AYU CASWATI
2134021179
A. Sikap (attitude)
Sikap atau attitude diartikan sebagai pernyataan evaluatif atau penilaian terhadap suatu
objek, orang atau peristiwa. Sikap (attitude) berbeda dari perilaku (behaviour). Sikap masih
berupa penilaian abstrak. Penilaian tersebut menjadi kongkrit dalam perilaku. Misal kita
mempunyai sikap bahwa korupsi itu tidak baik, penilaian kita tersebut menjadi nyata ketika
kita mewujudkan sikap tersebut ke dalam perilaku tidak melakukan korupsi.
Robbins dan Judge (2008) mengungkapkan ada tiga komponen yang membangun sikap
atau attitude yaitu :
a. Komponen kognitif (cognitive component), komponen ini merupakan komponen
inti dari sikap (attitude) yang berupa penjelasan atau kepercayaan (belief) tentang
suatu hal.
b. Komponen afektif (affective component), merupakan komponen sikap (attitude)
yang bersifat emosional atau bagaimana seseroang merasakan sesuatu hal. Seperti
apakah ia merasa senang atau merasa tidak senang.
c. Komponen Perilaku (behavioral component), yaitu intensi yang berperilaku
tertentu terhadap seseorang atau suatu hal yang didasarkan pada keyakinan
(kognitif) dan perasaan (affektif) yang dimiliki individu terhadap seseorang atau
suatu hal tersebut.
Tiga komponen sikap tersebut memberikan pemahaman bahwa sikap individu dibentuk
oleh kognisi dalam menggunakan rasio yang dikombinasikan dengan kekuatan emosi yang
akan mendorong seseorang individu untuk menunjukkan perilaku tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap bisa menjadi prediktor bagi perilaku. Kita
bisa memprediksi kira-kira perilaku apa yang akan ditunjukkan oleh seorang individu dengan
mengetahui sikap yang dianutnya. Tetapi ada kalanya, muncul ketidaksesuaian antara sikap
yang dianut dan perilaku yang ditampilkan, sehingga menimbulkan kondisi yang disebut
sebagai cognitive dissonance.
Cognitive dissonance adalah suatu kondisi ketika terjadi ketidaksamaan antara sikap
dan perilaku. Artinya perilaku yang ditampilkan individu tidak sesuai dengan sikap yang
dianutnya. Akibatnya muncul kegelisahan di dalam diri individu. Untuk perilakunya agar
sesuai dengan sikapnya atau mengubah sikapnya agar sesuai dengan perilakunya.
Tetapi ada kalanya sikap baru tercipta setelah kita menampilkan perilaku tertentu. Di
sini perilaku mucul terlebih dahulu baru kemudian sikap yang digunakan sebagai pengesahan
terhadap perilaku yang telah dilakukan. Misalkan, seorang mahasiswa berbuat curang dengan
berperilaku mencontek ketika ujian karena tidak belajar, perilakunya tersebut kemudian
disahkan oleh sikap yang muncul belakangan, misalnya mencontek karena kepepet bukan
perbuatan yang tercela. Kondisi ini disebut sebagai self percetion theory yaitu sikap (attitud)
digunakan justru untuk menjustifikasi perilaku (behaviour) yang telah dilakukan.
Di dalam perilaku organisasi, terdapat tiga jenis sikap yang sering dipelajari dan diteliti,
yiaut kepuasan kerja (job satisfaction), yang merujuk pada sikap seseorang terhadap
pekerjaannya, keterlibatan kerja (job involvement) yang merupakan ukuran sejauh mana
seseorang secara psikologis memihak pekerjaannya dan menggunakan pekerjaannya sebagai
ukuran harga diri, dan komitmen organisasi (organizational commitment) yang merupakan
sikap sejauh mana seorang individu berniat memelihara keanggotaan di dalam sebuah
organisasi.
