students in Medan
kota Medan
Abstract
This research examines the effect of fear of missing out on cyberloafing among college
students. Individuals who experience fear of missing out feel afraid if other people have
pleasant experiences when the individual is not directly involved. the individual will try to
stay connected to others through the media and the internet. This research uses quantitative
methods with regression data analysis. The research using an incidental sampling technique
and takes 300 college students in medan. This research using the scale of fear of missing out
with a reliability value of 0.874 and the cyberloafing scale with a reliability value of 0.894.
The results showed that there was a role of the fear of missing out on cyberloafing among
students by 21.7% and 78.3% influenced by other factors. This study also found a strong
relationship between aspects of cyberloafing (sharing) and aspects of fear of missing out.
Keywords: fear of missing out, cyberloafing, college student
Abstrak
Penelitian ini menelaah pengaruh fear of missing out terhadap cyberloafing pada mahasiswa.
Individu yang mengalami fear of missing out merasa takut jika orang lain memperoleh
pengalaman yang menyenangkan disaat individu tersebut tidak terlibat secara langsung. hal
ini menyebabkan individu tersebut berusaha tetap terhubung dengan orang lain melalui media
dan internet. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan analisa data regresi.
Sample diambil menggunakan teknik incidental sampling yang melibatkan 300 mahasiswa
yang berdomisili di Medan. Alat ukur yang digunakan adalah skala fear of missing out
dengan nilai reliabilitas 0,874 dan skala cyberloafing dengan nilai reliabilitas 0,894. Hasil
penelitian menunjukan terdapat peran fear of missing out terhadap cyberloafing pada
mahasiswa sebesar 21.7% dan 78.3% dipengaruhi oleh faktor lain. studi ini juga menemukan
1
adanya hubungan yang kuat antara aspek cyberloafing (sharing) dengan aspek fear of missing
out.
Kata kunci: fear of missing out, cyberloafing, mahasiswa
Pendahuluan
Sejak munculnya teknologi komputer dan internet, perkembangan yang cepat terus
menerus terjadi dan telah menjadi bagian penting dalam kehidupan banyak orang di dunia.
Internet memberikan kemudahan untuk mencari sumber informasi yang cepat sesuai dengan
kebutuhan. Internet membawa sangat banyak dampak positif dalam berbagai bidang
kehidupan umat manusia baik itu dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan, politik dan lain
lain (Robert Kraut, 2002). Dalam bidang pendidikan, lembaga pendidikan mengintegrasikan
manfaat teknologi informasi dan komunikasi ini dengan menyediakan akses internet ke dalam
pendidikan (Yilmaz, Yilmaz, Ozturk, Sezer, & Karademir, 2015). Keberadaan internet di
kampus diharapkan meningkatkan kualitas belajar di perguruan tinggi, namun akses internet
di dalam kelas justru seringkali dimanfaatkan untuk hal-hal yang sifatnya non-akademik.
Misalnya, chatting, akses situs hiburan, dan media sosial pada saat perkuliahan (Junco &
Cotten, 2012). Perilaku mengakses internet untuk kegiatan non-akademik seperti ini disebut
Penelitian yang dilakukan oleh Prasad, Lim, dan Chen (2010) menemukan fenomena
mahasiswa di perguruan tinggi yang menggunakan akses internet kampus untuk kepentingan
pribadi selama jam kuliah. Riset menunjukkan bahwa kegiatan ini dapat berdampak buruk
terhadap pembelajaran (Ravizza, Hambrick & Fenn, 2014). Misalnya, terdapat korelasi
negatif antara lama waktu yang dimanfaatkan melakukan cyberloafing terhadap prestasi
akademik pada mahasiswa (Arabaci, 2017). Mahasiswa yang melakukan cyberloafing juga
cenderung mendapatkan nilai ujian yang buruk (Arabaci, 2017; Junco & Cotten, 2012), dan
mengalami pengurangan motivasi belajar (Arabaci, 2017). Adapun dampak-dampak buruk ini
2
terjadi karena cyberloafing mengalihkan fokus para mahasiswa dari materi pembelajaran ke
yang menentukan perilaku cyberloafing penting untuk kita pahami. Menurut Ozler (2012)
terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing yaitu faktor individual,
organisasi, dan situasional. Selain itu, penelitian terdahulu juga telah menemukan faktor-
faktor lain yang tidak masuk ke dalam ketiga kategori tersebut. Misalnya, tingkat stress
(Blanchard, 2008), regulasi diri (Prasad et.al., 2010), dan durasi menggunakan internet
(Baturay, 2015).
