Anda di halaman 1dari 28

INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN PERUNDUNGAN SIBER: PERAN

MODERASI EXECUTIVE FUNCTION

PEER INTERACTION AND CYBERBULLYING: MODERATE ROLE OF

EXECUTIVE FUNCTION

Emma Yuniarrahmah¹, Maria Goretti Adiyanti², Bhina Patria3

¹Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat,

²Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada


3
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

emma.psiulm@gmail.com¹, adiyanti_psy@ugm.ac.id², patria@ugm.ac.id3

Abstrak

Kekerasan di dunia maya seringkali kita temui dikalangan remaja dalam


berbagai macam bentuk, salah satunya adalah perundungan siber
(cyberbullying). Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui apakah
executive function mampu berperan sebagai moderator hubungan antara
interaksi teman sebaya dengan kecenderungan perundungan siber.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif teknik survey jenis
cross sectional study, dengan partisipan remaja usia 15-20 tahun (M = 17,61)
di Kalimantan Selatan berjumlah 316 orang. Teknik sampling
menggunakan purposive sampling, pengumpulan data menggunakan skala
interaksi teman sebaya, skala kecenderungan perundungan siber, dan
Executive Skills Questionnaire-Revised (ESQ-R). Analisis data dengan teknik
Partial Least Square (PLS). Hasilnya adalah (1) executive function tidak
mampu memberikan efek moderasi bagi hubungan antara interaksi teman
sebaya dengan kecenderungan perundungan siber, (2) Executive function
memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kecenderungan
perundungan siber, dan (3) interaksi teman sebaya memiliki hubungan
negatif yang signifikan dengan kecenderungan perundungan siber. Hasil
penelitian ini dapat menjadi acuan untuk membuat program edukasi
tentang pola interaksi teman sebaya yang positif guna meminimalkan
munculnya perilaku perundungan siber.

Kata kunci: interaksi teman sebaya, kecenderungan perundungan siber, remaja

Abstract

Cyber violence is often encountered among teenagers with various form in


which one of them is cyberbullying. The main purpose of this research is
to find out whether executive function can moderate correlation between
peer interaction and tendency of cyberbullying. This research uses
quantitative approach with cross sectional study survey technique on 316
teenagers around 15–20 years old (M = 17,61) in South Kalimantan. This
research uses purposive sampling as sampling technique and the data is
collected through peer interaction scale, cyberbullying tendency scale, and
Executive Skills Questionnaire-Revised (ESQ-R). Data is analyzed using
Partial Least Square (PLS). The result shows that (1) executive function
cannot moderate the correlation between peer interaction and tendency of
cyberbullying, (2) executive function has significant positive correlation to
tendency of cyberbullying, (3) peer interaction has significant negative
correlation to tendency of cyberbullying. This result may be a reference to
conduct education program related to positive peer interaction pattern to
minimize emergence of cyberbullying.

Keywords: Peer Interaction, Cyberbullying Tendency, Adolescent

PENDAHULUAN

Saat ini penggunaan internet sudah menjadi kebutuhan bagi setiap


masyarakat dan penggunaannya semakin meningkat, tidak terkecuali di
Indonesia. Hasil survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) (Badan Pusat Statistika, 2021), terjadi peningkatan
penggunaan internet selama lima tahun terakhir dari 2018-2022, pada 2018
penggunaan internet sebesar 64,80%, 2019-2020 sebesar 73,70%, dan 2021-
2022 sebesar 77,02%. Berdasarkan kategori usia, komposisi pengguna
paling banyak didominasi oleh individu yang berusia 13-18 tahun
(99,16%), diikuti oleh golongan usia 19-34 tahun (98,64%).

Angka ini cukup besar bagi pengguna khususnya yang tergolong usia
remaja, karena berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun
2020 jumlah penduduk Indonesia yang tergolong usia 8-23 tahun
sebanyak 27,94% dari total keseluruhan 270,20 juta jiwa (Badan Pusat
Statistika, 2021).

Banyaknya jumlah remaja yang menggunakan internet merupakan suatu


hal yang menguntungkan apabila ditinjau dari salah satu sisi positif,
artinya kondisi tersebut dapat memfasilitasi remaja untuk menyesuaikan
diri dengan kehidupan era digital karena remaja sekarang merupakan
generasi muda yang tumbuh dan berkembang dengan sebuah
ketergantungan yang besar pada teknologi digital. Remaja dapat
menggunakan internet sebagai sarana belajar, mendapatkan dan berbagi
informasi, serta mempermudah komunikasi dan sosialisasi dengan orang
lain melalui media sosial. Melalui media sosial mereka mengekspresikan
diri, perasaan dan pikiran baik yang bersifat memprotes, mengungkapkan
kekesalan, kesenangan, maupun kegembiraan (Bencsik et al., 2016). Selain
berbagai manfaat, secara tidak disadari penggunaan teknologi internet
juga dapat menghadirkan berbagai risiko, misalnya perundungan siber
(cyberbullying), sexting, sexual predator, pelanggaran privasi, dan konten
berbahaya (Livingstone & Haddon, 2009; Rudi, 2017).

Perundungan siber merupakan fenomena dan bentuk baru dari perilaku


bullying (perundungan), yaitu merupakan kejadian yang dialami seorang
anak atau remaja seperti diejek, dihina, diintimidasi atau dipermalukan
oleh anak atau remaja lain melalui media internet atau teknologi digital
seperti telepon seluler dan media sosial (Kowalski et al., 2012).
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2019)
mencatat total pengaduan kasus pornografi dan kejahatan siber atau
kejahatan online yang menjerat anak-anak pada 2014 sebanyak 322 kasus,
2015 meningkat menjadi 463 kasus, 2016 menjadi 587 kasus, 2017 menjadi
608 kasus dan pada 2018 naik mencapai 679 kasus. Adapun jenis aduan di
antaranya anak korban kejahatan seksual online, anak pelaku
kejahatan online, anak korban pornografi di media sosial, anak pelaku
kepemilikan media pornografi, dan anak pelaku perundungan di media
sosial. Kasus-kasus tersebut merupakan bentuk-bentuk perundungan
siber.

Perundungan siber dapat berdampak negatif bagi perkembangan


psikologis semua orang yang terlibat didalamnya. Berdasarkan beberapa
penelitian, pelaku perundungan siber diprediksi memiliki persoalan-
persoalan perilaku dan kepribadian seperti perilaku bermasalah secara
sosial, memiliki kepribadian yang sulit, perilaku merusak/menyimpang,
sikap anti-sosial, sikap dan perilaku prososial yang rendah,
ketidakmampuan penyesuaian psikologis, bermasalah dalam kontrol
emosi, perilaku hiperaktif, persoalan dengan teman sebaya, frekuensi
merokok dan penggunaan narkoba yang tinggi, sering mengalami sakit
kepala (Estévez et al., 2019; Gradinger et al., 2009; Hinduja & Patchin,
2008; Isaacs et al., 2008; Kowalski & Limber, 2013), memiliki problem di
sekolah seperti merasa tidak aman ketika di sekolah, nilai akademik yang
rendah (Hinduja & Patchin, 2008; Isaacs et al., 2008; Kowalski & Limber,
2013; Sourander et al., 2010), memiliki perilaku agresi yang tinggi
(Gradinger et al., 2009; Sourander et al., 2010), dan berisiko mengalami
depresi serta keinginan bunuh diri (Cowie, 2013).