Jenis-jenis sikap:
a) Job Satisfaction (sikap yang menentukan kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya)
b) Job Involvement (sikap yang menggambarkan sampai sejauh mana partisipasi aktif
karyawan terhadap pekerjaannya)
c) Organization Commitment (sikap yang menunjukkan sampai mana seseorang melibatkan
diri dalam organisasi beserta dengan tujuan-tujuannya dan ingin menjaga keanggotaannya
dalam organisasi)
Adanya kedua pernyataan diatas menunjukan terjadinya kognitif disonansi, dimana seseorang
memiliki pemikiran ganda terhadap suatu masalah. Kognisi yang saling bertentangan itu akan
menimbulkan disonansi. Untuk meminimalisir tekanan yang dialami seseorang saat mengalami
disonasi yaitu sebagai berikut:
1. Changing Cognition yaitu merubah salah satu kognisi sehingga menjadi konsonan dengan
kognisi yang lain, cth: "Mungkin kuliah di kampus memang seperti, tidak menyenangkan. Ya
sudahlah"
2. Adding Cognition yaitu menambahkan satu konsonan atau lebih yang memiliki kesamaan
dengan kognisi yang ada, cth: "Dengan kuliah, ilmu saya menjadi luas, kenalan saya menjadi
banyak dan lagi kuliah disini lebih murah dibandingkan dengan tempat lain.
3. Altering Important yaitu mengurangi disonansi antara kognisi yang ada dengan cara
mengganti kepentingan kita, cth: "Saya lebih baik berhenti berkuliah saja dan pindah ke
kampus lain, daripada tidak senang seperti ini."
Teori Persepsi-diri
Hubungan A-B biasanya jelas ada (positif) dan ini lebih dikuatkan lagi bahwa sikap digunakan
setelah fakta, untuk mencari makna dari tindakan mereka. (mereka mencari-cari kesimpulan
atas pekerjaan / kejadian yang telah terjadi/mereka lakukan)
Mereka mencari alasan yang masuk akal (PERASAAN KUAT) atau sikap hanyalah pernyataan
verbal saja (disonansi kognitif).
1. Kepuasan Kerja :
Perasaan Positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil evaluasi karakteristik-
karakteristiknya.
2. Keterlibatan pekerjaan :
Sejauh mana karyawan memiliki sikap memihak terhadap pekerjaannya dan bertindak aktif.
Pemberian wewenang Psikologis : yang akan meningkatkan keterlibatan karyawan dalam
pekerjaannya.
3. Komitmen organisasional :
Sejauh mana karyawan terlibat dalam pekerjaan serta tujuan perusahaan untuk
mempertahankan keanggotaannya disitu.
1). Komitmen afektif : karena jenis pekerjaan itu disukainya.
2). Komitmen berkelanjutan : karena nilai ekonomisnya.
3). Komitmen Normatif : karena moral dan etis.
Berbicara masalah sikap, sebenarnya hal ini sudah merupakan sesuatu yang sangat
populer dan penting,terutama dalam rangka pembahasan psikologi sosial.para ahli
mengakui bahwa setiap sikap dapat terbentuk karena adanya pengaruh dan peranan
pembawaan dan lingkungan, yang keduanya mempunyai fungsi yang sama, dalam arti
bahwa sikap tidak dibawa sejak manusia lahir.
Pengertian sikap sudah banyak dikemukakan oleh para ahli. Dalam memeberikan
pengertian tentang sikap ini para ahli berbeda pendapatnya. Namun pada hakekatnya
perbedaan pendapat tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang mendasar. Dalam
kaitan ini, kita ketahui bahwa setiap individu didalam aktivitas hidupnya mempunyai
suatu reaksi ataupun gerakan terhadap suatu obyek tertentu dan inilah nantinya akan
menjadi bagian dari sikap individu tersebut.
Untuk jelasnya dikutip pendapat W.A. Gerungan (2009) yang mengatakan bahwa
sikap adalah kesediaan bereaksi terhadap suatu hal. Ini berarti bahwa sikap senantiasa
terarahkan pada suatu obyek tertentu dalam arti bahwa tak ada sikap tanpa obyek, dan
gerakan atau reaksi terhadap obyek inilah yang di maksud dengan sikap.
Sehubungan dengan sikap ini, Krech dan kawan-kawan (1982:139), memberikan
pendapatnya bahwa: As the individual develops his cognitionc, feeling, and action tendencies
with respects to the various objects in his world become organized into enduring sistem called
attitudes.
