Psikomotorik
Faktor yang memengaruhi perkembangan psikomotorik peserta didik dibedakan menjadi
dua, yakni faktor internal (keturunan/gen dari orang tua, gangguan emosional, perkembangan
sistem syaraf, pertumbuhan otot, perkembangan kelenjar endokrin dan perubahan struktur tubuh)
dan faktor eksternal (pola asuh orang tua dan lingkungan).

e.         Implikasi Perkembangan Psikomotor dan Fisik Terhadap Pendidikan


Pemahaman terhadap pekembangan fisik dan psikomotorik berkaitan erat dengan
perencanaan pendidikan. Pemahaman terhadap perkembangan ini dapat membantu upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih efektif dan efisien.
1.      Implikasi Pendidikan pada Anak
Anak memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka merasa tertantang untuk melakukan
hal baru. Anak-anak belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berpikir
mengenai apa yang sedang ia perbuat. Masa bermain anak merupakan masa mereka berlatih dan
mempelajari segala hal. Metode pendidikan yang cocok adalah belajar sambil bermain dengan
menggunakan permainan yang menantang dan menarik bagi anak-anak serta mampu memicu
munculnya kreatifitas anak. Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek sikap dengan
materi yang digunakan banyak berkaitan dengan fakta yakni berkaitan dengan penggalian kasus
atau peristiwa serta pengalaman empirik peserta didik sebagai realitas kehidupan.
2.      Implikasi Pendidikan pada Remaja
Remaja memiliki pola pikir intuitif dan berpikir dengan mengkaitkan pemikiran dan
idenya dengan peristiwa tertentu. Terjadi proses asimilasi yakni penggabungan info baru dalam
pengetahuan yang ada. Orientasi pendidikan remaja lebih ditekankan pada aspek pemahaman
dan keterampilan. Remaja lebih banyak dituntut untuk terampil melakukan suatu tindakan yang
diawali dengan melakukan pertimbangan. Materi yang diajarkan lebih berkaitan dengan konsep
yang mengharuskan peserta didik mengerti akan suatu hal. Pendidikan membimbing remaja
mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial, mencapai
kemandirian emosional dan mengembangkan kemampuan intelektual.
3.      Implikasi Pendidikan pada Orang Dewasa
Orang dewasa mampu menilai diri dan situasi secara realistis, mampu menerima dan
melaksanakan tanggung jawab, memiliki kemandirian (autonomi), dapat mengontrol emosi,
penerimaan sosial dan memiliki pandangan hidup. Masa awal dewasa individu termotivasi untuk
berhasil melalui perkembangan social dan membentuk relasi. Ketidakmampuan melakukan
hubungan sosial menjadikan individu merasa terisolasi dan frustasi. Kita sudah dianggap dewasa
dan kita dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas segala keberhasilan dan kegagalan kita.
Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek pengetahuan dengan fokus pada materi
generalisasi, yaitu kerangka pengambilan kesimpulan dan formulasi ketentuan serta bagaimana
solusi pemikiran dan tindakan yang dilakukan.  Peserta didik dituntut untuk berpikir kritis agar
mampu mengambil kesimpulan rasional. Pada periode pertengahan dewasa muncul keinginan
membantu generasi muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna melalui
generativitas/bangkit. Memberikan asuhan dan bimbingan pada anak-anak dengan mengajarkan
pengetahuan, keahlian dan keterampilan.

2.2    Implikasi Perkembangan Bahasa Dan Perilaku Kognitif


Pada tahap SMA, peserta didik apalagi dizaman globallisasi ini kerap menggunakan istilah-
istilah bahasa inggris yang merupakan bahasa internasional. Bahasa inggris dalam kalangan sma
juga merupakan ajang “keren-kerenan”. Hal yang biasa terjadi ialah saat mereka mengungkapkan
sesuatu dengan bahasa inggris yang dipublikasikan ke social media. Sebagian mendapat respon
yang bagus namun peserta didik yang salah dalam pelafalan, arti dsb akan menjadi cemoohan
akibatnya timbul rasa kurang percaya diri dan imbasnya cenderung tidak menyukai pelajaran
bahasa inggris.
Padahal, menurut Yusuf (2005:118), bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan
berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya, yaitu
kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan.
Dalam hal ini guru harus dapat meminimalisir ketidaksukaan peserta didik terhadap pelajaran
bahasa, karena pentingnya bahasa dalam perkembangan berfikir mereka. Meskipun mereka
cenderung tidak suka, namun demi kepentingan mereka kedepannya guru hendaknya mencari
cara agar siswa  berminat terhadap mata pelajaran bahasa inggris.
Ketidaksukaan siswa dalam kasus sma ialah karena siswa belum berpikir rasional/dewasa dalam
memilih mana yang akan berguna nantinya dan cenderung berpikir pendek, dimana saat
mendapat cemoohan akan berimbas pada minat mereka dan rasa percaya diri mereka. Guru bisa
memulai dengan motivasi dalam pelajaran bahasa inggris, seperti menceritakan pengalaman
terdahulu saat belajar bahasa inggris, atau kesalahan-kesalahan penggunaan bahasa inggris pada
waktu guru masih sma. Sehingga dapat menyembuhkan problema siswa-siswa.
Peserta didik sma ialah masa dimana mereka tumbuh penasaran terhadap bacaan yang
mengandung erotis, fantastic dan estetik. Dan mereka akan berusaha mendapatkannya
bagaimanapun caranya unutk memuaskan keinginan tersebut. Dalam hal ini guru harus
mengarahkan siswa kea rah bacaan yang positif. Jika tidak siswa sma akan menyalurkan
keinginannya kearah negative seperti membaca majalah porno.
Perkembangan bahasa dan perilaku kognitif siswa sma membawa implikasi terhadap pendidikan
disekolah. Guru dapat membuat kelompok belajar untuk siswa guna mengatasi siswa-siswa
lambat dan menumbuhkan intelijen emosi mereka.

2.3    Implikasi Perilaku Sosial, Moralitas Dan Keagamaan


Dalam kehidupan remaja yang masih mempunyai kelabilan dalam berpikir,
remaja cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang justru bertentangan dengan norma
masyarakat atau agamanya, seperti mengisap ganja, mencuri. Dalam aspek pemahaman moral,
Sugiyo (1995: 106) menegaskan bahwa problematik dalam diri kaum muda sendiri
umumnya berpangkal pada penampilan  psikis dan fisik, mereka berupaya menidentifikasi,
mengimitasi diri mereka dengan tokoh-tokoh idola mereka. Siswa yang masih serba labil dan
terbuka pada pengaruh luar yang diserap lewat media komunikasi pergaulan, misalnya kenaifan
seksualitas, upaya aktualisasi diri yang kurang mendapat tanggapan dan pengakuan, konflik
sekitar kebebasan, kurang menyadari potensi dan mengenal diri, rasa rendah diri, kurang atau
tak adanya kesempatan mengenyam pendididkan bagi sebagian kaum muda pedesaan dan
mereka yang “tak punya”, juga pengaruh dari perkawinan dini, kurangnya kesadaran dan upaya
mengubah sistem adat yang menghambat perkembangan pribadi, kesulitan sekitar perumahan,
lingkungan b e l a j a r , d a n   pergaulan bagi mereka yang datang dari desa kekota besar.
Semuanya itu mengakibatkan kaum muda menjadigelisah, bingung, tidak pasti, dan masa
depan suram.
Kemudian perkembangan aspek keagamaan anak usia sekolah menengah memasuki masa
kritis dan skeptic. Dimana mereka mulai mencari dan mempertanyakan hal-hal bersifat rohaniah,
teori ketuhanan dan mencari kebenaran dan sebagainya.
Implikasi perkembangan perilaku social, moral dan keagamaan anak usia sekolah menengah
adalah pendidikan hendaknya dilaksanakan dalam bentuk kelompok-kelompok belajar, atau
perkumpula remaja yang positif. Penting juga bagi sekolah meyediakan sarana dan fasilitas yang
mendukung kelompok-kelompok tersebut untuk mempunyai program dan tujuan mereka.
Sekolah juga harus giat berperan mengaktifkan kegiatan-kegiatan yang ada disekolah seperti
pramuka, PMR dll.