Selanjutnya, dampak dari perundungan siber bagi para korban antara lain
merasa tidak berdaya, merasa sendiri, takut, sedih, depresi, dan tidak
ingin pergi ke sekolah (Estévez et al., 2019; Raskauskas & Stoltz, 2007;
Weber & Pelfrey, 2014) kesulitan melakukan penyesuaian diri, memiliki
simptom depresi dan somatik (Gradinger et al., 2009); mengalami
kecemasan sosial (Estévez et al., 2019); mengalami gangguan belajar
seperti kesulitan konsentrasi selama proses pembelajaran di sekolah
(Weber & Pelfrey, 2014); dan keinginan atau usaha-usaha yang mengarah
kepada perilaku bunuh diri (Hinduja & Patchin, 2010; Iranzoa et al., 2019).
Perundungan siber mengandung unsur perilaku agresi terkait dengan
unsur kekerasan secara verbal dan perilaku menyakiti orang lain
walaupun melalui media internet. Secara teoritis, perundungan siber
sebagai perilaku agresi dapat dijelaskan melalui teori kognitif sosial oleh
Albert Bandura, bahwa munculnya suatu perilaku berasal dari interaksi
antara faktor personal, faktor lingkungan (faktor eksternal), dan perilaku
itu sendiri yang saling memengaruhi satu sama lain. Bandura menjelaskan
lebih lanjut bahwa perilaku manusia juga merupakan hasil proses belajar
melalui pengamatan dan peniruan. Seseorang dapat menyaksikan dan
mengamati sebuah perilaku yang ditampilkan oleh orang lain dan
kemudian mengevaluasi secara kognitif tindakan-tindakan tersebut.
Apabila perilaku tersebut mendapat penguatan dan penerimaan dari
lingkungannya secara baik dan terbukti berguna maka akan semakin
memantapkan individu untuk meniru atau mengadopsi perilaku tersebut,
yang selanjutnya akan ditampilkan kepada orang lain, dan begitu juga
sebaliknya (Feist et al., 2013).

Proses kognitif yang berperan membantu individu untuk memaknai suatu


peristiwa yang diamatinya disebut sebagai executive function. Executive
function mengacu kepada suatu set pengaturan dari keahlian-keahlian di
otak yang berhubungan dengan proses kognitif, pengaturan regulasi
emosi dan perilaku sosial. Keahlian-keahlian tersebut berkaitan dengan
kemampuan pengarahan, pengendalian dan pengelolaan perilaku, yaitu
meliputi perencanaan, penyelesaian masalah, working memory, atensi,
inhibisi, dan pada tingkat tertinggi adalah pemantauan dan penilaian diri
terhadap perilaku (Goldstein et al., 2014). Kemampuan kognitif (dalam hal
ini mengacu pada executive function) yang baik dapat membantu seseorang
dalam kegiatan pembelajaran akademik maupun pemusatan perhatian
ketika menerima informasi dan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari,
membantu untuk bergaul lebih baik dengan orang lain, dapat melihat dari
berbagai sudut pandang dalam penyelesaian masalah, dan pengendalian
emosi serta tindakan mereka (Peterson & Welsh, 2014). Sedangkan
kemampuan kognitif yang buruk dapat membuat seseorang salah dalam
menafsirkan suatu kondisi atau tidak memiliki alternatif pemecahan
masalah yang lebih baik sehingga apabila individu mengalami kondisi
yang tidak menyenangkan maka dapat memicu munculnya perilaku
agresi (Krämer et al., 2011). Seseorang yang kurang mampu dalam
menghambat impuls yang tidak sesuai dengan tujuan maka dapat
memicu perilaku impulsif dan tidak bertanggung jawab. Kemampuan
memecahkan masalah yang rendah pada seseorang dapat membuat
hambatan dalam mengolah dan mengarahkan respon secara bermakna
saat berinteraksi dengan orang lain, sehingga akan memicu permasalahan
dalam interaksi dan memunculkan perilaku agresif (Fatima & Sheikh,
2014). Dengan kata lain, gangguan executive function akan terlihat jelas
pada aktivitas sadar manusia, seperti pemecahan masalah, kemampuan
penalaran atau pada interaksi sosial (Zillmer et al., 2008).

Literatur dan hasil penelitian yang menjelaskan tentang peran executive


function terhadap perundungan siber, sejauh ini belum banyak didapatkan
oleh penulis. Namun, banyak literatur yang menjelaskan hubungan antara
executive function dengan perilaku agresif, yang sebagian besar
menunjukkan hubungan negatif yaitu apabila mendapatkan skor rendah
pada tes executive function maka kecenderungan agresi semakin meningkat
(Romero-López et al., 2017). Selain itu, penelitian yang mengaitkan
executive function dengan perilaku perundungan tradisional (bullying)
dilakukan oleh (Jenkins et al., 2018), menjelaskan bahwa terdapat
hubungan negatif antara dimensi fleksibilitas mental (kemampuan siswa
untuk beradaptasi dengan situasi baru dan memecahkan masalah) dengan
pelaku perundungan pada siswa perempuan. Semakin tinggi level
perundungan pada siswa perempuan, maka semakin rendah nilai
fleksibilitas mental. Sedangkan pada siswa laki-laki, semakin tinggi level
perundungan maka semakin rendah executive function yang mereka miliki,
termasuk monitoring diri, menahan diri, fleksibilitas mental, inisiasi, dan
regulasi emosi.

Selain memiliki hubungan langsung dengan variabel agresi, executive


function juga dapat berperan sebagai variabel yang dapat meningkatkan
atau menurunkan perilaku agresi apabila dihubungkan dengan variabel
lain. Seperti hasil penelitian Fatima & Sharif (2017) menjelaskan bahwa
dimensi executive function yaitu inhibisi dan kemampuan pemecahan
masalah memoderasi hubungan antara hukuman fisik yang diberikan
orang tua dengan perilaku agresi anak, sedangkan dimensi fleksibilitas
kognitif dan kemampuan non-verbal memoderasi hubungan antara
hukuman simbolik yang diberikan orang tua dengan agresi anak.
Penelitian McQuade (2017) juga menjelaskan bahwa executive function
mampu memoderasi hubungan antara peristiwa agresi fisik dan agresi
relasional dengan perilaku agresi fisik dan perilaku agresi relasional
dikemudian hari. Pada hubungan antara peristiwa agresi fisik dengan
perilaku agresi fisik, executive function yang baik mampu menurunkan
agresi fisik yang dilakukan oleh anak yang menjadi korban kekerasan atau
agresi fisik. Artinya, efek executive function yang baik dapat memperlemah
kemunculan perilaku agresi fisik pada anak walaupun anak tersebut
pernah mengalami kejadian kekerasan fisik pada waktu sebelumnya.
Sedangkan apabila anak tersebut memiliki executive function yang kurang
baik akan membuat kemunculan perilaku agresi semakin meningkat pada
anak yang pernah menjadi korban kekerasan fisik.

