Anda di halaman 1dari 20

SEJARAH PERKEMBANGAN PPKN

DI INDONESIA

Disusun oleh Kelompok 1:


1. Ananda Jenita 220301111
2. Bayu Ramadhan 220302222
3. Cicha Cantika 220303333
4. Delfiyanto 220304444
5. Galih Maryo 220305555

Dosen Pengampu: Wiwik Okta Ssuilawati, M.Pd.

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS DHARMAS INDONESIA
AGUSTUS 2022
i

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT


atas limpahan rahmat dan karunia-Nya. Penulis Buku Ajar
Sejarah Perkembangan PPKn di Indonesia dapat diselesaikan.
Secara khusus, buku ini hadir dihadapan pembaca karena
diniati untuk memenuhi bahan bacaan pada perkuliahan
Kewarganegaraan di Universitas Dharmas Indonesia.
Buku ini hadir diniati untuk memenuhi buku ajar
mahasiswa dalam rangka mendukung tercapainya capaian
pembelajaran mata kuliah Kewarganegaraan. Sebagian besar
naskah buku ini merupakan hasil kajian pustaka dari berbagai
literature. Penulisan menggunakan bahasa yang sederhana
sehingga sehingga harapannya materi-materi yang disajikan
dapat mudah dipahami oleh mahasiswa.

