Anda di halaman 1dari 12

UNDERSTANDING COGNITIVE DISSONANCE PERILAKU MEROKOK

(Paper Psikologi)

Abd. Halim-453042

Program Studi Magister Sains

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

abd.halim@mail.ugm.ac.id

Abstrak: Perilaku merokok merupakan fenomena yang biasa ditemukan di


sekitar kita. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku merokok diantaranya
lingkungan. Pemahaman tentang bahaya merokok dan perilaku merokok
memunculkan ketidakseimbangan dalam diri seseorang atau disebut disonansi
kognitif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan proses
wawancara semi terstruktur dengan 2 partisipan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa partisipan mengalami disonansi pada perilaku merokok namun strategi
untuk menyeimbangkan elemen yang bertentangan tersebut dengan mencari
pembenaran bahwa merokok tidak berbahaya.

Kata kunci: Perilaku merokok, Disonansi kognitif

Pendahuluan

Perilaku merokok saat ini telah menjadi fenomena yang tidak asing

dalam kehidupan. Mudahnya akses untuk mendapatkan rokok dan banyaknya

orang merokok ditempat umum, kantor, lingkungan pendidikan bahkan dalam

lingkungan keluarga sendiri mengakibatkan perilaku merokok tersebut sulit

untuk dihindari. Perilaku merokok merupakan salah satu penyebab munculnya

berbagai penyakit dan tingginya angka kematian. Hal ini disebabkan karena

bahan kimia yang terdapat dalam rokok. Data dari WHO setiap tahun sekitar

225.700 orang Indonesia meninggal akibat merokok atau penyakit lain yang
berkaitan dengantembakau (World Health Organization). Prevalensi pada orang

dewasa masih belum menunjukkan penurunan selama periode 5 tahun ini,


sementara prevalensi merokok pada remaja usia 10-19 tahun meningkat dari

7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% pada 2018 -- peningkatan sebesar kira-kira 20%.

Data terbaru dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 yang

dirilis pada hari ini menunjukkan bahwa 40.6% pelajar di Indonesia (usia 13-15

tahun), 2 dari 3 anak laki-laki, dan hampir 1 dari 5 anak perempuan sudah

pernah menggunakan produk tembakau: 19.2% pelajar saat ini merokok dan di

antara jumlah tersebut, 60.6% bahkan tidak dicegah ketika membeli rokok karena

usia mereka, dan dua pertiga dari mereka dapat membeli rokok secara eceran

(World Health Organization).

Perilaku merokok juga membawa pengaruh buruk terhadap kebiasaan

(habits) para penggunanya. Kebiasaan merokok menyebabkan seseorang menjadi

lebih egois, hal ini dapat dilihat pada kebiasaan merokok yang dilakukan oleh

remaja atau orang dewasa di depan umum atau di ruang publik. Perilaku

merokok disebabkan banyak faktor, faktor lingkungan seperti keluarga dan

teman sebaya berperan penting. Perilaku merokok awalnya dilakukan dengan

coba-coba, namun pada akhirnya menjadi kecanduan. Temuan dari hasil

penelitian Munir (2019) Perilaku merokok juga dapat dipengaruhi oleh faktor

ekstrinsik yang meliputi pengaruh keluarga dan lingkungan sekitar, pengaruh

teman sebaya dan pengaruh iklan rokok (16). Penelitian ini menunjukkan

perilaku merokok pada responden yang dipengaruhi oleh keluarga dan teman

ada pada tingkat sedang. Sedangkan pengaruh paling tinggi disebabkan karena

iklan.

Perilaku merokok dilakukan oleh Alamsyah (2017) tentang determinan

perilaku merokok pada remaja Hasil penelitian menunjukkan 57,8% siswa laki-

laki kelas X dan XI berperilaku merokok dan 42,2% tidak berperilaku merokok.