Beberapa literatur dan hasil-hasil penelitian menjelaskan bahwa faktor-


faktor eksternal juga dapat memengaruhi perundungan siber, seperti
interaksi teman sebaya (Budiarti, 2016; Hinduja & Patchin, 2013; Juvonen
et al., 2003; Kowalski et al., 2014; Mawardah & Adiyanti, 2014). Hal ini
tidak terlepas dari salah satu karakteristik masa remaja, yaitu masa remaja
merupakan periode dimana hubungan dengan teman sebaya meningkat
drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan remaja
dengan orang tua menurun (Giordano, 2003). Bagi remaja, teman sebaya
merupakan bagian penting dari kehidupan mereka selain keluarga.
Remaja biasanya banyak menghabiskan waktu untuk saling bertukar
informasi tentang dunia luar dengan teman sebayanya, sehingga akan
berpengaruh pada pemikiran remaja dalam mengembangkan siapa
dirinya dan apa yang harus dilakukannya (Santrock, 2002). Dengan kata
lain, teman sebaya melalui interaksinya dapat memengaruhi
pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya.
Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang
lengkap untuk menentukan tindakannya sendiri, namun dengan rasa
keingintahuan yang besar dan kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan
dari teman-teman sebayanya, maka hal ini tidak dapat diabaikan oleh
mereka.

Interaksi teman sebaya adalah suatu hubungan individu yang memiliki


usia yang sama dan memainkan peranan yang sama dalam
perkembangan sosial emosional anak (Santrock, 2002). Monks et al. (2006)
menjelaskan bahwa remaja dalam melakukan interaksi dengan teman
sebayanya cenderung akan membentuk kelompok dengan perilaku yang
sama. Berdasarkan hasil penelitian, interaksi teman sebaya dapat menjadi
faktor risiko dan faktor protektif kemunculan perundungan siber. Budiarti
(2016) menjelaskan bahwa interaksi dengan teman sebaya (peer group)
menjadi variabel yang paling berpengaruh terhadap perundungan siber
siswa SMA, karena peer group merupakan seseorang yang paling penting
dan dipilih untuk berinteraksi mengenai perundungan siber dan
membicarakan isu tersebut, mengingat perundungan siber merupakan isu
yang berkaitan dengan teknologi yang selalu up-to-date dan level
pengetahuan mengenai teknologi yang sesuai dengan mereka. Hasil
penelitian lain menjelaskan terdapat hubungan langsung yang negatif
antara kualitas pertemanan dengan tendensi kemunculan perundungan
siber pada remaja, apalagi dimediasi oleh variabel empati. Artinya apabila
semakin berkualitas hubungan pertemanan di kalangan remaja dan
empati yang dimiliki oleh remaja tinggi, maka akan mengurangi
kemunculan perundungan siber, dan begitu juga sebaliknya (Adiyanti et
al., 2019).

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui apakah executive


function mampu berperan sebagai moderator hubungan antara interaksi
teman sebaya dengan kecenderungan perundungan siber, (2) mengetahui
apakah ada hubungan antara executive function dengan kecenderungan
perundungan siber, (3) mengetahui apakah ada hubungan antara interaksi
teman sebaya dengan kecenderungan perundungan siber. Hipotesis
penelitian ini yaitu ada hubungan antara interaksi teman sebaya dengan
kecenderungan perundungan siber yang dimoderasi oleh executive
function. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi berupa kajian teoritis tentang perundungan siber dan faktor
yang berpengaruh terhadap kemunculan perundungan siber, yaitu
interaksi teman sebaya dan executive function, serta bukti-bukti empiris
mengenai peran interaksi teman sebaya dan executive function pada
kecenderungan perundungan siber. Sedangkan secara praktis, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa pengetahuan bagi
remaja tentang perundungan siber dan variabel interaksi teman sebaya
yang mungkin mendasari kemunculannya sehingga dapat dijadikan
acuan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam
mengelola pertemanan secara positif guna terhindar dari perundungan
siber.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif teknik survey jenis


cross sectional study, dengan partisipan remaja usia 15-20 tahun (M = 17,61)
di Kalimantan Selatan, dan telah menggunakan handphone atau internet
secara aktif selama dua tahun terakhir (dari tahun 2018), sebanyak 316
orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling,
yaitu penentuan sampel atau partisipan penelitian sesuai dengan
beberapa karakteristik yang telah ditentukan. Pengumpulan data
dilakukan menggunakan skala interaksi teman sebaya, skala
kecenderungan perundungan siber, dan Executive Skills Questionnaire-
Revised (ESQ-R).

Skala kecenderungan perundungan siber disusun dengan mengacu pada


bentuk perilaku perundungan siber sesuai dengan karakteristik perilaku
perundungan siber yang dikemukakan oleh Fernández-Antelo &
Cuadrado-Gordillo (2018); Kowalski et al. (2012); dan Ovejero et al. (2016)
yaitu repetition, imbalance of power, intention to harm, anonymity, dan
publicity. Skala ini terdiri dari 25 aitem, 15 aitem favorable dan 10 aitem
unfavorable, dengan empat pilihan jawaban yaitu selalu, sering, jarang, dan
tidak pernah. Berikut contoh aitem skalanya: “Saya akan mengirimkan
pesan berupa kata-kata makian melalui media sosial apabila saya marah
kepada seseorang”. Skala interaksi teman sebaya disusun mengacu pada
aspek-aspek interaksi sosial teman sebaya sesuai yang dikemukakan oleh
Papalia et al. (2002), yaitu intensitas interaksi, kemampuan penyesuaian
diri dengan teman sebaya atau sebaliknya, sikap kerjasama, perasaan
emosional terhadap teman sebaya (seperti: simpati, cinta, ketergantungan,
aktifitas agresi, kompetisi), dan konformitas. Skala ini terdiri dari 25
aitem, 15 aitem favorable dan 10 aitem unfavorable, dengan dua pilihan
jawaban yaitu sesuai dan tidak sesuai. Berikut contoh aitem skalanya:
“Saya berdiskusi dengan teman-teman apabila akan mengambil
keputusan untuk kepentingan kelompok”. Executive Skills Questionnaire-
Revised (ESQ-R) terdiri dari 25 aitem berdasarkan lima aspek executive
function, yaitu plan management, time management, organization, emotional
regulation, dan behavioral regulation (Dawson & Guare, 2014), dengan
empat respon jawaban yaitu tidak pernah atau jarang, kadang-kadang,
sering, dan sangat sering. Berikut contoh aitem skalanya: “Saya kesulitan
menentukan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas”.

Sebelum dilakukan penelitian, ketiga skala tersebut diukur validitasnya


melalui analisis validitas isi (content validity) yang dilakukan oleh 10 tim
penilai ahli (expert judgement) untuk menilai kesesuaian aitem yang dibuat
dengan indikator dan variabel yang akan diukur serta mendapatkan
masukkan tentang penggunaan bahasa yang digunakan pada aitem.
Selanjutnya hasil dari penilaian ahli dianalisis secara statistik content-
validity coefficient berdasarkan formula Aiken’s V untuk menentukan valid
tidaknya aitem. Selanjutnya dilakukan perhitungan uji beda aitem untuk
memastikan kesesuaian aitem dengan fungsi skala dalam mengungkap
perbedaan karakteristik individu yang menjadi partisipan penelitian
berdasarkan atribut yang diukur, dan terakhir dilakukan perhitungan
reliabilitas alat ukur menggunakan formula Cronbach’s Alpha. Hasil uji
reliabilitas skala kecenderungan perundungan siber memperoleh nilai
koefisien cronbach’s alpha sebesar 0,902, koefisien cronbach’s alpha skala
interaksi teman sebaya sebesar 0,812, dan koefisien cronbach’s alpha ESQ-R
sebesar 0,907. Data yang telah terkumpul melalui metode kuantitatif
dianalisis secara statistik dengan menggunakan teknik analisis Partial
Least Squares (PLS).
HASIL PENELITIAN

Statistik Deskriptif

Partisipan penelitian ini berjumlah 319 orang remaja, yang berada pada
rentang usia antara 15 – 20 tahun dan berstatus pelajar Sekolah Menengah
Atas dan Mahasiswa semester I sampai semester V di Kalimantan Selatan.
Berikut disajikan deskripsi atau gambaran umum tentang partisipan
penelitian pada tabel 1.

Tabel 1 Deskripsi partisipan penelitian14 1

Data Partisipan N (%)

Usia (M = 17,61; SD = 1,472) -

Jenis Kelamin

- Laki-laki 65 20,57

- Perempuan 251 79,43

Total 316 100

Jenjang Pendidikan

- SMA kelas X 46 14,55

- SMA kelas XI 53 16,77

- SMA kelas XII 38 12,02

- Mahasiswa semester I 111 35,12

- Mahasiswa semester III 61 19,30

- Mahasiswa semester V 9 2,84

Total 316 100

Durasi Penggunaan Internet

- 1-3 jam 35 11,07


- > 3-6 jam 88 27,84

- > 6 jam 193 61,09

Total 316 100

Deskripsi data penelitian digunakan untuk memahami gambaran data


yang diperoleh dari subjek penelitian. Pada tabel 2 berikut diuraikan
deskripsi data penelitian.

Tabel 2 Deskripsi data penelitian15

Data Hipotetik Data Empirik

Skor Skor
Variabel Mean SD Mean SD
Maks Min Maks Min

Kecenderunga
n
60 15 37,5 7,5 58 15 20,48 7,16
perundungan
siber

Interaksi
20 10 15 1,67 20 11 15,00 1,70
teman sebaya

Executive
72 0 36 12 72 7 35,32 11,65
function

Data tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk


mengkategorisasikan partisipan penelitian ke dalam tingkatan-tingkatan
tertentu sesuai dengan variabel penelitian, secara ringkas dapat dilihat
pada tabel 3 berikut:

Tabel 3 Kategorisasi variabel penelitian pada partisipan 1

Rendah Sedang Tinggi Total


Variabel
N (%) N (%) N (%) N (%)

Kecenderungan perundungan
274 (86,71) 41 (12,97) 1 (0,32) 316 (100)
siber
Interaksi teman sebaya 15 (4,75) 113 (35,76) 188 (59,49) 316 (100)

Executive function 47 (14,87) 213 (67,41) 56 (17,72) 316 (100)

Berdasarkan tabel 3, mayoritas partisipan penelitian ini memiliki


kecenderungan perundungan siber yang rendah, yaitu sebanyak 86,9%,
kecenderungan perundungan siber yang tergolong sedang sebanyak
12,8%, dan yang tergolong rendah sebanyak 0,3%. Data pada variabel
executive function menunjukkan bahwa mayoritas partisipan penelitian
memiliki tingkat executive function yang tergolong sedang sebanyak 69,3%,
rendah sebanyak 16,2%, dan yang tergolong tinggi sebanyak 14,5%.
Selanjutnya, interaksi teman sebaya partisipan penelitian mayoritas
tergolong tinggi sebesar 58,3%, yang tergolong sedang sebesar 36,9%, dan
yang tergolong rendah sebesar 4,8%.

Hasil Uji hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan menggunakan PLS dengan prosedur


bootstrapping melalui aplikasi Smart PLS versi 2.0.M3 dengan level
signifikansi 0,05 atau 5%. Berdasarkan hasil dari perhitungan pengujian
hipotesis tersebut didapatkan nilai koefisien jalur (path coefficient) untuk
menunjukkan seberapa kuat efek atau pengaruh variabel bebas (eksogen)
terhadap variabel tergantung (endogen) dan juga seberapa kuat efek
moderasi dari suatu variabel. Berikut ringkasan hasil koefisien jalur dari
pengujian hipotesis penelitian:

Tabel 4 Koefisien jalur (path coefficient)

Original Sample Standard


T Statistics (| P
Sample Mean Deviation
O/STDEV|) Values
(O) (M) (STDEV)

Executive Function ->


Kecenderungan 0,137 0,157 0,062 2,207 0,028
Perundungan Siber
ITS*EF ->
Kecenderungan -0,074 -0,085 0,065 1,147 0,252
Perundungan Siber

Interaksi Teman
Sebaya ->
-0,192 -0,200 0,059 3,251 0,001
Kecenderungan
Perundungan Siber

Berdasarkan hasil analisis diperoleh penjelasan sebagai berikut:

Variabel executive function tidak mampu memberikan efek moderasi atau


tidak mampu berperan sebagai variabel moderator bagi hubungan antara
interaksi teman sebaya dengan kecenderungan perundungan siber (nilai
O pada ITS*EF -> kecenderungan perundungan siber = -0,074; p>0,05).
Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara interaksi teman sebaya terhadap kecenderungan perundungan
siber yang dimoderasi oleh executive function dinyatakan ditolak.

Executive function memiliki hubungan positif yang signifikan dengan


kecenderungan perundungan siber (nilai O = 0,142; p<0,05). Artinya
semakin baik executive function maka semakin tinggi kecenderungan
perundungan siber.

Interaksi teman sebaya memiliki hubungan negatif yang signifikan


dengan kecenderungan perundungan siber (nilai O = -0,185; p< 0,05).
Artinya semakin baik interaksi teman sebaya maka semakin rendah
kecenderungan perundungan siber.

DISKUSI

Efek Moderasi Variabel Executive Function

Berdasarkan analisis data pada pengujian hipotesis didapatkan hasil


bahwa executive function tidak mampu berperan sebagai variabel
moderator pada hubungan antara interaksi teman sebaya dengan
kecenderungan perundungan siber, artinya hipotesis dinyatakan ditolak.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, efek moderator dari
executive function pada penelitian terdahulu (Fatima & Sharif, 2017;
McQuade, 2017) berfungsi pada hubungan antara variabel bebas dengan
variabel tergantungnya yang merupakan jenis agresi langsung, baik secara
fisik, verbal, maupun relasional. Kemungkinan efek tersebut tidak
berfungsi pada jenis agresi tidak langsung. Perundungan siber termasuk
jenis agresi tidak langsung (Ovejero et al., 2016) atau jenis agresi yang
menggunakan media komunikasi atau teknologi digital dengan jaringan
internet (Slonje & Smith, 2008). Jadi dapat diasumsikan bahwa ada
beberapa karakteristik dari jenis agresi yang berbeda membuat efek
moderasi executive function tidak berfungsi secara sama.

Karakteristik perilaku agresi secara langsung antara lain perilaku


menyerang orang lain dengan menggunakan bagian tubuh yang keras
atau dengan menggunakan benda lain sehingga mengakibatkan
korbannya luka fisik (agresi fisik), melakukan pengancaman atau
penolakan secara verbal terhadap orang lain, sehingga mengakibatkan
korbannya luka secara psikis (agresi verbal), respon emosional seseorang
yang menunjukkan perasaan marah dan frustasi, sikap-sikap curiga atau
permusuhan kepada orang lain (agresi relasional) (Baron & Richardson,
1994). Berbeda dengan karakteristik perundungan siber yang merupakan
jenis agresi tidak langsung. Yar (2010) menjelaskan bahwa terdapat dua
karakteristik perundungan siber, yaitu digitalisasi dan anonimitas.
Digitalisasi mengacu pada waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan
suatu informasi ataupun data dengan sangat cepat, sedangkan anonimitas
diartikan sebagai bentuk pertemuan antar pengguna melalui dunia maya.
Seseorang yang melakukan perundungan di media sosial sebenarnya
membentuk sebuah keanonimitasan karena boleh jadi pelaku dan korban
tidak saling kenal secara dekat satu sama lain, hubungan yang terjalin
hanya dengan melihat unggahan-unggahan di media sosial saja. Informasi
tentang identitas pelaku mungkin saja bukan informasi identitas yang
sebenarnya, interaksi yang terjadi di media sosial bukan interaksi secara
langsung atau face to face, sehingga membuat mereka merasa lebih aman
ketika melontarkan kata-kata atau mengirimkan postingan yang kurang
pantas.
Kedua, beberapa hasil penelitian terdahulu lainnya, variabel executive
function ditempatkan sebagai variabel yang memiliki hubungan atau
pengaruh langsung terhadap kemunculan perilaku agresi termasuk
perilaku perundungan siber, bukan sebagai variabel moderator. Vazsonyi
et al. (2012) menjelaskan bahwa kontrol diri yang rendah pada dimensi
executive function akan membuat perilaku bermasalah pada anak
meningkat, termasuk perilaku perundungan siber, namun hal tersebut
tidak berlaku bagi korban perundungan tradisional dan perundungan
siber.

Ketiga, peran variabel interaksi teman sebaya pada beberapa penelitian


terdahulu memiliki hubungan langsung yang kuat terhadap
kecenderungan perundungan siber, walaupun tanpa variabel perantara
(Budiarti, 2016; Handono et al., 2019; Hinduja & Patchin, 2013). Hasil
penelitian Shim & Shin (2016) justru menempatkan tekanan teman sebaya
sebagai variabel moderator hubungan antara sikap terhadap
perundungan siber dengan perilaku perundungan siber. Tekanan teman
sebaya yang kuat akan meningkatkan perilaku perundungan siber pada
remaja walaupun ia memiliki sikap yang tidak menyetujui terhadap
tindakan perundungan siber. Teman sebaya yang banyak mendukung
perilaku perundungan siber akan meyakinkan remaja bahwa
perundungan siber bukanlah suatu masalah besar dan merupakan hal
yang wajar dilakukan.

Hubungan Executive Function dengan Kecenderungan Perundungan


Siber

Berdasarkan hasil analisis data menjelaskan bahwa executive function


memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kecenderungan
perundungan siber. Artinya semakin baik executive function yang dimiliki
remaja maka semakin tinggi kecenderungan perundungan siber. Executive
function memiliki peran penting dalam mengatur perilaku, baik perilaku
positif maupun negatif. Jadi, executive function yang dimiliki individu
cenderung dapat memengaruhi perilaku perundungan siber. Aspek
executive function dapat berkontribusi pada masalah pemrosesan informasi
dan perilaku agresi (Jenkins et al., 2018). Perilaku agresi yang terkait
dengan perundungan siber antara lain agresi tidak langsung, yaitu agresi
yang dilakukan dengan cara menyebarkan cerita negatif tentang orang
lain dengan tujuan merusak nama baik orang tersebut; atau justru agresi
proaktif, yaitu perilaku agresi bersifat terencana untuk memperoleh
tujuan tertentu yang tidak berhubungan dengan upaya provokasi
maupun emosi, namun semata-mata diarahkan untuk memperoleh tujuan
yang ingin dicapai seperti barang berharga, wilayah, popularitas, atau
kekuasaan (Krahe, 2005).

Penjelasan ini mendukung pemikiran bahwa seseorang yang memiliki


executive function yang bagus dan melakukan perundungan siber melalui
agresi tidak langsung maupun agresi proaktif tidak menutup
kemungkinan akan mampu menutupi perilaku-perilaku negatif tersebut
dan memiliki keterampilan secara sosial yang baik, mampu merencanakan
atau memunculkan respon yang akan menguntungkannya dan mampu
mempertimbangkan konsekuensi dari perilakunya sehingga dapat
mencari cara meminimalkan konsekuensi tersebut. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian McQuade (2017) yang menyatakan bahwa executive
function yang baik justru dapat meningkatkan perilaku agresi relasional.
Agresi relasional bertujuan untuk merusak suatu hubungan pertemanan
atau reputasi seseorang, yang dapat dilakukan dengan berbagai cara
seperti menyebarkan rumor, mengabaikan teman secara sosial, atau
meminta teman lain untuk tidak menjalin berhubungan dengan korban
agresi relasional (Allen & Anderson, 2017).

Anak-anak yang memiliki executive function yang baik apabila melakukan


agresi relasional, memungkinkan mereka berpikir bahwa agresi relasional
dapat menjadi cara untuk mengontrol orang lain, untuk dapat diterima
atau mendapatkan status sosial dalam kelompok sebaya, dan untuk
menahan atau menunda mereka merespon dengan segera peristiwa agresi
relasional yang mereka alami. Mereka dapat memikirkan untuk merespon
perilaku agresi relasional tersebut dengan cara yang lebih halus, seperti
memanipulasi hubungan yang menguntungkan bagi mereka dan dengan
cara terselubung (McQuade, 2017).