Dharmasraya, Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................. iii
BAB I SEJARAH PERKEMBANGAN PPKN DI INDONESIA ......................................... 1
A. Pendahuluan................................................................................................................ 1
B. Sejarah Perkembangan PPKn di Indonesia .................................................... 2
C. Latihan ........................................................................................................................... 15
D. Daftar Pustaka ............................................................................................................ 15
BAB I
SEJARAH PERKEMBANGAN PPKN DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Secara konseptual, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) di Indonesia dilakukan dalam
rangka mewujudkan pendidikan nasional. Dalam ketentuan
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dinyatakan bahwasannya pendidikan nasional berfungsi
untuk “…mengembangkan kemampuan dan membangun
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sejalan dengan
itu, penempatan mata kuliah Konsep Dasar PPKn SD Kelas
Rendah sebagai mata kuliah wajib guna mengembangkan
kepribadian dan sikap di Perguruan Tinggi yang
merupakan upaya untuk memantapkan kepribadian dan
sikap mahasiswa agar menjadi warga Negara Indonesia
yang memiliki rasa kebangsaan, cinta tanah air, demokratis
dan dapat diandalkan oleh bangsa.
Pada bab I ini membahas tentang sejarah
perkembangan PPKn di Indonesia. Setelah mempelajari bab
ini, para pembaca diharapkan dapat memiliki kemampuan
untuk:
 Menguraikan sejarah perkembangan PPKn di
Indonesia
B. Sejarah Perkembangan PPKn di Indonesia
Pendidikan Moral di Indonesia, secara tradisional,
berisi nilai-nilai kemasyarakatan, negara dan agama (Arif
Prasetyo Wibowo, 2017). Pada mulanya, Pendidikan Moral
dilaksanakan melalui Pendidikan Agama dan Budi Pekerti,
tidak ada Pendidikan Moral secara eksplisit. Akan tetapi
kemudian berkembang dari waktu ke waktu sehingga tidak
lagi menyatu dengan Pendidikan Agama dan Budi Pekerti.
Pada tahun 1957 mulai diperkenalkan mata pelajaran
Kewarganegaraan. Mata pelajaran Kewarganegaraan
memuat isi pokok cara memperoleh kewarganegaraan, hak
dan kewajiban warga negara. Dari sudut pengetahuan
tentang negara diperkenalkan juga mata pelajaran Tata
Negara dan Tata Hukum. Ketiga mata pelajaran tersebut
semata-mata memuat aspek kognitif.
Pada tahun 1959 terjadi perubahan arah politik di
Negara Indonesia. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyatakan
UUDS 1950 tidak berlaku dan UUD 1945 dinyatakan
berlaku kembali. Kejadian ini membuat perubahan arah di
bidang pendidikan. Perubahan arah ini ditandai dengan
diperkenalkannya mata pelajaran Civics di SMP dan SMA,
yang isinya meliputi Sejarah Nasional, Sejarah Proklamasi,
UUD 1945, Pancasila, Pidato-pidato Kenegaraan Presiden,
pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. Buku sumber
yang dipergunakan adalah “Civics Manusia Indonesia Baru”
dan “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” yang lebih dikenal
dengan singkatan “TUBAPI”. Metode pengajarannya lebih
bersifat indoktrinasi (proses penanaman suatu nilai secara
mendalam berdasar satu system nilai). Buku pegangan
peserta didik untuk mata pelajaran ini belum ada (Wuri
Wuryandani, 2018).
Pada tahun 1962, istilah Civics diganti dengan istilah
Kewargaan Negara atas anjuran Dr. Sahardjo, S.H. yang
pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman.
Perubahan ini didasarkan atas tujuan yang ingin
dicapainya, yaitu “membentuk warga negara yang baik”.
Kemudian pada tahun 1965 terjadi pemberontakan G
30 S/PKI yang kemudian diikuti oleh pembaharuan tatanan
dalam pemerintahan. Pembaharuan tatanan inilah yang
kemudian dibatasi oleh tonggak yang resmi dengan
diserahkannya surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden
Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto. Tanggal itulah
yang kemudian dijadikan tonggak pemerintahan Orde Baru,
yang mengandung tekad untuk memurnikan pelaksanaan
UUD 1945 secara konsekuen.
Perubahan sistem ketatanegaraan/ pemerintahan ini
kemudian diikuti dengan kebijaksanaan dalam pendidikan,
yaitu dengan keluarnya Keputusan Menteri P & K No.
31/1967 yang menetapkan bahwa pelajaran Civics isinya
terdiri atas:
1. Pancasila
2. UUD 1945
3. Ketetapan-ketetapan MPRS
4. Pengetahuan tentang PBB
Pada tahun 1968, kebijaksanaan dalam bidang
pendidikan ini disusul dengan keluarnya Kurikulum 1968.
Dalam kurikulum ini istilah Civics, yang secara tidak resmi
diganti dengan istilah Kewargaan Negara, diganti lagi
dengan Pendidikan Kewargaan Negara, yang lebih dikenal
dengan singkatan PKN. Pendidikan Kewargaan Negara pada
masa ini sudah tidak lagi menggunakan metode
