Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Laut Khatulistiwa, 1(1): 25-30, February 2018

ISSN: 2614-6142 (printed), 2614-8005 (online)


www.jurnal-untan.ac.id/lk

Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Kawasan


Rehabilitasi Mangrove Setapuk, Singkawang

Yulianti1*, Mega Sari Juane Sofiana1

1
Program Studi Ilmu Kelautan, FMIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak-
Indonesia

*Correspondence email: Yulianti


yulianti.kelautan@gmail.com

Received: 18 January 2018- Accepted: 24 February 2018


Published: 28 February 2018 © Author(s) 2018. This article is open access

Abstract: Kawasan mangrove Setapuk merupakan kawasan rehabilitasi baru di


Singkawang. Ekosistem mangrove berperan penting bagi ekologi laut dan pesisir.
Salah satu perannya adalah sebagai habitat kepiting bakau (Scylla spp.). Kepiting
bakau merupakan komoditi perikanan bernilai komersial tinggi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp.) dan
mengetahui parameter habitat kepiting bakau di kawasan rehabilitasi mangrove
Setapuk, Singkawang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada 3 stasiun. Petak
sampling kuadran berukuran 10x10 m dengan jarak per plot 20 m. Kelimpahan
kepiting bakau di daerah kawasan rehabilitasi mangrove Setapuk adalah berkisar
0–12 ind/m2. Kelimpahan tertinggi pada stasiun 3 dari jenis Scylla olivacea
sebesar 9 ind/300m2 dan terendah pada jenis Scylla olivacea, 1 ind/300m2.
Kepiting bakau yang ditemukan adalah jenis Scylla serrata dan Scilla olivacea.
Parameter fisika dan kimia lingkungan habitat kepiting bakau (Scylla sp.) di
kawasan mangrove Setapuk adalah pH 7,2-7,6, temperatur 30-31°C, dan salinitas
2-2,2‰.
Keywords: Kepiting bakau (Scylla sp.), Kelimpahan, Setapuk, Singkawang.

1. Pendahuluan jenis biota yang tinggi, seperti krustasea,


Setapuk merupakan kawasan pesisir ikan, moluska dan fauna akuatik lainnya
dengan hutan mangrove yang kaya akan (Nagelkerken et al., 2008).
sumber daya alam di Kecamatan Kepiting bakau merupakan fauna
Singkawang Utara. Hutan mangrove makrobenthik yang tergolong kelas
memiliki peran penting dalam ekologi laut krustasaea. Kepiting bakau (Scylla spp.)
dan pesisir. Beberapa perannya adalah umumnya ditemukan di perairan
perlindungan wilayah pesisir dari abrasi, mangrove dan estuari (Chairunnisa, 2004).
penyerap serta penyimpan karbon dan Kepiting bakau berperan penting dalam
penyerap polutan. (Lee et al., 2014, ekosistem mangrove berkaitan dengan
Wiryanto et al., 2017). Ekosistem aktivitasnya yang meliang dan mencari
mangrove juga merupakan habitat peri- makan. Kepiting bakau ini akan merubah
kanan pesisir dengan kenaekaragaman karakteristik sedimen dan mempengaruhi

