Anda di halaman 1dari 18

PKN SEBAGAI DISIPLIN ILMU

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Prasetyawan Aji Sugiharto, S.Pd., M.Pd.

Oleh:

Muhammad Arif Rahman B.2019003

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH BATANG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga makalah ini bisa terselesaikan untuk tugas
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan judul “ PKN Sebagai Disiplin
Ilmu ” tanpa ada suatu halangan yang berarti.
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan dengan judul ”PKN Sebagai Disiplin Ilmu” makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, maka dari itu masih perlu dikembangkan agar menjadi
lebih baik.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing
dalam penulisan makalah secara baik serta benar semoga setelah ini kami dapat
menerapkan pada makalah yang akan kami tulis ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta
sebagai penambah wawasan ilmu pengetahuan tentang materi yang kami tulis ini.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Batang, Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
PKN SEBAGAI DISIPLIN ILMU..........................................................................1

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

A. Latar Belakang............................................................................................4

B. Rumusan Masalah.......................................................................................5

C. Tujuan Masalah..........................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................6

A. Pendidikan Disiplin Ilmu Sosial.................................................................6

B. PKN Sebagai Tradisi dalam Social Studies..............................................7

C. Peta Konsep Pendidikan Kewarganegaraan..........................................11

BAB III PENUTUP...............................................................................................17

A. Simpulan....................................................................................................17

B. Saran..........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia menunjukkan betapa pendidikan
formal secara tradisional telah disiapkan melalui salah satu tugasnya yaitu
mempersiapkan warga negara yang sesuai dengan cita-cita nasional melalui
disiplin ilmu-ilmu sosial dalam kurikulum. Upaya itu nampak dari lahirnya
berbagai nama untuk pendidikan kewarganegaraan sejalan dengan
perkembangan dan pasang surutnya perjalanan politik bangsa Indonesia. Hal
ini ditunjukkan dengan lahirnya berbagai kebijakan di bidang pendidikan,
khususnya tentang pendidikan kewarganegaraan, sebagai tindak lanjut dari
Dekrit Presiden 1959 untuk kembali kepada UUD 1945, diantaranya dengan
instruksi pembaharuan buku-buku di perguruan tinggi.
Selama masa orde baru, kurikulum telah berubah beberapa kali, yang
berakibat berubahnya pula kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang
diawali dengan kurikulum 1962 ke kurikulum 1968, kemudian menjadi
kurikulum 1975, dan selanjutnya kurikulum tahun 1984 sebagai
penyempurnaan terhadap kurikulum 1975, terakhir kurikulum tahun 1994
sebagai kelanjutan kurikulum 1984. Kurikulum tahun 1994 ini kemudian
dilengkapi sehingga lahir kemudian kurikulum 1994 Edisi Revisi (Kurikulum
Suplemen 1994). Perubahan Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) yang
bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menjadi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) juga terjadi dalam era orde baru.
Keadaan masa lalu menunjukkan betapa rapuhnya suatu
pembangunan, termasuk pembinaan warganegara, yang hanya mengandalkan
faktor keamanan, ekonomi atau faktor teknologi belaka tanpa memikirkan
secara sungguhsungguh individu-individu warganegara sebagai sumber daya
manusia yang akan terlibat dalam keseluruhan sistem yang dibentuk dengan
berbagai pendekatan tersebut. Pendekatan-pendekatan yang dianut dalam
pembangunan bangsa dan warga negara masa lalu secara nyata telah
menunjukkan kegagalan-kegagalannya, terutama bagi kemajuan dan

4
5

perkembangan bangsa dalam masyarakat yang damai, saling menghargai,


memiliki sikap toleransi, demokratis, bertanggung jawab, berdisiplin dan
menghormati aturan-aturan hukum dan ketentuanketentuan yang berlaku.
Keadaan itu mendorong kita untuk memikirkan penataan kembali pendidikan
bagi warga negara Indonesia.
Berdasarkan penjelasan di atas pentingnya mempelajari tentang
pendidikan disiplin ilmu sosial, tradisi dalam studi sosial, serta mempelajari
peta konsep Pendidikan kewarganegaraan, maka dari itu pemakalah
menyajikan materi yang berjudul “ PKN sebagai disiplin ilmu” agar
menyiapkan warga negara yang disiplin terhadap segala peraturan yang
berlaku sehingga menjadi warga negara yang baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah di jelaskan maka dapat dibuat
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa maksud pendidikan disiplin ilmu sosial ?
2. Mengapa PKN sebagai tradisi dalam social studies ?
3. Bagaimana peta konsep pendidikan kewarganegaraan ?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dibuat tujuan masalah
sebagai berikut:
1. Mahasiswa mengerti dan mengetahui maksud pendidikan disiplin ilmu
sosial.
2. Mahasiswa mengerti dan mengetahui PKN sebagai tradisi dalam social
studies.
3. Mahasiswa mengerti dan mengetahui peta konsep pendidikan
kewarganegaraan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Disiplin Ilmu Sosial.
Istilah pendidikan disiplin ilmu merupakan istilah yang belum banyak
dikenal bahkan dirasakan asing bagi kalangan komunitas keilmuan dalam
disiplin tradisional. Di Indonesia, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh
Nu’man Somantri dalam berbagai karya tulis untuk merespon berbagai
tuntutan masyarakat akademik  dalam mengonstruksi sistem pendidikan bagi
pencapaian tujuan dan program pendidikan khususnya untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah (Somantri, 2001:19).
Pendidikan disiplin ilmu lahir sebagai suatu pemikiran untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan disiplin ilmu adalah suatu batang tubuh disiplin (baru) yang
menyeleksi konsep, generalisasi, dan teori dari struktur disiplin-disiplin ilmu
(universitas) dan Disiplin Ilmu Pendidikan yang diorganisasikan dan disajikan
secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. (Somantri, 2001: 28).
Apabila pendidikan disiplin ilmu ingin berkembang sebagaimana disiplin ilmu
tradisional sehingga menjadi normal science maka ia harus memenuhi syarat
sebagaimana ditentukan diatas, misalnya
a. Paradigma keilmuan yang disepakati bersama oleh komunitas keilmuan.
b. Komunitas keilmuan (a community of scholars).
c. Tradisi keilmuan yang disepakati dan dipraktikkan oleh anggota
komunitas keilmuan
Anggota komunitas pendidikan disiplin ilmu sebenarya mengemban
tugas yang tidak mudah. Karena kedudukan Pendidikan Disiplin Ilmu berada
dalam posisi middle studies atau synthetic discipline, diantara arsiran Disiplin
Ilmu Pendidikan, Disiplin Ilmu Pengetahuan, Dimensi Agama, Pancasila, dan
Pendidikan Umum terutama pengetahuan fungsional, dan kegiatan dasar
manusia (Somantri, 2001:21), maka tanggung jawab komunitaas keilmuan
antardisiplin lebih besar daripada komunitas keilmuan monodisiplin. Oleh

6
7

karena itu, perkembangan akademik Pendidikan Disiplin Ilmu dirasakan sangat


lambat, karena semangat ilmiah dari masyarakat ilmiahnya itu sendiri
dirasakan masih kurang (Somantri, 2001:7). Lemahnya semangat ini
mengakibatkan tingkat pemahaman dan persepsi di antara komunitas keilmuan
bervariasi bahkan tidak sedikit yang tidak paham apa pendidikan ilmu itu.
Secara Substantif, seperti diuraikan diatas, Pendidikan Disiplin Ilmu
sebagai middle studies sedikitnya berdiri tiga kaki, yakni Disiplin Ilmu
Pendidikan, Disiplin Ilmu Pengetahuan, dan Pengetahuan Fungsional.
B. PKN Sebagai Tradisi dalam Social Studies.
Wuryandani & Fathurrohman, 2012: 15-16 mengemukakan bahwa
pendidikan kewarganegaraan memiliki keterkaitan erat dengan pendidikan
nilai. Pendidikan nilai menyatukan perbagai permasalahan yang menyangkut
preferensi personal ke dalam satu kategori yang disebut nilai-nilai, yang
dibatasi sebagai petunjuk umum untuk perilaku yang memberi batasan
langsung pada kehidupan. PKn sebagai pusat pendidikan nilai bukanlah
sekedar mentransmisikan isi nilai tertentu kepada siswa atau mahasiswa, tetapi
dimaknai sebagai upaya mengembangkan proses penilaian dalam diri
seseorang, semacam suatu keyakinan untuk memperkaya siswa atau mahasiswa
dengan suatu yang lebih krusial dan fungsional (Ine Kusuma & Markum
Susatim, 2010: 43).
Pendidikan nilai sendiri ialah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh
manusia (orang dewasa) yang terencana untuk memberikan kesempatan kepada
peserta didik (generasi penerus), menanamkan nilai ke-Tuhanan, estetik, etika,
nilai baik buruk, benar salah mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban, akhlak
mulia, budi pekerti luhur agar mencapai kedewasaan yang bertanggung jawab.
(Nawawi, 2011: 123). Kajian konseptual-filosofis untuk memperkuat dan
mengembangkan struktur dan batang tubuh PKn sebagai tradisi pendidikan
disiplin ilmu sosial berarti pengembangan pada tataran landasan keilmuan.
Salah satu landasan ilmu pendidikan adalah landasan filosofis yang meliputi
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Selanjutnya pembelajaran PKn
(Pendidikan Kewarganegaraan) yang merupakan inti dari pendidikan ilmu
8

