Anda di halaman 1dari 9

PEDAGOGI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Oleh
NURFAIZAH.APffg

Pendahuluan
Pedagogik PKn akan membahas tentang pendekatan, metode, dan penilaian PKn, khususnya
dalam sistem pendidikan yang bertaker di Indonesia. Pembahasan tentang pendekatan, strategi,
dan metode pembelajaran PKn akan difokuskan pada pendekatan transisional dan modern.
Sedangkan masalah penilaian PKn akan difokuskan pada sistem penilaian yang diatur oleh
permendiknas tentang standar nasional penilaian kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan
Kepribadian yang berlaku saat ini.
A. Pendekatan PKn
Inovasi pembelajaran PKn dalam komponen pendekatan harus selalu dilakukan oleh
semua praktisi pendidikan khususnya guru. Salah satu tindakan inovasi itu adalah pergeseran
dalam penerapan pendekatan pembelajaran PKn dari pendekatan yang berorientasi pada tujuan
dan isi (content based curriculum) ke arah yang lebih menekankan pada proses (process based
curriculum) bahkan sekarang telah bergeser pada inovasi yang lebih terkini, yakni pendekatan
yang berorientasi pada kompetensi (competency based curriculum). Gagasan ini dimaksudkan
agar melalui pendidikan kewarganegaraan dapat terbentuk warga negara yang lebih mandiri
dalam memahami dan mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi serta mengambil
keputusan-keputusan yang terbaik bagi dirinya, lingkungan serta masyarakatnya.
Kemampuan ini telah dirangkum menjadi tiga sasaran pembelajaran PKn yang dikenal
pula sebagai orientasi tujuan pembelajaran PKn untuk pembentukan warga negara yang
demokratis, ialah membentuk warga negara yang baik dan cerdas (good and smart citizen),
partisipatif (participative citizen), dan bertanggung jawab (responsible citizen). Penekanan pada
proses dan kompetensi akan lebih menjanjikan keberhasilan daripada yang menekankan pada
hasil. Oleh karena itu, keterampilan bagi warga negara dalam membuat atau mengambil
keputusan perlu dilatihkan secara terus menerus agar warga negara memiliki keterampilan
dalam mengembangkan berbagai alternative untuk sampai pada pembuatan keputusan yang
tepat. Untuk itu pendekatan-pendekatan yang bersifat desentralisasi atau pemberian hak
kewenangan kepada guru dalam kerangka otonomi pendidikan sangat baik bagi sekolah sebagai
satuan pendidikan maupun individu guru. Hal ini sudah seharusnya dilaksanakan, dalam semua
mata pelajaran dan secara khusus dalam pendidikan kewarganegaraan. Kondisi semacam itu,
harus pula diciprakan di lingkungan masyarakat sehingga tidak terjadi kesenjangan penerapan
nilai-nilai dan moral antara apa yang disampaikan di sekolah dengan apa yang terjadi dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat sebagaimana terjadi dewasa ini. Penekanan perubahan
sebagaimana dikemukakan tersebut, terutama menyangkut pendekatan dalam pembelajaran PKn
pada skala mikro maupun pendekatan PKn dalam arti yang lebih luas.
Langkah nyata lainnya adalah menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan
warga negara mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya yang diwujudkan dalam
interaksi edukatif di dalam kelas dengan suasana dialogis yang konstruktif. Suasana dialogis
hanya mungkin diwujudkan melalui upaya keterbukaan dan kebebasan yang menjadi ciri utama
dari era globalisasi dan informasi yang dihadapi oleh setiap bangsa dan bahkan warga negara.
Suasana itu juga harus dapat memberi kemungkinan interaktif dan reflektif antara guru dan
siswa.