Hal di atas menunjukkan bahwa sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk
menelaah faktor-faktor penentu cyberloafing. Meskipun demikian, terdapat satu faktor yang
sampai saat ini belum mendapat perhatian mendalam dari para peneliti, yaitu fear of missing
out. Fear of missing out ini dapat menjadi penentu cyberloafing karena beberapa alasan
berikut ini.
Pertama, individu yang mengalami fear of missing out merasa ketakutan orang lain
memperoleh pengalaman yang menyenangkan namun tidak terlibat secara langsung sehingga
menyebabkan individu berusaha untuk tetap terhubung dengan apa yang orang lain lakukan
melalui media dan internet. Hal tersebut membuat individu memiliki dorongan untuk terus
menggunakan media sosial untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh orang
disekitarnya secara online (Przybylski dkk., 2013; Sayrs, 2013). Hal ini membuat individu
tidak dapat mengendalikan penggunaan media sosial mereka, sehingga pemakaian media
sosial mereka menjadi kompulsif yang mana hal ini terkait oleh regulasi diri yang rendah
(Reagle, 2015). Kedua, fear of missing out ini menjadi indikasi dari keadaan sosial dan
emosi negatif seperti kebosanan dan kesepian yang berkaitan langsung dengan penggunaan
internet dan media sosial (Kross dkk., 2013; Burke, Marlow, & Lento 2010). Dalam
3
penelitian Ozler (2012) kesepian (loneliness) merupakan salah satu personal trait yang
memiliki pengaruh terhadap terjadinya perilaku cyberloafing. Menurut Lim dan Chen (2012)
cyberloafing juga merupakan mekanisme penanganan rasa bosan, hal ini juga diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2019) yang menyatakan bahwa kebosanan memiliki
pengaruh terhadap perilaku cyberloafing. Ketiga, terdapat adanya hubungan yang linier
antara fear of missing out dengan tidak termotivasi dalam belajar, sehingga hal tersebut
fear of missing out dapat menentukan cyberloafing. Kemudian secara prakti dari penelitian
akan memberikan keuntungan bagi pihak tertentu seperti mahasiswa dan institusi
pendidikan , bagi mahasiswa penelitian ini akan dapat menjadi tolak ukur untuk
untuk menggunakan gadget yang ia miliki. Bagi institusi pendidikan dapat membuat
sosialisasi untuk para mahasiswa dan membuat posko penanganan untuk mahasiswa yang
bermasalah dengan penggunaan sosial media yang menyebabkan penurunan nilai IPK.
Sehingga para mahasiswa dapat menghasilkan IPK yang baik akan tetapi, belum ada
penelitian yang secara eksplisit mengungkapkan hal ini. Oleh karena itu, di dalam penelitian
ini, peneliti tertarik untuk menelaah peran fear of missing out terhadap cyberloafing.
METODE
Partisipan
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-
probability dengan metode incidental sampling. Adapun karakteristik sampel pada penelitian
ini adalah mahasiswa S1 yang aktif, mahasiswa pengguna gawai/gadget, dan mahasiswa
angkatan 2016 – 2019 dan berdomisili di kota Medan. Pada penelitian ini jumlah sampel
4
Prosedur
dilaksanakan dengan cara menyebarkan skala kepada responden dengan kriteria yang telah
ditentukan. Skala diberikan oleh peneliti dalam bentuk google form. Peneliti membagikan
google form melalui media sosial dibagikan kepada rekan-rekan dan diisi oleh beberapa
mahasiswa yang berasal dari Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Medan Area
(UNIMED), dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) sebanyak 300 subjek.