Sullivan et al. (2003) menjelaskan bahwa pelaku yang pandai akan mampu
menutupi perilaku perundungannya. Mereka mungkin seorang yang
populer di kelompok teman sebayanya, baik secara akademis maupun
sosial, memiliki kemampuan mengatur dan memanipulasi orang lain
untuk melakukan negosiasi atau mengikuti keinginan mereka. Asumsi ini
diperkuat oleh pendapat Jenkins et al. (2018) yang menjelaskan bahwa
seseorang yang lemah dalam executive function dapat mengganggu
kemampuannya untuk mengambil keuntungan dari perspektif orang lain,
mengalihkan perhatian, atau mengenali dan mempertimbangkan
konsekuensi potensial dari perilaku yang akan dilakukannya. Apabila
dikaitkan dengan penelitian ini, variabel perundungan siber merupakan
salah satu bentuk perilaku agresi relasional dengan menggunakan media
elektronik, sehingga asumsi tersebut dapat menjelaskan hasil penelitian
yang menyatakan bahwa semakin bagus executive function seseorang maka
akan meningkatkan kecenderungan mereka dalam melakukan
perundungan siber.

Hubungan Interaksi Teman Sebaya dengan Kecenderungan


Perundungan Siber

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan yang


negatif antara interaksi teman sebaya dengan kecenderungan
perundungan siber. Artinya semakin baik atau kuat interaksi teman
sebaya maka semakin rendah kemungkinan seseorang melakukan
kecenderungan perundungan siber. Disisi lain, temuan pada penelitian ini
juga mengindikasikan bahwa mayoritas interaksi teman sebaya yang
dilakukan oleh remaja berada pada kategori tinggi dan disertai dengan
rendahnya kecenderungan perundungan siber. Hal ini memungkinkan
untuk terjadi pada pola hubungan yang positif dalam interaksi teman
sebaya pada partisipan penelitian ini. Hasil penelitian Budiarti (2016)
menjelaskan bahwa interaksi dalam peer group yang bersifat positif akan
menurunkan skor perundungan siber, sebaliknya interaksi dalam peer
group yang bersifat negatif akan menaikkan skor perundungan siber.
Pola hubungan yang positif dalam interaksi teman sebaya juga
mengindikasikan bahwa interaksi pertemanan mereka mengarah pada
hubungan yang berkualitas. Soekoto et al. (2020) mendeskripsikan
pertemanan yang berkualitas ditandai dengan adanya kebersamaan,
memunculkan rasa aman, minimnya konflik yang terjadi, saling tolong
menolong, adanya perasaan keterikatan, keakraban, dukungan.
Penjelasan ini bersesuaian dengan aspek-aspek interaksi teman sebaya
yaitu intensitas interaksi, kemampuan penyesuaian diri dengan teman
sebaya atau sebaliknya, sikap kerjasama, perasaan emosional terhadap
teman sebaya (seperti: simpati, cinta, ketergantungan, aktifitas agresi,
kompetisi), dan konformitas (Papalia et al., 2002). Jadi apabila teman
sebaya tidak mendukung perundungan siber memungkinkan untuk
memberikan informasi tentang bahaya perundungan siber, dapat
memengaruhi pikiran remaja bahwa perundungan siber adalah perilaku
yang negatif sehingga mereka tidak melakukannya. Hasil penelitian
Soekoto et al., (2020) memperkuat penjelasan sebelumnya bahwa terdapat
hubungan signifikan yang negatif antara kualitas pertemanan dengan
agresi relasional. Artinya, remaja yang memiliki skor kualitas pertemanan
yang rendah memiliki skor agresi relasional yang tinggi. Sebaliknya,
remaja yang memiliki skor kualitas pertemanan yang tinggi memiliki skor
agresi relasional yang rendah.

Penelitian Antama et al. (2020) menjelaskan bahwa sebagian besar alasan


remaja melakukan tindakan perundungan siber karena meniru perilaku
teman sebaya dan perilaku tersebut mendapatkan dukungan dari teman
lainnya. Penelitian Theodore & Sudarji (2020) memperkuat penjelasan
tersebut, bahwa faktor norma kelompok berperan pada remaja yang
melakukan perundungan, dimana partisipan penelitian ini sering
memiliki teman yang melakukan perbuatan perundungan, khususnya
perundungan verbal sehingga mereka berpikiran bahwa perilaku tersebut
merupakan tindakan yang dibenarkan.

Teman sebaya mampu memberikan penguatan untuk meningkatkan atau


mempertahankan perilaku positif. Penguatan yang diberikan dapat
berupa motivasi untuk melakukan hal positif, misalnya motivasi untuk
berprestasi. Penjelasan ini didukung oleh penelitian Espino & Guarini
(2022) bahwa terdapat korelasi negatif antara hubungan pertemanan yang
positif dengan keinginan untuk melakukan perbuatan perundungan pada
korban perundungan. Hubungan pertemanan yang positif akan mampu
membantu korban perundungan dalam pengelolaan rasa marahnya akibat
peristiwa perundungan yang dialaminya, sehingga potensi korban akan
melakukan perundungan juga sebagai wujud dari keinginannya untuk
balas dendam akan berkurang. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
hubungan pertemanan yang positif dapat menjadi faktor protektif bagi
peristiwa perundungan karena ketika korban memahami bagaimana cara
berhubungan secara positif dengan teman sebaya dan membantunya
untuk mengelola kemarahan secara efektif, maka kemungkinan korban
akan bertindak impulsif untuk membalas tindakan perundungan yang
terjadi pada dirinya akan berkurang. Untuk menilai bagaimana pengaruh
peer group terhadap peristiwa perundungan maka dapat dilihat secara
langsung melalui kontak dan juga interaksi antar mereka (Tran et al.,
2018). Hubungan pertemanan yang tidak bermakna akan dapat memicu
seorang remaja merasa kesepian sehingga berisiko menjadi pelaku
perundungan siber (Ragasukmasuci & Adiyanti, 2019).