25
kandungan bahan organik pada sedimen fisika kimia lingkungan perairan di
dari ekosistem mangrove (Widyastuti, Setapuk, Singkawang belum pernah dikaji
2016). sebelumnya. Ekosistem mangrove di
Kepiting bakau merupakan salah satu kawasan pesisir setapuk merupakan
komoditas perikanan yang penting di kawasan yang baru direhabilitasi. Oleh
Indonesia. Cita rasa dan kandungan gizi- karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
nya yang tinggi menyebabkan permintaan mengetahui kelimpahan kepiting bakau
yang terus meningkat untuk di ekspor (Scylla spp.) dan parameter lingkungan
maupun dikonsumsi di dalam negeri habitat kepiting ini di kawasan rehabilitasi
(Herliany dan Zamdial, 2015). Kulit mangrove Setapuk, Singkawang.
kepiting juga mempunyai nilai komersial
yang tinggi. Kulit kepiting diekspor 2. Metode
sebagai sumber kitin dan kitosan yang Penelitian ini dilakukan di Kawasan Reha-
dapat digunakan di industri makanan, bilitasi Mangrove Setapuk, Singkawang,
tekstil dan agrikultur. Kitin dan kitosan Kalimantan Barat. Penelitian ini
dapat diaplikasikan sebagai pengawet dilaksanakan tanggal 17 Juli 2017 sampai
makanan, agen pengemulsi, biokatalis dan dengan 16 Agustus 2017. Penentuan
biodegradable films (Sarbon et al., 2015; lokasi dan stasiun pengambilan data
Gadgey and Bahekar, 2017). dilakukan dengan metode purposive
Kelimpahan kepiting bakau di kawasan sampling. Lokasi stasiun dibagi menjadi 3,
pesisir dipengaruhi oleh kerapatan yaitu: stasiun 1 terletak pada koordinat
ekosistem mangrove sebagai habitatnya. 0°58’43” LU dan 108°58’40” BT, stasiun 2
Kerapatan yang tinggi memungkinkan pada koordinat 0°58’51” LU dan
meningkatnya jumlah nutrisi bagi kepiting 108°58’41” BT dan stasiun 3 terletak pada
bakau (Gita et al., 2015). Parameter koordinat 0°59’5” LU dan 108°58’41” BT
lingkungan juga mempengaruhi kelim- (Gambar 1).
pahan kepiting bakau, seperti salinitas, Alat yang digunakan adalah roll meter,
temperatur dan derajat keasaman (pH) patok kayu, Global Posisioning System
(Rizaldi et al., 2015). (GPS), pH meter, refraktometer, termo-
Kelimpahan kepiting bakau dan faktor meter, alat bantu penangkap kepiting,

Gambar 1. Lokasi Penelitian

26 Yulianti dan Sofiana (2018)


kamera digital, alat tulis, dan tali rafia. siang hari menggunakan alat bantu
Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa pengait dan kayu. Keberadaan
ini adalah akuades, air laut, dan kepiting kepiting bakau dapat di lihat dari jejak
bakau. kaki, keberadaan kepiting bakau dilubang
Pengambilan sampel kepiting bakau akan berbunyi seperti gesekan besi.
(Scylla spp.) dilakukan pada setiap stasiun
dengan 3 kali pengulangan. Pengambilan 3. Hasil dan Pembahasan
data dilakukan dengan menarik transek Hasil penelitian di kawasan rehabilitasi
tegak lurus pantai pertama ditemukannya mangrove Kelurahan Setapuk Besar, Kota
mangrove sampai berakhir ditemukannya Singkawang ditemukan 2 jenis kepiting
mangrove. Panjang transek yang diguna- bakau Scylla olivacea dan Scylla serrata
kan adalah 80 m, 80 m, dan 85 m. Setiap (Tabel 1).
transek terdapat petak sampling kuadrat Kepiting bakau pada stasiun 1 tidak
yang teridiri dari 3 plot berukuran 10 x 10 ditemukan. Kepiting bakau pada stasiun 2
m jarak per plot 20. Kepiting bakau yang ditemukan 1 kepiting bakau jenis Scylla
diperoleh kemudian diidentifikasi meng- olivacea. Kepiting bakau pada stasiun 3
gunakan pedoman identifikasi jenis ikan ditemukan 9 dari jenis Scylla olivacea dan
dilarang terbatas (Scylla sp. ) (KKP, 2016). 3 dari jenis Scylla serrata. Kedua spesies
Kelimpahan kepiting bakau dihitung ini adalah jenis kepiting bakau yang sering
menggunakan persamaan (Soeganto, ditemukan di Indonesia (Rizaldi et al.,
1994) : 2015; Sunarto et al., 2015; Widigdo et al.,