Dengan orientasi tujuan dan pendekatan seperti tersebut, maka sudah selayaknya apabila
pendekatan yang digunakan dalam proses pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas beralih
orientasi dari faculty psychology kepada field psychology. Aliran faculty psychology, yang telah
berkembang sejak akhir abad ke-19, berpendapat bahwa pembentukan warga negara yang baik
dapat ditempuh dengan cara melatih siswa berpikir melalui menghafal, mengarahkan, dna
menasihati secara teratur dengan isi pesan yang baik. Aliran ini telah berkembang di Amerika
Serikat sekitar awal abad ke-20 yang selanjutnya mendapat kritik dari para ahli lain yang tidak
setuju apabila membelajarkan Civics/Civic Education hanya dengan menasihati, menghafal, dan
mengarahkan tanpa ada kesempatan dialog secara interaktif dan kreatif antara siswa dan guru
atau antara siswa dengan siswa.
Pihak yang mengkritik terhadap aliran faculty psychology ini muncul pada tahun 1930an
yang menamakan dirinya sebagai aliran field psychology. Aliran yang terakhir ini berpendapat
bahwa pembentukan warga negara yang baik tidak cukup hanya dengan memberi nasihat,
menghafal, dan mengarahkan apalagi dengan cara-cara indoktrinatif sehingga tidak ada
kesempatan bagi siswa untuk berdialog. Menurut aliran ini pembelajaran untuk membentuk
warga negara yang baik seyogianya dilakukan secara demokratis, interaktif, sehingga tidak
terjadi perasaan tertekan atau keterpaksaan pada diri siswa dalam proses internalisasi dan
personalisasi nilai-nilai ke dalam diri siswa. Proses pembelajaran nilai umumnya melalui proses
pembelajaran dengan melakukan sesuatu, mengalami sesuatu, bahkan mencoba sesuatu.
Pendekatan field psychology yang sejalan dengan filsafat pendidikan John Dewey karena
menekankan pada pembelajaran yang mendorong siswa dalam proses konseptualisasi dan
kemampuan pemecahan masalah (Hunt dan Metcalf, 1955) mulai mempengaruhi pembelajaran
Civics. Pendekatan ini dinilai relevan dengan prinsip pembelajaran PKn mengingat ciriyang
menonjol pada pengembangan nilai-nilai demokratis, egaliter, interaktif, dan partisipatif. Numan
Somantri (2001) mengemukakan kontribusi dari aliran field psychology terhadap pengembangan
pembelajaran PKn terutama dalam orientasinya: (1) mendorong partisipasi siswa secara aktif (2)
memiliki sifat inkuiri, dan (3) mendorong siswa untuk memecahkan masalah.
Hingga saat ini, pendekatan dari aliran field psychology lebih banyak dianjurkan untuk
diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas PKn karena banyak mendukung untuk
pencapaian tujuan PKn. Namun, dalam kenyataannya aliran faculty psychology sudah lebih dulu
dipraktikkan bahkan lebih mengakar sehingga guru-guru lebih terbiasa dengan pendekatan ini.
Pada umumnya, guru-guru lebih banyak mengajar di kelas dengan pendekatan ekspositori
daripada inkuiri.
Pendekatan pembelajaran PKn seyogianya sejalan dengan tujuan PKn yakni membangun
siswa sebagai warga negara yang baik dan cerdas secara intelektual, emosional, sosial, spiritual,
mau bertanggung jawab, dan mampu berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Turner dkk (1990) mengidentifikasi pendekatan pembelajaran PKn sebagai
berikut: audiovisual materials, case studies, community resource persons, cooperative learning,
debates polls, interviews, dan surveys, mock trials, role plays and simulations writing letters to
public officials.
1. Pendekatan sumber belajar audiovisual
Bahan-bahan materi pembelajaran berupa audiovisual meliputi berbagai ragam film,
filmstrips, videotape, slide, video camera, cassette recording, compact disk, DVD dan lain-lain.
Saat ini, bahan-bahan audiovisual sudah banyak yang diproduksi baik oleh suatu perusahaan,
instansi pemerintah, maupun pribadi. Dengan perkembangan teknologi kamera, para guru dapat
menggambarkan sendiri sumber pembelajaran audiovisual untuk PKn dengan cara merekam
berbagai peristiwa politik, hukum, dan kewarganegaraan yang penting untuk pembelajaran di
kelas.