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menyusun skala, menetapkan
Informed consent yang diberikan berupa pengertian bahwa data yang diberikan oleh
debriefing dan memberikan kompensasi berupa pulsa sebesar 20 ribu rupiah bagi 10
Alat Ukur
menggunakan alat ukur berdasarkan variabel penelitian yaitu cyberloafing dan fear of
missing out. Alat ukur cyberloafing dibuat menjadi skala 5 tiitik (1=tidak pernah – 5=
sangat sering ).skala penelitian ini diadaptasi dari skala cyberloafing oleh Akbulut, Dursun,
Donmez, dan Sahin (2016) yang diterjemahkan ke dalam versi Bahasa Indonesia. Alat ukur
fear of missing out dibuat menjadi skala 5 tiitik (1=tidak pernah – 5= sangat sering) skala
penelitian ini diadaptasi dari skala fear of missing out yang telah diadaptasi oleh Zahra (2019)
ke dalam versi Bahasa Indonesia berdasarkan pengembangan dari domain teori fear of
5
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji face validity. Pengujian face
validity alat ukur dilakukan dengan cara menggunakan pendapat para ahli (expert judgement).
Setelah dilakukan expert judgement, selanjutnya peneliti melakukan uji coba alat ukur pada
sampel penelitian dan kemudian dilakukan analisis aitem dengan bantuan SPSS.
HASIL
Pada hasil uji coba diperoleh 19 aitem skala fear of missing out dengan reliabilitas
sebesar 0.874. berikut adalah contoh butir item skala “saya takut orang lain menganggao
saya tidak kekinian terhadap topik-topik penting ( seperti berita, gossip, atau gaya)”
Sementara itu, untuk skala cyberloafing diperoleh 30 aitem dengan reliabilitas 0.894. berikut
adalah contoh butir item skala “ saya memeriksa postingan-an teman-teman saya”.
Hasil uji regresi menunjukkan ada peran yang signifikan (r = .217, p = .000) antara
fear of missing out dengan cyberloafing pada mahasiswa. Koefisien determinan (R-
square) yang diperoleh dari peran fear of missing out terhadap cyberloafing pada subjek
penelitian adalah sebesar .217. Hal ini menunjukkan bahwa peran fear of missing out
terhadap cyberloafing pada mahasiswa adalah sebesar 21.7%. Hal tersebut berarti fear of
78,3% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Dari hasil analisis, persamaan garis regresi
yang dihasilkan adalah Y = 55.397+0,609 X dengan eror 3,635 dan ,067. Persamaan ini
menunjukkan bahwa apabila fear of missing out (X) bernilai nol, maka cyberloafing (Y)
memiliki nilai sebesar 55.397. Nilai koefisien regresi sebesar 0,609, hal ini berarti apabila
nilai fear of missing out bertambah satu satuan, maka nilai cyberloafing akan mengalami
kenaikan sebesar 0,609. Kemudian diperoleh nilai signifikansi yaitu sebesar 0,000 lebih
6
kecil dari 0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fear of missing out
Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian masing-
masing variabel menyebar secara normal. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan
One Sample Kolmogorov-Simirnov Test dengan bantuan aplikasi komputer SPSS version
24.00 for Windows. Data dapat dikatakan terdistribusi secara normal jika nilai p > 0.05.
Dalam penelitian ini, variabel fear of missing out memiliki nilai Z sebesar 0.980 dengan nilai
signifikansi sebesar 0.292 dan variabel cyberloafing memiliki nilai Z sebesar 1.051 dengan
nilai signifikansi sebesar 0.219. Nilai Z dan nilai signifikansi untuk kedua variabel lebih
besar dari 0.05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data penelitian pada variabel fear
Uji Linearitas
memiliki hubungan yang linear atau tidak. Uji ini merupakan prasyarat dalam analisis
korelasi atau regresi linear. Uji linearitas pada penelitian ini menggunakan Uji F dengan
bantuan aplikasi komputer SPSS version 24.0 for Windows, variabel dikatakan memiliki
hubungan yang linear jika nilai Sig. Linearity lebih kecil dari 0.05. Dalam penelitian ini
variabel fear of missing out dan cyberloafing memiliki nilai Sig. Linearity sebesar 0.000
(lebih kecil dari 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa antara variabel fear of missing out dan
7
1. Gambaran Mean Fear of Missing Out dan Cyberloafing Berdasarkan
Jenis Kelamin
Berdasarkan data yang telah dianalisa dapat dilihat bahwa subjek yang berjenis kelamin
laki-laki memiliki nilai mean fear of missing out (52.80) dan cyberloafing (87.56) yang lebih
tinggi dibandingkan perempuan yaitu fear of missing out (52.66) dan cyberloafing (87.26).
IPK
Berdasarkan data yang telah dianalisa , dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada
kategori IPK >2 sampai 3 memiliki nilai mean fear of missing out (52.91) dan cyberloafing
(91.53) yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang berada pada kategori IPK >3
sampai 4 memiliki nilai mean fear of missing out (52.66) dan cyberloafing (86.67).
Berdasarkan data yang telah dianalisa pada bagian seberapa lama subjek menggunakan
gawai dapat dilihat bahwa subjek yang menggunakan gawai selama >8 jam nilai mean fear of
missing out (59.00) dan cyberloafing (97.25) yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek
yang menggunakan gawai 1-2 jam dengan nilai mean fear of missing (48.81) dan
cyberloafing (80.59) , 2-4 jam dengan nilai mean fear of missing (51,47) dan cyberloafing
(85.94) , dan dengan nilai mean fear of missing (54.27) dan cyberloafing ( 85.94) 5-6 jam.
8
Berdasarkan data yang telah dianalisa pada bagian barang yang penting untuk dibawa
ke kampus, dapat dilihat bahwa subjek yang memilih membawa handphone memiliki nilai
mean fear of missing out (52.86) dan cyberloafing (88.28) yang lebih tinggi dibandingkan
DISKUSI
Hasil analisis regresi menunjukkan ada peran yang signifikan (r = .217, p = .000) antara
fear of missing out terhadap cyberloafing pada mahasiswa. Kemudian diperoleh nilai
signifikansi yaitu sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05, dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa fear of missing out mempunyai peran dan signifikan terhadap cyberloafing. Hal ini
membuktikan bahwa hipotesis pada penelitian ini “Terdapat peran fear of missing out
Koefisien determinan (R-square) yang diperoleh dari peran fear of missing out terhadap
cyberloafing pada subjek penelitian adalah sebesar .217 yang artinya peran fear of missing
out terhadap cyberloafing pada mahasiswa adalah sebesar 21.7% dan 78,3% dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain. Adapun faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing
yaitu faktor individual meliputi sikap dan persepsi, personal trait, kebiasaan dan adiksi
internet, dan faktor demografis seperti gender. Faktor situasional meliputi akses internet dan
fasilitas yang tersedia untuk mengakses internet (Ozler, 2012). Selain itu, penelitian terdahulu
juga telah menemukan faktor-faktor lain seperti tingkat stress (Blanchard, 2008), regulasi diri
Hasil analisis tambahan diperoleh bahwa ada korelasi yang kuat antara aspek sharing
(cyberloafing) dengan aspek keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain yaitu sebesar
0.481. Hal ini berarti ketika seseorang memiliki keinginan untuk tetap terhubung dengan
sekitarnya maka individu akan melakukan aktivitas sharing yaitu aktivitas akses internet
berupa mengecek posting, memberikan komentar pada posting orang lain, mengecek video
9
yang dibagikan di media sosial serta melakukan pembicaraan dengan orang lain. Hal ini juga
sejalan dengan penelitian dari Przybylski dkk (2013) dan Sayrs (2013) yang menyatakan
individu yang mengalami fear of missing out memiliki dorongan untuk terus menggunakan
media sosial untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh orang disekitarnya secara
online.