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil analisis dan pembahasan


pada penelitian ini bahwa (1) executive function tidak mampu memberikan
efek moderasi hubungan antara interaksi teman sebaya dengan
kecenderungan perundungan siber; (2) executive function berhubungan
positif dengan kecenderungan perundungan siber. Semakin baik executive
function yang dimiliki remaja maka semakin tinggi kecenderungan
perundungan siber yang akan dilakukannya. Seseorang yang memiliki
executive function yang bagus cenderung juga memiliki keterampilan
secara sosial sehingga mampu merencanakan dan memunculkan respon
yang akan menguntungkannya, serta mampu mempertimbangkan
konsekuensi dari perilakunya. Hal ini membuatnya mampu menutupi
perilaku-perilaku negatifnya seperti perundungan siber; (3) interaksi
teman sebaya berhubungan negatif dengan kecenderungan perundungan
siber. Semakin kuat interaksi teman sebaya maka semakin rendah
kecenderungan perundungan siber yang akan dilakukannya. Pola
hubungan yang positif dalam interaksi teman sebaya memungkinkan
seseorang mendapatkan dampak positif bagi dirinya. Teman sebaya yang
tidak mendukung perundungan siber dan memberikan informasi tentang
bahaya perundungan siber akan memengaruhi pikiran remaja bahwa
perundungan siber adalah perilaku negatif yang tidak pantas untuk
dilakukan. Hal ini dapat mengurungkan keinginan seseorang untuk
melakukan perundungan siber.

SARAN

Hasil penelitian menemukan bahwa interaksi teman sebaya yang baik


membuat kecenderungan perundungan siber menurun. Oleh karena itu,
diharapkan bagi pihak sekolah untuk mengoptimalkan program
pembinaan siswa yang dapat mengembangkan interaksi teman sebaya
secara positif, seperti konseling atau bimbingan kelompok teman sebaya
melalui program kerja guru Bimbingan Konseling, mengoptimalkan
pembinaan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan osis, dan
memberikan tugas-tugas kelompok pada mata pelajaran.

Peneliti selanjutnya perlu menguji atau meneliti lebih lanjut tentang


perundungan siber pada partisipan dengan tingkat usia yang lebih rendah
agar dapat mengetahui pada tingkatan usia yang berisiko melakukan
perundungan siber, khususnya di Indonesia.

REFERENSI

Adiyanti, M. G., Nugraheni, A. A., Yuliawanti, R., Ragasukmasuci, L. B., &


Maharani, M. (2019). Emotion regulation and empathy as mediators
of self-esteem and friendship quality in predicting cyberbullying
tendency in Javanese-Indonesian adolescents. International Journal
of Adolescence and Youth, 1–13.
https://doi.org/10.1080/02673843.2019.1614079
Allen, J. J., & Anderson, C. A. (2017). Aggression and Violence: Definitions
and Distinctions. The Wiley Handbook of Violence and Aggression,
April, 1–14. https://doi.org/10.1002/9781119057574.whbva001

Antama, F., Zuhdy, M., & Purwanto, H. (2020). Faktor Penyebab


Cyberbullying yang Dilakukan oleh Remaja di Kota Yogyakarta.
Jurnal Penegakan Hukum Dan Keadilan, 1(2), 182–202.
https://doi.org/10.18196/jphk.1210

Badan Pusat Statistika. (2021). Hasil sensus penduduk 2020. In Badan


Pusat Statistik (Issue Januari).
http://apjii.or.id/v2/upload/Laporan/Profil Internet Indonesia 2012
%28INDONESIA%29.pdf

Baron, R. A., & Richardson, D. R. (1994). Human aggression (2nd ed.).


Springer Science+Business.

Bencsik, A., Juhász, T., & Horváth-Csikós, G. (2016). Y and Z generations


at workplaces. Journal of Competitiveness, 8(3), 90–106.
https://doi.org/10.7441/joc.2016.03.06

Budiarti, A. I. (2016). Pengaruh interaksi dalam peer group terhadap


perilaku cyberbullying siswa. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 3(1), 1–15.
https://doi.org/10.22146/jps.v3i1.23522

Cowie, H. (2013). Cyberbullying and its impact on young people’s


emotional health and well-being. Psychiatrist, 37(5), 167–170.
https://doi.org/10.1192/pb.bp.112.040840

Dawson, P., & Guare, R. (2014). Interventions to promote executive


development in children and adolescents. In S. Goldstein & J. A.
Naglieri (Eds.), Handbook of executive functioning (pp. 427–443).
Springer. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-8106-5

Espino, E., & Guarini, A. (2022). Why are Some Victims Also Bullies ? The
Role of Peer Relationship Management and Anger Regulation in
Traditional Bullying. Youth and Society, 1–23.
https://doi.org/10.1177/0044118X221077712
Fatima, S., & Sharif, I. (2017). Executive functions, parental punishment,
and aggression: Direct and moderated relations. Social Neuroscience,
12(6), 717–729. https://doi.org/10.1080/17470919.2016.1240710

Fatima, S., & Sheikh, H. (2014). Socioeconomic status and adolescent


aggression: the role of executive functioning as a mediator. The
American Journal of Psychology, 127(4), 419–430.
https://doi.org/10.5406/amerjpsyc.127.4.0419

Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.-A. (2013). Theories of personality (Eighth
Edi). McGraw-Hill.

Fernández-Antelo, I., & Cuadrado-Gordillo, I. (2018). Divergent


perceptual processes on cyberbullying between victims and
aggressors: construction of explanatory models. Frontiers in
Psychology, 9(396), 1–10. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00396

Giordano, P. C. (2003). Relationships in adolescence. Annual Review of


Sociology, 29(1), 257–281.
https://doi.org/10.1146/annurev.soc.29.010202.100047

Goldstein, S., Naglieri, J. A., Princiotta, D., & Otero, T. M. (2014).


Introduction: a history of executive functioning as a theoretical and
clinical constract. In Handbook of executive functioning (pp. 3–12).
Springer.

Gradinger, P., Strohmeier, D., & Spiel, C. (2009). Traditional bullying and
cyberbullying: identification of risk groups for adjustment
problems. Journal of Psychology, 217(4), 205–213.
https://doi.org/10.1027/0044-3409.217.4.205

Handono, S. G., Laeheem, K., & Sittichai, R. (2019). Factors related with
cyberbullying among the youth of Jakarta, Indonesia. Children and
Youth Services Review, 99(August 2018), 235–239.
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2019.02.012
Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2008). Cyberbullying: An exploratory
analysis of factors related to offending and victimization. Deviant
Behavior, 29(2), 129–156. https://doi.org/10.1080/01639620701457816

Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2010). Bullying, cyberbullying, and suicide.


Archives of Suicide Research, 14(3), 206–221.
https://doi.org/10.1080/13811118.2010.494133

Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2013). Social influences on cyberbullying


behaviors among middle and high school students. Journal of Youth
and Adolescence, 42(5), 711–722. https://doi.org/10.1007/s10964-012-
9902-4

Iranzoa, B., Buelgab, S., Cava, M.-J., & Ortega-Barónc, and J. (2019).
Cyberbullying, psychosocial adjustment, and suicidal ideation in
adolescence. Psychosocial Intervention, 28(2), 75–81.
https://doi.org/10.5093/pi2019a5

Isaacs, J., Hodges, E. V. E., & Salmivalli, C. (2008). Long-term


consequences of victimization by peers: A follow-up from
adolescence to young adulthood. European Journal of Developmental
Science, 2(4), 387–397. https://doi.org/10.3233/DEV-2008-2404

Jenkins, L. N., Tennant, J. E., & Demaray, M. K. (2018). Executive


functioning and bullying participant roles: Differences for boys and
girls. Journal of School Violence, 17(4), 521–537.
https://doi.org/10.1080/15388220.2018.1453822

Kowalski, R. M., Limber, S. P., & Agatston, P. W. (2012). Cyberbullying:


bullying in the digital age (2nd ed.). Blackwell Publishing Ltd.