Keterangan Krech dan kawan-kawan ini menggambarkan bahwa dalam
perkembangan individu, kognisinya,perasaannya dan kecendrungan untuk bertindak
terhadap macam-macam obyek dilingkungannya menjadi terorganisir dalam suatu system
yang disebut sikap. Jelas bahwa disamping adanya reaksi individu terhadap obyek
tertentu, maka setiap individu akan memperlihatkan perkembanagn-perkembangan, baik
kognisinya atau pengetahuanya, perasaanya atau keyakinannya maupun kecenderungan
untuk bertindak atau pengalamannya terhadap obyek itu sendiri.
Sikap adalah keteraturan perasaan dan pikiran seseorang dan kecenderungan terhadap
aspek lingkungannya (Milton 1981). Sikap seseorang tercermin dari kecenderungan
perilakunya dalam menghadapi suatu situasi lingkungan yang berhubungan dengannya.
Sigit (2003:88), menyatakan bahwa sikap adalah tanggapan (response) yang mengandung
komponen-komponen kognitif (pengetahuan), afektif (sejauhmana penilaiannya terhadap
obyek) dan konaktif (kecenderungan untuk berbuat), yang dilakukan oleh seseorang
terhadap sesuatu obyek atau stimulus dari lingkungannya. Robbins (2007:92)
mengemukakan pengertian sikap adalah pernyatan evaluatif baik yang menyenagnkan
maupun tidak menyenangkan terhadap obyek, individu atau perisitiwa. Hal ini
mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Senada dengan itu,
Ndraha, (2003:33) mengemukakan pengertian sikap adalah kecenderungan jiwa terhadap
sesuatu. Ia menunjukkan arah, potensi dan dorongan menuju sesuatu itu.
Ada perbedaan antara sikap dan nilai, meskipun kedua- duanya beliefs dan cognitive,
Pertama sikap adalah keyakinan (beliefs) mengenai sesuatu obyek yang khusus mengenai
orang atau situasi, sedangkan nilai adalah bersifat umum. Nilai adalah keyakinan yang
melekat pada diri orang, terlepas bagaimana orang lain, sedangkan sikap adalah
tanggapan terhadap pihak lain.
Ada lima karakteristik sikap 1) ada obyek, 2) mengarah, 3), berintensitas atau sederajat,
4) berstruktur, dan 5) dipelajari.
Dikatakan ada obyek, karena ada sesuatu yang disikapi. Tidak ada sikap tanpa obyek
Dikatakan mengarah karena setiap obyek ada arahnya. Jadi sikap mengarah kepada obyek
yang disikapi. Dikatakan berintensitas atau berderajat karena dalam sikap ditanyakan
sejauhmana atau seberapa tinggi rendah sikapnya. Dikatakan berstruktur, karena dalam
sikap itu ada komponen- komponen yang secara intern terbentuk dengan sendirinya, yaitu
komponen kognitif, afektif yang saling menjalin.
B. Nilai
Nilai (values) merupakan suatu tuntunan atau pedoman yang mendasari bagaimana
seseorang atau suatu organisasi berpikir, mengambil keputusan, bersikap, dan bertindak.
Perbedaan nilai yang dimiliki oleh dua orang yang berbeda akan menimbulkan sikap yang
berbeda pula diantara dua orang tersebut, meskipun mereka berada dalam lingkungan yang
sama. Sebagai contoh, seorang manajer pemasaran memberi tugas pada dua orang stafnya
untuk meningkatkan penjualan. Manajer tersebut tidak memberikan keterangan
tentang reward apa yang akan diberikan bila target penjualan tercapai. Staf pertama bersikap
tenang-tenang saja, tidak langsung bergerak, atau berpikir langkah apa yang harus dilakukan
untuk meningkatkan penjualan, karena ia belum tahu keuntungan apa yang akan diberikan oleh
perusahaan kepadanya jika target tercapai. Baginya jika reward belum jelas, untuk apa
bersusah payah memenuhi target, karena toh ia sudah mendapat gaji tetap meskipun target
penjualan tidak tercapai. Berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh staf yang kedua, ia
langsung berpikir, menentukan langkah apa yang diperkirakan dapat mencapai target, serta
bertindak secepat mungkin. Staf ke dua berpikir sebagai seorang karyawan ia harus
menunjukkan bahwa ia mampu melakukan apa yang ditugaskan padanya dengan baik dan
menghasilkan hasil yang memuaskan. Perbedaan sikap dari dua karyawan tersebut di atas
adalah karena adanya perbedaan nilai-nilai yang dimiliki keduanya.