2.4    Implikasi Perilaku Apektif, Konatif, dan Kepribadian


Memasuki usia sekolah menengah, ada lima kebutuhan yang mulai Nampak yaitu kebutuhan
fisik, kebutuhan rasa aman, afiliasi sosial, penghargaan, dan perwujudan diri. Reaksi emosional
mulai berubah-ubah, kecenderungan arah sikap mulai Nampak, dan menghadapi masa krisis
identitas diri. Krisis identitas artinya bahwa jika kondisi psiko sosialnya menunjang maka akan
Nampak identitas yang positif, sebaliknya jika tidak menunjang akan tampak identitas yang
negatif.
Ada beberapa masalah yang menyangkut dengan perilaku afektif, konatif, dan kepribadian, yaitu
1.      Mudah sekali digerakkan untuk melakukan kegiata destruktif yang spontan untuk melampiaskan
ketegangan institusi emosionalnya meskipun tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dan
tindakan-tindakannya.
2.      Ketidak mampuan menegakkan kata hatinya, mengakibatkan sukar terintegrasikan dan sintesa
fungsi psiko fisiknya, dan berlanjut akan sukar menentukan identitas pribadinya.

2.5    Implikasi Perkembangan Emosi Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan.


Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, pertumbuhan organ-organ seksual
mempengaruhi emosi atau perasaan-perasaan baru yang dialami sebelumnya, seperti rasa cinta,
rindu dan keinginan berkenalan lebih dalam dengan lawan jenis.
Pengembangan emosi peserta didik juga sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor perubahan
jasmani, perubahan dalam hubungannya dengan orang tua, perubahan dalam hubungannya
dengan teman-temannya, perubahan pandangan luar  dan perubahan dalam hubungannya dengan
sekolah. Oleh karena itu, perbedaan individual dalam perkembangan emosi sangat dimungkinkan
terjadi dan pasti dapat terjadi.
Intervensi pendidikan untuk mengembangkan emosi remaja agar dapat mengembangkan
kecerdasan emosional, salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan intervensi yang
dikemukakan oleh W.T. Grant Consortium, yaitu:
1.      Pengembangan keterampilan emosional
Cara yang dapat dilakukan adalah:
-          Mengidentifikasi dan memberi nama atau label perasaan
-          Mengungkapkan perasaan
-          Menilai intensitas perasaan
-          Mengelola perasaan
-          Menunda perasaan
-          Mengendalikan dorongan hati
-          Mengurangi stress
-          Memahami perbedaan
2.      Pengembangan keterampilan kognitif
Cara yang dapat dilakukan adalah:
-          Belajar melakukan dialog batin sebagai cara untuk menghadapi dan mengatasi masalah atau
memperkuat perilaku diri sendiri
-          Belajar membaca dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial
-          Belajar menggunakan langkah-langkah penyelesaian masalah dan mengambil keputusan
-          Belajar memahami sudut pandang orang lain
-          Belajar memahami sopan santun
-          Belajar bersikap positif
-          Belajar mengembangkan kesadaran diri
3.      Pengembangan keterampilan perilaku
Cara yang dapat dilakukan adalah:
-          Mempelajari komunikasi non verbal
-          Mempelajari komunikasi verbal
-          Belajar mengembangkan kesadaran diri
-          Belajar mengambil keputusan pribadi
-          Belajar mengelola perasaan
-          Belajar menangani stress
-          Belajar merempati
-          Belaraj berkomunikasi
-          Belajar membuka diri
-          Belajar mengembangkan pemahaman
-          Belajar menerima diri sendiri
-          Belajar mengembangkan tanggung jawab pribadi
-          Belajar mengembangkan ketegasan
-          Mempelajari dinamika kelompok
-          Belajar menyelesaikan kelompok

2.6    Implikasi Perkembangan Konsep Diri


Konsep diri menurut Atwater (1987) adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi
persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan
dirinya.
Ada tiga bentuk tentang konsep diri menurut Atwater yaitu:
1.      Body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri.
2.      Ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya.
3.      Social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.

Konsep diri merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan psikososial peserta
didik. Konsep diri memengaruhi perilaku peserta didik dan mempunyai hubungan yang sangat
menentukan proses pendidikan dan prestasi belajar mereka. Peserta didik yang mengalami
permasalahan di sekolah pada umumnya menunjukkan tingkat konsep diri yang rendah. Oleh
sebab itu, dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, guru perlu melakukan
upaya-upaya yang memungkinkan terjadinya peningkatan konsep diri peserta didik.
Berikut ini akan diuraikan beberapa strategi yang mungkin dapat guru dilakukan guru dalam
mengembangkan dan meningkatkan konsep diri peserta didik.
1.      Membuat siswa merasa mendapat dukungan dari guru. Dalam mengembangkan konsep diri
yang positif, siswa perlu mendapat dukungan dari guru. Dukungan guru uru. ini dapat
ditunjukkan dalam bentuk dukungan emosional (emotional support), seperti ungkapan empati,
kepedulian, perhatian, dan umpan balik, dan dapat pula berupa dukungan penghargaan (esteem
support), seperti melalui ungkapan hormat (penghargaan) positif terhadap siswa, dorongan untuk
maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan siswa dan perbandingan positif antara satu
siswa dengan siswa lain. Bentuk dukungan ini memungkinkan siswa untuk maju membangun
perasaan memiliki harga diri, memiliki kemampuan atau kompeten dan berarti.
2.      Membuat siswa merasa bertanggungjawab. Memberi kesempatan kepada siswa untuk membuat
keputusan sendiri atas perilakunya dapat diartikan sebagai upaya guru untuk memberi tanggung
jawab kepada siswa. Tanggung jawab ini akan mengarahkan sikap positif siswa terhadap konsep
diri, yang diwujudkan dengan usaha pencapaian prestasi belajar yang tinggi serta peningkatan
integritas dalam menghadapi tekanan sosial. Hal ini menunjukkan pula adanya pengharapan guru
terhadap perilaku siswa, sehingga siswa merasa dirinya mempunyai peranan dan diikutsertakan
dalam kegiatan pendidikan.
3.      Membuat siswa merasa mampu. Ini dapat dilakukan dengan cara menunjukkan sikap dan
pandangan yang positif terhadap kemampuan yang dimiliki siswa. Guru harus berpandangan
bahwa semua siswa pada dasarnya memiliki kemampuan, hanya saja mungkin belum
dikembangkan. Dengan sikap dan pandangan positif terhadap kemampuan siswa ini, maka siswa
juga akan berpandangan positif terhadap kemampuan dirinya.
4.      Mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan yang realistis. Dalam upaya meningkatkan konsep
diri siswa, guru harus membentuk siswa untuk menetapkan tujuan yang hendak dicapai
serealistis mungkin, yakni tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Penetapan
tujuan yang realistis ini dapat dilakukan dengan mengacu pada pencapaian prestasi di masa
lampau. Dengan bersandar pada keberhasilan masa lampau, maka pencapaian prestasi sudah
dapat diramalkan, sehingga siswa akan terbantu untuk bersikap positif terhadap kemampuan
dirinya sendiri.
5.      Membantu siswa menilai diri mereka secara realistis. pada saat mengalami kegagalan,
adakalanya siswa menilainya secara negatif, dengan memandang dirinya sebagai orang yang
tidak mampu. Untuk menghindari penilaian yang negatif dari siswa tersebut, guru perlu
membantu siswa menilai prestasi mereka secara realistis, yang membantu rasa percaya akan
kemampuan mereka dalam menghadapi tugas-tugas sekolah dan meningkatkan prestasi belajar di
kemudian hari. Salain satu cara membantu siswa menilai diri mereka secara realistis adalah
dengan membandingkan prestasi siswa pada masa lampau dan prestasi siswa saat ini. Hal ini
pada gilirannya dapat membangkitkan motivasi, minat, dan sikap siswa terhadap seluruh tugas di
sekolah.
6.      Mendorong siswa agar bangga dengan dirinya secara realistis. Upaya lain yang harus
dilakukan guru dalam membantu mengembangkan konsep diri peserta didik adalah dengan
memberikan dorongan kepada siswa agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya. Ini
adalah penting, karena perasaan bangga atas prestasi yang dicapai merupakan salah satu kunci
untuk menjadi lebih positif dalam memandang kemampuan yang dimiliki.