Bahan materi audiovisual merupakan pendekatan yang menarik dan efisien dalam
menyampaikan informasi. Presentasi menggunakan audiovisual dapat menyederhanakan
gagasan atau informasi yang abstrak menjadi konkret/nyata sehingga mudah diserap oleh siswa.
Materi audio visual juga merupakan pendekatan yang memfokuskan pada topik atau konsep
tertentu untuk mendukung keterampilan siswa dalam melakukan observasi dan menganalisis
suatu masalah. Dengan pendekatan pembelajaran audiovisual yang diselenggarakan oleh guru,
maka siswa yang merasa kesulitan membaca buku teks dapat terbantu.
2. Pendekatan Studi Kasus
Pendekatan studi kasus merupakan pendekatan yang menyajikan kejadian situasi konflik atau
dilemma. Siswa menganalisis masalah berdasarkan fakta kasus untuk menghasilkan keputusan
menurut langkah-langkah secara bertahap serta mempertimbangkan konsekuensi dari keputusan
yang diambil tersebut.
Studi kasus mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan, menetapkan komponen-
komponen yang dianggap penting dalam situasi, menganalisis, menyimpulkan, dan
membandingkan serta mempertentangkan komponen-komponen tersebut, dan membuat
penilaian terhadap kasus tersebut. Singkatnya siswa melaksanakan semua jenjang berpikir dari
tingkatan yang paling sederhana (recall) hingga tingkatan yang paling tinggi (evaluation).
3. Pendekatan nara sumber masyarakat
Setiap komunitas masyarakat memiliki nara sumber yang dapat dihadirkan di kelas untuk
berbagi pengetahuan/informasi yang terkait dengan politik, ekonomi, hukum, atau masalah-
masalah internasional. Nara sumber yang dapat dihadirkan di kelas adalah juru kampanye, calon
pemimpin, pejabat yang bekerja pada intitusi pemerintahan, polisi, guru besar ilmu politik atau
ekonomi, pimpinan perusahaan, dan lain-lain.
Nara sumber biasanya adalah orang yang berpengetahuan dan memiliki pandangan luas
yang akan memperkaya mata pelajaran. Oleh karena itu, untuk menambah pengetahuan politik,
misalnya, seseorang tidak selalu harus membaca buku. Mengundang ahli politik ke kelas akan
lebih menarik bagi siswa untuk meningkatkan kompetensi tentang politik. Dengan menambah
pengetahuan melalui narasumber, pendekatan ini akan membantu siswa untuk mengaitkan
politik secara teoritis dengan kehidupan nyata dan sekaligus mengenal bagaimana mesin politik
itu bekerja di masyarakat.
4. Pendekatan Cooperative Learning
Pendekatan cooperativelearning dimaksudkan untuk mendorong siswa bekerja sama dalam
sebuah tim sesuai dengan tujuan yang telah disepakati. Setiap anggota kelompok atau tim diberi
tugas khusus yang harus diselesaikan. Siswa dijanjikan akan diberikan hadiah seperti nilai (poin
tambahan bila mau dan mampu membantu anggota lain dalam menyelesaikan pekerjaan tim,
bukan pekerjaan individual meskipun ada pula nilai khusus untuk individu.
Pendekatan cooperativelearningmendorong siswa agar terlibat dalam belajar mandiri.
Bekerja dalam kelompok memberi kesempatan siswa utnuk belajar dalam kemampuan
akademik sekaligus sosial (academic and social skill). Dengan belajar dalam kelompok
diharapkan siswa akan memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, mau mendengar pendapat
orang lain, mampu menyelesaikan konflik, dan mampu menjelaskan masalah serta solusinya.
Keterampilan sosial (social skills) dimaksudkan pula untuk melatih siswa mau mendengarkan
gagasan anggota lain dalam kelompok, berkompromi, bekerja sama dalam mencapai tujuan
bersama, dan mengembangkan rasa tanggung jawab terhadap sikap dan perbuatan yang pernah
dilakukannya.