Nilai merupakan gambaran dialog yang selalu terjadi dalam diri kita yang menentukan
apa yang penting dan apa yang tidak penting untuk dilakukan. Apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan. Apa yang benar dan apa yang salah. Nilai merupakan dasar yang
terdalam, acuan, dan motor penggerak motivasi, sikap dan tindakan. Nilai tidak bisa
dipalsukan, karena apa yang dipikirkan, dilakukan, dan disikapi akan terlihat dengan jelas
merupakan refleksi dari nilai-nilai yang dianut seseorang. Nilai-nilai yang dianut dan
dijalankan oleh karyawan dalam organisasi inilah yang merupakan faktor penentu bagaimana
organisasi tersebut secara kolektif memiliki kualitas, kapasitas, dan kapabilitas dalam membuat
keputusan, perilaku dan tindakan organisasi.
Nilai organisasi bukan nilai yang tertulis dalam pedoman organisasi, karena sering
nilai-nilai ini adalah rekomendasi dari konsultan. Nilai organisasi adalah apa secara aktual
memang menjadi praktek dari organisasi tersebut. Apa yang disaksikan, diyakini, dipercaya,
dilakukan dan dipraktekkan oleh para karyawan di organisasi ini merupakan nilai riil (nyata).
Banyak organisasi besar yang menyewa konsultan untuk membuat cetak biru organisasi,
memasang competency based organization, melakukan program pelatihan karyawan, serta
memasang sistem teknologi informasi yang baru. Investasi yang cukup besar ini tanpa diikuti
oleh perubahan nilai-nilai yang mendasari keyakinan, kepercayan, sikap para karyawannya,
akan sulit untuk mewujudkan sikap yang diharapkan.
Nilai mencerminkan perilaku dasar bahwa bentuk khusus perilaku atau bentuk akhir
keberadaan secara peribadi atau sosial lebih dipilih dibandingkan dengan bentuk perilaku atau
bentuk akhir keberadaan perlawanan atau kebalikan. Nilai sangat penting untuk mempelajari
perilaku organisasi karena nilai menjadi dasar untuk memahami sikap dan motivasi serta
memahami persepsi kita, individu memasuki organisasi berdasarkan yang dikonsefkan
sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya.
Milton Rokeatch [1]menciptakan nilai Rokeach (RVS) yang merupakan nilai terminal
dan instrumental. Nilai terminal merupakan bentuk akhir keberadaan yang sasarannya sangat
diinginkan untuk dicapai seseorang dalam hidupnya. Sedangkan, nilai instrumental adalah
bentuk perilaku atau upaya-upaya pencapaian nilai-nilai terminal yang lebih disukai oleh orang
tertentu.
Nilai kerja dapat dikelompokan kedalam empat kelompok yang mengungkapkan nilai-
nilai yang unik dari suatu kelompok atau generasi yang berbeda dalam angkatan kerja yaitu
dapat dilihat dalam table berikut:
Percaya diri,
keberhasilan financial,
mengandalkan diri
sendiri, namun
berorientasi tim, setia
pada diri sendiri dan
pasangan.
Nilai adalah keyakinan dasar dalam bentuk keadaan atau tindakan yang diyakini benar secara
personal ataupun dalam lingkup sosial.
Sistem nilai adalah urutan tingkat nilai yang dimiliki seseorang dilihat dari intensitasnya. Jika
konten dan intensitas berbeda, maka sistem nilai hancur. Nilai bersifat tetap dan bertahan lama.
Nilai menjadi dasar persepsi dalam memahami sikap dan motivasi seseorang serta
mempengaruhi perilaku kita.