2.7    Implikasi Tugas-Tugas Perkembangan Remaja Bagi Pendidikan


Menurut R.J.havinghurst tugas-tugas perkembangan diartikan sebagai tugas yang timbul
pada suatu periode atau masa tertentu dalam kehidupan seseorang. Keberhasilan dalam
melaksanakan tugas perkembangan akan menumbuhkan rasa bahagia, serta memberikan
kemudan bagi pemenuhan tugas-tugas selanjutnya. Sedangkan kegagalan akan menimbulkan
ketidakbahagiaan dan membawa kesukaran dalam menghadapi tugas-tugas perkembangan
selanjutnya.

Tugas-tugas ini timbul karena adanya 3 kekuatan kerja sama, yaitu:


1.      Kematangan fisik, misalnya: si A, belajar berjalan karena kemtangan otot-otot kaki; dan si B,
belajar bertingkah laku,bergaul dengan jenis kelamin yang berbedapada masa remaja karena
kematanganorgan-organ seksual.
2.      Tuntutan masyarakat secara kultural, misalnya: belajar membaca, belajar menulis, belajar
berhitung, dan belajar berorganisasi.
3.      Tuntutan dari dorongan dan cita-cita individu sendiri, misalnya: memilih pekerjaan, dan memilih
teman hidup.

Jadi, tugas-tugas remaja itu harus dapat diselesaikan dengan baik, karena akan membawa
implikasi penting bagi penyelenggaraan pendidikan dalam membantu remaja tersebut, yaitu:
1.      Sekolah dan perguruan tinggi perlu memberikan kesempatan melaksanakan kegiatan-kegiatan
non-akademik melalui berbagai perkumpulan.
2.      Membantu remaja putra-putri yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya melalui bimbingan dan
konseling.
3.      Siswa yang lambat perkembangan jasmaninya diberi kesempatan berlomba dalam kegiatan
kelompoknya sendiri.
4.      Pemberian bantuan kepada siswa untuk memilih lapangan pekerjaan yang sesuai dengan minat
dan keinginannya, dan mmbantu siswa mendapatkan pendidikan yang bermanfaat untuk
mempersiapkan diri memasuki pekerjaan.

BAB III
PENUTUP
3.1    Simpulan
Awal dari perkembangan pribadi seseorang pada asasnya bersifat biologis. Fisik atau tubuh
manusia merupakan sistem organ yang kompleks dan sangat mengagumkan. Perkembangan fisik
individu meliputi empat aspek, yaitu sistem syaraf, otot-otot, kelenjar endokrin dan struktur/fisik
tubuh. Hal ini juga berkaitan erat dengan perkembangan bahasa dan perilaku kognitif siswa yang
membawa implikasi terhadap pendidikan disekolah. Penting juga bagi sekolah meyediakan
sarana dan fasilitas yang mendukung kelompok-kelompok tersebut untuk mempunyai program
dan tujuan mereka.Implikasi perkembangan perilaku social, moral dan keagamaan anak usia
sekolah menengah adalah pendidikan hendaknya dilaksanakan dalam bentuk kelompok-
kelompok belajar, atau perkumpula remaja yang positif. Pengembangan emosi peserta didik juga
sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor perubahan jasmani, perubahan dalam hubungannya
dengan orang tua, perubahan dalam hubungannya dengan teman-temannya, perubahan
pandangan luar  dan perubahan dalam hubungannya dengan sekolah. Oleh karena itu, perbedaan
individual dalam perkembangan emosi sangat dimungkinkan terjadi dan pasti dapat terjadi

DAFTAR PUSTAKA

Syarif, Kemali.2015.Perkembangan Peserta Didik. Medan: Unimed Press.


http://weloveblitar.blogspot.co.id/2013/02/perkembangan-fisik-dan-psikomotorik.html
http//m.facebook.com/permalink.php?
http://wiwikyulihaningsih.wordpress.com/perkembanganperilaku-dan-kepribadian-seseorang/
hamsahblogman.blogspot.com/2012/10/perkembangan-peserta-didik-html?=1
Sumantri. M. Nana Sayodih. 2004. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Teori Perkembangan Kognitif Piaget dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan Madrasah

PENDAHULUAN
         Pendidikan menjadi institusi yang paling strategis dalam upaya penyiapan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas. Melalui pendidikan setiap warga negara diharapkan menjadi
manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang utuh, memiliki pengetahuan, keterampilan,
serta sikap dan prilaku yang selaras dengan nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Disamping itu, melalui institusi pendidikan pula warga masyarakat
diharapkan dapat ikut berpartisipasi aktif dalam menyukseskan pembangunan baik yang sifatnya
fisik mamupun non fisik. Tetapi, mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas
bukanlah persoalan gampang. Kita dapat melihat bahwa penyelenggaraan pendidikan kita sudah
berjalan puluhan tahun, tetapi dari aspek kualitas kita masih jauh tertinggal dari negara-negara
lain semisal Singapore, Thailand, Korea Selatan, Jepang, Finlandia, dan lain sebagainya. Dalam
konteks ini, maka penting untuk memahami psikologi perkembangan manusia, sehingga strategi
pengembangan sumber daya manusia dapat dirumuskan dengan berbasis pada teori psikologi
perkembangan.
         Salah satu tokoh psikologi perkembangan manusia yang sangat berpengaruh adalah Piaget.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan empat tahap perkembangan kognitif
manusia yang berkembang secara kronologis. Keempat tahap tersebut adalah; (1) tahap sensori
motor, (2) tahap pra operasi, (3) tahap operasi konkrit, dan (4) tahap operasi formal. Mekanisme
perkembangan masing-masing tahap dilakukan dengan organisasi kognitif, adaptasi kognitif, dan
keseimbangan kognitif. Memahami tahap perkembangan kognitif Piaget serta mekanisme
perkembangannya merupakan sesuatu yang sangat urgen, hal ini dapat menjadi pemandu
bagaimana meningkatkan potensi sumber daya manusia, khususnya peserta didik di sekolah agar
dapat berkembang sesuai dengan tingkatan usia dan kedewasaannya.
         Dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Bab II Pasal 3).
Berdasarkan pada undang-undang tersebut nampak bahwa apa yang menjadi penekanan dalam
pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik. Oleh karena itu, institusi yang dianggap
paling bertanggungjawab adalah sekolah. Melalui sekolah, diharapkan bahwa potensi peserta
didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin agar menjadi generasi yang berkualitas, generasi
yang berkompetensi, serta generasi yang bermoral dan beretika. Tentu, harapan tersebut tidaklah
mudah, karena itu untuk mencapainya dibutuhkan kerja keras dan bahu-membahu serta
komitmen yang tinggi dari semua stakeholder pendidikan.         Madrasah sebagai sekolah umum
yang berciri khas tidak terlepas untuk mendukung fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional madrasah diharapkan mempunyai peran yang
sangat strategis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Oleh karena itu, pemahaman
tentang teori perkembangan Piaget sangat penting sehingga dapat dilihat implikasinya terhadap
madrasah. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan madrasah juga memiliki jenjang
sebagaimana sekolah. Jika jenjang pendidikan di sekolah terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menegah Atas (SMA),
maka jenjang pendidikan madrasah terdiri dari Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah
(MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Masing-masing jenjang
tersebut menggambarkan perbedaan usia, dengan demikian memiliki implikasi yang kuat dengan
teori perkembangan Piaget khususnya dalam penentuan pendekatan dan metode pembelajaran
sehingga sesuai dengan perkembangan peserta didik.

PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Piaget
         Sebagian besar materi dalam sketsa geografi bersumber dari Autobiografi Piage (1952a).
Jean Piaget lahir pada tahun 1896 di Neuchatel, Swiss (Switszerland). Piaget diceritakan oleh
bapaknya yang seorang sejarahwan, sebagai seorang yang sangat teliti dan pemikir yang kritis,
orang yang tidak suka terburu-buru mengambil kesimpulan, dia tidak takut memulai
pertengkaran (fight) ketika menemukan kebenaran sejarah dipelintir untuk disesuaikan dengan
tradisi (Piaget, 1952a, p.237). Piaget diingat oleh ibunya sebagai adalah orang yang cerdas,
penuh semangat, baik hati, dan memiliki jalan bagi apa yang diinginkan Piaget terhadap “dunia
pribadi dan tanpa hayalan” (private and nonfictitious world), dunia kerja yang serius. Piaget
mengetahui bahwa situasi yang tidak normal dalam keluarga telah menggungah minatnya dalam
Teori psikoanalisis (Miller, 2011: 28).
         Piaget adalah seorang anak yang terlalu cepat menjadi matang, yang mengembangkan
minatnya dalam biologi dan dunia pengetahuan alam, khususnya tentang moluska (kerang-
kerangan), dan bahkan menerbitkan sejumlah makalah sebelum ia lulus dari SMA. Karirnya
yang panjang dalam penelitian ilmiah dimulai ketika ia baru berusia 11 tahun dengan
diterrbitkannya sebuah makalah pendek pada tahun 1907 tentang burung gereja albino.
Sepanjang karirnya, Piaget menulis lebih dari 60 buah buku dan ratusan artikel. Memperoleh
gelar Ph.D dalam bidang ilmu alamiah dari Universitas Neuchatel, dan juga pernah belajar di
Universitas Zurich. Selama masa ini, ia menerbitkan dua makalah filsafat yang memperlihatkan
arah pemikirannya pada saat itu, tetapi kemudian ditolaknya karena dianggap sebagai karya tulis
seorang remaja. Minatnya terhadap psikoanalisis, sebuah aliran psikologi yang berkembang pada
saat itu, mulai berkembang pada periode ini.
         Piaget pindah dari Swiss ke Grange-aux-Belles, Prancis, kemudian mengajar di sekolah
untuk anak-anak lelaki yang dikelola oleh Alfred Binet, pengembang tes inteligensia Binet.
Ketika ia membantu menandai beberapa contoh dari tes-tes inteligensia inilah Piaget
memperhatikan bahwa anak-anak kecil terus menerus memberikan jawaban yang salah untuk
pertanyaan-pertanyaan tertentu. Piaget tidak terlalu memperhatikan pada jawaban-jawaban yang
keliru tersebut, melainkan pada kenyataan bahwa anak-anak yang kecil it uterus menerus
membuat kesalahan dalam pola yang sama, yang tidak dilakukan oleh anak-anak yang lebih
besar dan orang dewasa. Hal ini menyebabkan Piaget mengajukan teori bahwa pemikiran atau
proses kognitif anak-anak yang lebih kecil pada dasarnya berbeda dengan orang dewasa. Pada
tahun 1921, Piaget kembali ke Swiss sebagai direktur Institut Rousseau di Geneva.
         Pada tahun 1923, Piaget menikah dengan salah seorang mahasiswanya yang bernama
Valentine Chatenay. Mereka kemudian dikaruniai tiga orang anak yang menjadi subjek
penelitiannya sejak masa bayinya. Sampai pada tahun 1950, Piaget banyak meneliti dan menulis
tentang perkembangan inteligensi manusia. Ia juga mengaplikasikan hasil temua psikologis
tersebut dalam persoalan epistemologi. Pada tahun ini juga, ia mempublikasikan seri
epistemology genetik. Buku tersebut merupakan sintesis pemikirannya mengenai beberapa aspek
pengetahuan, termasuk matematika, fisika, psikologi, sosiologi, biologi dan logika. Piaget
menganalisis aspek-aspek pengetahuan dalam term hubungan antara individu dengan
lingkungannya, antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Ia mencoba
menentukan apakah relasi itu disebabkan oleh jenis pengetahuan yang ada. Misalnya, apakah
pengetahuan matematis menuntut suatu tipe interaksi yang berbeda dengan lingkungannya dari
pada pengetahuan fisis. Ia juga menarik paralelisme antara sejarah perkembangan pengetahuan
dengan perkembangan kognitif seseorang. Ia menemukan bahwa perkembangan kognitif
seseorang kerapkali mengikuti perkembangan yang sama seperti sejarah pengetahuan ilmiah.
         Sejak tahun 1952 sampai dengan tahun 1962, ia ditunjuk sebagai guru besar psikologi
genetik di Universitas of Sorbonne. Pada tahun 1956 ia memulai proyek yang telah lama ia cita-
citakan, yaitu suatu pendekatan interdisipliner tentang persoalan-persoalan kognitif dasar. Suatu
pusat internasional untuk epistemologi genetik dibangun di fakultas ilmu pengetahuan di
Uniersitas Geneva. Tujuannya adalah untuk mempersatukan banyak ahli dalam berbagai macam
keahlian: biologi, psikologi, matematika, fisika, dan lain-lain, yang ingin mempelajari suatu
persoalan secara bersama-sama. Setiap ahli akan membahas persoalan dari perpektifnya masing-
masing, tetapi hasilnya kemudian akan dikoordinasikan melalui suatu diskusi. Suatu simposium
akan diadakan guna mendiskusikan kesimpulan melalui forum diskusi. Hasilnya dipublikasikan
dalam suatu monogram studies dalam epistemology genetic. Ada sekitar 40 volume yang
menyangkut berbagai subjek, seperti pengertian kausalitas, proses belajar, dan pemikiran
matematis telah dipublikasikan. Piaget pensiun dari Institute Rousseau pada tahun 1971.
Meskipun demikian, ia tetap aktif dan menulis banyak buku. Piaget meninggal dunia pada
tanggal 16 september 1980 di Geneva, Swiss.
         Piaget tidak dapat dilepaskan dari tipikal sebagai seorang filosof sosial dan krisis remaja.
Pertentangan antara agama yang dia yakini dengan pembelajaran sains mendorong dia untuk
menulis dengan produktif (hungrily) seperti halnya Bergson, Kant, Spencer, Comte, Durkheim,
dan William James serta yang lainnya. Gejolak filosofis ini diekspresikan dalam Novel
filosofisnya yang dipublikasikan pada tahun 1917. Novel ini tidak akan menjadi best seller, ini
dapat diduga dari pesan-pesan yang ada didalammnya seperti; “sekarang tidak ada kesadaran
tentang kualitas, maka kualitas tidak akan eksis, jika tidak ada hubungan diantara mereka, jika
mereka tidak, akibatnya, dicampur kedalam kualitas total yang berisi mereka kemudian menjaga
mereka dalam suatu wilayah,” “dan teori positif mengenai kualitas memperhitungkan hubungan
keseimbangan antara keseluruhan kualitas” (1965a, p.243). Piaget mengamati bahwa “tidak ada
yang berbicara tentang hal tersebut kecuali satu atau dua filosof yang marah” (1952a, p.243)
(Ibid, 29).
B.    Orientasi Umum Teori Piaget
Sebagai panduan singkat selayaknya melakukan perjalanan ke kota yang masih asing,
upaya berikut ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai Teori Piaget sebelum
menjelajahi sudut dan celah—dan mungkin menjadi yang terakhir. Kami mengkaji lima
karakteristik yang menonjol dari teori; epistemology genetik, pendekatan biologi, strukturalisme,
pendekatan tahapan, dan metodologi Piaget. Karakteristik ini berhubungan dengan minat dan
tujuan Piaget, di deskripsikan terlebih dahulu.
a.     Epistemologi Genetik
   Teori Piaget sering diistilahkan sebagai genetic epistemology karena teori ini berusaha
melacak perkembangan kemampuan intelektual. Istilah genetic mengacu pada pertumbuhan
developmental bukan warisan biologis. Cabang filsafat yang konsen dengan perkembangan ilmu
pengetahuan disebut dengan epistemologi. Dalam pandangan Piaget, epistemologi adalah
masalah hubungan antara bertindak atau berpikir subyek dari obyek dan pengalamannya. Piaget
mengemukakan pertanyaan yang sama denga  filosof abad ini: bagaimana kita tahu sesuatu?
Pengetahuan adalah objektif, tanpa prasangka oleh sifat mengetahui, walaupun mungkin?
Apakah ada ide lain, atau semua ilmu dapat diperoleh? Semua tulisan-tulisan Piaget dapat dilihat
sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam berbagai bidang misalnya,
matematika, moral, dan bahasa. Seperti yang kita lihat dalam sketsa biografis, ia memimpin
penyelidikan filosofis melalui berbagai sekolah filsafat, biologi, sejarah, matematika, dan
psikologi. Akhirnya ia perhenti di psikologi perkembangan.
   Genetik, merujuk pada apa yang asli. Dengan mempelajari perubaha  perkembangan dalam
proses mengetahui dan dalam organisasi pengetahuan, Piaget merasa bahwa ia dapat menemukan
jawaban atas pertanyaan epistemology tradisional. Piaget peduli dengan masalah klasik  dalam
epistemology yang menjelaskan apa yang dianggap filosof sebagai kategori dasar pemikiran,
yaitu: waktu, ruang, hubungan sebab dan akibat, dan kuantitas. Tidak seperti kebanyakan
epistemologis, yang hanya menggunakan alasan logis untuk mendukung pandangannya, Piaget
menolak pendekatan armchair dan rumusan empiris hipotesis yang dapat diuji. Sebagai contoh,
ia mengajukan pertanyaan tentang bagamana manusia memperoleh konsep-konsep waktu, ruang,
dan hubungan sebab akibat dalam pengembangan konsep-konsep ini. Dengan demikian,
epistemology Piaget menghubungkan filsafat dan metode ilmiah, yang logis dan nyata.
   Solusi Piaget untuk masalah epistemology terlihat sederhana namun revolusioner, yang
menyatakan bahwa yang penting dalam pengetahuan adalah proses dari pada hasil. Seorang yang
“membangun” pengetahuan, memiliki baian aktif dalam proses mengetahui dan bahkan
memberikan kontribusi dalam membentuk pengetahuan. Kognitif manusia aktif memilih dan