5. Pendekatan Debat
Debat merupakan cara pengungkapan atau pembahasan atau pertukaran pendapat mengenai
sesuatu hal dengan saling memberi argument untuk mempertahankan argument masing-masing
yang telah berlangsung selama berabad-abad. Sebagai pendekatan pembelajaran, debat
merupakan cara klasik bagi guru untuk mendorong siswa agar memiliki kemampuan
berargumen sesuai dengan posisinya. Peserta debat dalam proses pembelajaran di kelas dapat
memmilih posisi dan topik debat. Tujuan peserta debat adalah untuk meyakinkan lawannya
bahwa posisi dirinya yang benar atau yang paling meyakinkan. Oleh karena itu, seorang
pendebat berupaya mengembangkan argumen-argumen dan penyataan sesuai posisinya dengan
melawan argument-argumen dari lawan baik secara perseorangan maupun tim kelompok.
Pendekatan pembelajaran debat memberi kesempatan kepada siswa untuk meneliti dan
mengaktualisasikan argument secara jelas dan logis agar tercapai simpulan yang rasional. Debat
yang baik memerlukan kemampuan dan pengetahuan yang luas, hasil kajian reflektif, berpikir
kritis, dan kemampuan komunikasi yang baik. Para siswa yang tidak terlibat langsung dalam
proses debat masih dapat berpartisipasi dalam proses belajar seperti mendengarkan informasi
(mungkin) baru/actual, menilai argument-argumen yang dikemukakan peserta debat, menilai
kualitas penyajiannya, dan membuat keputusan atau simpulan alternatif.
6. Pendekatan pemungutan suara, wawancara dan survei
Pemungutan suara, wawancara, dan survei merupakan pendekatan pembelajaran yang
mendorong siswa untuk mengumpulkan data primer dan informasi dari tangan pertama
(firsthand) tentang pandangan atau pendapat kelompok masyarakat. Kegiatan pembelajaran ini
sangat efektif untuk mengeksplorasi ranah perasaan (afektif) tentang isu atau tentang peran
seseorang dalam proses politik. Sebagai strategi pembelajaran, pemungutan suara, wawancara,
dan survei merupakan cara yang bermanfaat untuk mengumpulkan data faktual tentang bidang
kajian tertentu.
Menerapkan pendekatan pemungutan suara, wawancara, dan survei memberi kesempatan
kepada siswa untuk mepraktikkan sejumlah keterampilan berpikir kritis. Mampu mengajukan
pertanyaan merupakan suatu keterampilan bagi siswa dalam berkomunikasi, mengumpulkan
informasi, dan menilai data. Selain itu, pendekatan ini dapat melatih para siswa untuk
menumbuhkan kesadarannya terhadap lingkungan hidup. Melalui kegiatan berinteraksi dengan
teman, tetangga, dan anggota masyarakat lain, siswa dapat belajar banyak tentang bagaimana
warga negara berpikir dan untuk mengetahui apakah mereka mengetahui pemerintah, politik,
hukum, ekonomi, dan sistem kehidupan internasional.
7. Pendekatan pengadilan tiruan (mock trials)
Pendekatan pengadilan tiruan sebenarnya merupakan simulasi proses peradilan yang diperankan
oleh siswa. Melalui langkah-langkah yang harus ditempuh dalam proses peradilan yang dimulai
oleh proses penuntutan oleh jaksa, proses pembelaan oleh pengacara dan pembuktian dengan
alat bukti serta mendatangkan dan mendengarkan keterangan saksi sampai proses pengambilan
keputusan oleh hakim. Isu atau kasus pelanggaran hukum yang dibahas dapat dipilih dari
peristiwa nyata atau rekaan.
Pendekatan pengadilan tiruan merupakan pendekatan yang bermanfaat karena dapat
membantu siswa mengembangkan pertanyaan, pengambilan keputusan, berpikir kritis, dan
keterampilan berkomunikasi dengan benar. Dengan pendekatan ini pun para siswa akan
memperoleh pengetahuan tentang hukum dan pengalaman langsung tentang proses pendidikan,
terutama peran dari masing-masing perangkat pengadilan seperti peran jaksa, pengacara, hakim,
panitera bahkan terdakwa.
8. Pendekatan bermain peran dan simulasi
Bermain peran merupakan pendekatan yang memfasilitasi siswa beperan melakukan perbuatan
atau perilaku orang yang dipersepsikan orang lain itu berbicara dan melakukan sesuai dengan
peran dan situasinya. Esensi bermain adalah orang yang memiliki keyakinan dan bagaimana
mereka menjawab. Misalnya, seorang siswa mungkin memerankan tindakan yang dilakukan
oleh seorang Presiden atau Menteri atau para pahlawan. Oleh karena itu, bermain peran
merupakan cara yang sangat bermanfaat untuk mengeksplorasi perilaku politik karena mereka
membantu siswa memahami pentingnya individu dalam proses politik.
Simulasi termasuk bermain peran tetapi situasinya terstruktur sehingga lebih mendekati
kejadian yang sebenarnya. Para siswa dapat mensimulasikan tentang kegiatan rapat di badan
legislative, proses dengar pendapat, rapat komisi, atau interaksi di lingkungan birokrasi.
9. Pendekatan menulis surat kepada pejabat publik
Menulis surat kepada pejabat public merupakan salah satu cara dalam partisipasi politik. Surat
untuk pimpinan pemerintahan banyak menyerupai surat bisnis. Aturan penulisan surat tentu
perlu diterapkan. Surat yang tertulis seyogianya berisi pesan yang dapat dipertanggung
jawabkan misalnya hasil penelitian, dikembangkan secara logis, dan ditulis secara jelas.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi perwakilan, para siswa harus berpartisipasi dalam
proses politik sebanyak mungkin. Berkomunikasi dengan pejabat politik melalui surat
merupakan cara bagi siswa untuk mengungkapkan pendapatnya tentang berbagai isu,
sebaliknya, aktivitas ini membantu pejabat publik menjaga hubungan dengan konstituennya dan
melaksanakan kewajiban sebagai wakil rakyat. Partisipasi dalam sistem pemerintahan
demokrasi hendaknya dapat membantu siswa untuk percaya diri. Oleh karena itu, para siswa
diberi latihan praktik mengembangkan keterampilan yang terkait dengan cara menganalisis
berbagai isu, membangun opini, dan mengkomunikasikan gagasan dalam bentuk tulisan.
B. Strategi dan metode pembelajaran PKn
Bidang pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran istilah strategi seringkali
diterapkan secara tumpeng tindih (overlapping) dengan istilah pendekatan, metode, dan teknik.
Namun hakikat strategi dalam pembelajaran tidak jauh berbeda dari pengertian yang digunakan
dalam bidang sepak bola dan militer, yakni sebagai upaya untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Untuk mencapai tujuan pembelajaran guru berupaya membuat perencanaan sebaik-
baiknya, melaksanakan pembelajaran, dan menilai hasil belajar untuk mengetahui apakah tujuan
yang telah dirancanakan tersebut telah tercapai. Penyusunan strategi pembelajaran yang baik
tentu saja harus dimulai dari proses pengumpulan dan analisis data/informasi tentang berbagai
faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran siswa. Analisis untuk menyusun strategi
tersebut disebut analisis situasi.
Analisis situasi biasanya dilakukan sebelum proses pengembangan kurikuluum. Artinya,
selama proses pengembangan kurikulum, guru dituntut agar menyadari dan mempertimbangkan
tentang situasi yang sedang terjadi atau berubah di sekitarnya. Laurie Brady (1990) menegaskan
bahwa analisis situasi diperlukan untuk menentukan efektivitas penerapan kurikulum yang baru.