Robbins (2007:148), Nilai dapat dibedakan antara nilai terminal yaitu sesuatu yang
menjadi tujuan akhir dan nilai instrumental, tetapi norma adalah semata-mata nilai
instrumental. Contoh Nilai–nilai instrumental dan nilai-nilai terminal sebagai berikut.
Nilai Instrumental Nilai Terminal Tentram. Bahagia
Lulus Ujian...........................................................................Bekerja
Bekerja..................................................................................Kawin
Kawin................................................................................Punya Anak
Laba......................................................................................Penghargaan
Biaya Rendah........................................................................Laba
Sembahyang.........................................................................Naik Sorga
Nilai terminal keadaan akhir kehidupan yang diinginkan; tujuan-tujuan yang ingin
dicapai seseoang selama masa hidupnya, sedangkan Nilai instrumental adalah perilaku
atau cara-cara yang lebih disukai untuk mencapai nilai terminal seseorang. Secara
sederhana, nilai dapat dirumuskan sebagai obyek dari keinginan manusia. Nilai menjadi
pendorong utama bagi tindakan manusia dari pelbagai macam nilai yang mempengaruhi
kompleksitas tindakan manusia.
Menurut Sigit (2003:79), nilai ialah keyakinan yang bertahan lama mengenai
sesuatu yang dianggap berharga (wortwhile), penting. (importance), mempunyai arti
(meaningfull), diinginkan (desirable), dan diprioritaskan (preferable).
Robbins (2001:130) menyatakan bahwa nilai adalah suatu modus perilaku atau
Keadaan akhir dari eksistensi yang khas lebih disukai secara pribadi atau sosial daripada
suatu modus perilaku atau keadaan yang berlawanan. Sementara itu itu, Geert Hofstede
dalam Culture‟s Consequens (1980,19) yang dikutip oleh Draha, 2003:17 mendefenisikan
nilai sebagai “a broad tendency for prefer certain states of affairs over others” Defenisi
Hostede merupakan ringkasan defenisi Kluckhon “A value is conception, explicit or
implicit, distintive of an individual of characteristic of a group, of the desirable which
influences the selection from available modes, means and ends of action.
Dengan demikian nilai dapat diartikan sesuatu yang dinginkan, penting dan
memiliki arti, sehingga diperjuangkan untuk direalisasikan.
Menurut Ndraha,( 2003:18) mengemukakan bahwa nilai dibedakan atas nilai
subyektif dan nilai obyektif. Menurutnya bahwa nilai subyektif adalah sesuatu yang oleh
seseorangdi anggap dapat memenuhi kebutuhannya pada sutu waktu dan oleh karena itu
ia (seseorang tadi) berkepentingan atasnya (sesuatu itu),disebut bernilai atau
mengandunng nilai bagi orang yang bersangkutan.Oleh karena itu ia dicari, diburu dan
dikejar dengan menggunakan berbagai cara dan alat.Dalam hubungan itu, nilai dianggap
subyektif dan ekstrinsik (extrinsic). Nilai ekstrinsik sutu barang berbeda menurut
seseorang dibanding dengan orang lain. Nilai objektif adalah nilai dapat juga dipelajari
sebagai sesuatu yang bersifat objektif .Segala sesutu yang ada mengandung nilai, jika
bagi seseorang tidak ,mungkin bagi orang lain.Berdasarkan anggapan ini , seolah-olah
ada ada sebuah bag of virtues , kantong berisi nilai yang siap ditransfer kepada orang-
orang. Menurut pendekatan ini ,nilai dianggap intrinsik (intrinsic).
C. Kerja
Robbins (1991; 2007:47-49) mengemukakan bahwa dasar perilaku individu dalam kerja
meliputi karakteristik biografis seperti usia, jenis kelamin status perkawinan; kemampuan fisik
dan intelektual, locus of control, kepribadian, dan pembelajaran.
A.Karakteristik biografis
1) Usia
Analisis literatur yang terkini menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dan kinerja,
demikian pula ada hubungan antara usia dan kepuasan kerja. Banyak fakta yang
mengindikasikan hubungan positif antara keduanya, setidaknya untuk usia sampai 60 tahun.