pengetahuan sosial (IPS) berdasarkan konsep awal (social studies) pada tataran
konseptual dan praktis oleh Barr dkk (1977-1978) dikelompokkan dalam tiga
tradisi pedagogis, yakni sebagai 1) proses transmisi pendidikan
kewarganegaraan (citizenship transmission), 2) pengembangan ilmu-ilmu
sosial (social science) dan 3) sebagai cara berpikir kritis melalui penemuan.
Tradisi citizenship transmission merupakan tradisi tertua dari pendidikan ilmu
pengetahuan sosial (IPS) yang isinya menekankan pada esensi mendapatkan
pengetahuan sebagai “self evident truth” atau kebenaran yang diyakini sendiri.
Karenanya tugas guru menurut tradisi ini adalah menyampaikan pengetahuan
yang telah diyakini kebenarannya itu dengan cara kelangsungan hidup
masyarakat yang diyakini dapat dipertahankan. Sedangkan tardisi social
science merupakan tradisi yang dimotori oleh para sejarahwan dan ahli-ahli
ilmu sosial dengan tujuan utama mengembangkan para siswa agar dapat
menguasai pengetahuan, ketrampilan dan metode dari disiplin ilmu-ilmu sosial
sebagai sarana untuk menjadi warga negara yang efektif. (Ine Kusuma &
Markum Susatim, 2010: 43- 44). Tiga Tradisi Social Studies (Barr, Barth, and
Shermis (1977) yaitu Social studies as citizenship transmission, Social studies
as social science, Social studies as reflective inquiry.
1. Sebagai Transmisi kewarnegaraan
Pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan
Negara/Studi Sosial. Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk
pendidikan IPS khusus. Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian
memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang memang dalam banyak
hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam
Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni:
a. Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan
Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadai
tradisi citizenship transmission.
b. Pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar.
9

c. Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS


sebagai konsep payung yang menaungi mata pelajaran Geografi,
sejarah, dan ekonomi koperasi.
d. Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah,
geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk
SPG Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam
kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan
penyempurnaan dari kurikulum 1975.
Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi
materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam masing-masing
disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila (P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasila. Sedang
konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan yang
mendasar. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan
kajian kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan.
Kemudian ketika ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum
1984, kedua bahan tersebut dilembagakan menjadi satu pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan
bidang pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship
transmission dengan muatan utama butir-butir nilai Pancasila yang
diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan “spiral of concept
development ala Taba dan expanding environment approach” dengan
bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila.
2. Sebagai Ilmu Sosial
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat
ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang
Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut Laporan
Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara
bertukar pakai yakni “pengetahuan sosial, studi sosial, dan Ilmu
10

Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah


social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan
interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah sosial itu dapat
dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan
memecahkan masalah sosila sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut
belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana
akademis yang muncul dalam seminar tersebut.
Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains.
Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap
sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan
IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar
Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan
melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan
mudah dapat diterima dengan sedikit komentar.
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia
persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi
karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam
Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi,
Noeman Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal
dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP
Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum tersebut.
Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan
Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu.
Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh
dari konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah
diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968.
3. Sebagai Reflektif Inquiry
Reflektif Inquiry adalah suatu tradisi pembelajaran yang mengajak
guru dan murid bekerja sama dalam mengidentifikasi atau memahami
11

masalah dalam pembelajaran. Menurut barr,dkk ada tiga fenomena yang


melatar belakangi reflektif inquiry yaitu:
a. Perubahan social yang cepat.
b. Kelompok yang bertentangan.
c. Ledakan ilmu pengetahuan itu menjadi cepat.
Alasan menjadi krisisnya dalam mengembangan pendidikan
dalam kurikulum terutama kurikulum social studies .dalam pembahasan
ini di butuhkan tradisi yang mampu mengembangkan program studi social
yang responsive terhadap masalah dan isu dalam zaman sekarang.
Tujuannya adalah kita dapat mengajarkan kepada siswa agar bisa
membuat keputusan yang baik, mengidentifikasi masalah dan membantu
berfikir kritis. isi dalam materinya adalah masalah-masalah yang di
rasakan oeh personal, masalah social, materi yang diminati yang di berikan
guru.metode yang digunakan adalah metode pemecahan masalah,ada pun
prosesnya yaitu:
a. Pengalaman(experience).
b. Kebimbangan dan ketidaktentuan.
c. Framing the problem.
d. Memformalasikan hipotesis.
e. generalization.
Inti dalam proses ini adalah diskusi dalam kelas yaitu siswa dapat
bertanya dan menjawab dalam diskusi tersebut yang bertujuan mencari
fakta.unit terpenting dalam reflektif inquiry adalah penilaian.
C. Peta Konsep Pendidikan Kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan memiliki beberapa point dalam
pembagiannya yang terdapat dalam peta konsep pendidikan kewarganegaraan
terdiri atas kompetensi, tujuan dan latar belakang, kemudian ada konsep dasar
dan urgensi serta landasan hukumnya hingga pada perkembangan materi pada
pendidikan kewarganegaraan berikut penjelasannya:
1. Peta Konsep Pendidikan Kewaganegaraan.
12

Pendidikan
Kewarganegarraan

Kompetensi- Konsep Landasan Perkembangan


tujuan-latar dasar& hukum materi
belakang urgensi

2. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaran.


Perjalanan panjang sejarah Bangsa Indonesia menimbulkan kondisi
dan tuntutan yang berbeda-beda sesuai dengan zamannya. Kondisi tersebut,
ditanggapi berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa yang
senantiasa tumbuh dan berkembang didasarkan jiwa, tekad dan semangat
kebangsaan semangat perjuangan bangsa. Semangat perjuangan bangsa
tersebut dilandasi oleh keimanan serta ketaqwaan kepada Tuhan YME, dan
keihlasan untuk berkorban nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia.

Semangat perjuangan bangsa merupakan kekuatan mental spiritual


yang dapat melahirkan sikap dan perilaku heroik dan patriotik serta
menumbuhkan kekuatan, kesanggupan, dan kemauan yang luar biasa. Serta
masih relevan dalam memecahkan setiap permasalahan dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai perjuangan Bangasa
Indonesia dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan harus
menjadi landasan sehingga tetap memiliki wawasan dan kesadaran
bernegara, sikap dan perilaku, dan mengutamakan persatuan serta kesatuan
bangsa.
3. Kompetensi Dasar Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Pembelajaran Pendidikan kewarganegaraan, kompetensi dasar atau
yang sering disebut kompetensi minimal yang akan ditransformasikan dan
distransmisikan pada peserta didik terdiri dari tiga jenis:
a. Kompetensi pengetahuan kewargaan (Civic knowledge): Kemampuan
dan kecakapan yang terkait dengan materi inti pendidikan kewargaan
13