indoktrinasi dalam pengajarannya. Bahan pokoknya pun
telah ditetapkan dalam kurikulum tersebut yang meliputi
(Winataputra, 2014):
1. Untuk tingkat Sekolah Dasar:
a. Pengetahuan Kewargaan Negara
b. Sejarah Indonesia
c. Ilmu Bumi
2. Untuk tingkat SMP
a. Sejarah Kebangsaan
b. Kejadian setelah kemedekaan
c. UUD 1945
d. Pancasila
e. Ketetapan-ketetapan MPRS
3. Untuk tingkat SMA: Uraian pasal-pasal dalam UUD
1945 dihubungkan dengan Tata Negara, Sejarah, Ilmu
Bumi dan Ekonomi
Pada tahun 1973, oleh Badan Pengembangan
Pendidikan (BP3) Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Bidang Pendidikan Kewargaan Negara, telah
ditetapkan 8 tujuan kurikuler, yang meliputi bidang (Heri
Hidayat, 2020):
1. Hak dan kewajiban warga Negara
2. Hubungan luar negeri/pengetahuan internasional
3. Persatuan dan kesatuan bangsa
4. Pemerintahan demokrasi Indonesia
5. Keadilan negara bagi seluruh rakyat Indonesia
6. Pembangunan negara ekonomi
7. Pendidikan kependudukan
8. Keamanan dan ketertiban masyarakat
Walaupun bahan pokok dan tujuan kurikuler telah
ditetapkan, namun pada waktu itu belum disusun buku
pegangan resmi, baik bagi peserta didik maupun bagi guru.
Dengan tidak adanya pegangan resmi dari pemerintah,
maka setiap sekolah/guru mengambil kebijaksanaan
sendiri-sendiri tentang buku ini. Maka dapat dimengerti
kalau pada waktu itu beredar berbagai karangan tentang
Pendidikan Kewargaan Negara untuk segala jenjang atau
tingkat pendidikan, demi memenuhi kebutuhan di
lapangan. Perlu adanya catatan yang penting dari PKN
tersebut, yaitu aspek afektif tidak muncul (Muhamad Fikri
Zulfikar, 2021). Pendidikan Kewargaan Negara ternyata
hanya menitikberatkan pada aspek kognitif saja. Selain itu,
pembentukan moral Pancasila kepada peserta didik tidak
secara eksplisit, sehingga PKN ini tidak akan berhasil
membawa amanat/pesan dari pandangan hidup bangsa,
yaitu Pancasila. Keadaan semacam ini ditambah dengan
buku pegangan untuk peserta didik yang beraneka ragam,
buku pegangan guru yang beraneka ragam, pengembangan
materi oleh guru yang sangat diwarnai oleh ilmu yang
dimilikinya serta pola berpikirnya akan menyebabkan
keanekaragaman output, baik aspek kognitif maupun aspek
afektif.
Era baru dalam bidang ketatanegaraan muncul. MPR
hasil pemilu menghasilkan GBHN dalam Ketetapan No VI
/MPR 1973 yang menginstruksikan adanya PMP di semua
jenjang sekolah dari TK sampai perguruan tinggi baik
negeri maupun swasta.
Pada akhir tahun 1975, tim Nasional Kurikulum
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyusun
Kurikulum dan Garis-garis Besar Pengajaran dalam bidang
studi PMP untuk SD, SMP, dan SMA.
Tahun 1978 MPR hasil pemilu yang kedua sesudah
Orde Baru, berhasil mengeluarkan Ketetapan No
II/MPR/1978 yang memuat Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila atau Ekaprasetia Pancakarsa
(Winarno, 2012). Ketetapan ini barmaksud memberikan
penjabaran yang sederhana, jelas dan mudah dipahami
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (selanjutnya
dikenal dengan 36 butir nilai P4), untuk dapat dipakai
sebagai penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, oleh setiap warga negara
Indonesia.
Keluarnya Tap MPR tersebut sangat bermakna bagi
PMP, karena akan lebih memperjelas arah ke mana PMP
akan bermuara. Dalam kurikulum 1975 telah ditetapkan
sejumlah pokok bahasan sebagai materi PMP ditambah
atau diperkaya dengan materi Tap MPR No II/MPR/1978
(Ismail, 1999). Namun belum terdapat buku paket untuk
peserta didik. Untuk menghindari adanya pengembangan
materi yang beaneka ragam oleh guru/peminat penulis
buku, maka mulai tahun 1978 telah dirintis penulisan buku
paket PMP untuk SD, SMP, dan SMA. Kegiatan ini diakhiri
dengan diterbitkannya buku paket PMP tersebut pada
tahun 1980 dan seterusnya dipergunakan di sekolah-
sekolah dari SD sampai SMA. Pada tahun 1982, buku paket
PMP dikoreksi dengan mendapatkan banyak sumbangan
pemikiran dari masyarakat, tokoh-tokoh agama, pendidik
serta para cerdik cendekiawan. Akhirnya setelah dikoreksi
kemudian dicetak ulang dan disahkan penggunaannya
dengan Keputusan Menteri P & K No 137/C/Kep/R/83, dan
sekaligus menarik buku-buku PMP cetakan lama.
Selanjutnya, lembaga tertinggi negara hasil pemilu
ketiga setelah Orde Baru, berhasil mengeluarkan
produknya antara lain Tap MPR No II/MPR/1983 tentang
GBHN. Ada dua hal yang pelu diperhatikan dari GBHN ini,
yaitu (Subkhan, 2014):
1. Pendidikan Moral Pancasila masih tetap diberikan di
sekolah-sekolah.
2. Munculnya unsur baru dalam Pendidikan Pancasila,
yaitu:
a. Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila
b. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
Kurikulum 1975 nampaknya sudah seharusnya
ditinjau kembali. Hasil penilaian menunjukkan bahwa ada
kelemahan-kelemahan yang berkenaan dengan aspek
keselarasan antara lingkup dengan kedalaman bahan yang