Bagaimanapun perubahan tertentu atau kemajuan pada teknologi dapat berpengaruh. dalam
pekerjaan, dimana pekerja sebagai subjek untuk membuat perubahan pada kemampuannya
misal dengan adanya komputer dan jaringan internet, maka disini yang lebih tua akan
mempunyai kepuasan kerja yang lebih rendah dibanding yang lebih muda.
2) Jenis kelamin
Kajian psikologis menemukan bahwa wanita lebih mudah menyesuaikan diri dengan pimpinan
sedangkan pria lebih agresif dan cenderung mempunyai harapan lebih untuk sukses, namun
demikian pendapat tersebut tidak banyak mendapat dukungan. Perkembangan 20 tahun terakhir
tentang emansipasi wanita dalam pekerjaan menunjukkan tidak ada perbedaan antara pria dan
wanita dalam hal produktivitas kerja. Meskipun ada beberapa penelitian yang menemukan
bahwa wanita lebih tinggi pada tingkat turnover, hal ini tidak serta merta menjadi kesimpulan
yang bermakna, karena ada beberapa penelitian yang menunjukkan tidak ada perbedaan.
produktivitas kerja antara pria dan wanita.
Penelitian selanjutnya pada tingkat ketidakhadiran. Banyak fakta mengindikasikan bahwa
wanita sering tidak hadir dibanding pria. Hal ini didasarkan atas logika budaya yang mengarah
pada wanita seharusnya tinggal dirumah dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Wanita
secara turun temurun ditetapkan untuk merawat anak dan bukan sebagai pencari nafkah.
3) Status perkawinan
Penelitian tentang keterkaitan antara kinerja dengan status perkawinan belum banyak
dilaksanakan. Salah satu penelitian yang konsisten menunjukkan bahwa pekerja yang sudah
menikah mempunyai tingkat ketidakhadiran yang rendah, dan cenderung puas terhadap
pekerjaan yang digelutinya.. Pekerja yang sudah menikah meningkat rasa tanggung jawabnya
sehingga melihat pekerjaan sebagai sesuatu hal yang sangat penting dan berharga. Selanjutnya
disarankan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut, misalnya bagaimana dengan pekerja yang
bercerai.
4) Masa kerja
Beberapa kajian menunjukkan bahwa masa jabatan/kerja jika didefinisikan sebagai pengalaman
kerja maka berhubungan positif dengan produktivitas. Penelitian lain menunjukkan bahwa
pegawai senior atau pekerja dengan masa kerja yang lama berkorelasi negatif dengan
ketidakhadiran. Selanjutnya ditemukan juga bahwa masa kerja berhubungan negatif dengan
turnover/keluar masuknya pegawai
5) Jumlah tanggungan
Ada hubungan yang positif antara jumlah anak dalam keluarga pekerja wanita dengan
ketidakhadiran. Begitu juga dengan kepuasan kerja. Namun ada pula penelitian yang
menunjukkan bahwa jumlah anak tidak mempengaruhi turnover dan ada pula yang sebaliknya.
b. Kemampuan
Kemampuan disini merujuk pada suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas
dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan individu pada hakikatnya tersusun dari dua
perangkat faktor : kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
1) Kemampuan intelektual
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan
mental. Tujuh dimensi yang paling sering dikutip yang membentuk kemampuan intelektual
adalah kemahiran berhitung, pemahaman verbal, ketepatan peseptual, penalaran induktif,
penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan memori. Kecerdasan kognitif bukan sebagi prasyarat
utama untuk semua pekerjaan namun beberapa penelitian yang sudah dilakukan berulang-
ulang menunjukkan bahwa tes-tes IQ yang menilai kemampuan verbal, numerik, ruang dan
perseptual merupakan faktor penting pada pekerja untuk semua jenis pekerjaan. Namun
demikian yang perlu diingat adalah hasil penelitian Goleman (1995:38) dan Patton (2001:2)
bahwa yang menentukan kinerja seseorang dari kecedasan kognitif (IQ) hanya menyumbang
20%, sedangkan 80% disumbangkan oleh faktor lain dan salah satunya kecerdasan emosional.
Masih menurut Goleman bahwa indikator-indikator kecerdasan emosional yang memberi
kontribusi adalah; (a) kemampuan memotivasi diri, (b) ketekunan, (c) keuletan, (d) ketrampilan
empatik, dan (e) ketrampilan berkomunikasi.