(civic knowledge) yaitu demokrasi, hak azasi manusia dan masyarakat


madani.
b. Kompetensi sikap kewargaan (Civic dispositions): Kemampuan dan
kecakapan yang terkait dengan kesadaran dan komitmen warga Negara
antara lain komitmen akan kesetaraan gender, toleransi, kemajemukan
dan komitmen untuk peduli serta terlibat dalam penyelesaian persoalan-
persoalan warga Negara yang terkait dengan pelanggaran hak azasi
manusia.
c. Kompetensi ketrampilan kewargaan (Civic Skills): Kemampuan dan
kecakapan mengartikulasikan keterampilan kewargaan seperti
kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik,
kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara Negara dan
pemerintah.
Ketiga kompetensi tersebut merupakan tujuan pembelajaran
(learning Objectives) mata kuliah ini yang dielaborasikan melalui cara
pembelajaran yang demokratis, partisipatif, dan aktif (active learnings)
sebagai upaya transfer pembelajaran (transfer of learnings), nilai (transfer
of value) dan prinsip-prinsip (transfer of principles) demokrasi dan HAM
yang merupakan prasyarat utama tumbuh kembangnya masyarakat madani
(Civil society). Civic Education dimaksudkan agar memiliki wawasan
kesadaran bernegara untuk bela Negara dan memiliki pola pikir, pola sikap
dan perilaku sebagai pola tindak yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila
(Hakekat Civic Education).
4. Tujuan Pembelajaran dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education)
Civic Education adalah untuk menumbuhkan wawasan dan
kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan
bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara serta ketahanan
nasional dalam diri mahasiswa yang sedang mengkaji dan akan menguasai
iptek dan seni (Tujuan Civic Education) Civic Education bertujuan
membangun karakter bangsa Indonesia untuk:
14

a. Membentuk kecakapan partisipasif warga Negara yang bermutu dan


bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Menjadikan warga Negara Indonesia yang cerdas, aktif, kritis dan
demokratis namun tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan
integritas bangsa.
c. Mengembangkan kultur demokrasi yang berkeadaban yaitu kebebasan,
persamaan, toleransi dan tanggung jawab.
Edmonson (1958), Civic dijelaskan sebagai sebagai sebuah studi
tentang pemerintahan dan kewarganegaraan yang terkait dengan kewajiban,
hak dan hak-hak istimewa warga Negara. Civic merupakan komponen dari
ilmu politik yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Negara. Istilah
lain yang hampir sama maknanya dengan civic adalah citizenship.
Citizenship sebagaimana berhubungan dengan kegiatan-kegiatan sekolah
mempunyai dua pengertian: (salah satu) dalam arti luas citizenship hanya
mencakup status hukum dalam sebuah Negara dan kegiatan-kegiatan yang
erat berhubungan dengan pemilu, organisasi-organisasi pemerintah,
pemegang kekuasaan, dan hak legal serta tanggung jawab (Stanley E
Dimond).
Makna penting citizenship telah melahirkan gerakan warga Negara
(civic community) yang sadar akan pentingnya pendidikan
kewarganegaraan. Menyadari sangat pentingnya pendidikan
kewarganegaraan maka pemerintah telah memasukkan pendidikan
kewarganegaraan kedalam kurikulum pendidikan nasional, dimulai sekolah
dasar, dilanjutkan di sekolah menengah pertama kemudian sekolah
menengah atas. Ilmu pendidikan kewaganegaraan diperdalam kembali di
bangku pendidikan tingkat perguruan tinggi.
Kurikulum pendidikan nasional berperan penting dan terkait
dengan strategi kebudayaan. Pendidikan yang tidak tepat akan lahir
masyarakat egois. Tanpa penanaman nilai-nilai kewarganegaraan,
keragaman yang ada akan menjadi penjara dan neraka dalam artian menjadi
sumber konflik.
15

5. Landasan Hukum Pendidikan Kewarganegaraan.


a. UUD 1945.
1) Pembukaan UUD 1945, alinea kedua dan keempat (cita-cita, tujuan
dan aspirasi Bangsa Indonesia tentang kemerdekaanya).
2) Pasal 27 (1), kesamaan kedudukan Warganegara di dalam hukum dan
pemerintahan.
3) Pasal 27 (3), hak dan kewajiban Warganegara dalam upaya bela
negara.
4) Pasal 30 (1), hak dan kewajiban Warganegara dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara.
5) Pasal 31 (1), hak Warganegara mendapatkan Pendidikan.
b. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
c. Surat Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang
Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi.
6. Perkembangan Materi Pendidikan Kewarganegaraan.
a. Awal 1979, materi disusun oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti yang terdiri
dari Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, politik dan Strategi
Nasional, Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional,
sistem Hankamrata. Mata kuliah ini bernama Pendidikan Kewiraan.
b. Tahun 1985, diadakan penyempurnaan oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti,
terdiri atas pengantar yang bersisikan gambaran umum tentang bahan ajar
PK dan.interelasinya dengan bahan ajar mata kuliah lain, sedangkan
materi lainnya tetap ada.
c. Tahun 1995, nama mata kuliah berubah menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan yang bahan ajarnya disusun kembali oleh Lemhannas
dan Dirjen Dikti dengan materi pendahuluan, wawasan nusantara,
ketahanan nasional, politik strategi nasional, politik dan strategi
pertahanan dan keamanan nasional, sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta.
16