menyebabkan syaratnya materi pelajaran, keselarasan
vertikal yang menyangkut tata urutan pokok bahasan dan
kesesuaian materi dengan perkembangan baru.
Sehubungan dengan hal itu, maka muncullah Keputusan
Menteri P & K dengan No 0461/U/1984 tentang perbaikan
Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah, serta
Keputusan Menteri P & K No 0209/U/1984, tentang
Perbaikan Kurikulum Sekolah Menengah Tingkat Atas
(Muhammedi, 2016). Salah satu ciri khas kurikulum ini,
selanjutnya disebut dengan Kurikulum 1984, adalah
diterapkannya keluwesan program. Khususnya untuk
bidang studi PMP perlu pembenahan dalam hal ranahnya.
Pada kurikulum 1975, walaupun disadari bahwa PMP
adalah pendidikan moral, namun titik beratnya masih
ranah pengetahuan. Oleh karena itu, ada penataan kembali
ke dalam kurikulum 1984, yang lebih menitikberatkan pada
ranah moral (afektif), disamping secara integrative perlu
diperhatikan ranah lainnya, yaitu pengetahuan (kognitif)
dan perbuatan (psikomotor).
Sebagai salah satu bentuk pelaksanaan UU No. 2
tahun 1989, pada tanggal 25 Februari 1993 telah terbit
keputusan Mendikbud No.060/U/1993, tentang Kurikulum
Pendidikan Dasar (Raharjo, 2020). Kurikulum tersebut
secara bertahap dinyatakan mulai berlaku pada tahun
ajaran 1994/1995. Oleh karena itu kemudian kurikulum
tersebut dikenal dengan Kurikulum Dikdas 1994 atau
Kurikulum ’94.
Pada tahun 1994, nama Pendidikan Moral Pancasila
diganti dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn). Bila dikaitkan dengan kurikulum sebelumnya, mata
pelajaran tersebut memadukan konsep Pendidikan Moral
Pancasila (PMP) dengan Pendidikan Kewargaan Negara
(PKN). Istilah Pendidikan Moral Pancasila diperbaiki
menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan
Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan
Kewarganegaran. Kemudian dipadukan menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Pendidikan
Pancasila memiliki konotasi lebih luas dan utuh daripada
Pendidikan Moral Pancasila, karena Pancasila tidak hanya
memiliki dimensi moral, tetapi juga mengandung konsep,
nilai, moral, dan norma. Karena itu, perubahan ini sangat
tepat. Materi yang terkandung dalam pelajaran PPKn tidak
jauh berbeda dengan materi yang terkandung dalam
pelajaran PMP. Selanjutnya pada tahun 1999 dimasukkan
suplemen (tambahan) materi PPKn sesuai dengan
perubahan kehidupan ketatanegaraan setelah era
reformasi. Materi P-4 secara resmi tidak lagi dipakai dalam
suplemen kurikulum 1999, karena Tap MPR tentang P-4
(Winarno, 2012) telah dicabut dengan Tap MPR No.
XVIII/MPR/1998.
Pada tahun 2000, setelah Indonesia masuk dalam era
reformasi maka bidang pendidikan pun mengalami
perubahan. Adanya tuntutan bahwa pengetahuan yang
didapatkan di sekolah harus bisa menopang kebutuhan skill
yang terus bertambah maka lahirlah Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) (Alhamuddin, 2014). Pada tahun ini
berganti nama mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn).
Tahun 2004 kurikulum PKn SD diintegrasikan
dengan mata pelajaran IPS, menjadi PKPS (Pendidikan
Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial), sementara di
tingkat SMP dan SMA merupakan mata pelajaran yang
berdiri sendiri. Kurikulum Berbasis Kompetensi
kewarganegaraan tampak telah mengarah pada tiga
komponen PKn yang bermutu seperti yang diajukan oleh
Centre for Civic Education pada tahun 1999 dalam National
Standard for Civics and Government. Ketiga komponen
tersebut yaitu civic knowledge (pengetahuan
kewarganegaraan), civic skills (keterampilan
kewarganegaraan), dan civic disposition (karakter
kewarganegaraan) (Muhammad Muqorrobin, 2018).
Pada tahun 2006, perubahan kurikulum dari KBK
menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Dalam kurikulum ini PKn di sekolah dasar tidak lagi
terintegrasi dengan mata pelajaran IPS, melainkan berdiri
sendiri menjadi mata pelajaran PKn. Demikian pula pada
tingkat SMP dan SMA PKn menjadi mata pelajaran yang
berdiri sendiri.
Selanjutnya pada tahun 2013 secara yuridis formal
Kurikulum 2013 berpijak pada Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, namun dalam
pelaksanaannya didasarkan pada Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Perubahan kurikulum tersebut
berdampak pula terhadap mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan di Indonesia, yang semula menggunakan
istilah Pendidikan Kewarganegaraan atau yang lebih
dikenal dengan sebutan PKn berubah kembali menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau yang
lebih dikenal dengan sebutan PPKn (Raharjo, 2020).
Perubahan nomenklatur didasarkan pada sejumlah
masukan penyempurnaan pembelajaran PKn menjadi PPKn
yang mengemuka dalam lima tahun terakhir, antara lain:
(1) secara substansial, PKn terasa lebih dominan
bermuatan ketatanegaraan sehingga muatan nilai dan
moral Pancasila kurang mendapat penekanan yang
proporsional; (2) secara metodologi, ada kecenderungan
pembelajaran yang mengutamakan pengembangan ranah
sikap (afektif), ranah pengetahuan (kognitif), sedangkan
ranah keterampilan (psikomotorik) belum dikembangkan
secara optimal dan utuh (koheren). Dengan ruang lingkup
materi pembahasan mengenai Pancasila, sebagai dasar
negara, ideologi, dan pandangan hidup bangsa, UUD 1945
sebagai hukum dasar tertulis yang menjadi landasan
konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai
kesepakatan final bentuk Negara Republik Indonesia,
Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud filosofi kesatuan di
balik keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara (Santoso, dkk., 2015). Adapun pada K13
revisi, terkait dengan substansi PPKn tidak begitu
signifikan perubahannya.
Perkembangan selanjutnya pada tahun 2020 pada
prinsipnya terkait dengan Kurikulum Merdeka Belajar,
didasari oleh Permendikbud No. 3 Tahun 2020 Tentang SN-
Dikti. Mendikbud di Era ini (Nadiem Makariem) menjadi
tokoh penggagas terkait dengan wacana merdeka belajar,
utamanya di Perguruan Tinggi (Muhammad Yamin, 2020).
Menurut Nadiem, Kemendikbud menyiapkan strategi yang
tidak akan keluar dari esensi pendidikan, yakni kualitas
guru. Guru tidak akan mungkin bisa digantikan teknologi.
Teknologi adalah alat bantu guru meningkatkan potensi
mereka dan mencari guru-guru penggerak terbaik serta
memastikan mereka bisa menjadi pemimpin-pemimpin
pembelajaran dalam sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.
Nadiem Makarim menjelaskan setidaknya tiga poin
utama dalam gagasan merdeka belajar, yaitu tekonologi
untuk akselerasi, keberagaman sebagai esensi, dan profil
pelajar Pancasila. Tentu saja, poin pertama terkait dengan
perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi
(Raharjo, 2020). Namun ada hal yang sangat menarik yaitu
di poin 2 dan 3, utamanya terkait dengan PPKn, bahwa
adanya penguatan keberagaman sebagai esensi, berupa
“keberagaman minat dan kemampuan yang dimiliki peserta
didik menjadi alasan paling kuat agar pengukuran kinerja
peserta didik tidak boleh dinilai hanya menggunakan
angka-angka pencapaian akademik, tetapi juga berbagai
macam aktivitas lain atau ekstrakurikuler”. Kearifan lokal
juga merupakan unsur penting dalam pembelajaran. Setiap
peserta didik akan lebih memahami materi bila
menggunakan konteks lokal. “Setiap peserta didik akan
melihat semua mata pelajaran dan semua materi dalam
konteks”. Kemudian terkait dengan profil pelajar Pancasila,
Dalam kesempatan yang sama, Mendikbud Nadiem
menjelaskan salah satu mandat yang diberikan Presiden
adalah penyesuaian kurikulum yang bertujuan
mewujudkan profil para pelajar di Indonesia. Kemendikbud
telah menetapkan enam indikator sebagai profil pelajar
Pancasila.
Adapun enam profil tersebut adalah pertama,
beriman, bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak
mulia. Di sinilah moralitas, spiritualitas, dan etika berada.
Kedua, kebinekaan global yang merupakan upaya agar
peserta didik mencintai keberagaman budaya, agama dan
ras di negaranya serta dunia, sekaligus menegaskan mereka
juga warga global.
Ketiga, bergotong royong, di mana peserta didik
mempunyai kemampuan berkolaborasi yang merupakan
softskill utama yang terpenting di masa depan agar bisa
bekerja secara tim. Keempat, mandiri, yaitu peserta didik
secara independen termotivasi meningkatkan kemampuan-
nya, bisa mencari pengetahuan serta termotivasi.
Kelima, bernalar kritis agar bisa memecahkan
masalah. Hal ini berhubungan dengan kemampuan kognitif.
Keenam, adalah kreatif, di mana peserta didik bisa
menciptakan hal baru, berinovasi secara mandiri, dan
mempunyai rasa cinta terhadap kesenian dan budaya.
"Sudah pasti pendidikan karakter akan menjadi salah
satu pilar inti," tegas Mendikbud. Project based learning
menjadi salah satu metode melatih jiwa gotong royong dan
kreativitas peserta didik. “Bukan hanya dengan membaca
materi lalu diuji, melainkan juga untuk menciptakan karya.
Oleh karena itu saya mempunyai motto, kalau kita ingin
melakukan transformasi pembelajaran di dalam suatu
ruang kelas maka harus banyak tanya, banyak coba, banyak
karya”.
C. Latihan
1. Kemukakan pendapat Anda mengenai perubahan PPKn
di Indonesia dari masa ke masa!
2. Kemukakan Pendapat Anda mengenai adanya Anekdot
“Ganti Menteri, Ganti Kurikulum”!
3. Analisislah perbedaan dan persamaan perubahan
PPKn!
4. Kemukakan keterhubungan mata kuliah Konsep Dasar
PPKn SD Kelas Rendah dengan profil pelajar Pancasila !
5. Jelaskan bagaimana mengimplementasikan Project
based learning dalam mata kuliah Konsep Dasar PPKn
SD Kelas Rendah!
D. Daftar Pustaka
Alhamuddin. (2014, October). Sejarah Perkembangan
Kurikukulum di Indonesia (Studi Analisis Kebijakan
Pengembangan Kurikulum). Nur El-Islam, 1(2), 48-58.