Adanya keinginan individu yang mengalami fear of missing out untuk selalu terhubung
dengan orang disekitarnya melalui akses intenet dapat membuat perilaku cyberloafing
muncul. Ketakutan tertinggal informasi merupakan salah satu ciri dari fear of missing out.
Ketika individu mengalami fear of missing out, maka individu tertarik untuk selalu terhubung
pada orang lain dengan mengakses internet dan perilaku cyerloafing dapat muncul untuk
mengatasi rasa takut akan tertinggal informasi ataupun merasa kurang up to date.
Cyberloafing diartikan sebagai aktivitas penggunaan akses internet oleh mahasiswa untuk
mengakses internet secara sukarela untuk hal yang tidak berhubungan dengan akademik
menggunakan perangkat elektronik selama kelas berlangsung (Wu dan Ugrin, 2018). Dalam
penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa terdapat subjek yang memilih bermain social media
(Instagram, Line, Whats App, Twitter, Youtube, Tiktok, dll) sebanyak 254 orang (84.7%),
bermain game online sebanyak 36 orang (12.0%), dan berbelanja online sebanyak 10 orang
(3.3%) saat jam perkuliahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Akbulut dkk (2016) yang
menyatakan perilaku cyberloafing terwujud dalam bentuk email, akses situs non-akademik,
chatting, texting, media sosial, shopping, games dan blog yang dilakukan selama mahasiswa
Gender digunakan sebagai variabel kontrol pada penelitian fear of missing out dengan
cyberloafing pada mahasiswa ini. Berdasarkan jenis kelamin, fear of missing out pada laki-
laki dan perempuan berada pada kategori sedang. Hal ini berarti mereka merasa cukup takut
10
ketinggalan informasi terbaru maupun kehilangan saat berharga dengan orang lain. Kondisi
ini membuat mereka memiliki keinginan untuk terus terhubung dengan orang lain secara
online, namun level sedang pada subjek menunjukkan bahwa subjek masih dapat
mengendalikan diri. Jika dibandingkan dari nilai mean, laki-laki memiliki nilai yang lebih
tinggi daripada perempuan. Artinya, laki-laki lebih lebih sering merasa takut kehilangan saat
berharga individu atau kelompok lain sehingga berusaha untuk tetap terhubung dengan orang
lain melalui internet dibandingkan dengan perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki
memiliki need to belong yaitu kebutuhan untuk memiliki atau dimiliki, rasa disayangi atau
dicintai lebih tinggi dibandingkan perempuan (Leary dkk, 2013). Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Przybylski dkk (2013) menemukan bahwa tingkat fear of
missing out yang dimiliki laki-laki lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh perempuan.
Sama halnya dengan cyberloafing, laki-laki dan perempuan berada pada kategori
sedang juga. Hal ini berarti mereka cukup sering melakukan aktivitas penggunaan akses
internet untuk kepentingan non-akademik di saat jam perkuliahan. Namun, level sedang pada
subjek menunjukkan bahwa subjek masih dapat mengendalikan diri. Jika dibandingkan
berdasarkan jenis kelamin, rata-rata skor yang dimiliki laki-laki memiliki nilai yang lebih
tinggi daripada perempuan. Artinya, laki-laki lebih sering melakukan aktivitas internet untuk
kepentingan non-akademik saat jam perkuliahan dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi
karena laki-laki lebih memiliki sikap positif ketika menggunakan jejaring sosial pada waktu
kerja dan menggunakan jejaring sosial lebih sering dibandingkan dengan perempuan (Lim
dan Chen, 2012). Hal di atas menunjukkan bahwa individu yang berjenis kelamin laki-laki
memiliki tingkat fear of missing out yang lebih tinggi dan lebih cenderung melakukan
kehilangan saat berharga individu atau kelompok lain dan berusaha untuk tetap terhubung
dengan orang lain melalui internet atau dunia maya sehingga mereka cenderung melakukan
11
aktivitas internet untuk kepentingan non-akademik di saat jam perkuliahan dibandingkan
dengan perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Lim dan Chen (2012) yang menemukan
bahwa laki-laki lebih sering dan menghabiskan banyak waktu untuk cyberloafing daripada
perempuan.
