Anda di halaman 1dari 17

Effect of the fear of missing out to cyberloafing among college

students in Medan

Pengaruh fear of missing out terhadap cyberloafing pada mahasiswa di

kota Medan

Dwifarilan Filadelfia Silalahi1, Rika Eliana2


1
Universitas Sumatera Utara, Fakultas Psikologi, Jl. Dr. Mansyur No.7 Padang Bulan, Kota

Medan, Negara Indonesia


2
Universitas Sumatera Utara , Departemen Psikologi Sosial, Jl. DR. Mansyur No.7 Padang

Bulan, Kota Medan, Negara Indonesia

Abstract

This research examines the effect of fear of missing out on cyberloafing among college
students. Individuals who experience fear of missing out feel afraid if other people have
pleasant experiences when the individual is not directly involved. the individual will try to
stay connected to others through the media and the internet. This research uses quantitative
methods with regression data analysis. The research using an incidental sampling technique
and takes 300 college students in medan. This research using the scale of fear of missing out
with a reliability value of 0.874 and the cyberloafing scale with a reliability value of 0.894.
The results showed that there was a role of the fear of missing out on cyberloafing among
students by 21.7% and 78.3% influenced by other factors. This study also found a strong
relationship between aspects of cyberloafing (sharing) and aspects of fear of missing out.
Keywords: fear of missing out, cyberloafing, college student

Abstrak

Penelitian ini menelaah pengaruh fear of missing out terhadap cyberloafing pada mahasiswa.
Individu yang mengalami fear of missing out merasa takut jika orang lain memperoleh
pengalaman yang menyenangkan disaat individu tersebut tidak terlibat secara langsung. hal
ini menyebabkan individu tersebut berusaha tetap terhubung dengan orang lain melalui media
dan internet. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan analisa data regresi.
Sample diambil menggunakan teknik incidental sampling yang melibatkan 300 mahasiswa
yang berdomisili di Medan. Alat ukur yang digunakan adalah skala fear of missing out
dengan nilai reliabilitas 0,874 dan skala cyberloafing dengan nilai reliabilitas 0,894. Hasil
penelitian menunjukan terdapat peran fear of missing out terhadap cyberloafing pada
mahasiswa sebesar 21.7% dan 78.3% dipengaruhi oleh faktor lain. studi ini juga menemukan

1
adanya hubungan yang kuat antara aspek cyberloafing (sharing) dengan aspek fear of missing
out.
Kata kunci: fear of missing out, cyberloafing, mahasiswa

Pendahuluan

Sejak munculnya teknologi komputer dan internet, perkembangan yang cepat terus

menerus terjadi dan telah menjadi bagian penting dalam kehidupan banyak orang di dunia.

Internet memberikan kemudahan untuk mencari sumber informasi yang cepat sesuai dengan

kebutuhan. Internet membawa sangat banyak dampak positif dalam berbagai bidang

kehidupan umat manusia baik itu dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan, politik dan lain

lain (Robert Kraut, 2002). Dalam bidang pendidikan, lembaga pendidikan mengintegrasikan

manfaat teknologi informasi dan komunikasi ini dengan menyediakan akses internet ke dalam

pendidikan (Yilmaz, Yilmaz, Ozturk, Sezer, & Karademir, 2015). Keberadaan internet di

kampus diharapkan meningkatkan kualitas belajar di perguruan tinggi, namun akses internet

di dalam kelas justru seringkali dimanfaatkan untuk hal-hal yang sifatnya non-akademik.

Misalnya, chatting, akses situs hiburan, dan media sosial pada saat perkuliahan (Junco &

Cotten, 2012). Perilaku mengakses internet untuk kegiatan non-akademik seperti ini disebut

sebagai cyberloafing (Akbulut, Dursun, Dönmez, & Şahin, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Prasad, Lim, dan Chen (2010) menemukan fenomena

mahasiswa di perguruan tinggi yang menggunakan akses internet kampus untuk kepentingan

pribadi selama jam kuliah. Riset menunjukkan bahwa kegiatan ini dapat berdampak buruk

terhadap pembelajaran (Ravizza, Hambrick & Fenn, 2014). Misalnya, terdapat korelasi

negatif antara lama waktu yang dimanfaatkan melakukan cyberloafing terhadap prestasi

akademik pada mahasiswa (Arabaci, 2017). Mahasiswa yang melakukan cyberloafing juga

cenderung mendapatkan nilai ujian yang buruk (Arabaci, 2017; Junco & Cotten, 2012), dan

mengalami pengurangan motivasi belajar (Arabaci, 2017). Adapun dampak-dampak buruk ini

2
terjadi karena cyberloafing mengalihkan fokus para mahasiswa dari materi pembelajaran ke

hal-hal non-akademik (Prasad dkk., 2010).

Mempertimbangkan dampak buruk yang dapat diakibatkan cyberloafing, faktor-faktor

yang menentukan perilaku cyberloafing penting untuk kita pahami. Menurut Ozler (2012)

terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing yaitu faktor individual,

organisasi, dan situasional. Selain itu, penelitian terdahulu juga telah menemukan faktor-

faktor lain yang tidak masuk ke dalam ketiga kategori tersebut. Misalnya, tingkat stress

(Blanchard, 2008), regulasi diri (Prasad et.al., 2010), dan durasi menggunakan internet

(Baturay, 2015).

Hal di atas menunjukkan bahwa sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk

menelaah faktor-faktor penentu cyberloafing. Meskipun demikian, terdapat satu faktor yang

sampai saat ini belum mendapat perhatian mendalam dari para peneliti, yaitu fear of missing

out. Fear of missing out ini dapat menjadi penentu cyberloafing karena beberapa alasan

berikut ini.

Pertama, individu yang mengalami fear of missing out merasa ketakutan orang lain

memperoleh pengalaman yang menyenangkan namun tidak terlibat secara langsung sehingga

menyebabkan individu berusaha untuk tetap terhubung dengan apa yang orang lain lakukan

melalui media dan internet. Hal tersebut membuat individu memiliki dorongan untuk terus

menggunakan media sosial untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh orang

disekitarnya secara online (Przybylski dkk., 2013; Sayrs, 2013). Hal ini membuat individu

tidak dapat mengendalikan penggunaan media sosial mereka, sehingga pemakaian media

sosial mereka menjadi kompulsif yang mana hal ini terkait oleh regulasi diri yang rendah

(Reagle, 2015). Kedua, fear of missing out ini menjadi indikasi dari keadaan sosial dan

emosi negatif seperti kebosanan dan kesepian yang berkaitan langsung dengan penggunaan

internet dan media sosial (Kross dkk., 2013; Burke, Marlow, & Lento 2010). Dalam

3
penelitian Ozler (2012) kesepian (loneliness) merupakan salah satu personal trait yang

memiliki pengaruh terhadap terjadinya perilaku cyberloafing. Menurut Lim dan Chen (2012)

cyberloafing juga merupakan mekanisme penanganan rasa bosan, hal ini juga diperkuat oleh

penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2019) yang menyatakan bahwa kebosanan memiliki

pengaruh terhadap perilaku cyberloafing. Ketiga, terdapat adanya hubungan yang linier

antara fear of missing out dengan tidak termotivasi dalam belajar, sehingga hal tersebut

menyebabkan meningkatnya penggunaan gadget (Alt, 2015).

Sebagaimana dijelaskan di paragraf sebelumnya, ada setidaknya tiga alasan mengapa

fear of missing out dapat menentukan cyberloafing. Kemudian secara prakti dari penelitian

akan memberikan keuntungan bagi pihak tertentu seperti mahasiswa dan institusi

pendidikan , bagi mahasiswa penelitian ini akan dapat menjadi tolak ukur untuk

menggunakan gadget yang ia miliki.sehingga mahasiswa mampu membuat batasan waktu

untuk menggunakan gadget yang ia miliki. Bagi institusi pendidikan dapat membuat

sosialisasi untuk para mahasiswa dan membuat posko penanganan untuk mahasiswa yang

bermasalah dengan penggunaan sosial media yang menyebabkan penurunan nilai IPK.

Sehingga para mahasiswa dapat menghasilkan IPK yang baik akan tetapi, belum ada

penelitian yang secara eksplisit mengungkapkan hal ini. Oleh karena itu, di dalam penelitian

ini, peneliti tertarik untuk menelaah peran fear of missing out terhadap cyberloafing.

METODE

Partisipan

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-

probability dengan metode incidental sampling. Adapun karakteristik sampel pada penelitian

ini adalah mahasiswa S1 yang aktif, mahasiswa pengguna gawai/gadget, dan mahasiswa

angkatan 2016 – 2019 dan berdomisili di kota Medan. Pada penelitian ini jumlah sampel

yang digunakan oleh peneliti adalah sebanyak 300 sampel.

4
Prosedur

Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 2 September 2020. Pengambilan data

dilaksanakan dengan cara menyebarkan skala kepada responden dengan kriteria yang telah

ditentukan. Skala diberikan oleh peneliti dalam bentuk google form. Peneliti membagikan

google form melalui media sosial dibagikan kepada rekan-rekan dan diisi oleh beberapa

mahasiswa yang berasal dari Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Medan Area

(UMA), Universitas HKBP Nommensen Medan (UHN), Universitas Negeri Medan

(UNIMED), dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) sebanyak 300 subjek.

Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menyusun skala, menetapkan

karakteristik responden, dan menyebarkan skala, serta memberikan informed consent.

Informed consent yang diberikan berupa pengertian bahwa data yang diberikan oleh

responden bersifat rahasia.setelah responden mengisi skala responden akan diberikan

debriefing dan memberikan kompensasi berupa pulsa sebesar 20 ribu rupiah bagi 10

responden yang beruntung.

Alat Ukur

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Peneliti

menggunakan alat ukur berdasarkan variabel penelitian yaitu cyberloafing dan fear of

missing out. Alat ukur cyberloafing dibuat menjadi skala 5 tiitik (1=tidak pernah – 5=

sangat sering ).skala penelitian ini diadaptasi dari skala cyberloafing oleh Akbulut, Dursun,

Donmez, dan Sahin (2016) yang diterjemahkan ke dalam versi Bahasa Indonesia. Alat ukur

fear of missing out dibuat menjadi skala 5 tiitik (1=tidak pernah – 5= sangat sering) skala

penelitian ini diadaptasi dari skala fear of missing out yang telah diadaptasi oleh Zahra (2019)

ke dalam versi Bahasa Indonesia berdasarkan pengembangan dari domain teori fear of

missing out oleh Przyblylski, Murayama, DeHaan dan Gladwell (2013).

5
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji face validity. Pengujian face

validity alat ukur dilakukan dengan cara menggunakan pendapat para ahli (expert judgement).

Setelah dilakukan expert judgement, selanjutnya peneliti melakukan uji coba alat ukur pada

sampel penelitian dan kemudian dilakukan analisis aitem dengan bantuan SPSS.

HASIL

Uji Validitas dan Reliabilitas

Pada hasil uji coba diperoleh 19 aitem skala fear of missing out dengan reliabilitas

sebesar 0.874. berikut adalah contoh butir item skala “saya takut orang lain menganggao

saya tidak kekinian terhadap topik-topik penting ( seperti berita, gossip, atau gaya)”

Sementara itu, untuk skala cyberloafing diperoleh 30 aitem dengan reliabilitas 0.894. berikut

adalah contoh butir item skala “ saya memeriksa postingan-an teman-teman saya”.

Hasil Uji Regresi

Hasil uji regresi menunjukkan ada peran yang signifikan (r = .217, p = .000) antara

fear of missing out dengan cyberloafing pada mahasiswa. Koefisien determinan (R-

square) yang diperoleh dari peran fear of missing out terhadap cyberloafing pada subjek

penelitian adalah sebesar .217. Hal ini menunjukkan bahwa peran fear of missing out

terhadap cyberloafing pada mahasiswa adalah sebesar 21.7%. Hal tersebut berarti fear of

missing out memberikan sumbangan sebesar 21.7% terhadap cyberloafing, sedangkan

78,3% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Dari hasil analisis, persamaan garis regresi

yang dihasilkan adalah Y = 55.397+0,609 X dengan eror 3,635 dan ,067. Persamaan ini

menunjukkan bahwa apabila fear of missing out (X) bernilai nol, maka cyberloafing (Y)

memiliki nilai sebesar 55.397. Nilai koefisien regresi sebesar 0,609, hal ini berarti apabila

nilai fear of missing out bertambah satu satuan, maka nilai cyberloafing akan mengalami

kenaikan sebesar 0,609. Kemudian diperoleh nilai signifikansi yaitu sebesar 0,000 lebih

6
kecil dari 0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fear of missing out

mempunyai peran dan signifikan terhadap cyberloafing.

Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian masing-

masing variabel menyebar secara normal. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan

One Sample Kolmogorov-Simirnov Test dengan bantuan aplikasi komputer SPSS version

24.00 for Windows. Data dapat dikatakan terdistribusi secara normal jika nilai p > 0.05.

Dalam penelitian ini, variabel fear of missing out memiliki nilai Z sebesar 0.980 dengan nilai

signifikansi sebesar 0.292 dan variabel cyberloafing memiliki nilai Z sebesar 1.051 dengan

nilai signifikansi sebesar 0.219. Nilai Z dan nilai signifikansi untuk kedua variabel lebih

besar dari 0.05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data penelitian pada variabel fear

of missing out dan cyberloafing terdistribusi secara normal.

Uji Linearitas

Uji linearitas berguna untuk mengetahui apakah variabel-variabel dalam penelitian

memiliki hubungan yang linear atau tidak. Uji ini merupakan prasyarat dalam analisis

korelasi atau regresi linear. Uji linearitas pada penelitian ini menggunakan Uji F dengan

bantuan aplikasi komputer SPSS version 24.0 for Windows, variabel dikatakan memiliki

hubungan yang linear jika nilai Sig. Linearity lebih kecil dari 0.05. Dalam penelitian ini

variabel fear of missing out dan cyberloafing memiliki nilai Sig. Linearity sebesar 0.000

(lebih kecil dari 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa antara variabel fear of missing out dan

cyberloafing memiliki hubungan linear.

7
1. Gambaran Mean Fear of Missing Out dan Cyberloafing Berdasarkan

Jenis Kelamin

Berdasarkan data yang telah dianalisa dapat dilihat bahwa subjek yang berjenis kelamin

laki-laki memiliki nilai mean fear of missing out (52.80) dan cyberloafing (87.56) yang lebih

tinggi dibandingkan perempuan yaitu fear of missing out (52.66) dan cyberloafing (87.26).

2. Gambaran Mean Fear of Missing Out dan Cyberloafing Berdasarkan

IPK

Berdasarkan data yang telah dianalisa , dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada

kategori IPK >2 sampai 3 memiliki nilai mean fear of missing out (52.91) dan cyberloafing

(91.53) yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang berada pada kategori IPK >3

sampai 4 memiliki nilai mean fear of missing out (52.66) dan cyberloafing (86.67).

3. Gambaran Mean Fear of Missing Out dan Cyberloafing Berdasarkan

Seberapa Lama Menggunakan Gawai

Berdasarkan data yang telah dianalisa pada bagian seberapa lama subjek menggunakan

gawai dapat dilihat bahwa subjek yang menggunakan gawai selama >8 jam nilai mean fear of

missing out (59.00) dan cyberloafing (97.25) yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek

yang menggunakan gawai 1-2 jam dengan nilai mean fear of missing (48.81) dan

cyberloafing (80.59) , 2-4 jam dengan nilai mean fear of missing (51,47) dan cyberloafing

(85.94) , dan dengan nilai mean fear of missing (54.27) dan cyberloafing ( 85.94) 5-6 jam.

4. Gambaran Mean Fear of Missing Out dan Cyberloafing Berdasarkan

Barang yang Penting untuk dibawa ke Kampus

8
Berdasarkan data yang telah dianalisa pada bagian barang yang penting untuk dibawa

ke kampus, dapat dilihat bahwa subjek yang memilih membawa handphone memiliki nilai

mean fear of missing out (52.86) dan cyberloafing (88.28) yang lebih tinggi dibandingkan

dengan subjek yang memilih membawa tas dan alat tulis.

DISKUSI

Hasil analisis regresi menunjukkan ada peran yang signifikan (r = .217, p = .000) antara

fear of missing out terhadap cyberloafing pada mahasiswa. Kemudian diperoleh nilai

signifikansi yaitu sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05, dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa fear of missing out mempunyai peran dan signifikan terhadap cyberloafing. Hal ini

membuktikan bahwa hipotesis pada penelitian ini “Terdapat peran fear of missing out

terhadap cyberloafing pada mahasiswa” diterima.

Koefisien determinan (R-square) yang diperoleh dari peran fear of missing out terhadap

cyberloafing pada subjek penelitian adalah sebesar .217 yang artinya peran fear of missing

out terhadap cyberloafing pada mahasiswa adalah sebesar 21.7% dan 78,3% dipengaruhi oleh

faktor-faktor lain. Adapun faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing

yaitu faktor individual meliputi sikap dan persepsi, personal trait, kebiasaan dan adiksi

internet, dan faktor demografis seperti gender. Faktor situasional meliputi akses internet dan

fasilitas yang tersedia untuk mengakses internet (Ozler, 2012). Selain itu, penelitian terdahulu

juga telah menemukan faktor-faktor lain seperti tingkat stress (Blanchard, 2008), regulasi diri

(Prasad et.al., 2010), dan durasi menggunakan internet (Baturay, 2015).

Hasil analisis tambahan diperoleh bahwa ada korelasi yang kuat antara aspek sharing

(cyberloafing) dengan aspek keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain yaitu sebesar

0.481. Hal ini berarti ketika seseorang memiliki keinginan untuk tetap terhubung dengan

sekitarnya maka individu akan melakukan aktivitas sharing yaitu aktivitas akses internet

berupa mengecek posting, memberikan komentar pada posting orang lain, mengecek video

9
yang dibagikan di media sosial serta melakukan pembicaraan dengan orang lain. Hal ini juga

sejalan dengan penelitian dari Przybylski dkk (2013) dan Sayrs (2013) yang menyatakan

individu yang mengalami fear of missing out memiliki dorongan untuk terus menggunakan

media sosial untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh orang disekitarnya secara

online.

Adanya keinginan individu yang mengalami fear of missing out untuk selalu terhubung

dengan orang disekitarnya melalui akses intenet dapat membuat perilaku cyberloafing

muncul. Ketakutan tertinggal informasi merupakan salah satu ciri dari fear of missing out.

Ketika individu mengalami fear of missing out, maka individu tertarik untuk selalu terhubung

pada orang lain dengan mengakses internet dan perilaku cyerloafing dapat muncul untuk

mengatasi rasa takut akan tertinggal informasi ataupun merasa kurang up to date.

Cyberloafing diartikan sebagai aktivitas penggunaan akses internet oleh mahasiswa untuk

kepentingan non-akademik di saat jam perkuliahan (Akbulut dkk., 2016). Individu

mengakses internet secara sukarela untuk hal yang tidak berhubungan dengan akademik

menggunakan perangkat elektronik selama kelas berlangsung (Wu dan Ugrin, 2018). Dalam

penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa terdapat subjek yang memilih bermain social media

(Instagram, Line, Whats App, Twitter, Youtube, Tiktok, dll) sebanyak 254 orang (84.7%),

bermain game online sebanyak 36 orang (12.0%), dan berbelanja online sebanyak 10 orang

(3.3%) saat jam perkuliahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Akbulut dkk (2016) yang

menyatakan perilaku cyberloafing terwujud dalam bentuk email, akses situs non-akademik,

chatting, texting, media sosial, shopping, games dan blog yang dilakukan selama mahasiswa

mengikuti perkuliahan (Akbulut dkk., 2016; Baturay & Toker, 2015).

Gender digunakan sebagai variabel kontrol pada penelitian fear of missing out dengan

cyberloafing pada mahasiswa ini. Berdasarkan jenis kelamin, fear of missing out pada laki-

laki dan perempuan berada pada kategori sedang. Hal ini berarti mereka merasa cukup takut

10
ketinggalan informasi terbaru maupun kehilangan saat berharga dengan orang lain. Kondisi

ini membuat mereka memiliki keinginan untuk terus terhubung dengan orang lain secara

online, namun level sedang pada subjek menunjukkan bahwa subjek masih dapat

mengendalikan diri. Jika dibandingkan dari nilai mean, laki-laki memiliki nilai yang lebih

tinggi daripada perempuan. Artinya, laki-laki lebih lebih sering merasa takut kehilangan saat

berharga individu atau kelompok lain sehingga berusaha untuk tetap terhubung dengan orang

lain melalui internet dibandingkan dengan perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki

memiliki need to belong yaitu kebutuhan untuk memiliki atau dimiliki, rasa disayangi atau

dicintai lebih tinggi dibandingkan perempuan (Leary dkk, 2013). Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Przybylski dkk (2013) menemukan bahwa tingkat fear of

missing out yang dimiliki laki-laki lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh perempuan.

Sama halnya dengan cyberloafing, laki-laki dan perempuan berada pada kategori

sedang juga. Hal ini berarti mereka cukup sering melakukan aktivitas penggunaan akses

internet untuk kepentingan non-akademik di saat jam perkuliahan. Namun, level sedang pada

subjek menunjukkan bahwa subjek masih dapat mengendalikan diri. Jika dibandingkan

berdasarkan jenis kelamin, rata-rata skor yang dimiliki laki-laki memiliki nilai yang lebih

tinggi daripada perempuan. Artinya, laki-laki lebih sering melakukan aktivitas internet untuk

kepentingan non-akademik saat jam perkuliahan dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi

karena laki-laki lebih memiliki sikap positif ketika menggunakan jejaring sosial pada waktu

kerja dan menggunakan jejaring sosial lebih sering dibandingkan dengan perempuan (Lim

dan Chen, 2012). Hal di atas menunjukkan bahwa individu yang berjenis kelamin laki-laki

memiliki tingkat fear of missing out yang lebih tinggi dan lebih cenderung melakukan

cyberloafing dibandingkan perempuan. Artinya, laki-laki lebih sering merasa takut

kehilangan saat berharga individu atau kelompok lain dan berusaha untuk tetap terhubung

dengan orang lain melalui internet atau dunia maya sehingga mereka cenderung melakukan

11
aktivitas internet untuk kepentingan non-akademik di saat jam perkuliahan dibandingkan

dengan perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Lim dan Chen (2012) yang menemukan

bahwa laki-laki lebih sering dan menghabiskan banyak waktu untuk cyberloafing daripada

perempuan.

Berdasarkan IPK, fear of missing out subjek dengan kategori >2 sampai 3 dan >3

sampai 4 berada pada kategori sedang. Hal ini berarti mereka merasa cukup takut ketinggalan

informasi terbaru maupun kehilangan saat berharga dengan orang lain. Kondisi ini membuat

mereka memiliki keinginan untuk terus terhubung dengan orang lain secara online, namun

level sedang pada subjek menunjukkan bahwa subjek masih dapat mengendalikan diri. Jika

dibandingkan berdasarkan IPK, nilai rata-rata skor subjek dengan kategori >2 sampai 3

memiliki nilai yang lebih tinggi daripada subjek dengan kategori >3 sampai 4. Artinya,

subjek dengan kategori >2 sampai 3 lebih sering merasa takut kehilangan saat berharga

individu atau kelompok lain sehingga berusaha untuk tetap terhubung dengan orang lain

melalui internet dibandingkan subjek dengan kategori >3 sampai 4.

Sama halnya pada cyberloafing, seluruh subjek pada seluruh kategori IPK berada pada

kategori sedang. Hal ini berarti mereka cukup sering melakukan aktivitas penggunaan akses

internet untuk kepentingan non-akademik di saat jam perkuliahan. Namun, level sedang pada

subjek menunjukkan bahwa subjek masih dapat mengendalikan diri. Hal ini karena mereka

masih harus melakukan kegiatan dan tugas akademik sehingga tidak selalu menggunakan

internet (Putri dan Sokang, 2017). Namun jika dibandingkan, nilai rata-rata skor individu

dengan kategori IPK >2 sampai 3 memiliki nilai yang lebih tinggi daripada subjek dengan

kategori >3 sampai 4. Artinya, subjek dengan kategori >2 sampai 3 lebih sering melakukan

aktivitas internet untuk kepentingan non-akademik saat jam perkuliahan dibandingkan subjek

dengan kategori >3 sampai 4. Hal di atas menunjukkan bahwa subjek dengan kategori >2

sampai 3 memiliki tingkat fear of missing out yang lebih tinggi dan lebih cenderung

12
melakukan cyberloafing dibandingkan subjek dengan kategori >3 sampai 4. Artinya, subjek

dengan kategori >2 sampai 3 lebih sering merasa takut kehilangan saat berharga individu atau

kelompok lain dan berusaha untuk tetap terhubung dengan orang lain melalui internet atau

dunia maya sehingga mereka cenderung melakukan aktivitas internet untuk kepentingan non-

akademik di saat jam perkuliahan dibandingkan subjek dengan kategori >3 sampai 4. Hal ini

terjadi karena cyberloafing mengalihkan fokus para mahasiswa dari materi pembelajaran ke

hal-hal non-akademik (Prasad dkk., 2010). Hal ini sesuai dengan hasil temuan Arabaci (2017)

terdapat korelasi negatif cyberloafing terhadap prestasi akademik pada mahasiswa dan

mengganggu hasil belajar mereka (Dindar & Akbulut, 2016).

Pada hasil analisa tambahan berdasarkan barang yang paling penting untuk dibawa ke

kampus, fear of missing out subjek yang memilih membawa handphone memiliki nilai rata-

rata skor yang lebih tinggi dibandingkan subjek yang memilih membawa tas dan alat tulis.

Sama halnya dengan cyberloafing, nilai rata-rata skor subjek yang memilih membawa

handphone juga memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan subjek yang memilih

membawa tas dan alat tulis. Hal ini berarti subjek yang memilih membawa handphone

memiliki tingkat fear of missing out yang lebih tinggi dan cenderung melakukan cyberloafing

dibandingkan dengan subjek yang memilih membawa tas dan alat tulis. Artinya, subjek yang

memilih membawa handphone lebih sering merasa takut kehilangan saat berharga individu

atau kelompok lain dan berusaha untuk tetap terhubung dengan orang lain melalui internet

atau dunia maya sehingga mereka cenderung melakukan aktivitas internet untuk kepentingan

non-akademik di saat jam perkuliahan dibandingkan dengan subjek yang memilih membawa

tas dan alat tulis. Menurut Geokçearslan et al. dalam Putri dan Sokang ( 2017) hal ini

disebabkan oleh keberadaan smartphone yang saat ini sudah sulit dipisahkan dari kehidupan

pemiliknya. Individu sering mengakses internet via smartphone karena smartphone tersedia

dalam bentuk yang mudah digenggam dan mudah dibawa sehingga memudahkan individu

13
untuk mengakses smartphone tersebut. Kemudahan ini mengantarkan mahasiswa menjadi

lebih mudah teralihkan perhatiannya dari proses belajar mengajar.

