Anda di halaman 1dari 9

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN IPS

(SOCIAL STUDIES DEVELOPMENT)


Oleh:
Dr. H. Pargito, M.Pd

Pertama kali Social Studies dimasukkan secara resmi ke dalam kurikulum sekolah adalah
di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad
18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Alasan
dimasukannya social studies (IPS) ke dalam kurikulum sekolah karena berbagai ekses akibat
industrialisasi di berbagai negara di belahan dunia juga terjadi, di antaranya perubahan perilaku
manusia akibat berbagai kemajuan dan ketercukupan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang mendorong industrialisasi telah menjadikan bangsa semakin maju dan modern, tetapi juga
menimbulkan dampak perilaku sosial yang kompleks. Para ahli ilmu sosial dan pendidikan
mengantisipasi berbagai kemungkinan ekses negatif yang mungkin timbul di masyarakat akibat
dampak kemajuan tersebut. Sehingga untuk mengatasi berbagai masalah sosial di lingkungan
masyarakat tidak hanya dibutuhkan kemajuan ilmu dan pengetahuan secara disipliner, tetapi juga
dapat dilakukan melalui pendekatan program pendidikan formal di tingkat sekolah.
Program pendidikan antar disiplin (interdiscipline) di tingkat sekolah merupakan salah
satu pendekatan yang dianggap lebih efektif dalam rangka membentuk perilaku sosial siswa ke
arah yang diharapkan. Bahkan program pendidikan ini di samping sebagai bentuk internalisasi
dan transformasi pengetahuan juga dapat digunakan sebagai upaya mempersiapkan sumberdaya
manusia yang siap menghadapi berbagai tantangan dan problematika yang makin komplek di
masa datang.
Oleh karenanya latar belakang perlu dimasukkannya Social studies dalam kurikulum
sekolah di beberapa negara lain juga memiliki sejarah dan alasan yang berbeda-beda. Amerika
Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga
berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras di antaranya ras Indian yang
merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang
didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut. Pada
awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah
berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak
yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi
kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa
sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar
kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras
tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh
adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian
Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah
Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang
perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah
menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam
ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan
Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi
oleh keinginan para pakar pendidikan, khususnya pakar social studies. Hal ini disebabkan
mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi
warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2)
dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu kuliah atau
belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal
pelajaran social studies di sekolah dasar dan menengah.
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah
karena kebutuhan siswa sekolah, di mana kemampuan siswa sangat menentukan dalam
pemilihan program pendidikan lanjut dan pengorganisasian materi social studies. Agar materi
pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan
menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau
materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan
masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar
bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam
perjuangannya tentang eksistensi terdapat dalam ”The National Herbart Society papers of 1896-
1897” yang menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting the social sciences for
pedagogical use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/ mendidik).
Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS (social studies) ini
kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara bagian di Inggris dan Amerika untuk
mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah. Pengertian ini juga
dipakai sebagai dasar dalam dokumen ”Statement of the Chairman of Commitee on Social
studies” yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen
tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization of social sciences
data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data
ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka
beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di
tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk program
pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies. Kemudian
pada tahun 1921, berdirilah ”National Council for the Social Studies” (NCSS), sebuah
organisasi profesional yang secara khusus membina dan mengembangkan social studies pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial
dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic.
Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan
memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh
CSS sebelumnya. Sehingga baru setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya berbasis
intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya banyak naskah dan penelitian tentang social
studies, yang mengharapkan perlunya perhatian terhadap pendidikan anak tentang social studies,
dengan harapan dapat membantu anak didik menjadi warga negara yang baik. Pada pertemuan
pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS dengan menegaskan bahwa
“Social sciences as the core of the curriculum”(kurikulum IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial).
Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social
studies yang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi yang dikemukakan oleh
Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa “the social studies are the social
sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi ini menjadi lebih populer saat itu karena
kemudian dijadikan definisi “resmi” social studies oleh “the united states of education’s
standard terminology for curriculum and instruction” hingga NCSS mengeluarkan definisi resmi
yang membawa social studies sebagai kajian yang terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu yang
semakin luas. Sehingga pada tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai berikut:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote
civic competence. Within the school program,social studies provides coordinated,sistematic
study drawing upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography,
history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sosiology, as well as
appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary
purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and
reasoned decisions for the public good as citiziens of a culturally diverse,democratic society in
an interdependent world.
Memandang perlunya pendidikan IPS bagi setiap warga negara Apresiasi terhadap social
studies (pendidikan IPS) terus bertambah dari berbagai negara, terutama di Amerika, Inggris, dan
berbagai negara di Eropa, dan baru berkembang ke berbagai negara di Australia dan Asia
termasuk Indonesia.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia juga hampir sama dengan di beberapa negara lain, di antaranya situasi kacau dan
pertentangan politik bangsa, kondisi keragaman budaya bangsa (multikultur) yang sangat rentan
terjadinya konflik. Sehingga, sebagai akibat konflik dan situasi nasional bangsa yang tidak stabil,
terlebih adanya pemberontakan G30S/PKI dan berbagai masalah nasional lainnya di pandang
perlu memasukan program pendidikan sebagai propaganda dan penanaman nilai-nilai sosial
budaya masyarakat, berbangsa dan bernegara ke dalam kurikulum sekolah.
Oleh karenanya, dalam beberapa pertemuan ilmiah dibahas Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan
Sosial) sebagai program pendidikan tingkat sekolah di Indonesia, dan pertama kali muncul dalam
Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah.
Dalam laporan seminar tersebut, muncul 3 istilah dan digunakan secara bertukar pakai, yaitu :
1. Pengetahuan Sosial
2. Studi Sosial
3. Ilmu Pengetahuan Sosial
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahan di Indonesia pada tahun
1972-1973 yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PSSP)
IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang
masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi saja,
maka dilakukan reduksi mata pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa mata pelajaran ilmu
sosial yang serumpun digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu, pemberlakuan
istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 tersebut, dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS
secara resmi di Indonesia.
Sejak pemerintahan Orde Baru keadaan tenang, pemerintah melancarkan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional
di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima
masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan
pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi
kepentingan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor pendidikan oleh pemerintah menjadi
prioritas. Program pembangunan pendidikan bidang sosial semakin ditingkatkan untuk mengatasi
dan menanamkan kewarganegaraan serta cinta tanah air Indonesia. Upaya memasukan materi
ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia disajikan dalam mata
pelajaran dan bidang studi/ jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara resmi pada
kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada
pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, bertujuan bahwa pendidikan ditekankan
pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi
pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta
mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kurikulum pendidikan 1975 menggunakan
pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut :
1. Berorientasi pada tujuan
2. Menganut pendekatan integratif
3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
5. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon dan
latihan.
Konsep pendidikan IPS tersebut lalu memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975 yang
menampilkan empat profil, yaitu :
1. Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara sebagai bentuk
pendidikan IPS khusus.
2. Pendidikan IPS terpadu untuk SD
3. Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep
peyung untuk sejarah, geografi dan ekonomi koperasi.
4. Pendidikan IPS terisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi dan
geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi dan
sejarah) untuk SMEA /SMK..
Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984 yang
secara konseptual merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 khususnya dalam aktualisasi
materi, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai materi
pokok PMP. DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang wajib
diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam :
1. Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I-VI.
2. Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah
dan ekonomi koperasi.
3. Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah
Umum di kelas I-II; Ekonomi dan Geografi di kelas I-II; Sejarah Budaya di kelas
III program IPS.
Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam
rangkaian pertemuan ilmiah, yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung tahun 1989, Forum
Komunikasi Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang
tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi yang selalu
menjadi agenda pembahasan ialah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan Ujung Pandang, M.
Numan Soemantri, pakar dan ketua HISPISI menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana
dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta, yaitu :
a. Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. PIPS adalah penyederhanaan,
adaptasi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang
duorganisir dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan
pendidikan.
b. Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP. PIPS adalah seleksi dari disiplin Ilmu-
ilmu Sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan
secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP,
STKIP),direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi Pendidikan
Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial, seperti pendidikan Geografi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan
Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi, Pendidikan Sejarah dsb).
Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang
memiliki komitmen terhadap social studies atau pendidikan IPS sebagai program pendidikan di
tingkat sekolah, maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum
sekolah lebih jelas lagi. Namun karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial diajarkan di
tingkat sekolah, maka kurikulum ilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau interdisipliner
ke dalam kurikulum IPS (social studies). Jadi untuk program pendidikan ilmu-ilmu sosial di
tingkat pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai di ajarkan. Program pendidikan dasar
di SD dan SMP penyajiannya secara terpadu penuh, sementara itu untuk pembelajaran IPS di
tingkat SMA/MA dan SMEA penyajiannya bisa dilakukan secara terpisah antar cabang ilmu-
ilmu sosial, tetapi tetap memperhatikan keterhubungannya antara ilmu sosial yang satu dengan
ilmu sosial lainnya, terutama dalam rumpun jurusan IPS di SMA dan juga di SMEA. Sementara
itu, pada tingkat perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial disajikan secara terpisah atau
fakultatif, seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun untuk pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang
mempersiapkan calon guru atau mendidik calon guru di tingkat sekolah, maka pendidikan IPS di
berikan secara interdisipliner dan juga secara disipliner. Secara interdisipliner karena ilmu yang
diperoleh nantinya untuk program pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipliner
karena sebagai guru juga harus menguasai ilmu yang diajarkan.
Bertitik tolak dari pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan IPS, dapat
diidentifikasi sekolah objek telaah dari sistem pendidikan IPS, yaitu :
1. Karakteristik potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP dan SMU.
2. Karakteristik potensi dan perilaku belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau JPIPS-
STKIP/FKIP.
3. Kurikulum dan bahan belajar IPS SD, SLTP dan SMU.
4. Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan.
5. Teori, prinsip, strategi, media serta evaluasi pembelajaran IPS.
6. Masalah-masalah sosial, ilmu pengetahuan dan teknilogi yang berdampak sosial.
7. Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai ajaran 1994-1995 merupakan
pembenahan atas pelaksanaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan
dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta seni, kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi, dan evaluasi
pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan nampak saat
diadakannya serangkaian Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari
tahun 1986 sampai 1989.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1)
perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang
pendidikan, 2) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun
menjadi sembilan tahun, dan 3) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi
program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Di samping
itu, khusus dalam kurikulum SD, IPS pernah diusulkan digabung dengan Pendidikan
kewarganegaraan yaitu menjadi pendidikan kewrganegaraan dan pengetahuan sosial (PKnPS),
namun akhirnya kurikulum disempurnakan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) tahun 2006, antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai
masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan pendidikan nasional dan politik bangsa
yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara IPS dan PKn meskipun tujuan
dan kajiannya adalah sama yaitu membentuk warganegara yang baik, maka PKn tetap diajarkan
sebagai mata pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS. Jadi wajarlah kalau mata pelajaran
PKn hanya ada di Indonesia, sementara di negara lain disebut Civic education . IPS (social
studies) dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan di Indonesia terus melakukan beberapa
tinjauan dan kritik terutama untuk perbaikan IPS sebagai program pendidikan ilmu sosial di
tingkat sekolah melalui seminar dan lokakarya serta pertemuan ilmiah bidang IPS lainnya,
terutama oleh kelompok pakar HISPISI (Himpunan sarjana pendidikan ilmu sosial Indonesia)
dalam kongresnya di beberapa tempat di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai