Anda di halaman 1dari 6

Reviewer : Abd.

Halim (453042)
Tanggal : 26 Oktober 2020
Topik : Psikologi Bahasa
Penulis : Daisy Jane C. Orcullo and Teo Hui San, Member, IEDRC

Tahun : 2016

Judul : Understanding Cognitive Dissonance in Smoking


Behaviour: A Qualitative Study
Jenis : International Journal of Social Science and Humanity

Vol & Hal : 06, No. 6


Website/Doi : 10.7763/IJSSH.2016.V6.695

Pendahuluan

Seseorang harus berhadapan dengan berbagai keyakinan, informasi, pikiran


dan emosi dari berbagai sudut pandang di era yang dibanjiri dengan informasi yang
luar biasa. Secara bersamaan, keyakinan dan sikap tersebut dari perspektif yang
berbeda mungkin tidak sejalan dan mungkin saling bertentangan. Konflik dalam diri
seseorang terjadi ketika keyakinan, sikap dan perilaku tidak konsisten; ketika ada
konflik dalam diri, seseorang merasa tidak nyaman. Keadaan tersebut dinamakan
disonansi kognitif diamana keadaan tersebut muncul ketika terdapat ketidaksesuaian
antara pikiran atau elemen pengetahuan tentang diri sendiri, perilaku atau bahkan
lingkungan. Ini digambarkan sebagai keadaan psikologis dimana kepercayaan, sikap
dan perilaku tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini menyebabkan ketidaknyamanan
psikologis yang memotivasi orang untuk menguranginya. Orang-orang yang
mengalami disonansi sebagai permusuhan, akan termotivasi untuk mengurangi
disonansi tersebut, dan mencapai konsistensi dalam keyakinan, sikap, dan perilaku
yang tidak sesuai.

Fenomena disonansi kognitif telah diteliti melalui jangka waktu yang lama,
karena melibatkan banyak bidang psikologi seperti sikap dan prasangka, kognisi moral,
pengambilan keputusan, kebahagiaan dan terapi. Pengurangan disonansi kognitif
terjadi setelah konsekuensi permusuhan yang dialami dari disonansi tersebut atau
terjadi sebelumnya. Dalam kasus perokok, apakah mereka mengubah keyakinan atau
perilaku setelah menerima dampak pada kesehatan, atau sebelumnya?

Kecanduan rokok selama ini dikenal sebagai kebiasaan yang dapat menjadi
salah satu faktor penyebab terjadinya kanker. Hasil statistik menunjukkan bahwa ada
lebih banyak orang yang meninggal karena penggunaan rokok dan tembakau
dibandingkan dengan AIDS, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan narkoba,
kecelakaan mobil dan pembunuhan gabungan. Bukti yang lain menunjukkan bahwa
orang-orang mendapat informasi yang baik tentang efek merugikan dari merokok,
namun mereka memilih untuk terus merokok. Oleh karena itu, penting dan mendesak
untuk mengetahui penyebab terjadinya hal tersebut, serta cara penanggulangannya,
sehingga dapat mengurangi laju perokok dan akibat-akibatnya terhadap masyarakat.

Literature Review

Strategi Pengurangan Disonansi dalam Perilaku Merokok

Orang cenderung merasionalisasi perilaku mereka untuk menghindari


disonansi. Dalam kasus merokok, perokok mungkin merasionalisasi bahwa 1)
merokok itu layak karena seseorang sangat menyukainya, 2) tidak
membahayakan kesehatannya karena efeknya pada orang lain, 3) mustahil
baginya untuk menghindari melakukan apa pun hanya untuk tetap hidup, dan 4)
ada kemungkinan terpapar bahaya lain yang juga berdampak buruk bagi
kesehatan meskipun tidak merokok. Dengan merasionalisasi perilaku merokok
dengan alasan perokok merasa terbebas dari ketidaknyamanan psikologis yang
disebabkan oleh inkonsistensi.

Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2004 di Kelantan, Malaysia


menunjukkan bahwa para perokok merasionalkan merokok tidak berbahaya
dengan mempercayai beberapa kepercayaan awam bahwa ada cara yang lebih
aman untuk merokok tanpa membahayakan kesehatan. Dalam survei terhadap
193 pria perokok di Kelantan, mereka menemukan bahwa setidaknya 68%
partisipan merasionalisasi perilaku merokok aman dengan keyakinan
pembebasan diri, seperti minum air, menggunakan filter, merokok setelah
makan, dan mengonsumsi buah asam. Hasil ini menunjukkan bahwa keyakinan
irasional digunakan untuk mengurangi disonansi pada perokok karena mereka
mengetahui bahwa merokok itu buruk bagi kesehatan. Dalam studi etnografi
kualitatif lain di Amerika, peneliti menghabiskan tiga tahun di klub merokok
cerutu, mengamati perokok biasa di toko dengan percakapan tentang risiko
kesehatan akan menimbulkan banyak kerugian.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Partisipan penelitian


berjumlah enam (6); lima (5) orang Malaysia; dan satu (Iran); empat (4) laki-laki dan
dua (2) perempuan; yang usianya berkisar antara 20 sampai 35 tahun. Pengambilan
data dilakukan dengan wawancara. Catatan lapangan juga dibuat selama wawancara
berlangsung dan perubahan nada dicatat jika peserta secara khusus menekankan
pada kata-kata tertentu. Ketika peserta berhenti selama wawancara, itu juga dicatat
dan diberi kode dalam transkripsi.

Hasil dan Pembahasan

1. Lingkungan Keluarga

Keluarga sebagai kelompok pendukung utama bagi setiap individu tentunya


sangat berperan dalam mempengaruhi keyakinan, sikap dan perilaku individu
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga merupakan salah satu
faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kepercayaan merokok. Berfokus
pada pengaruh keluarga terhadap perilaku, tumbuh dalam keluarga di mana
sebagian besar anggotanya merokok, pada akhirnya memengaruhi individu untuk
percaya bahwa merokok tidak seburuk itu. Dari pertanyaan demografis yang
diajukan kepada peserta, P2, P3, P5 yang dibesarkan dalam keluarga merokok
dan mereka mengaku dibesarkan di lingkungan merokok menyebabkan mereka
berada pada jalur yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga mempengaruhi
sikap dan perilaku merokok.

2. Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja juga merupakan faktor yang mempengaruhi keyakinan


dan perilaku terhadap merokok. Seringkali di lingkungan kerja, ada kolega dan
supervisor atau atasan yang perlu kita kerjakan atau patuhi agar dapat bekerja
dengan bahagia tanpa argumen dan kontradiksi dengan mereka. Karenanya, nilai
dan pengaruh dari lingkungan kerja akan sering diasimilasi ke dalam keyakinan
dan perilaku kita sendiri. Seperti yang disebutkan P3, dia dibujuk oleh rekan-
rekannya saat istirahat untuk mencoba rokok pertamanya. Sejak itu, untuk
mematuhinya selama jam kerja, dia akan merokok bersama. Konformitas sosial
jelas berperan dalam pengambilan keputusan tentang merokok sebagaimana
diungkapkan oleh P3. Kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan rekan kerja dan
diterima oleh mereka memulai pengalaman merokok P3, dan ini menunjukkan
bahwa lingkungan di tempat kerja sedikit banyak mempengaruhi keputusan
individu dalam merokok.

3. Kegiatan Meredakan Stres

Perokokmelihat merokok sebagai cara paling nyaman untuk melepaskan


stres. Menurut beberapa partisipan, mereka akan merokok setiap kali merasa
stres. Stressor seperti ujian dan tugas paling menonjol dalam penelitian ini karena
pesertanya sebagian besar adalah mahasiswa. Partisipan ini menganggap
merokok sebagai aktivitas pelepas stres dan itu adalah cara terbaik untuk
melepaskan stres.

4. Kebiasaan Sehari-hari

Perokok dalam penelitian ini sebenarnya mempersepsikan merokok


sebagai kebiasaan dalam kehidupannya, dimana kebiasaan tersebut sudah begitu
wajar dan sulit dilepaskan dari kehidupannya. Mereka menggambarkan merokok
sebagai rutinitas sehari-hari, dan salah satu aktivitas yang biasa mereka lakukan.
Saat perokok mengasosiasikan merokok dengan kebiasaan, mereka
menganggapnya sebagai rutinitas yang sangat normal dan alami.