Variabel yang berhubungan dengan perilaku merokok adalah pengetahuan,

sikap, kegiatan ekstrakurikuler dan iklan rokok. Disarankan ke instansi terkait

untuk meningkatkan frekuensi penyuluhan kesehatan tentang bahaya rokok,


memasukan pemahaman bahaya rokok ke dalam kegiatan UKS dan PMR serta

memaksimalkan media promosi kesehatan tentang bahaya rokok.

Penelitian yang dilakukan oleh Munir (2019) tentang gambaran perilaku

merokok pada remaja laki-laki Didapatkan hasil bahwa 46% mulai merokok

pada usia 17-19 tahun ketika masih SMA dan termasuk kategori perokok ringan.

Perilaku merokok ini dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dorongan teman dan

pengaruh iklan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa untuk mengurangi

disonansi, perokok aktif menambah elemen kognitif dengan informasi baru

seperti informasi bahwa merokok tidak memiliki dampak langsung terhadap

kesehatan mereka, masih banyak yang berbahaya bagi tubuh selain merokok,
serta informasi mengenai rokok sebagai penyumbang pendapatan ekonomi

terbesar di Indonesia. Elemen kognitif baru ini memberikan pembenaran atas

perilaku merokok sehingga kampanye anti-rokok yang selama ini dilakukan

tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku perokok aktif di Indonesia

(Fadholi et al., 2020).

Hiraev dan Levy (dalam Sobur, 2016) disonansi kognitif merupakan

ketegangan psikologis yang disebabkan oleh ketidaksesuaian (disonansi) yang

dirasakan antara sikap dan perilaku, dua atau lebih keputusan, dua atau lebih

sikap. Menurut Chaplin (2016) disonansi kognitif adalah suatu keadaan

psikologis yang tidak menyenangkan, sehingga individu merasakan atau

mengalami dua kepercayaan atau dua kesadaran yang bertentangan.

Menurut Solomon (dalam Hakim, 2017) disonansi kognitif adalah salah

satu pendekatan terhadap tingkah laku yang mengemukakan bahwa orang


termotivasi untuk mengurangi keadaan negatif dengan cara membuat suatu

keadaan sesuai dengan keadaan lainnya. Elemen kognitif adalah sesuatu yang

dipercayai oleh seseorang, bisa berupa dirinya sendiri, tingkah lakunya atau juga

pengamatan sekeliling. Pengurangan disonansi dapat timbul baik dengan


menghilangkan, menambah atau mengganti elemen-elemen kognitif.
East (dalam Hakim, 2017) mendeskripsikan disonansi kognitif sebagai

suatu kondisi yang membingungkan, yang terjadi pada seseorang ketika

kepercayaan mereka tidak sejalan bersama. Kondisi ini mendorong mereka

untuk merubah pikiran, perasaan dan tindakan mereka agar sesuai dengan

pembaharuan. Disonansi dirasakan ketika seseorang berkomitmen pada dirinya

sendiri dalam melakukan suatu tindakan yang tidak konsisten dengan perilaku

dan kepercayaan mereka yang lainnya. Menurut Festinger dua elemen dikatakan

ada dalam hubungan yang disonan jika (dengan hanya memperhatikan kedua

elemen itu saja) terjadi suatu penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh
atau mengikuti suatu elemen yang lain (Sarwono, 2010).

Dari beberapa tokoh yang telah menjelaskan tentang disonansi kognitif,

peneliti dapat menarik pemahaman bahwa disonansi kognitif merupakan

keadaan yang tidak seimbang antara elemen-elemen kognitif (bisa berupa


dirinya sendiri, tingkah lakunya atau juga pengamatan sekeliling) dan perilaku

yang mengakibatkan ketidaknyaman psikologis individu mengalami dua

kesadaran yang bertentangan, keadaan tersebut akan membuat individu

bingung dengan perilaku dan pemahamannya.

