Anda di halaman 1dari 4

Cerita Pemerintah yang Ingin Redam Dampak Abrasi

Kota Padang dan Sejarah yang Berulang


Oleh Jaka Hendra Baittri

Pada sebuah pagi yang cerah pertengahan 2022 angin dari laut berhembus kencang.
Ombak menghempas-hempas batu pemecah ombak dan air laut masuk ke jalanan. Saat
kering pasir darilaut bersisah dan dibersihkan petugas berbaju orange.

“Itu namanya Galoro,” kata Asri, seorang nelayan Pantai Air Manis Kota Padang. Pria
berusia 52 tahun ini kemudian kesulitan menyulut api ke rokok kreteknya. Namun akhirnya
berhasil karena kami sedang duduk di pondok kecil yang punya sedikit dinding penghalang
angin.

Sambil meluruskan topi hitamnya dia menjelaskan galoro adalah ombak besar yang datang
tanpa disertai angin kencang. Beberapa orang menyebutnyaombak pasang. Kini air itu
mendekat.

Pondok itu semakin dekat dengan ombak. Tak jauh dari situ ada rumah Edi, kawan Asri,
yang sudah lebih dulu dihempas-hempas ombak. Lantai kamar Edi sempat jebol karena tiap
malam ombak sudah pasti berdentum ke dinding kamarnya.

Ombak itu kini semakin dekat dengan pondok. Perahu-perahu nelayan harus diangkat ke
permukaan yang lebih tinggi. Karena bisa-bisa terbawa gelombang ke tengah laut dengan
sendirinya. Padahal dahulu ada pondok berdiri di titik 20 meter dari daratan tempat kami
duduk, pada titik yang kini sudah jadi batu grip yang disusun memanjang ke arah laut.

Seminggu itu angin kencang, cuaca tak menentu dan hanya nelayan-nelayan nekat yang
tetap berangkat mencari ikan. Sebenarnya nelayan-nelayan di Pantai Air Manis bisa
membaca cuaca. Dia menunjuk ujung laut. Cakrawala yang saat itu sedang ada garis hijau.
“Itu angin yang sedang kencang. Sebentar lagi angin itu ke daratan,” katanya.

Tak berapa lama angin memang datang ke darat dan membuat ombak semakin besar jatuh
ke darat. Angin itu kata Asri akan membawa awan hujan ke darat. Nanti awan itu akan
memunculkan hujan dan hujan itu dihantam kilat. Selanjutnya hari akan cerah.

“Nanti angin itu ke darat. Tapi nanti dihantam hujan, nanti hujan dihantam kilat, setelah itu
hujan hilang,” katanya. Setelah itu baru datang hari baik melaut. Ketika cakrawala tidak
ditutup awan hitam beserta gradasi hijau.

Meski pun bisa membaca cuaca kondisi alam diakuinya semakin sulit ditebak. Abrasi
memakan ruang untuk menyandarkan perahu-perahu nelayan. Mencari ikan juga semakin
jauh.
Rencana Pemerintah Sumatera Barat Menangani Bencana Abrasi di Pesisir

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Pemerintah Kota Padang


menggelar diskusi dengan judul rancangan infrastruktur abrasi pesisir pantai Padang
berbasis mitigasi bencana Senin tanggal 6 Februari lalu.

Pembahasan dalam diskusi itu dicatat ada dua jenis bencana yang  berpotensi terjadi di
Sumatera Barat yaitu tsunami dan bersifat rapid on set dan abrasi yang bersifat slow on set.

Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB bilang pada
prinsipnya setiap pantai memiliki sirkulasinya masing-masing. 

“Waktu musim barat dan timur misalnya gelombang dominan membawa sedimen pasir
dalam arah tegak lurus pantai. Sedangkan pada musim peralihan, gelombang membentuk
arus sejajar pantai yang akan membawa sedimen dalam arah sejajar pantai, baik dalam
arah utara-selatan, maupun sebaliknya,” katanya.

