Anda di halaman 1dari 9

PARADIGMA BARU PPKn

DOSEN PENGAMPU :
ILHAM SYAHRUL JIWANDONO, M.Pd.

DISUSUN OLEH :
1. PATHIAH ( E1E022040 )
2. PUPUT HARMAYANINGSIH ( E1E022041 )
3. RINISPU HIDAYAH ( E1E022047 )
4. SITHA RAHMA CANTIKA ( E1E022050 )
5. AHMAD NAJIHI FATHU ROZIK ( E1E022060 )
6. ARSY SUSANTRI ( E1E022068 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................1
PEMBAHASAN...............................................................................................................1
2.1 Sejarah Perkembangan PKN....................................................................................1
2.2 Paradigma Lama PKN.............................................................................................3
2.3 Paradigma Baru PKN...............................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................7

2.1 Sejarah Perkembangan PKN

1
Pendidikan kewarganegaraan sebelum proklamasi kemerdekaan atau pada zaman
penjajahan Belanda dikenal dengan nama burgerkunde. Mata pelajaran ini dimaksudkan
oleh pemerintah Belanda agar rakyat Indonesia lebih memahami hak dan kewajibannya
terhadap pemerintah Belanda, sehingga rakyat Indonesia tidak menganggap
pemerintahan Belanda sebagai musuh (my enemy is government) tetapi justru
memberikan dukungan penuh dalam waktu yang panjang (diffuse support). Meskipun
pada saat itu bangsa Indonesia dijajah namun konsep pendidikan politik dan
pelaksanaannya lewat pendidikan formal dan non formal tetap berlangsung.

Setelah proklamasi kemerdekaan. Pada tahun 1957 PKN dikenal dengan nama
Kewarganegaraan yang memuat materi dasar tentang hak dan kewajiban warga negara
serta cara memperoleh status kewarganegaraan. Kemudian sebelum dekrit presiden pada
tahun 1959, di SMU Pendidikan Kewarganegaraan dikenal dengan nama Tata negara
Tata hukum dan Ilmu kewarganegaraan. Selanjutnya setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959, berubah menjadi Civics, atau “Kewarganegaraan”. Menindaklanjuti Dekrit
Presiden 1959 menteri PP dan K mengeluarkan surat keputusan No. 122274/s tanggal
10 Desember 1999 tentang pembentukan panitia penyusunan buku pedoman pelajaran
civics. Panitia yang telah dibentuk berhasil menyusun buku “Manusia dan Masyarakat
Baru Indonesia” pada tahun 1962 yang berisi Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi)
sebagai sumber buku pedoman PKn pada masa itu.

Pada tahun 1962, karena pelajaran civics yang lebih mengedepankan Indoktrinasi.
Istilah civics diganti dengan Kewargaan Negara atas usulan dari Menteri Kehakiman
pada saat itu Dr. Suharjo, S.H. Usulan tersebut disetujui oleh Prijono sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1968, terbentuk kurikulum 1986. Dengan
berlakunya kurikulum tersebut, istilah Kewargaan Negara diganti dengan nama
Pendidikan Kewargaan Negara yang lebih menitikberatkan pada aspek tata negara dan
sejarah, tanpa menampakkan aspek moralnya. Pada tahun 1973, dengan ketetapan MPR
No. IV/MPR/1973 tentang Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pendidikan
Kewargaan Negara diganti dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dengan
pergantian kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975, bidang studi PMP lebih
menfokuskan materi tentang Pancasila dan UUD 1945, untuk mata pelajaran Sejarah,
Ilmu Bumi, Ekonomi dipisahkan menjadi bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
atau yang saat ini bernama Pendidikan Ilmu Pengetahuian Sosial (PIPS). Melalui

2
ketetapan MPR No. 11/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila (P4), materi (P4) ini dijadikan sumber, dan tempat berpijak, isi, dan evaluasi
PMP. Tidak hanya berlaku untuk sekolah, PMP juga berlaku untuk masyarakat pada
umumnya. P(4) yang berlaku dalam masyarakat disesuaikan dengan masing-masing
lingkungan, yaitu lingkungan sekolah dan masyarakat.

Dalam perkembangan perjalanannya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menuai


banyak kritik dan saran karena masih menitikberatkan pada aspek kognitif. Pada tahun
1994, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) diganti dengan nama Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKN). Perubahan dari Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dianggap lebih tepat,
karena memiliki konotasi yang lebih luas. Pada tahun 2003 disahkan UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang juga berdampak pada perubahan istilah
dari Pendidikan Pancasila dan (PPKN) menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) di
jenjang pendidikan SD, SMP, SMA atau SMK. Dari disahkannya UU No. 20 tahun
2003 tersebut, istilah Pendidikan Kewarganegaraan masih tetap digunakan hingga saat
ini karena istilah tersebut dianggap cocok untuk diimplementasikan kepada anak didik
sehingga diharapkan dapat terdidik menjadi warga negara yang baik. Berdasarkan UU
No. 20 Tahun 2003 pasal 37 Pendidikan Kewarganegraan merupakan mata pelajaran
wajib di SD, SMP, SMA atau SMK dan mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan memiliki posisi yang sangat
penting didalam sistem pendidikan Indonesia.