Perokok memiliki keyakinan tentang bahaya merokok pada kesehatan

tubuhnya, namun mereka mencari cara untuk menghilangkan

ketidakseimbangan tersebut pada dirinya. Penelitian ini bertujuan untuk

memahami disonansi kognitif perilaku merokok.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Proses pengambilan

dilakukan degan beberapa tahap. Peneliti menyebarkan survei terlebih dahulu

yang berisi open-ended question melaui media social. Dari hasil survei tersebut

terdapat 56 partisiapan yang mengisi dan 20 partisipan menyamnggupi untuk

diwawancara lebih lanjut. Namun karena terbatasnya waktu dan beberapa

pertimbangan akhirnya peneliti memutuskan untuk memilih 2 partisipan untuk


diwawancara lebih lanjut. Peneliti melakukan kesepakatan dengan partisipan

untuk melakukan wawancara semi terstruktur secara online dikarenakan

keadaan yang tidak memungkinkan untuk bertatap muka secara langsung. Hasil

wawancara ditranskrip dalam bentuk verbatim. Pernayataan yang sesuai dengan

topik penelitian diberi tanda (coding).

Hasil dan Diskusi

Pada mulanya perilaku merokok hanya untuk coba-coba namun akhirnya

menjadi kecanduan, hal ini seperti yang disampaikan oleh P1 dan P2 dalam

pernayataanya:

Mulai merokok nyoba-nyoba dari kelas 2 SD atau kelas 3 SD. (P10122020-02)

Pertama kali saya merokok itu, pertama banget waktu kelas 6, kelas 6 itu ketika
ke sungai dulu masih sembunyi-sembunyi dari orangtua dan itupun tidak selalu
merokok Cuma waku itu hari itu saja pertama kali merokok. Kalau merokok
yang terus sampai sekarang itu semenjak baru lulus SMA dan itu mulai merokok
aktif samapi sekarang begitu. Dari kelas 6 itu merokok kemudia berhenti karena
mondok tidak boleh merokok, akhirnya berhenti tuh selama 6 tahun, dan setelah
lulus SMA merokok lagi dan aktif sampai sekarang gak berhenti-berhenti.
(P203012020-02)

Perilaku merokok tidak lepas dari peran lingkungan yang menjadi faktor

utama untuk melakukan hal tersebut. Lingkungan bisa berupa keluarga yang

semuanya perokok, atau lingkungan pertemanan. Keluarga merupakan

lingkungan paling dekat dengan seseorang sehingga sangat memberiak

pengaruh pada perilaku merokok seseorang. Teman bermain juga sangat

berpengaruh bagi seseorang untuk berperilaku merokok, seperti pernyataan P1

dan P2:

Mungkin dari faktor lingkungan ya mas, soalnya keluarga kecuali bapak itu rata-
rata perokok mas, terus penasaran ja gitu. (P10122020-03).

Kalau yang mendorong saya untuk merokok itu adalah lingkungan. Jadi
awalnya saya itu gak mau banget merokok. Pokoknya apa sih merokok itu gak
baik, tapi karena lingkungan waktu itu saya sering bersama teman-teman yang
merokok jadi seolah-olah waktu itu saya adalah orang yang paling cupu
anggapannya seperti itu. Jadi saya gak mau dan saya langsung merokok.
(P203012020-03)

Semuanya merokok, gak ada yang gak merokok, kecuali kaka ipar gak merokok.
Pernah merokok tapi sakit berhenti sekarang (P203012020-05)

Pernyataan P1 dan P2 memperkuat adanya faktor lingkungan yang

membuat dirinya merokok. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Munir (2019) didapatkan hasil bahwa 46% mulai merokok pada

usia 17-19 tahun ketika masih SMA dan termasuk kategori perokok ringan.

Perilaku merokok ini dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dorongan teman dan

pengaruh iklan. Faktor lain adalah dorongan dalam diri individu untuk

merokok berangkat dari rasa penasaran pada rokok.

Selain faktor lingkungan pengetahuan tentang bahaya merokok juga

penting dalam terjadinya perilaku merokok. Rendahnya pengetahuan tentang

merokok memebuat seseorang dengan mudah merokok tanpa berpikir tentang

bahaya merokok terhadap kesehatan. Hasil penelitian dari Alamsyah (2017)

menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan dengan perilaku merokok.

Pengetahuan merupakan modal dasar bagi seseorang untuk berperilaku.