N
n i
2017). S. serrata dan S. olivacea memiliki
perbedaan morfologi yaitu pada karapas
A
dan keberadaan duri pada lobus frontalis.
Dimana :
Scylla serrata memiliki karapas yang
N : Kelimpahan kepiting bakau
berwarna hijau hingga zaitun dengan
(ind/m2)
bagian frontal terdapat 4 spina yang tajam.
ni : Jumlah total individu untuk
Scylla olivacea memiliki karapas bewarna
spesies i (individu)
kecoklatan hingga coklat kehijauan dan
A : Luas total habitat yang disampling bagian frontal dengan spina yang bulat
(100 m2) (Keenan and Blackshaw, 1999).
Parameter lingkungan perairan habitat Stasiun 3 merupakan lokasi ditemu-
kepiting bakau yang diukur adalah kannya 12 kepiting bakau yang jauh lebih
temperatur, salinitas dan pH. Pengukuran banyak dibandingkan stasiun 1 dan 2.
dilakukan pada saat pengambilan sampel Perbedaan jumlah kepiting yang
kepiting bakau. Kepiting bakau ditangkap ditemukan disebabkan oleh kerapatan
saat kondisi surut terendah pada waktu ekosistem mangrove yang menjadi

Tabel 1. Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di kawasan rehabilitasi mangrove Setapuk,
Singkawang.
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun Kelimpahan
No Spesies
(ind) (ind) 3 (ind) (ind/100m2)
1 Scylla serrata 0 0 3 3
2 Scylla olivacea 0 1 9 10

Tabel 2. Rata-rata pengukuran Parameter lingkungan di kawasan


rehabilitasi mangrove Setapuk, Singkawang.
Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
pH 7,4 7,2 7,6
Salinitas (‰) 2 2 2,2
Temperatur (°C) 31 30 30

Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Setapuk 27


Gambar 2. Kepiting bakau: Scylla olivacea di stasiun 2 dan 3 (kiri); Scylla serrata di stasiun
3 (kanan)