2.2 Paradigma Lama PKN


Menurut George Ritzer (1992:8) Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari para
ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh suatu
cabang ilmu pengetahuan. Adapun menurut Wilardjo (2000) mendefinisikan bahwa
Paradigma adalah kerangka keyakinan penata (ordering believe framwork) yang
menjadi bintang (the guiding star) yang menuntun kegiatan keilmuan masyarakat. Dari
pendapat tentang pengertian paradigma di atas dapat disimpulkan bahwa Paradigma
adalah kerangka pandangan dasar yang menjadi pokok pembahasan dan bintang
pemandu pada suatu cabang ilmu pengetahuan untuk menuntun kegiatan keilmuan
masyarakat. Adapun pengertian paradigma pendidikan kewarganegaraan adalah usaha

3
untuk mengembangkan kognitif, afektif dan psikomotorik warga negara yang
berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Paradigma lama PKN lebih dominan diarahkan untuk mendukung kepentingan


kekuasaan rezim orde baru terutama untuk mempertahankan status-qou. Sehingga dalam
implementasi paradigma lama PKN memiliki akar keilmuan yang lemah dan tidak jelas
yang menyebabkan tenaga pendidik merasakan kesulitan untuk mengembangkan
profesionalitasnya, karena isi materi dan kurikulum PKN merupakan nilai yang diambil
dari P(4) yang merupakan penafsiran dari pemerintah, sehingga pendidikan yang
dihasilkan adalah untuk kepentingan kekuasaan pada saat itu. Hal tersebut juga
berakibat terhadap kehilangannya daya berpikir kritis siswa karena strategi
pembelajaran yang menggunakan indoktrinasi, hegemoni, legitimasi, dan mobilitas
politik yang menjadikan siswa maupun warga negara tidak mampu bersikap kritis
kepada para penguasa atau pemerintah, pandangan warga negara relatif positif pada
pemerintah, dan cenderung patuh pada rezim yang berkuasa.

Pada implementasi paradigma lama PKN, intervensi rezim untuk menitipkan


kepentingannya sangat kuat. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan pendidikan rezim
pemerintahan tentang pendidikan kewarganegaraan yang sangat dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan situasi politik dan kenegaraan, sehingga yang seharusnya PKN
tujuannya sebagai “alat pendidikan politik” yang menanamkan nilai-nilai demokrasi
justru menjadi “alat politik” yang mendominasi nilai-nilai yang digunakan untuk
kepentingan rezim mempertahankan kekuasaannya. Hal tersebut terjadi sebab fokus
PKN pada paradigma lama adalah indoktrinasi politik rezim, contohnya materi atau
topik tentang kepatuhan kesetiaan pada pemerintah yang berkuasa keamanan sosial
ditampilkan dengan tujuan menguatkan kedudukan pemerintah yang berkuasa
sedangkan materi tentang HAM, demokrasi, dan toleransi agama kurang ditampilkan.

Kredibilitas akademik pada paradigma lama sangat rendah karena materi Pendidikan
Kewarganegaraan pada saat itu tidak relevan dengan masyarakat demokratis.
Kredibilitas akademik rendah menjadikan siswa tidak dapat berpikir secara dewasa dan
bertanggung jawab lulusan yang dihasilkan harus menerima tanpa dapat
mempertanyakan hal-hal di luar pengetahuan yang telah ditentukan sebelumnya
sehingga membuat siswa kerdil dalam berpikir. Hal tersebut terjadi karena pendidikan

4
kewarganegaraan yang diberikan bersifat “sepihak” dan “monolog” untuk mendukung
keberlangsungan kekuasaan orde yang berkuasa. Dalam paradigma lama, visi PKN
persekolahan lebih menekankan pada kepentingan kekuasaan untuk mempertahankan
status-qou. Adapun misinya lebih menekankan pada warga negara untuk patuh pada
kekuasaan/ pemerintah. Substansi materi berasal dari P(4) sebagai tafsiran tunggal
rezim. Strategi pembelajaran yang digunakan adalah indoktrinasi dan hegemoni.
Keilmuan PKN paradigma lama lemah dan tidak jelas akarnya sehingga rentan terhadap
perubahan-perubahan untuk mengikuti kepentingan pemerintah yang berkuasa. Generasi
yang didapatkan menjadi warga negara yang tidak memiliki sikap kritis terhadap
pemerintah.