menafsirkan informasi pada lingkungan. Mereka tidak pasif mengumpulkan informasi untuk
membangun pengetahuan. Salah satu implikasi teori Piaget dalam pengetahuan adalah bahwa
pengetahuan adalah bias. Pengalaman selalu disaring untuk dipahami. Pikiran anak bukanlah
sebuah kamera  yang mengambil gambar sebagai sebuah kenyataan. Namun, pikirannya
berkembang, menjadi lebih selaras dengan kenyataan.
b.     Pendekatan Biologi
         Dimulai dari masa anak-anak yang tertarik pada kerang dan burung, pemikiran Piaget telah
tertarik pada biologi. Paiget melihat moluska lebih dari ahli biologi. Dengan melihat moluska ia
melihat prinsip-prinsip umum tentang cara hidup organisme dalam beradaptasi dengan dunia.
Moluska menyesuaikan diri dengan lingkungan dan aktif dalam berasimilasi dalam struktur
biologis mereka. Piaget merasa bahwa prinsip-prinsip ini juga berlaku untuk pikiran manusia.
Definisi umum tentang kecerdasan adalah bahwa manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan,
sehingga tidak sesuai dengan pikiran lingkungan di tingkat psikologis. Hipotesis Piaget
mengatakan bahwa cakupan modus dari fungsi psikologis dalam beradaptasi adalah universal.
c.     Strukturalisme
   Strukturalis melihat bahwa suatu bagian berasal dari keseluruhan, mereka konsen dengan
hubungan antar-bagian dengan keseluruhan dan antara permulaan dengan kemudian. Menurut
Piaget, hakikat dari perubahan struktur mental adalah sebagai struktur perkembangan. Seorang
bayi memiliki struktur kognitif yang disebut “skema”. Skema disusun dari pola prilaku, yang
mencerminkan suatu cara interaksi dengan lingkungan. Menurut Piaget, skema adalah sesuatu
yang dapat diulang, dan dapat di generalisasi dari sebuah tindakan. Skema pada anak-anak dapat
dilihat bagaimana cara menjamah berbagai benda ke dalam mulutnya lalu menelannya. Skema
pada anak-anak dibedakan menjadi; benda yang “suckables” dan “nonsckables,” dengan
berbagai subkategori seperti; suckables yang keras, suckables yang lunak, dan suckables yang
lembut. Sebaliknya, struktur kognitif anak yang lebih tua, kira-kira pada usia 7 tahun dijelaskan
dalam bentuk operasi mental yang abstrak, mirip dengan sistem logikamatematika, yang disusun
dan dapat diaplikasikan ke dalam berbagai konten. Misalnya; penambahan, pengurangan,
perkalian, dan pembagian adalah operasi yang terkoordinir dalam konsep bilangan dalam operasi
matematika.
d.     Pendekatan Tahapan
Menurut Piaget, tahapan adalah periode waktu dimana anak berpikir dan berprilaku dalam
berbagai situasi  tertentu yang mencerminkan jenis struktur mental. Ada berbagai jenis spesies
yang memiliki berbagai cara dalam beradaptasi dengan lingkungan, jadi ada berbagai tingkatan
kognisi yang memiliki berbagai cara dalam beradaptasi dengan lingkungan. Lima karakteristik
menonjol dalam tahapan ini adalah sebagai berikut;
1.      Tahap dimana keseluruhan struktur dalam keadaan seimbang. Piaget melihat tahap sebagai
keseluruhan yang terintegrasi yang mengorganisasikan bagian. Skema atau operasi dari masing-
masing tahap saling berhubungan untuk membentuk keseluruhan yang terorganisasi. Masing-
masing tahap strukturnya berbeda, yang memungkinkan berbagai jenis interaksi antara anak
dengan lingkungan, dan konsekuensi yang muncul dari perbedaan fundamental melihat dunia.
Esensi dari pendekatan tahap Piaget adalah gerakan melalui tahapan yang melibatkan perubahan
struktural yang kualitatif (perubahan dalam tipe atau jenis) daripada kuantitatif (perubahan
derajat, jumlah, kecepatan, atau efisiensi).
2.      Setiap Tahap berasal dari tahap sebelumnya, menggabungkan dan mengubah tahap, dan
persiapan untuk tahap selanjutnya. Tahap sebelumnya membukan jalan untuk tahap yang baru.
Dalam proses pencapaian tahap yang baru, tahap sebelumnya adalah pengulangan. Dengan
demikian, anak-anak setelah mencapai tahap baru, mereka tidak lagi memiliki tahap sebelumnya
tersedia.
3.      Setiap Tahap mengikuti urutan invariant. Karena masing-masing tahap adalah kejadian dari
tahap sebelumnya, maka tahap harus meneruskan urutan tertentu. Tidak ada tahap yang
terlewatkan. Dengan kata lain, sejak tahap pertama tidak dapat mengembangkan semua materi
yang dibutuhkan untuk tahap ketiga, tahap kedua yang diperlukan.
4.      Tahap bersifat universal. Oleh karena Piaget tertarik pada bagaimana spesies manusia
beradaptasi secara psikologis dengan lingkungannya, maka dia fokus pada struktur dan konsep
yang diperlukan oleh manusia dimana saja. Tentu saja, orang-orang dengan IQ rendah mungkin
tidak akan berkembang melalui semua tahap atau mungkin berkembang tetapi lebih lambat. Dan
orang-orang pada umumnya bervariasi pada seberapa cepat mereka melanjutkan melalui tahapan.
5.     Setiap Tahap meliputi masukan, proses, dan hasil (coming-into-being  and a being). Ada
periode inisiasi persiapan dan ada periode akhir pencapaian dari masing-masing tahap. Tidak
stabil atau struktur organisasi yang longgar adalah tanda transisi periode awal  dari tahap
sebelumnya. Mengubahnya baik di dalam tahapan dan antara tahapan membutuhkan harus secara
bertahap.
e.     Metodologi
         Piaget menggunakan pengamatan dan pengelompokkan ketika mengamati bayi memegang
benda dan ketika mengamati anak kecil yang sedang belajar berjalan untuk mengekspresikan
pikirannya secara spontan. Piaget mengamati anak-anak TK biasanya melibatkan metode klinis,
yang merujuk pada rangkaian interaksi verbal antara peneliti dengan anak. Percobaan yang
diawali dengan mengajukan sebuah pertanyaan, kemudian anak-anak dipandu untuk memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut. Wawancara ini sering digabungkan dengan manipulasi objek
dalam percobaan yang dilakukan oleh anak. Hal ini dilakukan ketika Piaget belajar belajar
numerik dan konsep fisik atau perkembangan konseptual.
C.    Perkembangan Kognitif Piaget
   Setelah melakukan penelitian, Piaget lalu mengklasifikasi tahap perkembangan kognitif
setiap individu menjadi empat tahap. Keempat tahap tersebut saling berkaitan dan berkembang
secara kromologis. Keempat tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Periode Sensori Motor (sejak masa kelahiran sampai usia 2 Tahun)
      Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk
mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut.
Periode sensori motor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa
periode ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam
sub tahapan;
1)    Sub tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan
terutama dengan refleks.
2)    Sub tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan
berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3)    Sub tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai Sembilan bulan dan
berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4)    Sub tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia Sembilan sampai dua belas
bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat obje sebagai sesuatu yang permanen
walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5)    Sub tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan
dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6)    Sub tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
      Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota
tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya,
ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia
mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian mnghilang dari
pandangannya, asal perpindahannya terlihat. Akhir dari tahap ini, ia mulai mencari objek yang
hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan
bersamaan dengan itu konsep onjek dalam struktur kognitifnya mulai dikatakan matang. Ia mulai
mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam symbol-symbol, misalnya mulai bisa
berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dan lain-lain. Di tahap pra-konseptual, anak-
anak belum lagi dapat membedakan dan memahami dua atau lebih dimensi pada masa yang
sama. Hal ini terjadi karena mereka belum dapat menyusun skema yang ada dalam pikiran.
Kecerdasan pada tahap ini selalu diuraikan dengan kaku, tegang, ketidak sanggupan membuat
kesimpulan  dan tidak menumpukan perhatian terhadap  hubungan diantara peristiwa yang
berbeda. Ada empat kandungan utama proses kognitif pada tahap ini, yaitu; egocentrism, konsep
sebab-akibat, peningkatan perolehan bahasa, dan pembentukan identitas diri.
            Kesimpulan pada tahap ini adalah; bayi lahir dengan refleks bawaan, skema di modifikasi
dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak
ini, anak belum mempunyai konsepsi tentang obje yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal
yang ditangkap oleh inderanya.
2.     Periode Pra-operasional (kurang lebih 2 sampai 7 Tahun)
      Tahap ini adalah persiapan untuk mengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang
digunakan oleh Piaget disini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti
mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan
tertentu (seriation), dan membilang (counting). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak
berdasarkan pada pengalaman konkrot dari pada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-
objek yang kelihatannya berbeda maka ia mengatakannya berbeda pula. Pada tahap ini, anak
masih berada pada tahap pra operasional yang belum emahami konsep kekekalan (conservation),
yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas dan lain-lain. Selain itu, ciri-ciri anak pada tahap
ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.
      Dengan mengamati urutan permainan, Piaget menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua
tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran pra Operasi
dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap berbagai objek.
Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam
tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambar dan kata-
kata. Pemikirannya bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang
lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua
benda merah  walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau
warnanya berbeda-beda.
         Menurut Piaget, tahapan pra operasional mengikuti tahapan sensori motor dan muncul
antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan
bahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar.
bagaimanapun mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan
ini, mereka cenderung egosentris, yaitu mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan
bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami perasaan orang
lain di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang
lain semakin baik. Anak memiliki perasaan yang sangat imajinatif disaat ini dan menganggap
semua benda yang tidak hidup memiliki perasaan. Kesimpulan tahap ini adalah; anak mulai
timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dilihat dan dalam
lingkungannya saja.
3.     Periode Operasional Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 Tahun)
      Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada pada usia sekolah dasar (SD).
Pada umumnya, anak-anak pada tahap usia ini telah memahami operasi logis dengan bantuan
benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan,
kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut
pandang yang berbeda. Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pikiran
logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini, karena itu disebut tahap operasional konkrit.
Namun tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak akan mengalami kesulitan belajar dalam
menyelesaikan tugas-tugas logika.
      Tahap ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam dampai dua
belas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai.  Proses-proses
penting selama tahap ini adalah;
1)    Pengurutan, yaitu kemampuan untuk mengurut objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya.
Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang
paing besar sampai yang paling kecil atau sebaliknya.
2)    Klasifikasi, adalah kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda
menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian
benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi
memiliki keterbatasan logika berupa animism (anggapan bahwa semua benda hidup dan
berperasaan).
3)    Decentering, yaitu anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu
permasalahan  untuk bisa memecahkannya. Contoh; anak tidak akan lagi menganggap cangkir
lebar tapi pendek lebih sedikit isinya disbanding cangkir kecil yang tinggi.
4)    Reversibility, yaitu perkembangan dimana anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-
benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat
menentukan bahwa 4 + 4 = 8, 8 – 4 = 4, jumlah sebelumnya.
5)    Konservasi, yaitu memahami bahwa kuantitas, panjang, dan jumlah benda-benda adalah tidak
berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Contoh;
bila anak diberikan cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain, air gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
6)    Penghilangan sifat egosentrisme, yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang
orang lain (bahkan pada saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah).
Kesimpulan pada tahap ini adalah anak telah mengetahui symbol-symbol matematis, tetapi
belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak atau yang tidak berwujud.
4.     Periode Operasional Formal (kurang lebih 11 sampai 15 Tahun)
      Tahap ini adalah tahap akhir dari tahap perkembangan Piaget, yang disebut dengan Tahap
Operasi Formal. Anak pada tahap ini sudah dapat melakukan penalaran dengan menggunakan
hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan hal-hal yang konkrit sudah tidak
diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya
berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya yang telah mampu menggunakan
sombol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi. Anak telah memiliki kemampuan-
kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan antar sesuatu.
      tahap operasional formal dialami oleh anak pada usia sebelas tahun (pubertas) dan terus
berlanjut sampai dewasa. Karakteristik pada tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesipulan dari informasi yang
diperoleh. Pada tahapan ini, seorang anak dapat menglami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan
nilai. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas, menandai masuknya ke duna
dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan
perkembangan sosial. Karakteristik anak pada tahap ini adalah memiliki kemampuan untuk
melakukan penalaran hipotetik-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian
hipotesis dan mengujinya.
      Kesimpulan pada tahap ini adalah pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu
memahami bentuk argument dan tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu disebut
operasional formal). Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam
logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan logika
penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai
dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.      
         Dalam teori tahap perkembangan kognitif tersebut, Piaget mengembangkan tiga tahap
perkembangan. Ketiga tahap perkembangan tersebut adalah sebagai berikut.  Pertama, organisasi
kognitif, yaitu merujuk kepada kecenderungan pikiran yang berisi sistem yang terdiri dari
bagian-bagian yang terintegrasi untuk membentuk keseluruhan. Sistem ini pada gilirannya akan
dikoordinasikan, ada interrelasi diantara kegiatan kognitif. Pandangan ini menjadi lebih banyak
dan menjadi lebih koheren  yang terkait dengan perkembangan anak. Pengembangan melalui
tahapan melibatkan perubahan dalam organisasi kognitif sebagai struktur pemikiran dari tahap ke
tahap. Sebagai hasil perkembangan, pikiran dapat diatur dalam skema, peraturan (bagian
reversibility), fungsi, operasi konkrit, atau operasi formal. Kedua, adaptasi kognitif, adalah
merujuk pada interaksi antara organisme dan lingkungan. Piaget mengatakan bahwa semua
organisme mempunyai kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Perilaku intelligent
adalah prilaku yang menyesuaikan dengan lingkungan. Adaptasi melibatkan dua proses
komplementer, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses yang sesuai realitas saat
ini dan menjadi salah satu organisasi kognitif. Empat jenis asimilasi terjadi di semua masa dan
tahapan, tetapi paling mudah diamati pada periode sensori motor; reproduksi asimilasi (bayi
melatih skemanya dengan berulang-ulang sehingga skema menjadi kuat); generalisasi asimilasi
(rentan dari stimuli yang dapat di asimilasikan untuk meningkatkan skema); rekognisi asimilasi
(berbagai objek yang dibedakan bahkan sebagai skema umum); mutual asimilasi (skema dapat
saling mengasimilasi ke bentuk yang lebih besar, skema yang lebih
terorganisasi). Ketiga keseimbangan kognitif. Kedua dasar fungsional infariant, orgaisasi dan
adaptasi, menyiratkan fungsional invariant yang ketiga yaitu ekuilibrasi. Setiap organisasi
berusaha menuju keseimbangan dengan lingkungan dan keseimbangan dengan dirinya sendiri
(diantara unsur-unsur kognitif). Ketika asimilasi dan akomodasi berkoordinasi secara seimbang
dan tidak ada yang dominan, maka keseimbangan akan tercapai. Kesimbangan ini akan dicapai
melalui pengembangan struktur yang terorganisir untuk menyediakan cara dalam berinteraksi
dengan dunia. Perubahan yang baik dalam organisme atau lingkungan mengarah ke keadaan
disekuilibrium.
         Dalam perkembangan kognitif, diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Proses itu disebut ekuilibrium, yaitu itu mengaturan diri secara mekanis (mechanical self
regulation) yang perlu untuk mengatur keseimbangan dalam proses asimilasi dan akomodasi.
Disekuilibrium adalah keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi
adalah proses bergerak dari keadaan disekuilibrium ke ekuilibrium. Proses tersebut berjalan
secara terus menerus dalam diri seseorang melalui asimilasi dan akomodasi.