habitatnya yang berbeda-beda pada setiap (Nybakken, 1992). Temperatur di kawa-


stasiun. Stasiun 3 merupakan kawasan san rehabilitasi mangrove Setapuk,
ekosistem mangrove dengan kerapatan Singkawang, yaitu 30-31°. Kepiting bakau
yang tinggi dibandingkan stasiun 1 dan 2. (Scylla sp.) umumnya dapat hidup pada
Stasiun 1 merupakan kawasan mangrove temperatur 12-35°C dan dapat berkem-
dengan kerapatan yang padat, namun bang dengan baik pada temperatur
kepiting bakau tidak ditemukan. Hal ini 23-33°C (Mulya, 2000). Temperatur eko-
dikarenakan stasiun 1 merupakan area sistem mangrove yang tidak sesuai dapat
penangkapan kepiting bakau oleh menggangu proses fisiologis kepiting
penduduk setempat. Eksploitasi yang bakau. Perubahan temperatur secara
terus dilakukan mengurangi jumlah drastis bahkan dapat menimbulkan stress
populasi kepiting bakau. hingga kematian pada organisme
Kerapatan mangrove berpengaruh (Kordi,1997).
terhadap populasi kepiting bakau. Salinitas di kawasan rehabilitasi
Kerapatan yang tinggi dapat mening- mangrove Setapuk berkisar antara
katkan jumlah bobot serasah. Bobot 2-2,2‰. Kepiting bakau (Scylla sp.)
serasah yang tinggi akan menjadi sumber dewasa pada umumnya mampu hidup
makanan bagi makrozoobentos. Sumber pada daerah salinitas yang rendah karena
makanan serasah dan makrozoobentos kemampuannya melakukan pengaturan
yang melimpah akan meningkatkan osmosis yang sangat baik. Kepiting bakau
populasi kepiting bakau (Avianto et al., telah diketahui dapat mentolerir salinitas
2013). Serasah mangrove ini merupakan lingkungan habitatnya, yaitu 2-40 ppt (La
hasil dekomposisi dan mineralisasi dari Sara et al., 2014).
daun, ranting, kayu dan buah mangrove
yang berguguran oleh mikroorganisme 4. Kesimpulan
(Thatoi et al., 2012). Ketiga stasiun di Kesimpulan dalam penelitian ini adalah :
kawasan mangrove Setapuk memiliki  Kelimpahan kepiting bakau di daerah
kerapatan yang dikategorikan sedang kawasan rehabilitasi mangrove Setapuk
hingga padat. Namun, kepiting bakau yang Besar,Singkawang berkisar 0 – 12
ditemukan relatif sedikit, dengan kelim- ind/m2.
pahannya 0–12 ind/m2. Hal ini dikarena-  Kelimpahan tertinggi pada stasiun 3
kan kepiting bakau merupakan fauna jenis Scylla olivacea 9 ind/300m2 dan
nokturnal yang aktif di malam hari terendah pada jenis Scylla olivacea 1
sehingga sulit ditemukan pada siang hari. ind/300m2.
Parameter fisika dan kimia ekosistem  Parameter fisika dan kimia lingkungan
mangrove juga mempengaruhi kehidupan habitat kepiting bakau (Scylla sp.) di
kepiting bakau, seperti pH, salinitas dan kawasan mangrove Setapuk adalah pH
temperatur. Nilai pH perairan di kawasan 7,2-7,6, temperatur 30-31°C, dan
rehabilitasi mangrove Setapuk, Singka- salinitas 2-2,2‰.
wang berkisar antara 7,2-7,6. Kepiting
bakau (Scylla sp.) pada umumnya dapat 5. Saran
hidup pada lingkungan dengan derajat Penelitian lanjutan mengenai kajian
keasaman (pH) berkisar antara 7,5-8,8 parameter fisika dan kimia seperti kondisi