Berdasarkan IPK, fear of missing out subjek dengan kategori >2 sampai 3 dan >3
sampai 4 berada pada kategori sedang. Hal ini berarti mereka merasa cukup takut ketinggalan
informasi terbaru maupun kehilangan saat berharga dengan orang lain. Kondisi ini membuat
mereka memiliki keinginan untuk terus terhubung dengan orang lain secara online, namun
level sedang pada subjek menunjukkan bahwa subjek masih dapat mengendalikan diri. Jika
dibandingkan berdasarkan IPK, nilai rata-rata skor subjek dengan kategori >2 sampai 3
memiliki nilai yang lebih tinggi daripada subjek dengan kategori >3 sampai 4. Artinya,
subjek dengan kategori >2 sampai 3 lebih sering merasa takut kehilangan saat berharga
individu atau kelompok lain sehingga berusaha untuk tetap terhubung dengan orang lain
Sama halnya pada cyberloafing, seluruh subjek pada seluruh kategori IPK berada pada
kategori sedang. Hal ini berarti mereka cukup sering melakukan aktivitas penggunaan akses
internet untuk kepentingan non-akademik di saat jam perkuliahan. Namun, level sedang pada
subjek menunjukkan bahwa subjek masih dapat mengendalikan diri. Hal ini karena mereka
masih harus melakukan kegiatan dan tugas akademik sehingga tidak selalu menggunakan
internet (Putri dan Sokang, 2017). Namun jika dibandingkan, nilai rata-rata skor individu
dengan kategori IPK >2 sampai 3 memiliki nilai yang lebih tinggi daripada subjek dengan
kategori >3 sampai 4. Artinya, subjek dengan kategori >2 sampai 3 lebih sering melakukan
aktivitas internet untuk kepentingan non-akademik saat jam perkuliahan dibandingkan subjek
dengan kategori >3 sampai 4. Hal di atas menunjukkan bahwa subjek dengan kategori >2
sampai 3 memiliki tingkat fear of missing out yang lebih tinggi dan lebih cenderung
12
melakukan cyberloafing dibandingkan subjek dengan kategori >3 sampai 4. Artinya, subjek
dengan kategori >2 sampai 3 lebih sering merasa takut kehilangan saat berharga individu atau
kelompok lain dan berusaha untuk tetap terhubung dengan orang lain melalui internet atau
dunia maya sehingga mereka cenderung melakukan aktivitas internet untuk kepentingan non-
akademik di saat jam perkuliahan dibandingkan subjek dengan kategori >3 sampai 4. Hal ini
terjadi karena cyberloafing mengalihkan fokus para mahasiswa dari materi pembelajaran ke
hal-hal non-akademik (Prasad dkk., 2010). Hal ini sesuai dengan hasil temuan Arabaci (2017)
terdapat korelasi negatif cyberloafing terhadap prestasi akademik pada mahasiswa dan
Pada hasil analisa tambahan berdasarkan barang yang paling penting untuk dibawa ke
kampus, fear of missing out subjek yang memilih membawa handphone memiliki nilai rata-
rata skor yang lebih tinggi dibandingkan subjek yang memilih membawa tas dan alat tulis.