Guru seyogianya dapat menangkap berbagai isu yang berkembang di masyarakat untuk
dijadikan sebagai pengalaman belajar siswa. Guru haruslah dapat mengkaji situasi belajar,
meliputi faktor-faktor seperti: latar belakang pengalaman siswa, sikap dan kemampuan guru,
iklim sekolah, sumber belajar dan hambatan-hambatan eksternal. Dengan demikian,
pengembangan kurikulum diawali dengan melakukan kajian situasi sekolah. Karena setiap
sekolah memiliki karakteristik yang berbeda, maka analisis situasi pada satu sekolah tidak dapat
ditransfer kepada sekolah lain.
Analisis situasi biasanya dilakukan oleh guru pada saat guru merumuskan dan
menetapkan tujuan pengajaran. Cara yang dilakukan antara lain melalui diagnosis kelemahan-
kelemahan siswa maupun prestasi yang telah dicapainya, apakah kebutuhan siswa pada saat kini
maupun masa depan, hal-hal apakah yang dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah
kehidupannya. Mengapa banyak orang (mahasiswa) melakukan demonstrasi di depan gedung
DPR RI, Gedung Kejaksaan RI, Gedung Kedutaan, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa seperti
inilah yang dapat diangkat, dianalisis, dan dimasukkan oleh guru menjadi bahan perencanaan
program pembelajaran PKn.
Sockett (1975) memberikan saran-saran dengan menekankan pentingnya analisis situasi
dalam pengembangan kurikulum, sebagai berikut:
1. Guru seyogianya melakukan suatu transaksi dengan siswa tentang apa yang akan
dilakukan dalam proses belajar mengajar.
2. Guru hendaknya secara terus menerus mengevaluasi dan mempertahankan suasana
belajar di kelas.
3. Guru hendaknya mendekatkan proses belajar kea rah situasi nyata dan kemungkinan
perubahan situasi tersebut.
Dari saran-saran yang dikemukakan oleh Sockett tersebut, jelaslah bahwa guru dituntut
untuk selalui menyesuaikan program pembelajarannya dengan situasi yang terjadi di sekitar
siswa atau kehidupan sekolah.
Situasi apakah yang harus selalu diperhatikan oleh guru selama mendesain pembelajaran?
Skillbeck (1994) membagi faktor yang dapat menggambarkan situasi sebagai bahan analisis guru
atas dua bagian, ialah faktor eksternal (externalfactors) dan faktor internal (internalfactors).
Faktor-faktor eksternal dan internal menurut Skillbeck adalah berikut ini.
Faktor-faktor eksternal meliputi:
1. Perubahan sosial-budaya dan harapan masyarakat
2. Tuntutan dan tantangan sistem pendidikan
3. Perubahan mata pelajaran yang akan diajarkan
4. Kontribusi dari dukungan guru
5. Sumber masukan bagi sekolah
Faktor-Faktor internal meliputi:
1. Siswa: bakat, kecakapan, dan kebutuhannya
2. Guru: nilai, sikap, keterampilan mengajar, pengetahuan, pengamatan, kekuatan dan
kelemahan khusus, dan peran
3. Etos sekolah dan struktur politik
4. Sumber-sumber bahan pembelajaran
5. Masalah-masalah dan kekurangna-kekurangan yang dirasakan dalam kurikulum yang
berlaku
Namun perlu diingat bahwa dua faktor bahan analisis situasi tersebut memiliki kaitan
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam kehidupan. Dua faktor ini saling mengisi,
saling berpengaruh dan saling menentukan keberhasilan guru mengajar dan siswa belajar.
Dengan kata lain, tugas guru yang cukup strategis bagi keberhasilan mengelola proses
pembelajaran akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mempertimbangkan,
meramu, mengemas, merancang atau mendesain faktor-faktor tersebut dalam kurikulum yang
berlaku.