2.3 Paradigma Baru PKN


Paradigma baru PKN lahir dari reorientasi dan rekonstruksi paradigma lama PKN.
Krisis yang menimpa paradigma lama karena terjadinya penyimpangan dan
pertentangan yang menyebabkan akar keilmuan PKN sangat lemah. PKN dimanfaatkan
oleh rezim pemerintahan untuk mempertahankan status-quonya yang berakibat pada
keberadaan atau eksistensi PKN rentan terhadap pergantian rezim yang berkuasa untuk
menjadikan PKN sebagai indoktrinasi politik penguasa. Oleh karena itu, paradigma baru
PKN sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi paradigma lama agar penyimpangan dan
pertentangan pada paradigma lama dapat teratasi dan tidak terulang kembali, dan
relevan dengan kepentingan bangsa dan negara.

Paradigma baru PKN juga berorientasi pada aspek civil socciety atau yang disebut
masyarakat madani. civil socciety (Masyarakat Madani) adalah masyarakat yang
otonom dalam mengembangkan kehidupannya sesuai dengan hak-hak yang dimiliki
yang berlandaskan nilai Pancasila dan UUD 1945. Civil socciety (Masyarakat Madani)
lebih menekankan pada kontrol negara agar menjamin hak-haknya bukan berupaya
untuk menguasai negara. Sejalan dengan pengertian tersebut Civil socciety (Masyarakat
Madani) sesuai dengan jati diri PKN yaitu membentuk warga negara yang demokrasi
mampu berpartisipasi dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan negara demi kepentingan
bersama.

Paradigma baru PKN memiliki akar keilmuan yang jelas dan kuat. Ditandai dengan
objek materi PKN lebih menekankan pada peranan warga negara dalam kehidupan

5
berbangsa dan bernegara agar berdemokrasi politik sosial dan ekonomi yang tentunya
relevan dengan kehidupan bangsa dan negara. Materi-materi PKN pada paradigma baru
harus memuat konstitusi negara, hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara,
identitas nasional, Civil socciety, pemisahan dan pembagian kekuasaan, pendidikan
moral dan karakter. Dengan akar keilmuan yang kuat dan jelas tersebut diharapkan
berkembangnya rasa loyalitas ganda pada warga negara yaitu loyal pada kepentingan
masyarakat dan kepentingan negara. Karena dalam paradigma lama PKN cenderung
bersifat monoloyalitas yaitu loyal kepada kepentingan pemerintah/penguasa saja.

Adapun tiga karakteristik paradigma baru PKN yaitu:

1. Kecerdasan Warga Negara (Civic Intelligence)

Kecerdasan warga negara adalah kecerdasan dalam bernalar yang harus dimiliki setiap
warga negara untuk mengetahui hak dan kewajiban, struktur pemerintahan, sistem
politik negara, yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Tujuannya adalah
untuk mewujudkan masyarakat yang demokrasi.

2. Tanggung jawab Warga Negara (Civic Responsibility)

Mempunyai rasa kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara merupakan
tanggung jawab setiap warga negara. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab
harus memiliki rasa toleransi, jujur, berpikir kritis dan terbuka, dan rasa nasionalisme
dan patriotisme.

3. Partisipasi Warga Negara (Civic Participation)

Setiap warga negara mempunyai kewajiban untuk berpartisipasi dalam pembangunan


negara sesuai dengan pasal 30 ayat (1) yang berbunyi "tiap-tiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.". Salah satu contoh
partisipasi warga negara terhadap sistem pemerintahan Indonesia yaitu demokrasi.

Paradigma baru PKN memiliki visi untuk pemberdayaan warga negara, penguatan pada
aspek masyarakat dan kepentingan negara. Adapun misinya adalah menjadikan warga
negara aktif ikut berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berpikir
kritis dan berbudaya politik. Strategi pembelajaran yang digunakan adalah dengan
metode dialog-kritis yang tentunya dengan akar keilmuan yang jelas dan kuat, terbebas

6
dari intervensi kekuasaan rezim, dan tentunya fokus sebagai pendidikan
kewarganegaraan yang diharapkan dapat mengembangkan masyarakat demokratis.

DAFTAR PUSTAKA
BAB, I. A. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan.

7
Cholisin, C. (2000). Reorientasi dan Rekonstruksi Paradigma Lama Pendidikan
Kewarganegaraan Menuju Indonesia Bard. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 3(3).

Kurniawan, Machful Indra. 2018. Buku Ajar Konsep Dasar Pendidikan


Kewarganegaraan Sekolah Dasar. Sidoarjo: Umsida Press.
Sunarso, S. (2009). Dinamika Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dari Rezim ke
Rezim. Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, 9(1).

Widiatmaka, P. (2022). Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) di dalam


Membangun Karakter Bangsa Peserta Didik. Civic Edu: Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan, 5(1), 1-10.

Winataputra, H. U. S., & Sapriya, M. Paradigma Baru PKN di SD/MI.

Anda mungkin juga menyukai