Berdasarkan seberapa lama subjek menggunakan gawai, fear of missing out subjek

yang menggunakan gawai selama >8 jam memiliki nilai rata-rata skor yang lebih tinggi

dibandingkan dengan subjek yang menggunakan gawai 1-2 jam, 2-4 jam, dan 5-6 jam. Begitu

juga dengan cyberloafing, nilai rata-rata skor pada subjek yang menggunakan gawai selama

>8 jam juga memiliki nilai rata-rata skor tertinggi. Hal ini berarti subjek yang menggunakan

gawai selama >8 jam lebih sering mengalami fear of missing out dan melakukan cyberloafing

dibandingkan yang lainnya. Artinya, subjek yang menggunakan gawai selama >8 jam lebih

sering merasa takut kehilangan saat berharga individu atau kelompok lain dan berusaha untuk

tetap terhubung dengan orang lain melalui internet atau dunia maya sehingga mereka

cenderung melakukan aktivitas internet untuk kepentingan non-akademik di saat jam

perkuliahan dibandingkan dengan subjek yang menggunakan gawai 1-2 jam, 2-4 jam, dan 5-6

jam. Hal ini didukung oleh penelitian Baturay (2015) yang menyatakan semakin lama

individu menggunakan gawai setiap harinya, maka individu tersebut akan melakukan

cyberloafing lebih sering dibandingkan individu yang jarang menggunakan gawai setiap

harinya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat peran fear of missing

out terhadap cyberloafing pada mahasiswa. Hasil tambahan ditemukan bahwa ada korelasi

yang kuat antara aspek cyberloafing yaitu sharing dengan aspek fear of missing out. Hal ini

berarti ketika individu memiliki keinginan untuk tetap terhubung dengan sekitarnya maka

individu tersebut akan melakukan aktivitas sharing yaitu melakukan akses internet berupa

mengecek posting, memberikan komentar pada posting orang lain, mengecek video yang

dibagikan di media sosial serta melakukan pembicaraan dengan orang lain. Fear of missing

out memberikan peran sebesar 21.7% terhadap cyberloafing dan 78.3% ditentukan oleh

14
faktor lain. Sehingga saran untuk peneliti selanjutnya, diharapkan agar dapat meneliti lebih

jauh variabel-variabel lain yang berpotensi mempengaruhi cyberloafing.

Pada penelitian ini juga memiliki kelemahan yaitu Kelemahan persebaran sampel

berdasarkan beberapa data demografi tidak seimbang.seperti pada jenis kelamin, jumlah

sampel perempuan dan laki-laki berbanding jauh.berdasarkan IPK penelitian ini juga tidak

memperoleh sampel dengan IPK 0 sampai 1 dan 1> sampai 2 sehingga kurang representatif

untuk populasi.Banyak memiliki banyak data demografi tetapi banyak data yang belum

dibahas dalam pembahasan.

Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak sampel penelitian dan

menyeimbangkan persebaran sampel berdasarkan jenis kelamin dan IPK agar hasil penelitian

representatif untuk populasi. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini jumlah sampel yang

berjenis kelamin laki-laki berbanding jauh dengan sampel yang berjenis kelamin perempuan,

sehingga jumlah sampel tidak proporsional. Dalam penelitian ini peneliti juga tidak

memperoleh subjek dengan kategori IPK 0 sampai 1 dan 1> sampai 2. Kemudian pengaruh

fear of missing out terhadap cyberloafing hanya sebesar 21,7% sehingga pada penelitian

selanjutnya disarankan untuk mempertimbangkan faktor lain seperti sikap, kepribadian,

kecanduan internet, yang bisa berpotensi terhadap cyberloafing.

Referensi

Abel. J.P., Cheryl, L.B., & Sarah, A.B. (2016). Social media and the fear of missing out: scale

development and assessmen. Journal of Business & Economics Research, 14(1),33-44.

Akbulut, Y., Dursun, Ö. Ö., Dönmez, O., & Şahin, Y. L. (2016). In search of a measure to investigate

cyberloafing in educational settings. Computers in Human Behavior, 55, 616–625.

https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.11.0 02

Alt, D. (2015). College students’ academic motivation, media engagement and fear of missing out.