Sepanjang pantai Padang ternyata memiliki karakteristik abrasi yang berbeda-


beda.Misalnya di sekitar Monumen Merpati Perdamaian hingga kawasan Muaro,
karakteristik abrasi dominan dalam arah tegak lurus pantai. Berbeda dengan kawasan di
bagian utara di sekitar Bandara Internasional Minangkabau (BIM), gelombang dan arus
masih dominan bergerak sejajar pantai. 

Pola arus atau karakteristik ini juga dapat berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan
pertambahan bangunan pelindung pantai. 

"Prinsip dan karakteristik ini yang harus kita petakan satu-persatu untuk menentukan
pelindung pantai seperti apa agar efektif untuk mencegah abrasi," jelasnya. 

Dia mengatakan adanya infrastruktur lepas pantai akan mendorong kemunculan sedimen di
belakangnya. Selanjutnya sedimen ini bisa dimanfaatkan untuk menanam vegetasi seperti
mangrove, cemara udang dan vegetasi lain yang tentu saja bermanfaat menahan abrasi dan
mengurangi risiko tsunami. 

“Pembangunan fisik harus paralel juga dengan upaya mitigasi berbasis vegetasi,” katanya.

Adapun menurut Abdul, salah satu pilihan infrastruktur untuk memitigasi adanya abrasi di
Pantai Padang saat ini adalah dengan membangun offshore breakwater  yang sejajar
pantai, di laut sejauh 50 - 100 meter dari bibir pantai. 

"Pembangunan fisik ini untuk jangka pendek 50 - 70 tahun, karena infrastruktur fisik semakin
lama semakin berkurang kekuatannya. Sedangkan tsunami memiliki periode ulang 50
hingga ratusan tahun. Sementara kalau vegetasi, semakin lama ditanam akan semakin kuat
menahan gelombang," tambahnya. 

"Secara alami, dengan adanya pemecah gelombang offshore yang sejajar pantai, akan
terbentuk Tombolo atau sedimen pasir yang terbawa arus yang tegak lurus dengan pantai,"
tambahnya. 

Medi Iswandi Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Barat mengatakan 25,7 perekonomian
provinsi Sumatera Barat ada di Padang. Aktivitas perekonomian yang bertumpu pada
kegiatan perdagangan, transportasi, dan industri mayoritas berada pada zona merah. 
Jumlah itu terancam oleh bencana tsunami dan bencana abrasi.
Mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan Medi mengatakan Padang kehilangan
21 sampai 49 meter per tahun di sepanjang 24,7 dari 74 km garis pantai di Padang sejak
209 sampai 2018. Selain itu ada kenaikan air laut 0,37 cm per tahun.Garis pantai Padang
juga mengalami kemunduran 6 meter per tahun ke arah darat.

"Apabila kita membangun infrastruktur pelindung Pantai Padang, maka kita sudah
menyelamatkan 25% dari ekonomi Provinsi Sumatra Barat," kata Kepala Bappeda Provinsi
Sumatera Barat, Medi Iswandi. 

Dalam diskusi tersebut Walikota Padang Hendri Septa malah mendorong program dari
Kementerian PUPR terkait rancangan jangka panjang untuk antisipasi abrasi sepanjang
Pantai Padang. Dia mengatakan ada beberapa titik Pantai Padang yang belum punya batu
grip untuk tahan abrasi. Dia menyebut salah satunya Koto Tangah.

“Kita memohon pada pemerintah pusat khususnya Kementerian PUPR untuk bersama-sama
melindungi kondisi Kota Padang. Apalagi melihat banyak gedung-gedung bersejarah di
sekitar pantai,” katanya dalam rilis Pemerintah Kota Padang.

Selanjutnya Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan
Pekerjaan Rakyat (Dirjen SDA PUPR) Jarot WIdyoko mengatakan 2023 akan
memprioritaskan pengamanan pantai sekitar Masjid Al Hakim. Dia mengatakan itu karena
ada data yang mencatat Juli 2022 terjadi gelombang ekstrim yang menyebabkan gelombang
naik ke darat hingga sekitar 40 meter.