Pengetahun yang cukup memberi memotivasi seseorang untuk melakukan

sesuatu yang baik. Orang yang dipenuhi banyak pengetahuan dapat

mempersepsikan informasi tersebut sesuai dnegan presdiposisi psikologinya.

Pengetahuan yang tinggi tentang rokok pada seseorang memperkecil

kemungkinan berperilaku merokok. Hal ini disebabkan seseorang telah

mengetahui bahaya atau dampak negative merokok.

Perilaku merokok memiliki intensi yang cukup besar pada perokok,

sehingga apabila tidak merokok membuat tidak nyaman atau merasa ada yang

kurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari P1 dan P2:

Ya menurut saya rokok itu gak enak, tapi kalau tidak merokok gak enak, jadi
bawaannya pengen merokok gitu. P10122020-06
Yang dirasakan enak, yang pertama itu enak terus sedap itu rasanya tapi di sisi
lain kayak sesak gitu tapi tidak terlalu, dan mulut gak terasa pahit gitu kalau
mulut sudah terasa pahit gitu cepat-cepat cari rokok, kalau gak merokok itu
pahit. (P203012020-07)

Pernyataan di atas sejalan dengan penelitian Libuka dan Suyono (2019)

hasil analisis deskriptif ditemukan bawa intensi memliki kontribusi dalam

terbentuknya perilaku merokok remaja, hal ini merupakan bagian dari model

yang dikembangkan dari teori perilaku terencana yang terbentuk melalui sikap,

norma subjektif dan perceived behavioral control. Merujuk pada hasil uraian di

atas dapat dijelaskan bahwa terjadinya perilaku merokok diawali dengan intensi

merokok remaja yang meliputi sikap positif terhadap rokok, dan meremehkan

segala kemungkinan dampak yang ditimbulkan dari perilaku merokok serta

banyaknya kesempatan yang memfasilitasi remaja dalam melakukan perilaku

merokok. Perokok akan terus mencari jalan untuk memungkinkan dirinya

menikmati rokok tanpa merasa khawatir.

Seseorang merokok memiliki waktu waktu tertentu yang dirasa pada

waktu tersebut lebih nikmat merokok. Merokok diwaktu waktu tertentu seperti

setelah makan dan ingin buang besar menjadi waktu tersendiri yang

memberikan kenyaman bagi perokok. Hal ini seperti yang dinyatakan P1 dan P2:

Ada mas, ketika nongkrong, ketika bingung, ketika pengen BAB, dan setelah
makan. (P10122020-11)

Kalau sekarang sih waktu tertentu itu yang paling penting merokok dan wajib
banget setelah makan dan selain itu sering banget maksudnya tidak tahu waktu,
bangun tidur gitu minum air langsung merokok, mau tidur merokok, pokoknya
mau apa-apa merokok. Yang terpenting juga mau BAB itu merokok.
(P203012020-06)

Pernyataan P1 dan P2 memberikan penjlasan bahwa merokok juga

memiliki waktu-waktu tertentu yang membuat perokok menjadi semakin nikmat

merokok. Waktu tertentu tersebut akan dirasakan sanga nyaman untuk

menikmati rokok dan membuatnya semakin kecanduan.


Perokok memiliki keyakinan dan pemahaman rokok berbahaya pada

kesehatan. Mereka juga khawatir dengan kesehatan meraka ketika orang

disekitanya sakit disebabkan merokok. Rasa takut dan khawatir tentang bahaya

merokok membuat mereka berkeinginan untuk berhenti merokok, seperti yang

disampaikan oleh P1 dan P2:

Tidak ada sih mas, Cuma pas nonton video-video orang yang katanya sakit gara-
gara merokok, atau pernyataan orang-orang itu membuat khawatir doang sih
tapi tidak takut. (P10122020-20)

Khawatir takut seperti itu juga sih mas, Cuma khawatirnya hilang pas gak ingat
lagi. (P10122020-20)
Kalau saya percaya sebenarnya, merokok ada efek negatifnya dan menimbulkan
penyakit. (P203012020-08)

Penjelasan partisipan memberikan gambaran tentang adanya rasa

kahwatir pada diri individu ketika merokok, tapi perilaku mengabaikan menjadi

strategi untuk mengurangi rasa takut yang ada pada dirinya. Perokok akan

membiarkan perasaan khawatir dalam dirinya menghilang dengan berjalannya

waktu.