28 Yulianti dan Sofiana (2018)


pasang surut, vegetasi mangrove, substrat reassessment. Global Ecol. Biogeogr., 23:
ekosistem dan oksigen terlarut perlu 726 - 743.
dilakukan. Kajian ini dapat memberikan Mulya, M.B. 2000. Kelimpahan dan Distribusi
informasi mengenai pengaruh faktor fisika Kepiting Bakau (Scylla sp.) serta
dan kimia eksosistem mangrove terhadap Keterkaitannya dengan Karakte- ristik
populasi kepiting bakau. Kajian ini juga Biofisik Hutan Mangrove di Suaka
dapat dijadikan dasar pengembangan Mrgasatwa Karang Gading dan Langkat
wilayah kawasan mangrove Setapuk Timur Laut Provinsi Sumatera Utara. Tesis.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
menjadi wilayah budidaya kepiting bakau
Nagelkerken, I., S.J.M. Blaber, S. Bouillon, P.
dengan konsep silvofishery.
Green, M. Haywood, L.G. Kirton, J.O.
Meynecke, J. Pawlik, dan H.M. Penrose.
Daftar Pustaka 2008. The Habitat Function of Mangroves
Avianto. I., Sulistiono, I. Setybudiandi. 2013. for Terrestrial and Marine Fauna: a
Karakteristik Habitat dan Potensi Review. Aquatic Botany, 89: 155 – 185.
Kepiting Bakau (Scylla serrata, S. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu
transquaberica, dan S. olivacea) di Hutan Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT
Mangrove Cibako, Kabupaten Garut, Jawa Gramedia Utama.
Barat. Bonorowo Wetlands, 3 (2): 55 - 72 Rizaldi, D. Rosalina, dan E. Utami. 2015.
Gadgey, K.K., and A. Bahekar. 2017. Studies Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp) di
on Extraction Methods of Chitin from Crab Perairan Muara Tebo Sungailiat. Akuatik,
Shell and Investigation of its Mechanical 9 (2): 14 – 20.
Properties. IJMET, 8 (2): 220 – 231. Sarbon, N.M, S. Sandanamsamy, S.F.S.
Gita, R.S.D., Sudarmadji, dan J. Waluyo. 2015. Kamaruzaman, dan F. Ahmad. 2015.
Pengaruh Abiotik terhadap Keanekara- Chitosan Extracted from Mud Crab (Scylla
gaman dan Kelimpahan Kepiting Bakau olivicea) shells: Physiochemical and
(Scylla spp.) di Hutan Mangrove Taman Antioxidant Properties. J. Food Sci.
Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Technol., 52 (7) : 4266 - 4275.
Bonorowo Wetlands, 5 (1): 11 -20. Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif
Herliany, N.E. dan Zamdial. 2015. Hubungan Metode Analisis Populasi dan Komunitas.
Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Jakarta: Penerbit Usaha Nasional.
(Scylla spp) Hasil Tangkapan di Desa Sunarto, Sulistiono, I. Setyobudiandi. 2015.
Kahyapu Pulau Enggano Provinsi Hubungan Jenis Kepiting Bakau (Scylla
Bengkulu. J. Kelautan, 8 (2): 89 – 94. spp.) dengan Mangrove dan Substrat di
Keenan, C.P. and A. Blackshaw. 1999. Mud Tambak Silvofishery Eretan, Indramayu.
Crab Aquaculture and Biology. ---, ---.
Proceedings of an International Scientific Thatoi, H., B.C. Behera, R.R. Mishra, dan S.K.
Forum Held in Darwin, Darwin: ACIAR Duta, ---. Biodiversity and
Proceedings No. 78: 21 -249. Biotechnological Potential of Micro-
Kordi, K.M.G.H. 1997. Budidaya Kepiting dan organisms from Mangrove Ecosystems: a
Ikan Bandeng si Tambak Sistem Polikultur. Review, Ann. Microbiol., 63 (1): 1 – 19
Dharaze, Semarang. Widyastuti, E. 2016. Keanekaragaman
Kementrian Kelautan Perikanan. 2016. Kepiting pada Ekosistem Mangrove di
Tentang Pedoman Pemeriksaan/ Perairan Lingga Utara dan Sekitarnya,
Identifikasi Jenis Ikan dilarang Terbatas. Kepulauan Riau. Zoo Indonesia. 25 (1):
Jakarta. 22–32.
La Sara., R.O. Aguilar, J.A. Ingles, dan L.V. Widigdo, B., Rukisah, A. Laga, A.A. Hakim,
Laureta. 2014. Habitat Characteristics and dan Y. Wardiatno. 2017. Carapace
Relative Abundance Of The Mud Crab Length-Weight and Width-Weight
Scylla serrata (Forskal, 1775) in Lawele Relationships of Scylla serrata in
Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia. Ege J Bulungan District, North Kalimantan,
Fish Aqua Sci, 31(1):11-18. Indonesia. Biodiversitas, 18 (4): 1316 –
Lee, S.Y., J.H. Primavera, F.D. Guebas, K. 1323.
McKee, J.O. Bosire, S. Cannicci, K. Diele, F. Wiryanto, Sunarto, dan S.M. Rahayu. 2017.
Fromard, N. Koedam, C. Marchand, I. Biodiversity of Mangrove Aquatic Fauna
Mendelssohn, N. Mukherjee, dan S. Record. in Purworejo, Central Java, Indonesia.
2014. Ecological role and services of Biodiversitas, 18 (4): 1344 – 1352.
tropical mangrove ecosystems: a

Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Setapuk 29


30 Yulianti dan Sofiana (2018)

Anda mungkin juga menyukai