2) Kemampuan fisik
Sementara kemampuan intelektual memainkan peran yang lebih besar dalam pekerjaan-
pekerjaan rumit yang menuntut persyaratan pemrosesan informasi, kemampuan fisik yang
khusus memiliki makna penting untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kurang menuntut
ketrampilan. Misalnya, pekerjaan yang keberhasilannya menuntut stamina, kecekatan tangan,
kekuatan tungkai, atau bakat-bakat serupa menuntut manajemen untuk mengenali kapabilitas
fisik seorang karyawan.
Riset mengenai persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam ratusan pekerjaan telah
teridentifikasi sembilan kemampuan dasar yang dilibatkan dalam melakukan tugas-tugas
jasmani. Tidaklah mengherankan bahwa hubungan antara kemampuan-kemampuan ini juga
kecil, nilai yang tinggi pada satu kemampuan bukanlah jaminan nilai yang tinggi pada
kemampuan yang lain dan kemungkinan besar kinerja karyawan yang tinggi dicapai bila
manjemen telah memastikan sejauh mana suatu pekerjaan menuntut masing- masing dari
sembilan kemampuan itu dan kemudian menjamin bahwa karyawan dalam pekerjaan tersebut
mempunyai kemampuan tersebut.
Robbins (1991; 2007:47-49) mengemukakan bahwa dasar perilaku individu dalam kerja
meliputi karakteristik biografis seperti usia, jenis kelamin status perkawinan; kemampuan fisik
dan intelektual, locus of control, kepribadian, dan pembelajaran.
A.Karakteristik biografis
1) Usia
Analisis literatur yang terkini menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dan kinerja,
demikian pula ada hubungan antara usia dan kepuasan kerja. Banyak fakta yang
mengindikasikan hubungan positif antara keduanya, setidaknya untuk usia sampai 60 tahun.
2) Jenis kelamin
Kajian psikologis menemukan bahwa wanita lebih mudah menyesuaikan diri dengan pimpinan
sedangkan pria lebih agresif dan cenderung mempunyai harapan lebih untuk sukses, namun
demikian pendapat tersebut tidak banyak mendapat dukungan.
3) Status perkawinan
Salah satu penelitian yang konsisten menunjukkan bahwa pekerja yang sudah menikah
mempunyai tingkat ketidakhadiran yang rendah, dan cenderung puas terhadap pekerjaan yang
digelutinya.. Pekerja yang sudah menikah meningkat rasa tanggung jawabnya sehingga melihat
pekerjaan sebagai sesuatu hal yang sangat penting dan berharga.
4) Masa kerja
Penelitian lain menunjukkan bahwa pegawai senior atau pekerja dengan masa kerja yang lama
berkorelasi negatif dengan ketidakhadiran. Selanjutnya ditemukan juga bahwa masa kerja
berhubungan negatif dengan turnover/keluar masuknya pegawai.
5) Jumlah tanggungan
b. Kemampuan
1) Kemampuan intelektual
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan
mental. Tujuh dimensi yang paling sering dikutip yang membentuk kemampuan intelektual
adalah kemahiran berhitung, pemahaman verbal, ketepatan peseptual, penalaran induktif,
penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan memori. Hasil penelitian Goleman (1995:38) dan
Patton (2001:2) bahwa yang menentukan kinerja seseorang dari kecedasan kognitif (IQ) hanya
menyumbang 20%, sedangkan 80% disumbangkan oleh faktor lain dan salah satunya
kecerdasan emosional. Masih menurut Goleman bahwa indikator-indikator kecerdasan
emosional yang memberi kontribusi adalah; (a) kemampuan memotivasi diri, (b) ketekunan, (c)
keuletan, (d) ketrampilan empatik, dan (e) ketrampilan berkomunikasi.