Computers in Human Behavior, 49, 111–119. Retrieved from

http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0- 84924857289&partnerID=tZOtx3y1

15
Anandarajan, M. & Simmers, C. A. (2004). Personal Web Usage in the Workplace: A Guide to

Effective Human Resources Management. USA: Idea Group Inc.

Arabaci, İ.B. (2017). Investigation of faculty of education students' cyberloafing behaviors in terms of

various variables. The Turkish Online Journal of Educational Technology, 16(1), 72-82.

Azizah, S. N. (2019). Cyberloafing Sebagai Strategi Mengatasi Kebosanan Kerja. Jurnal Fokus

Bisnis, 1-7.

Azwar, S. (2016). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baturay, M. H., & Toker, S. (2015). An investigation of the impact of demographics on cyberloafing

from an educational setting angle. Computers in Human Behavior, 50, 358–366.

https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.03.0 81

Blanchard, A. L., & Henle, C. A. (2008). Correlates of different forms of cyberloafing: The role of

norms and external locus of control. Co mputers in Human Behavior , 1067–1084.

Burke, M., Marlow, C., & Lento, T. (2010). Social Network Activity and Social Well-Being.

Postgraduate Medical Journal, 86, 455-459

Dindar, M., & Akbulut, Y. (2016). Effects of multitasking on retention and topic interest. Learning

and Instruction, 41, 94-105.

Junco, R., & Cotten, S. R. (2012). No A 4 U: The relationship between multitasking and academic

performance. Computers & Education, 59(2), 505–514. https://doi.org/10.1016/j.compedu.201

1.12.023

Kross, E., Verduyn, P., Demiralp, E., Park, J., Lee, D. S., Lin, N. et al. (2013). Facebook use predicts

declines in subjective well-being in young adults. PloS one. Vol.8(8) : e69841.

Leary, M. R., Kelly, K. M., Cottrell, C. A., & Schreindorfer, L. S. (2013). Construct Validity of the

Need to belong Scale : Mapping the Nomological Network Construct Validity of the Need to

belong Scale : Mapping the Nomological Network. Journal of Personality Assessment, 95(6).

37–41.

Lim, V. K. G. (2002). The IT way of loafing on the job: cyberloafing, neutralizing and organizational

justice. Journal of Organizational Behavior, 23(5), 675– 694. https://doi.org/10.1002/job.161

16
Lim, V. K., dan Teo , T. S. (2005). Prevalence, Perceived Seriousness, Justification and Regulation of

Cyberloafing in Singapore an Exploratory Study. Information and Management.

Lim, V. K., dan Chen, D. J. (2012). Cyberloafing at the Workplace: Gain or Drain on work?

Behaviour and Information Technology.

Nicho Alinton, D. V. (2019). Hubungan Antara Regulasi Diri Dengan Fear Of Missing. Jurnal

Empati, 136-143.

Ozler, D.R. & Polat, G. (2012). Cyberloafing phenomenon in organizations: determinants and

impacts. International Journal of eBusiness and eGoverment Studies, 4(2), 1-15.

Prasad, S., Lim, V. K. G. & Chen, D. J. Q. (2010). Self-Regulation, Individual Characteristics and

Cyberloafing. PACIS Proceedings. Paper 159.

Przybylski, K. Andrew., et al. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of Fear of

Missing Out. Computers in Human Behavior 29 (2013) 1841–1848 0747-5632/© 2013 Elsevier

Putri, Yemima Valencia & Sokang, Yasinta A. (2017). Gambaran Cyberslacking Pada Mahasiswa.

Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia 2017. Vol 2, 9-17.

Ravizza, S.M.; Hambrick, D.Z.; Fenn, K.M. (2014). Non-academic internet use in the classroom is

negatively related to classroom learning regardless of intellectual ability. Computers &

Education, 78, 109–114.

Reagle, J. (2015). Following the joneses: FOMO and conspicuous sociality. First Monday, 20 (10), 1–

8.

Robert Kraut, S. K. (2002). Internet Paradox Revisited. Journal of Social Issues, 49-74

Yilmaz, K. F. G., Yilmaz, R., Ozturk, H. T., Sezer, B., & Karademir, T. (2015). Cyberloafing as a

barrier to the successful integration of information and communication technologies into

teaching and learning environments. Computers in Human Behavior.

https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.12.0 23

Yusuf, A., M. (2014). Metode Penelitian. Jakarta : Prenada Media.

Zahra, N. (2019). Hubungan Intensitas Penggunaan Media Sosial Dengan Fear Of Missing Out Pada

Mahasiswa. Jurnal Psikologi, 1-9

17

Anda mungkin juga menyukai