Sama halnya dengan cyberloafing, nilai rata-rata skor subjek yang memilih membawa
handphone juga memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan subjek yang memilih
membawa tas dan alat tulis. Hal ini berarti subjek yang memilih membawa handphone
memiliki tingkat fear of missing out yang lebih tinggi dan cenderung melakukan cyberloafing
dibandingkan dengan subjek yang memilih membawa tas dan alat tulis. Artinya, subjek yang
memilih membawa handphone lebih sering merasa takut kehilangan saat berharga individu
atau kelompok lain dan berusaha untuk tetap terhubung dengan orang lain melalui internet
atau dunia maya sehingga mereka cenderung melakukan aktivitas internet untuk kepentingan
non-akademik di saat jam perkuliahan dibandingkan dengan subjek yang memilih membawa
tas dan alat tulis. Menurut Geokçearslan et al. dalam Putri dan Sokang ( 2017) hal ini
disebabkan oleh keberadaan smartphone yang saat ini sudah sulit dipisahkan dari kehidupan
pemiliknya. Individu sering mengakses internet via smartphone karena smartphone tersedia
dalam bentuk yang mudah digenggam dan mudah dibawa sehingga memudahkan individu
13
untuk mengakses smartphone tersebut. Kemudahan ini mengantarkan mahasiswa menjadi
Berdasarkan seberapa lama subjek menggunakan gawai, fear of missing out subjek
yang menggunakan gawai selama >8 jam memiliki nilai rata-rata skor yang lebih tinggi
dibandingkan dengan subjek yang menggunakan gawai 1-2 jam, 2-4 jam, dan 5-6 jam. Begitu
juga dengan cyberloafing, nilai rata-rata skor pada subjek yang menggunakan gawai selama
>8 jam juga memiliki nilai rata-rata skor tertinggi. Hal ini berarti subjek yang menggunakan
gawai selama >8 jam lebih sering mengalami fear of missing out dan melakukan cyberloafing
dibandingkan yang lainnya. Artinya, subjek yang menggunakan gawai selama >8 jam lebih
sering merasa takut kehilangan saat berharga individu atau kelompok lain dan berusaha untuk
tetap terhubung dengan orang lain melalui internet atau dunia maya sehingga mereka
perkuliahan dibandingkan dengan subjek yang menggunakan gawai 1-2 jam, 2-4 jam, dan 5-6
jam. Hal ini didukung oleh penelitian Baturay (2015) yang menyatakan semakin lama
individu menggunakan gawai setiap harinya, maka individu tersebut akan melakukan
cyberloafing lebih sering dibandingkan individu yang jarang menggunakan gawai setiap
harinya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat peran fear of missing
out terhadap cyberloafing pada mahasiswa. Hasil tambahan ditemukan bahwa ada korelasi
yang kuat antara aspek cyberloafing yaitu sharing dengan aspek fear of missing out. Hal ini
berarti ketika individu memiliki keinginan untuk tetap terhubung dengan sekitarnya maka
individu tersebut akan melakukan aktivitas sharing yaitu melakukan akses internet berupa
mengecek posting, memberikan komentar pada posting orang lain, mengecek video yang
dibagikan di media sosial serta melakukan pembicaraan dengan orang lain. Fear of missing
out memberikan peran sebesar 21.7% terhadap cyberloafing dan 78.3% ditentukan oleh
14
faktor lain. Sehingga saran untuk peneliti selanjutnya, diharapkan agar dapat meneliti lebih
Pada penelitian ini juga memiliki kelemahan yaitu Kelemahan persebaran sampel
berdasarkan beberapa data demografi tidak seimbang.seperti pada jenis kelamin, jumlah
sampel perempuan dan laki-laki berbanding jauh.berdasarkan IPK penelitian ini juga tidak
memperoleh sampel dengan IPK 0 sampai 1 dan 1> sampai 2 sehingga kurang representatif
untuk populasi.Banyak memiliki banyak data demografi tetapi banyak data yang belum
menyeimbangkan persebaran sampel berdasarkan jenis kelamin dan IPK agar hasil penelitian
representatif untuk populasi. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini jumlah sampel yang
berjenis kelamin laki-laki berbanding jauh dengan sampel yang berjenis kelamin perempuan,
sehingga jumlah sampel tidak proporsional. Dalam penelitian ini peneliti juga tidak
memperoleh subjek dengan kategori IPK 0 sampai 1 dan 1> sampai 2. Kemudian pengaruh
fear of missing out terhadap cyberloafing hanya sebesar 21,7% sehingga pada penelitian
Referensi
Abel. J.P., Cheryl, L.B., & Sarah, A.B. (2016). Social media and the fear of missing out: scale
Akbulut, Y., Dursun, Ö. Ö., Dönmez, O., & Şahin, Y. L. (2016). In search of a measure to investigate
https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.11.0 02
Alt, D. (2015). College students’ academic motivation, media engagement and fear of missing out.