Kowalski, R. M., & Limber, S. P. (2013). Psychological, physical, and


academic correlates of cyberbullying and traditional bullying.
Journal of Adolescent Health, 53, S13–S20.
https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2012.09.018

Kowalski, R. M., Giumetti, G. W., Schroeder, A. N., & Lattanner, M. R.


(2014). Bullying in the digital age: a critical review and meta-
analysis of cyberbullying research among youth. Psychological
Bulletin, 140(4), 1073–1137. https://doi.org/10.1037/a0035618

KPAI. (2019). KPAI sebut anak korban kejahatan dunia maya capai 679 kasus.
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-anak-korban-kejahatan-
dunia-maya-capai-679-kasus

Krahe, B. (2005). Perilaku agresi: buku panduan psikologi sosial. Pustaka


Pelajar.

Krämer, U. M., Kopyciok, R. P. J., Richter, S., Rodriguez-Fornells, A., &


Münte, T. F. (2011). The role of executive functions in the control of
aggressive behavior. Frontiers in Psychology, 2, 1–10.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2011.00152

Livingstone, S., & Haddon, L. (2009). EU kids online : final report 2009.

Mawardah, M., & Adiyanti, M. (2014). Regulasi emosi dan kelompok


teman sebaya pelaku cyberbullying. Jurnal Psikologi, 41(1), 60–73.
https://doi.org/10.22146/jpsi.6958

McQuade, J. D. (2017). Peer victimization and changes in physical and


relational aggression: The moderating role of executive functioning
abilities. Aggressive Behavior, 43(5), 503–512.
https://doi.org/10.1002/ab.21708

Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R. (2006). Psikologi


perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Gadjah Mada
University Press.

Ovejero, A., Yubero, S., Larrañaga, E., & Moral, M. de la V. (2016).


Cyberbullying: definitions and facts from a psychosocial perspective (R.
Navarro, S. Yubero, & E. Larrañaga (eds.)). Springer International
Publishing. https://doi.org/10.1007/9783319255521

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2002). A child’s world: infancy
through adolescence. Ed.9. New York: McGraw-Hill. (9th ed.). McGraw-
Hill.
Peterson, E., & Welsh, M. C. (2014). The development of hot and cool
executive functions in childhood and adolescence: are we getting
warmer? In S. Goldstein & J. A. Naglieri (Eds.), Handbook of
executive functioning (pp. 45–65). Springer.
https://doi.org/10.1007/978-1-4614-8106-5_4

Ragasukmasuci, L. B., & Adiyanti, M. G. (2019). Kecenderungan Remaja


menjadi Pelaku Perundungan-Siber: Kontribusi Harga Diri dan
Kesepian. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 5(2), 187.
https://doi.org/10.22146/gamajop.48450

Raskauskas, J., & Stoltz, A. D. (2007). Involvement in traditional and


electronic bullying among adolescents. Developmental Psychology,
43(3), 564–575. https://doi.org/10.1037/0012-1649.43.3.564

Romero-López, M., Quesada-Conde, A. B., Bernardo, G. Á., & Justicia-


Arráez, A. (2017). The relationship between executive functions and
externalizing behavior problems in early childhood education.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 237, 778–783.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2017.02.121

Rudi, T. (2017). Keamanan berinternet bagi anak & remaja.


https://www.academia.edu/31896989/Keamanan_Berinternet_Bagi_
Anak_dan_Remaja

Santrock, J. W. (2002). Adolescence (6th ed.). McGraw-Hill Companies, The.

Shim, H., & Shin, E. (2016). Peer-group pressure as a moderator of the


relationship between attitude toward cyberbullying and
cyberbullying behaviors on mobile instant messengers. Telematics
and Informatics, 33(1), 17–24. https://doi.org/10.1016/j.tele.2015.06.002

Slonje, R., & Smith, P. K. (2008). Cyberbullying: another main type of


bullying? Scandinavian Journal of Psychology, 49(2), 147–154.
https://doi.org/10.1111/j.1467-9450.2007.00611.x
Soekoto, Z. A., Muttaqin, D., & Tondok, M. S. (2020). Kualitas Pertemanan
dan Agresi Relasional Pada Remaja di Kota Surabaya. Jurnal
Psikologi, 16(2), 188. https://doi.org/10.24014/jp.v16i2.9684

Sourander, A., Klomek, A. B., Ikonen, M., Lindroos, J., Luntamo, T.,
Koskelainen, M., Ristkari, T., & Helenius, H. (2010). Psychosocial
risk factors associated with cyberbullying among adolescents: A
population-based study. Archives of General Psychiatry, 67(7), 720–
728. https://doi.org/10.1001/archgenpsychiatry.2010.79

Strait, J. E., Dawson, P., Walther, C. A. P., Strait, G. G., Barton, A. K., &
Brunson McClain, M. (2019). Refinement and psychometric
evaluation of the executive skills questionnaire-revised.
Contemporary School Psychology. https://doi.org/10.1007/s40688-018-
00224-x

Sullivan, K., Cleary, M., & Sullivan, G. (2003). Bullying in secondary schools.
What it looks like and how to manage it (1st ed.). SAGE Publications.

Theodore, W., & Sudarji, S. (2020). Faktor-Faktor Perilaku Perundungan


Pada Pelajar Usia Remaja Di Jakarta. Psibernetika, 12(2), 67–79.
https://doi.org/10.30813/psibernetika.v12i2.1745

Tran, D., Shukri, R., & Do, D. (2018). Factors related to cyber bullying
among high school students in Hanoi, Vietnam. The Canadian
Journal of Clinical Nutrition, 6(1), 107–122.
https://doi.org/10.14206/canad.j.clin.nutr.2018.01.07

Vazsonyi, A. T., Smahel, D., Machackova, H., Sevcikova, A., & Cerna, A.
(2012). Cyberbullying in context : direct and indirect effects by low
self-control across 25 European countries. European Journal of
Developmental Psychology, 9(2), 210–227.
https://doi.org/10.1080/17405629.2011.644919

Weber, N. L., & William V. Pelfrey, J. (2014). Cyberbullying: couses,


consequences, and coping strategies. LFB Scholarly Publishing LLC.
Yar, M. (2010). Public perceptions and public opinion about internet crime.
In Y. Jewkes & M. Yar (Eds.), Handbook of internet crime (pp. 104–
119). Willan Publishing. https://doi.org/10.4018/978-1-61350-323-
2.ch101

Zillmer, E. A., Spiers, M. V., & Culbertson, W. C. (2008). Principles of


neuropsychology (Second). Thomson Higher Education.

Anda mungkin juga menyukai