Anda di halaman 1dari 6

II.

TINJAUAN TEORI DAN


KEBIJAKAN
2.1 Batasan Dan Pengertian
2.1.1. Abrasi Pantai
Seiring perkembangan waktu garis pantai selalu berubah. Perubahan garis
pantai terjadi akibat interaksi antara gelombang laut dan daratan sehingga pantai
membuat keseimbangan baru. Abrasi terjadi akibat pengaruh gelombang sehingga
terjadi transpor sedimen sejajar pantai.
Abrasi pantai adalah kerusakan garis pantai akibat dari terlepasnya
material pantai, seperti pasir atau lempung yang terus menerus di hantam oleh
gelombang lautatau dikarenakan oleh terjadinya perubahan keseimbangan
angkutan sedimen di perairan pantai (Hang Tuah, 2003).
Erosi pantai (abrasi) dan deposisi pantai merupakan fenomena umum dan
sering terjadi di wilayah pesisir.Abarasi pantai dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti proses alami yang terjadi di laut, akibat aktifitas manusia maupun
kombinasi keduanya. Daerah pesisir Indonesia banyak yang telah mengalamI
abrasi seperti pantai selatan Jawa, Bali dan pantai barat Sumatera.Dalam skala
kecil abrasi pantai juga terjadi di Kalimantan Barat, seperti di pantai Sui Duri.
Abrasi ini umumnya terjadi di bagian ujung daratan yang menonjol (off head
land) dan di bagian pantai yang tersusun dari bahan /mineral alluvial dan material
lepas (unconsolidated) lainnya.
Proses alami penyebab abrasi terdiri dari efek-efek gelombang, arus laut,
angin dan aksi pasang surut (Birowo, 1994). Gerakan gelombang pada pantai
terbuka merupakan penyebab utama yang dominan terjadi pada erosi pantai di
Indonesia. Selain itu perubahan hidrologis dan oseanografi akan mempercepat
berlangsungnya proses tersebut

2.1.2. Definisi dan Ruang Lingkup Mangrove


Pada umumnya mangrove adalah pohon-pohon dan semak-semak yang
tumbuh dibawah tingkat air pasang tinggi di musim semi. Dengan demikian,
sistem perakarannya secara teratur digenangi air laut (asin), meskipun satu atau
dua kali dalam setahun dibanjiri oleh aliran permukaan air tawar, dan hanya
digenangi sekali atau dua kali setahun.
Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan
yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki
fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan
berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Seperti halnya direkomendasikan
oleh FAO (1982), kata mangrove sebaiknya digunakan baik untuk individu jenis
tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut.
Adapun menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan
halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang
tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di
daerah tropis dan sub-tropis.

Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove

dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut
(terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang
pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya
bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu
sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi
dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.
2.2. Pelindung Pantai
a. Penanaman Tumbuhan Pelindung Pantai