Arif Prasetyo Wibowo, M. W. (2017, October). memperkuat,


Pendidikan Kewarganegaraan: usaha konkret untuk
multikulturalisme di Indonesia. Jurnal Civics, 14(2),
196-205.

Heri Hidayat, H. M. (2020, May). Peranan Teknologi dan Media


Pembelajaran bagi Siswa Sekolah Sekolah Dasar di
dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 8(2), 1-
9.

Ismail, F. (1999). Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama,


WacanaKetegangan Kreatif Islam dan Pancasila.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Muhamad Fikri Zulfikar, D. A. (2021, April). Pentingnya


Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun
Karakter Bangsa. Jurnal PEKAN, 6(1), 104-115.

Muhammad Muqorrobin, M. N. (2018, June-December).


Kurikulum 2004/KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi). INTAJUNA: Jurnal Hasil Penelitian, 2(1),
1-18.

Muhammad Yamin, S. S. (2020, April). Pembangunan


Pendidikan Merdeka Belajar (Telaah Metode
Pembelajaran). JIME: Jurnal Ilmiah Mandala Education,
6(1), 126-136.

Muhammedi. (2016, January-June). Perubahan Kurikulum di


Indonesia: Studi Kritis tentang Upaya Menemukan
Kurikulum Pendidikan Islam yang Ideal. RAUDHAH,
IV(1), 49-70.

Raharjo. (2020, June). Analisis Perkembangan Kurikulum


PPKn: Dari Rentjana Pelajaran 1947 sampai dengan
Merdeka Belajar 2020. Jurna PKnl Progresif, 15(1), 63-
82.

Subkhan, I. (2014, December). GBHN dan Perubahan


Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Aspirasi:
Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 5(2), 131-144.
Winarno. (2012, dECEMBER). Membangun Kembali Tafsir atas
Pancasila: Dibalik Pencabutan Ketetapan MPR tentang
P4. JURNAL FORUM ILMU SOSIAL, 39(2), 184-196.

Winataputra, U. S. (2014). Diskursus Aktual Tentang Paradigma


Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Dalam Konteks
Kurikulum 2013. Yogyakarta: Bahan Diskusi dalam
Semnas PKn-AP3KnI.

Wuri Wuryandani, F. (2018). Pembejaran Pendidikan


Kewarganegaraan di Sekolah Dasar. Yogyakarta:
Ombak.

Anda mungkin juga menyukai