http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0- 84924857289&partnerID=tZOtx3y1
15
Anandarajan, M. & Simmers, C. A. (2004). Personal Web Usage in the Workplace: A Guide to
Arabaci, İ.B. (2017). Investigation of faculty of education students' cyberloafing behaviors in terms of
various variables. The Turkish Online Journal of Educational Technology, 16(1), 72-82.
Azizah, S. N. (2019). Cyberloafing Sebagai Strategi Mengatasi Kebosanan Kerja. Jurnal Fokus
Bisnis, 1-7.
Baturay, M. H., & Toker, S. (2015). An investigation of the impact of demographics on cyberloafing
https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.03.0 81
Blanchard, A. L., & Henle, C. A. (2008). Correlates of different forms of cyberloafing: The role of
Burke, M., Marlow, C., & Lento, T. (2010). Social Network Activity and Social Well-Being.
Dindar, M., & Akbulut, Y. (2016). Effects of multitasking on retention and topic interest. Learning
Junco, R., & Cotten, S. R. (2012). No A 4 U: The relationship between multitasking and academic
1.12.023
Kross, E., Verduyn, P., Demiralp, E., Park, J., Lee, D. S., Lin, N. et al. (2013). Facebook use predicts
Leary, M. R., Kelly, K. M., Cottrell, C. A., & Schreindorfer, L. S. (2013). Construct Validity of the
Need to belong Scale : Mapping the Nomological Network Construct Validity of the Need to
belong Scale : Mapping the Nomological Network. Journal of Personality Assessment, 95(6).
37–41.
Lim, V. K. G. (2002). The IT way of loafing on the job: cyberloafing, neutralizing and organizational
16
Lim, V. K., dan Teo , T. S. (2005). Prevalence, Perceived Seriousness, Justification and Regulation of
Lim, V. K., dan Chen, D. J. (2012). Cyberloafing at the Workplace: Gain or Drain on work?
Nicho Alinton, D. V. (2019). Hubungan Antara Regulasi Diri Dengan Fear Of Missing. Jurnal
Empati, 136-143.
Ozler, D.R. & Polat, G. (2012). Cyberloafing phenomenon in organizations: determinants and
Prasad, S., Lim, V. K. G. & Chen, D. J. Q. (2010). Self-Regulation, Individual Characteristics and
Przybylski, K. Andrew., et al. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of Fear of
Missing Out. Computers in Human Behavior 29 (2013) 1841–1848 0747-5632/© 2013 Elsevier
Putri, Yemima Valencia & Sokang, Yasinta A. (2017). Gambaran Cyberslacking Pada Mahasiswa.
Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia 2017. Vol 2, 9-17.
Ravizza, S.M.; Hambrick, D.Z.; Fenn, K.M. (2014). Non-academic internet use in the classroom is
Reagle, J. (2015). Following the joneses: FOMO and conspicuous sociality. First Monday, 20 (10), 1–
8.
Robert Kraut, S. K. (2002). Internet Paradox Revisited. Journal of Social Issues, 49-74
Yilmaz, K. F. G., Yilmaz, R., Ozturk, H. T., Sezer, B., & Karademir, T. (2015). Cyberloafing as a
https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.12.0 23
Zahra, N. (2019). Hubungan Intensitas Penggunaan Media Sosial Dengan Fear Of Missing Out Pada
17