d. Tahun 2001, materi disusun oleh Lemhannas dengan materi pengantar


dengan tambahan materi demokrasi, HAM, lingkungan hidup, bela
negara, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi
nasional.
e. Tahun 2002, Kep. Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 materi berisi
pengantar sebagai kaitan dengan MKP, demokrasi, HAM, wawasan
nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah
memepelajari materi tentang PKN sebagai disiplin ilmu mahasiswa
mengetahui dan memahami segala bentuk materi yang telah disajikan mulai
dari pengertian disiplin illmu sosial hingga pada mengenal anggota komunitas
dalam disiplin ilmu, kemudian setelahnya yaitu memahami tradisi PKN apa
saja yang ada dalam social studies, ada tiga tradisi dalam social studies yaitu
pertama, IPS sebagai transmisi kewarganegaraan. kedua, IPS sebagai ilmu
sosial. ketiga, IPS sebagai reflektif inquiry. Ketiga komponen tradisi tersebut
bertujuan agar kita dapat mengajarkan kepada siswa agar bisa membuat
keputusan yang baik, mengidentifikasi masalah dan membantu berfikir kritis.
isi dalam materinya adalah masalah-masalah yang di rasakan oeh personal,
masalah social, materi yang diminati yang di berikan guru.metode yang
digunakan adalah metode pemecahan masalah.
Terakhir adalah mahasiswa mengetahui serta memahami peta konsep
Pendidikan kewarganegaraan yang meliputi kompetensi-tujuan dan latar
belakang, kemudian konsep dasar serta urgensinya Pendidikan
kewarganegaraan bagi setiap warga negara, selanjutnya megetahui landasan
hukum apa saja yang digunakan dalam Pendidikan kewarganegaraan salah
satunya yaitu UUD 1945 serta peraturan dalam Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 tahun 2003, dan yang terakhir adalah mengetahui tenteng
perkembangan materi pada Pendidikan kewarganegaraan dari masa ke masa.
B. Saran
Dengan begitu, sebagai calon pendidik seharusnya dapat
mengajarkan kepada peserta didik dengan lebih baik setelah membaca materi
tersebut. Sebagai calon pendidik harus paham serta mengetahui tentang PKN
sebagai disiplin ilmu yang nantinya akan digunakan dalam membentuk peserta
didik agar menjadi warga negara yang baik dan berguna bagi masyarakat serta
negara dan juga agama.

17
18

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Nawawi. 2011. Pentingnya Pendidikan Moral Bagi Generasi Penerus.
Insania. Vol 16. No 2. Tahun 2011.

Ine Kusuma & Markum Susatim. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis


Nilai. Bogor: Ghalia Indonesia.

Muh. Abror A., dkk. 2019. Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship) sebagai


Sarana Mewujudkan Warga Negara yang Beradab (Good Citizenship).
Surakarta: Seminar Nasional Pendidikan Pengembangan Kualitas
Pembelajaran Era Generasi Milenial. Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Rusnila. 2017. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Pontianak: IAIN


Pontianak Press.

Somantri, N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. D. Supriadi & R.


Mulyana (Eds.). Bandung: PPS-UPI dan Remaja Rosdakarya.

Suradi, L. 2019. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Nilai dan


Pendidikan Hukum dalam Mewujudkan Warga Negara yang Cerdas dan
Baik (Smart and Good Citizen). Kalimantan Utara: Supremasi: Jurnal
Pemikiran dan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Hukum, & Pengajarannya.

Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional.

Wuryandani & Fathurrohman. 2012. Pembelajaran Pendidikan


Kewarganegaraan di Sekolah Dasar. Yogyakarta: Ombak.

Anda mungkin juga menyukai