Penanaman tumbuhan pelindung pantai berupa mangrove (bakau, nipah dan


pohon api-api) dapat dilakukan terhadap pantai berlempung, karena pada pantai

berlempung mangrove dapat tumbuh dengan baik tanpa perlu perawatan yang
rumit. Pohon bakau dan pohon api-api dapat mengurangi energi gelombang yang
mencapai pantai sehingga pantai terlindung dari serangan gelombang.
Penanaman pohon bakau juga dapat mempercepat pertumbuhan pantai
karena akar-akar pohon bakau akan menahan sedimen/lumpur yang terbawa arus
sehingga akan terjadi pengendapan di sekitar pepohonan bakau. Pohon bakau
juga dapat berfungsi sebagai tempat berlindung biota laut dan bagi ikan, sehingga
dapat melestarikan kehidupan di sekitar pantai tersebut. Pohon bakau juga
berfungsi sebagai penghasil oksigen dan sebagai penyeimbang untuk kelestarian
lingkungan pantai (Triatmodjo, 1999).
b. Pengisian Pasir (Sand Nourishment)
Perlindungan pantai dengan sand nourishment dipilih berdasar pertimbangan
kesesuaian dan keharmonisan dengan lingkungan. Metode sandnourishment
biasanya memerlukan biaya investasi lebih murah dibandingkan metode lainnya,
tetapi biaya operasi dan perawatannya relatif lebih mahal (Triatmodjo, 1999).
Prinsip kerja sand nourishment yaitu dengan menambahkan suplai sedimen ke
daerah pantai yang potensial akan tererosi. Penambahan sedimen dapat dilakukan
dengan menggunakan bahan dari laut maupun dari darat, tergantung ketersediaan
material dan kemudahan transportasi. Suplai sedimen berfungsi sebagai cadangan
sedimen yang akan di bawa oleh badai (gelombang yang besar) sehingga tidak
mengganggu garis pantai. Diusahakan kualitas pasir urugan harus lebih baik atau
sama dengan kualitas pasir yang akan diurug atau diameter pasir urugan
diusahakan lebih besar atau sama dengan diameter pasir asli (Triatmodjo, 1999).
Sand nourishment merupakan cara yang cukup baik dan tidak memberikan
dampak negatif pada daerah lain, namun perlu dilakukan secara terus-menerus
sehingga memerlukan biaya perawatan yang mahal. Mengingat biaya operasional
yang mahal maka sand nourishment hanya dilakukan jika memberikan
keuntungan yang cukup besar dan nyata, seperti pantai untuk pariwisata.

c. Groin (Groyne)
Struktur groin dibagi menjadi 2 bagian yaitu difracting dan nondifracting.
Groin non-difracting biasanya memiliki panjang yang relatif lebih pendek jika
dibandingkan dengan groin difracting. Panjang groin akan efektif menahan
sedimen apabila bangunan tersebut menutup lebar surfzone. Namun keadaan
tersebut dapat mengakibatkan suplai sedimen ke daerah hilir terhenti sehingga
dapat mengakibatkan erosi di daerah hilir. Sehingga panjang groin dibuat 40%
sampai dengan 60% dari lebar surfzone dan jarak antar groin adalah 1-3 panjang
groin. (Triatmodjo, 1999)
Groin memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut :
a. Kelebihan (Triatmodjo, 1999):
Mampu menahan transpor sedimen sepanjang pantai
Groin tipe T dapat digunakan sebagai inspeksi dan untuk keperluan wisata
b. Kelemahan (Triatmodjo, 1999):
Pembangunan groin pada pantai yang tererosi akibat onshore offshore
transport dapat mempercepat erosi tersebut
Perlindungan pantai dengan groin dapat menyebabkan erosi di daerah hilir.
d. Breakwater
Sebenarnya breakwater atau pemecah gelombang dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu pemecah gelombang sambung pantai dan lepas pantai. Tipe
pertama banyak digunakan pada perlindungan perairan pelabuhan, sedangkan
tipe kedua untuk perlindungan pantai terhadap erosi. Secara umum kondisi
perencanaan kedua tipe adalah sama, hanya pada tipe pertama perlu ditinjau
karakteristik gelombang di beberapa lokasi di sepanjang pemecah gelombang,
seperti halnya pada perencanaan groin dan jetty. Penjelasan lebih rinci mengenai
pemecah gelombang sambung pantai lebih cenderung berkaitan dengan
palabuhan dan bukan dengan perlindungan pantai terhadap erosi. Selanjutnya
dalam tinjauan lebih difokuskan pada pemecah gelombang lepas pantai.

Breakwater atau dalam hal ini pemecah gelombang lepas pantai adalah
bangunan yang dibuat sejajar pantai dan berada pada jarak tertentu dari garis
pantai. Pemecah gelombang dibangun sebagai salah satu bentuk perlindungan
pantai terhadap erosi dengan menghancurkan energi gelombang sebelum sampai
ke pantai, sehingga terjadi endapan dibelakang bangunan. Endapan ini dapat
menghalangi transport sedimen sepanjang pantai.
2.3.. Kebijakan/Dasar Hukum

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan

atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil


2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil


3. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya


7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Sumberdaya Air

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan DaerahProvinsi, dan


Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
10. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 9 Tahun 2012 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil


11. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 22 Tahun 2010 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029


12. Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 14 Tahun 2006 tentang

Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Dan Penataan Fungsi Pulau


Biawak, Gosong Dan Pulau Candikian
13. Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 1 Tahun 2012 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Indramayu Tahun 2011 2031

Anda mungkin juga menyukai