D.    Implikasinya Terhadap Pendidikan Madrasah


   Memperhatikan sejarah lahirnya dan perkembangan madrasah dapat dikemukakan bahwa
madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari dan untuk masyarakat. Inilah identitas
madrasah (Yahya Daud M, 2014 : 79). Pernyataan tersebut memberikan penegasan bahwa
madrasah mempunyai identitas sendiri yang tidak bisa digantikan oleh satuan pendidikan lain.
Dalam Peraturan Menteri Agama nomor 90 Tahun 2013 tentang  Penyelenggaraan Pendidikan
Madrasah dijelaskan bahwa madrasah adalah satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri
Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dengan kekhasan agama islam
yang mencakup Raudhatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Aliyah dan Madrasah Aliyah Kejuruan ( Bab I, Pasal 1, ayat 2). Adapun kurikulum yang
diselenggarakan pada madrasah adalah mengikuti model kurikulum yang ditetapkan oleh
pemerintah sebagaimana yang diselenggarakan pada Satuan Pendidikan Umum (TK, SD, SMP,
dan SMA/SMK). Hal ini dipertegas pada Bab I Pasal 22 yang menyatakan bahwa setiap
madrasah wajib melaksanakan kurikulum yang ditetapkan oleh Pemerintah. Apa yang
membedakan antara Madrasah dengan Sekolah umum adalah ciri khasnya, yaitu sebagai sekolah
yang berciri khas agama islam. Konsekuensi dari kekhasan tersebut adalah penerapan mata
pelajaran agama yang lebih banyak, yaitu terdiri dari; a) mata pelajaran Al-Qur’an Hadis;
b) Akidah-akhlak; c) Fikih; dan d) sejarah kebudayaan Islam (Pasal 29). Tentu hal ini berbeda
dengan sekolah umum, yang hanya menerapkan satu mata pelajaran agama dengan beban
mengajar 2 jam tatap muka tiap pekan.
   Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, penyelenggaraan madrasah tentu tidak bisa
lepas dari tuntutan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Dalam undang-undang sisdiknas
nomor 20 tahun 2003 dijelskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (Bab II Pasal 3). Untuk mencapai tujuan tersebut, kelembagaan madrasah
lalu dikembangkan dengan mengikuti sistem kelembagaan persekolahan. Jenjang pendidikan
madrasah terdiri dari;
1.     Jenjang pendidikan Usia Dini. Pada jenjang ini peserta didik yang dibina adalah anak-anak usia
pra-sekolah. Rata-rata usia anak yang memasuki jenjang ini adalah antara empat (4) sampai
enam (6) tahun. Madrasah pada jenjang ini disebut Raudhatul Athfal (RA), setara dengan TK
(dalam pengelolaan Diknas).
2.     Jenjang Pendidikan Dasar. Sejak pendidikan dasar 9 tahun diberlakukan, maka ada dua madrasah
yang masuk pada kategori ini, yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan madrasah Tsanawiyah (MTs).
Anak-anak yang dibina pada MI adalah ana usia tujuh (7) sampai dua belas (12), sedangkan anak
yang di didik pada MTs adalah anak usia dua belas (12) sampai usia lima belas (15) Tahun. MI
setingkat dengan SD, dan MTs setingkat dengan SMP.
3.     Jenjang Pendidikan Menengah. Pada jenjang ini, anak-anak yang menjadi sasaran binaan adalah
anak usia lima belas (15) sampai delapan belas (18) tahun, setingkat dengan SMA di
Kemendikbud.
         Dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan pendidikan melalui madrasah, implikasi
teori tahapan perkembangan kognitif Piaget dapat dikatakan sangat kuat. Pencapaian tujuan
pendidikan sangat erat hubungannya dengan pencapaian tujuan pembelajaran pada masing-
masing jenjang madrasah, sedangkan pencapaian tujuan pembelajaran sangat ditentukan oleh
kesesuaian metode pembelajaran dengan tingkat pertumbuhan peserta didik. Dalam konteks ini,
tahapan perkembangan kognitif Piaget sejatinya menjadi rujukan untuk menentukan metode
pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa madrasah. Dengan demikian,
implikasi tahapan perkembangan kognitif Piaget terhadap pendidikan madrasah dapat diuraikan
sebagai berikut;
1.     Pembelajaran pada tingkat Raudhatul Athfal (RA). Peserta didik pada tingkat RA adalah anak
usia 4 (empat) sampai 6 (enam) tahun. Dalam tahap perkembangan kognitif Piaget, anak pada
usia ini berada pada tahap Pra-Operasi. Pada tahap ini, pemikiran anak lebih banyak berdasarkan
pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis. Dengan demikian, pendekatan pembelajaran
yang tepat digunakan adalah menggunakan alat peraga atau media belajar. Melalui pendekatan
ini, anak dibiasakan untuk mengenal sesuatu secara konkrit, bukan abstrak. Dengan demikian,
pendekatan pembelajaran sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak.
2.     Pembelajaran pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI). Anak didik yang belajar pada tingkat MI
adalah rata-rata berusia 6 (enam) sampai 12 (dua belas) tahun. Jika merujuk pada teori tahap
perkembangan kognitif Piaget, anak pada usia ini berada pada tahap Operasi konkrit. Anak-anak
usia ini pada umumnya telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit.
Kemampuan terwujud dalam memahami konsep kekekalan. Kemampuan untuk
mengklasifikasikan, dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang
berbeda. Dengan tahapan kognitif seperti itu, maka pendekatan pembelajaraj yang sesuai adalah
selain menggunakan media belajar, pembelajaran lebih diarahkan pada dialog, diskusi kelompok,