5. Rasa Bersalah

Ketika perokok dihadapkan pada suatu situasi yang menantang mereka,


mereka akan merasa bersalah, tentunya tidak semua perokok merasakan hal yang
sama. Peserta melaporkan perasaan bersalah setiap kali muncul
ketidakkonsistenan, atau apa pun yang menantang kepercayaan atau perilaku
mereka.

6. Tunggu Sampai Kemungkinan Buruk Terjadi

Ketika merokok memiliki risiko yang hampir sama untuk semua populasi,
beberapa perokok sebenarnya berpikir bahwa mereka kebal, dan semua penyakit
terkait merokok yang diketahui jarang terjadi pada mereka. Maka, mereka
menunggu apakah akibat buruk benar-benar datang. Daripada berfokus pada
merokok itu buruk, perokok mengubah keyakinannya ke keyakinan lain yaitu,
konsekuensi buruk terhadap kesehatan mungkin tidak datang kepada mereka, atau
tidak akan terjadi sedini mungkin karena mereka masih muda.

7. Merokok Bukan Satu-Satunya Cara untuk Mati

Dulu orang menentang merokok, karena kepercayaan umum adalah,


merokok menyebabkan kematian lebih cepat dan lebih cepat. Namun, bagi
perokok, kepercayaan terhadap dampak langsung dan parah dari merokok akan
menyebabkan ketidaksesuaian antara keyakinan dan perilaku. Untuk
menghindarinya, mereka meyakinkan diri bahwa rokok bukanlah satu-satunya jalan
menuju kematian. Keyakinan yang bermutasi ini oleh karena itu mengurangi
intensitas ketidakkonsistenan, sehingga mengurangi disonansi.

8. Penolakan

Mekanisme pertahanan paling umum yang selalu digambarkan orang


adalah penyangkalan. Dalam banyak kesempatan dan situasi, kita cenderung
menyangkal hal-hal yang tidak ingin kita terima, sehingga kita merasa lebih baik
dan tidak mempengaruhi ego dan harga diri kita. Namun, penyangkalan ini dapat
dilakukan tanpa disadari bahkan tanpa kita sendiri menyadari bahwa kita
menyangkal sesuatu yang tidak konsisten dengan perilaku kita. Dalam penelitian
ini, tiga orang peserta (P1, P2, P5) mengungkapkan bahwa anggota keluarganya
sebenarnya tidak tahu apa-apa bahwa mereka telah merokok selama bertahun-
tahun dan masih melakukannya. Para peserta ini menunjukkan disonansi kognitif
yang lebih kuat yang disebabkan oleh keyakinan yang bertentangan dan perilaku
yang bertentangan. Karena keluarga menentang merokok, mereka sengaja
menyembunyikannya dari keluarga atau ada yang merasionalkannya dengan
mengatakan bahwa:

Kesimpulan

Sekarang diketahui bahwa lingkungan hidup, khususnya keluarga dan


lingkungan kerja merupakan cara yang paling langsung mempengaruhi keputusan
perokok dalam berperilaku merokok. Selain itu faktor psikologis individu itu sendiri juga
penting dalam pengambilan keputusan. Ketergantungan psikologis perokok pada rokok
dapat dilihat dalam beberapa perspektif, termasuk memperlakukan rokok sebagai
aktivitas pelepas stres, dan kebiasaan sehari-hari. Kedua tema ini menggambarkan
faktor-faktor yang berperan dalam menentukan apakah akan berhenti atau terus
merokok.

Komentar

1. Informasi yang didaptkan dari partisipan kurang dieksplor

2. Tidak dibedakan intesitas merokok

3. Pemilihan sampel tidak dijelaskan secara detail

Insight

1. Perilaku merokok menyebabkan seseorang mengalami ketidakseimbangan

2. Disonansi kognitif bisa dikurangi dengan banyak cara salah satunya


merasionalisasikan

3. Muncul ide topik penelitian tentang disonansi kognitif

Anda mungkin juga menyukai