Gelombang itu lah yang saya lihat bersama Asri nelayan Pantai Air Manis. Gelombang yang
mungkin sama dan berulang sepanjang sejarah.

Abrasi Dalam Ingatan Kota Padang dan Solusi Yang Pernah Dilakukan

Deddy Arsya selaku akademisi sejarah di Universitas Islam Negeri Sjech M Djamil
Djambek Bukittinggi mengatakan belum menemukan catatan peristiwa abrasi dalam
koran-koran kolonial.

“Tapi kalau dalam ingatan-ingatan orang memang ada muncul soal abrasi. Tapi tampaknya
itu setelah kolonial. Kalau di sekitar pantai Padang itu dulu ada kawasan pertokoan tionghoa
dan kuburan semua habis oleh abrasi. Jejaknya kadang masih kelihatan kalau pasang
sedang surut,” katanya. Lokasinya sekitar Taman Budaya Padang yang sekarang.

Terkait wilayah pantai yang lain sejauh ini Dedi tidak menemukan kasusnya dalam sejarah.
“Mungkin karena wilayah pinggir laut tidak dihuni sejak dulu. Pemukiman selalu diarahkan
ke daratan. Jadi bukan problem manusia abrasi itu. Itu jadi problem karena pemukiman
manusia yang semakin mendesak ke arah laut,” katanya.

Penanganan abrasi dengan batu-batu pemecah ombak baru dilakukan belakangan pada era
orde baru. “Sebelum itu belum pernah terbaca ada upaya dan kebijakan serupa,” katanya.

“Belanda lebih sibuk mengurus air daratan. Seperti bikin sodetan, kali buatan, drainase dan
seterusnya,” katanya.
Randi Reimena seorang penulis sejarah Sumatera Barat mengatakan ada beberapa catatan
penanganan abrasi oleh pemerintah Indonesia salah satunya di Buku Padang Riwayatmu
Kini karya Rusli Amran.

Alumni magister ilmu sejarah Universitas Andalas ini mengatakan dalam tulisan Rusli Amran
menggambarkan bagaimana salah satu lokasi pada tahun 1907 ada sebuah bukit dan ada
rumah kecil diatasnya serta bangku tempat santai hancur oleh terjangan ombak.  Lokasinya
di ujung Jalan Nipah. Lokasi yang kabarnya juga pernah ada meriam Belanda hanya saja
dibongkar pada 1988.

Selain Rusli Amran ada pula Randi menyebut Majalah Ganto yang terbit tahun 1973.
Artikelnya berjudul “Laju Erosi Pantai Padang Berhasil Dihentikan”. Randi mengatakan
dalam artikel itu dilaporkan mbak Samudra Hindia membuat menyebabkan abrasi mencapai
2,2 meter per tahun.

“Sebenarnya pada 1964 pemerintah Sumatera Barat membuat dam darurat untuk menahan
hantaman ombak. Pembangunannya dari muara Batang Arau sampai Muara Banjir Kanal.
Pembangunan dilakukan sampai 1969. Namun dam itu juga akhirnya retak dan tergerus,”
katanya.

Pemerintah Sumatera Barat tak menyerah, mereka membangun lagi dengan anggaran 206
juta rupiah saat itu. Mereka membuat tanggul sistem grip dengan menumpuk bongkahan-
bongkahan batu gunung dan kubus beton. Batu grip beranjung ini menjorok ke laut sampai
25 meter. “Ini dibangun 1973,” katanya.

Pada 2021 pemerintah kembali menyusun batu grip di beberapa bagian pantai Kota
Padang. Salah satunya di dekat masjid putih al-hakim. Jadi apakah klaim berhasil
menghentikan laju erosi akan muncul lagi?

Anda mungkin juga menyukai