dan tanya-jawab.
3.     Pembelajaran pada tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs). Peserta didik pada tingkat ini rata-rata
berusia 11 (sebelas) sampai 15 (lima belas) tahun. Dalam teori Piaget, anak pada usia ini telah
berada pada tahap operasi formal. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran
dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dengan menggunakan logika. Benda-benda konkrit
tidak diperlukan lagi, sehingga pendekatan pembelajaran yang tepat adalah bagaimana
membiasakan siswa untuk bekerja sama (cooperative learning) serta menyelesaikan masalah
(problem solving).
4.     Pembelajaran pada tingkat Madrasah Aliyah (MA). Anak pada usia SMA sudah memasuki usia
dewasa, biasanya mempunyai umur antara 15 (lima belas) sampai 18 (delapan belas) tahun.
Dalam teori perkembangan kognitif Piaget, anak pada usia ini berada pada tahap operasi formal.
Tetapi, karena tingkatannya sudah lebih dewasa dari pada anak usia MTs, maka pembelajaran
pada tingkat MA akan lebih tepat kalau diarahkan pada pembelajaran penemuan (discovery
learning). Dengan metode ini, peserta didik diberikan ruang ekspresi untuk mengembangkan
daya nalarnya guna menemukan pengetahuan baru tanpa terikat oleh target kurikulum.
         Dengan menyesuaikan pendekatan pembelajaran dikelas dengan tingkat perkembangan
kognitif peserta didik sebagaimana teori tahapan perkembangan kognitif Piaget, berarti peserta
didik akan belajar secara ikhlas tanpa paksaan. Hal ini akan memudahkan siswa dalam
mengembangkan kemampuan kognitifnya.

KESIMPULAN
         Teori tahapan perkembangan kognitif Piaget tentu mempunyai implikasi, bukan hanya pada
perkembangan psikologi, tetapi juga berimplikasi pada sistem pendidikan secara umum dan
sistem madrasah secara khusus. Implikasi tersebut terutama terkait dengan pencapaian tujuan
pendidikan. Madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional ikut bertanggungjawab
dalam pencapaian tujuan pendidikan. Namun demikian, pencapaian tujuan pendidikan sangat
relevan dengan pencapaian tujuan institusional dan tujuan instruksional atau tujuan
pembelajaran.
         Tujuan pembelajaran, biasanya diarahkan pada peningkatan kognitif peserta didik, selain
afektif dan psikomotorik. Teori tahapan perkembangan kognitif Piaget akan ditemukan
implikasinya yang kuat ketika menentukan pendekatan pembelajaran di kelas. Pendekatan
pembelajaran maupun metode pembelajaran akan memudahkan siswa belajar, apabila
pendekatan dan metode tersebut sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif peserta didik.
Dengan demikian, sangat penting bagi guru madrasah memahami empat tahapan perkembangan
kognitif Piaget, sehingga tidak keliru dalam menentukan pendekatan dan metode pembelajaran.
         Ada empat tahap perkembangan kognitif menurut teori Piaget, yaitu tahap sensori motor
(usia 0 – 2 tahun), tahap pra-operasional (usia 2 – 7 tahun), tahap operasional konkrit (usia 7 – 11
tahun), dan tahap operasional formal (usia 11 – 15 tahun). Dari keempat tahap perkembangan
tersebut, jika kita bawa ke ranah pendidikan madrasah, maka tahap sensori motor anak masih
berada dalam pengawasan dan pembinaan orang tua khususnya Ibu (pendidikan keluarga), pada
tahap pra-operasional, anak sedang berada pada Madrasah Ibtidaiyah, pada tahap operasional
formal anak sedang di didik pada Madrasah Tsanawiyah, sedangkan pada tahap operasional
formal, anak sedang mendapatkan pendidikan di Madrasah Aliyah.
         Dalam hal pembelajaran, anak pada usia RA lebih tepat jika pembelajaran dilakukan
dengan menggunakan alat peraga atau media belajar; anak pada usia MI selain menggunakan
media belajar, pembelajaran lebih diarahkan pada dialog, diskusi kelompok, dan tanya-jawab;
anak pada usia MTs kegiatan pembelajaran sebaiknya diarahkan pada membiasakan siswa untuk
bekerja sama (cooperative learning) serta menyelesaikan masalah (problem solving); sedangkan
pada usia MA pembelajaran akan lebih tepat kalau diarahkan pada pembelajaran penemuan
(discovery learning).

 DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2011.  Psikologi Kepribadian. Edisi Revisi. Malang: UMM Press.

Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta:


      PT. Rineka Cipta.

Diane E. Papalia, Sally Wendkos Olds dan Ruth Duskin Feldman. 2009. Human
        Development. Perkembangan Manusia. Edisi 10, Buku 1 (Penerjemah Brian
      Masrwendy). Jakarta: Salemba Humanika.

Joy A. Palmer (Ed.). 2015. Ide-Ide Brilian 50 Pakar Pendidikan Kontemporer.


      Yogyakarta: IRCiSoD.

Patricia H. Miller. 2011. Theories of Devepomental Psychology. Fifth edition. USA:


      Forth Publishers;

Soedjatmoko. 1995. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Salkind, Neil J. 2004. Teori-Teori Perkembangan Manusia: Sejarah Kemunculan,


                 Konsepsi Dasar, Analisis Komparatif, dan Apikasi. Terjemahan M. Khozim.
            Bandung: Penerbit Nusa Media.

Yahya Daud M. (2014). Posisi Madrasah Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Era


                 Otonomi Daerah. Jurnal Khasanah: Vol. XII. No. 01 Januari-Juni 2014.

Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Anda mungkin juga menyukai