2) Kemampuan fisik
Riset mengenai persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam ratusan pekerjaan telah
teridentifikasi sembilan kemampuan dasar yang dilibatkan dalam melakukan tugas-tugas
jasmani. Tidaklah mengherankan bahwa hubungan antara kemampuan-kemampuan ini juga
kecil, nilai yang tinggi pada satu kemampuan bukanlah jaminan nilai yang tinggi pada
kemampuan yang lain dan kemungkinan besar kinerja karyawan yang tinggi dicapai bila
manjemen telah memastikan sejauh mana suatu pekerjaan menuntut masing- masing dari
sembilan kemampuan itu dan kemudian menjamin bahwa karyawan dalam pekerjaan tersebut
mempunyai kemampuan tersebut.
Kepuasan kerja atau job satisfaction sendiri diartikan sebagai sikap (attitude) individu
terhadap pekerjaannya. Seseorang yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi akan memiliki
sikap (attitude) yang positif terhadap pekerjaannya. Begitu pula sebaliknya, orang yang tidak
puas (kepuasan kerjanya rendah) akan memiliki sikap yang negatif terhadap pekerjaannya.
Kepuasan kerja seseorang biasanya diukur dengan menggunakan pendekatan
summation score. Pendekatan ini mencoba mengukur kepuasan kerja seorang individu dilihat
dari enam elemen kunci pekerjaan yaitu : pekerjaan saat ini (nature of curren job), atasan atau
penyelia (supervisor), teman sekerja ( co workers), gaji yang diperoleh, kesempatan promosi
dan pekerjaan secara umum.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa organisasi dengan karyawan yang merasa puas
akan lebih efektif dibandingkan dengan organisasi di mana karyawannya memiliki kepuasan
kerja yang rendah. Begitu pula dengan tingkat absensi, pekerja yang memiliki kepuasan kerja
yang rendah akan memiliki tingkat absensi yang tinggi dibandingkan dengan pekerja yang
memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Selain itu kepuasan kerja juga memberikan dampak
terhadap tingkat turnover meskipun pengaruh ini hanya berlaku bagi pekerja dengan kinerja
yang rendah (poor performance) dan tidak terlalu memberikan dampak terhadap pekerja
dengan kinerja yang bagus (superior performance).
2. Apa saja yang termasuk faktor kepuasan kerja menurut Gilmer (1966) dalam bukunya
Moch. As‟ad (2004 : 114 )?
JAWAB:
Gilmer (1966) dalam bukunya Moch. As‟ad (2004 : 114 ) berpendapat tentang tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut :
1) Kesempatan untuk maju. Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh
kesempatan peningkatan pengalaman dan kemampuan kerja selama bekerja.
2) Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik
karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengarugi perasaan kerja
karyawan selama bekerja.
3) Gaji. Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang yang
mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang di perolehnya.
4) Manajemen kerja. Manajemen kerja yang baik adalah yang memberikan situasi dan
kondisi kerja yang stabil, sehingga karyawan dapat bekerja dengan nyaman.
5) Kondisi kerja. Dalam hal ini adalah tempat kerja, ventilasi, penyinaran, kantin, dan tempat
parkir.
6) Pengawasan (Supervisi). Bagi Karyawan, Supervisor dianggap sebagai figur ayah dan
sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn tover.
7) Faktor intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan
ketrampilan tertentu. Sukar danmudahnya serta kebanggaan akan tugas akan
meningkatkan atau mengurangi kepuasan.Komunikasi.
8) Komunikasi yang lancar antara karyawan dengan pimpinan banyak dipakai untuk
menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak pimpinan untuk mau
mendengar, memahami dan mengakui pendapat atau prestasi karyawannya sangat berperan
dalam menimbukan kepuasan kerja.
9) Aspek sosial dalam pekerjaan. Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi
dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja
10) Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan
standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.
http://industri20intoharyanto.blogspot.com/2013/10/fondasi-perilaku-individu-sikap-nilai.html
http://priscaholi-perilakuorganisasi.blogspot.com/2014/03/nilai-sikap-dan-kepuasan-kerja.html
https://repository.ung.ac.id
https://123dok.com/article/dasar-dasar-perilaku-individu-dalam-kerja.nq77o8dq
http://industri20intoharyanto.blogspot.com/2013/10/fondasi-perilaku-individu-sikap-nilai.html
http://priscaholi-perilakuorganisasi.blogspot.com/2014/03/nilai-sikap-dan-kepuasan-kerja.html