Strategi pembelajaran PKn yang perlu dikembangkan sesuai dengan pembelajaran
fieldpsychology adalah strategi pembelajaran kontinum (teachingcontinuum) atau pembelajaran
yang mengkombinasikan antara sudut ekstrem inkuiri dan sudut ekstrem ekspositori yang oleh
Wetton dan Malan (1987) dikenal pula dengan sebutan mixed instruction. Menurut para ahli,
pendekatan inkuiri adalah salah satu cara untuk mengatasi masalah kebosanan siswa dalam
belajar di kelas karena proses belajar lebih terpusat pada kebutuhan siswa (student centered
instruction) daripada terhadap kebutuhan guru (teacher centered instruction). Dengan demikian,
pembelajaran lebih bersifat humanis karena memperhatikan aspek-aspek sifat manusia yang pada
hakekatnya sejak lahir sudah memiliki potensi untuk berkembang. Welton dan malan (1987)
menggambarakan suatu model strategi belajar mengajar sebagai berikut.
Teacher-centered Student-centered
Mixed

Exposition Problem solving/Inquiry


(Welton &Mallan, 1989:244)

Apa Metode Pembelajaran PKn Itu?


Secara teoritis, pembaharuan model belajar telah digagas oleh filsuf pendidikan John Dewey
menjelang abad ke-20. Dalam bukunya “My Pedagogic Creed” yang diterbitkan pad atahun
1897, John Dewey mendeklarasikan “I believe that the question of method is ultimately
reducible to the question of the order of development of the child’s powers and interests”.
Deklarasi ini menunjukkan bahwa metode dapat menjadi solusi dalam mengatasi masalah
kekuatan dan daya tarik anak dalam belajar.
Memperhatikan karakteristik dantujuan PKn, maka metode pembelajaran PKn perlu
mengakomodasi pemikiran John Dewey tentang langkah-langkah berpikir ilmiah sebagai
berikut:
1. Afeeling of perplexity
2. The definition of the problem
3. Suggesting and testing hypothesis
4. Development of the solution, by reasoning
5. Testing of the connclusion followed by reconsideration if necessary
Langkah berpikir ilmiah tersebut telah banyak dimodifikasi oleh para ahli, Bankjs (1990)
menamakan langkah berpikir ini menjadi metode inkuiri sosial. Metode inkuimemperkenalkan
konsep-konsep untuk para siswa secara induktif yang memulai proses berpikir dari hal-hal yang
khusus ke arah hal-hal yang bersifat umum memperkenalkn sejumlah masalah dan contoh
konsep yang spesifik.
Pada tahun 1999, di Indonesia mulai diperkenalkan metode pembelajaran PKn yang
dikembangkan dari metode inkuiri menjadi metode berbasis portofolio. Pembelajaran PKn
berbasis portofolio merupakan metode pembelajaran untuk pembentukan warga negara
demokratis, yakni cara membelajarkan anak didik dengan mengembangkan kecerdasan warga
negara (civicintelligence) dalam dimensi spiritual, rasional, emosional dan sosial,
mengembangkan tanggung jawab warga negara (civicresponsibility), dna mengembangkan anak
didik berpartisipasi sebagai warga negara (civicparticipation) guna menopang tumbuh dan
berkembangnya warga negara yang baik.
C. Penilaian pembelajaran PKn
Penilaian mata pelajaran PKn adalah proses untuk mendapatkan informasi tentang
prestasi atau kinerja peserta didik dalam mata pelajaran PKn. Hasil penilaian digunakan untuk
melakukan evaluasi terhadap ketuntasan belajar peserta didik dan efektivitas proses
pembelajaran PKn.
Fokus penilaian PKn adalah keberhasilan belajar peserta didik dalam mencapai standar
kompetensi PKn yang ditentukan dalam Permendiknas Nomor 22/2005 tentang Standar Isi (SI).
Pada tingkat mata pelajaran, kompetensi yang harus dicapai berupa Standar Kompetensi (SK)
mata pelajaran yang selanjutnya dijabarkan dalam Kompetensi Dasar (KD). Untuk tingkat satuan
pendidik, kompetensi yang harus dicapai peserta didik adalah Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) sebagaimana tertera dalam Permendiknas Nomor 23/2006.

Anda mungkin juga menyukai