Seseorang merokok dikarenakan adanya keyakinan tentang rasa sensasi


yang berebeda saat merokok. Merokok dianggap bisa memberikan kenikmatan

dan kenyamanan saat dalam keadaan stress. Perilaku merokok juga bisa

membuat perokok merasa tenang ketika menghadapi masalah. Pernyataan dari

P1 dan P2:

Santai, enak gitu aja perasaanya. (P10122020-10)

Intinya tenang, kayak ada kenikmatan tersendiri yang susah dijelaskan.


(P10122020-15).

Yang dirasakan enak, yang pertama itu enak terus sedap itu rasanya tapi di sisi
lain kayak sesak gitu tapi tidak terlalu, dan mulut gak terasa pahit gitu kalau
mulut sudah terasa pahit gitu cepat-cepat cari rokok, kalua gak merokok itu
pahit. (P203012020-07).

Perokok sebenarnya meyakini bahwa rokok tidak itu tidak enak dan

memberikan efek yang kurang baik pada kesehatan. Perokok juga merasa bahwa
fisik mereka semakin kurus dan pengeluaran semakin boros dikarenakan

merokok. Akan tetapi rasa kecanduan untuk merokok selalu mendorong mereka

untuk tetap merokok. Sesuai dengan pernyataan P1 dan P2:

Ya menurut saya rokok itu gak enak, tapi kalau tidak merokok gak enak, jadi
bawaannya pengen merokok gitu. (P10122020-06)

Dari rasa sudah gak enak mas. (P10122020-07)

Mungkin sudah jadi candu ya mas, gak tahu juga gak paham. (P10122020-08)

Karean sudah candu mas suasah yang mau nabung, biasanya boros ((P10122020-
18)
Setelah saya merokok yang saya rasakan pertama lebih boros, itu yang paling
tampak. Kemudian untuk ke tubuh tidak terlalu Cuma lebih kurus sih karean
gak doyan makan, terus ke suar, dulusaya kan belajar qori’ masih enak sebelum
merokok. Setelah merokok nafas gak kuat dan suara gak tinggi, berat gitu.
(P203012020-04)

Pernyataan dari P1 dan P2 memberikan penjalasan adanya dua

pemahaman yang saling bertentangan dalam dirinya. Pemahaman bahwa rokok


tidak enak namun juga membuat dirinya kecanduan sehingga jika tidak merokok

merasa ada yang kurang. Keadaan ini sesuai dengan definisi disonansi kognitif

dimana adanya dua elemen pemahaman yang saling bertentangan dalam diri

seseorang.

Orang cenderung merasionalisasi perilaku mereka untuk menghindari

disonansi. Dalam kasus merokok, perokok mungkin merasionalisasi bahwa 1)

merokok itu layak karena seseorang sangat menyukainya, 2) tidak

membahayakan kesehatannya karena efeknya pada orang lain, 3) mustahil

baginya untuk menghindari melakukan apapun hanya untuk tetap hidup, dan 4)

ada kemungkinan terpapar bahaya lain yang juga berdampak buruk bagi

kesehatan meskipun tidak merokok. Dengan merasionalisasi perilaku merokok

dengan alasan perokok merasa terbebas dari ketidaknyamanan psikologis yang

disebabkan oleh inkonsistensi (Orcullo, 2019). Perokok menghilangkan disonansi

pada dirinya dengan jalan melakukan pembenaran bahwa merokok itu tidak

berbahaya. Pembenaran ang dilakukan dengan menambahkan informasi bahwa


meroko itu tidak berbahaya, sehingga dia akan merasa merokok. Hal ini seperti

pernayataan P1;

Mencari pembenaran bahwa rokok itu tidak berbahaya (P10122020-23)

Ya mencari argumen dari orang-orang bahwa rokok itu tidak bahaya (P10122020-
24)

Sebenarnya sakit, mati semuanya dari yang maha kuasa gitu ja mas, tapi semisal
sakit karena rokok yak arena memang waktunya gitu ja mas (P10122020-25)

Ya santai aja mas, kalau waktunya mati ya mati kalau waktunya sakit ya sakit,
tapi kalau sakitnya Karena rokok ya mungkin waktunya gitu aja mas (P10122020-
26)

Pernyataan P1 memberikan penjelasan adanya startegi yang dilakukan

oleh individu untuk mengurangi ketidakseimbangan yang dirasakannya yaitu

dengan mencari pembenaran supaya dia tetap bisa merokok tanpa rasa takut

tentang bahaya merokok. sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Fadholi, dkk (2020) menunjukkan bahwa untuk mengurangi disonansi, perokok

aktif menambah elemen kognitif dengan informasi baru seperti informasi bahwa

merokok tidak memiliki dampak langsung terhadap kesehatan mereka, masih

banyak yang berbahaya bagi tubuh selain merokok, serta informasi mengenai
rokok sebagai penyumbang pendapatan ekonomi terbesar di Indonesia. Elemen

kognitif baru ini memberikan pembenaran atas perilaku merokok sehingga

kampanye anti-rokok yang selama ini dilakukan tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap perilaku perokok aktif di Indonesia.

Strategi lain yang dilakukan seseorang untuk mengurangi rasa yang tidak

nyaman saat merokok yaitu dengan berusaha menggantikan rokok dengan objek

lain, misal dengan camilan dan permin, hal ini seperti yang dinyatakan oleh P2;

Pernah waktu itu ingin berhenti merokok, usahanya tuh saya beli snack banyak,
kan gabut katanya coba beli snack atau permen tapi gak mempan, terus akhirnya
saya berhenti merokok waktu itu ngevape, pake vape selam 2 bulan itu memang
rasa rokok gak enak setelah ngepave, tapi karena pavenya waktu itu rusak coba-
coba lagi merokok akhirnya sampe sekarang merokok lagi, tapi pas masa-masa
ngepave gak enak merokok, terus trek record berhenti merokok itu 3 bulan dan
itu karena saya ngegym olahraga itu jadi males merokok, berhenti ngegym
merokok lagi. (P203012020-13).

Disonansi kognitif yang dirasakan oleh seseorang merokok merupakan

adanya rasa khawatir tentang bahaya merokok dan berbahaya pada kesehatan

tubuhnya. Kedua elemen ini saling bertentangan sehingga menimbulkan rasa

tidak nyaman di dalam diri individu. Setiap individu melakukan strategi yang
berbeda untuk mengurasi disonansi kognitif yang dirasakannya. Sebagain orang

melakukan pembenaran dan mencari sumber informasi bahwa rokok itu tidak

berbahaya dan menambah keyakinan tentang datangnya penyakit dari tuhan,

sehingga hal tersebut bisa mengurangi ketidaknyamanan pada dirinya. Selain


itu, sebagian ornag juga memilih berhenti merokok untuk mengurangi

ketegangan yang terjadi pada dirinya, namun ini sangat sulit dilakukan.

Seseorang selalu merasa sulit untuk berhenti merokok apabila sudah kecanduan.

Kesimpulan

Perilaku merokok diawali dengan coba-coba disebabkan lingkungan

sekitar, misalnya keluarga dan teman bermain. Perilaku memberikan efek


kecanduan pada perokok, perokok meyakini merokok berbahaya namun sulit

ntuk berhenti. Dua hal yang bertentangan di dalam diri perokok merupakan

disonansi kognitif yang mengakibatkan rasa tidak nyaman yang dialami.

Perokok melakukan pembenaran untuk mengurangi rasa khawtir terhadap

bahaya merokok supaya tetap merokok.

Referensi

Alamsyah, A. (2017). Determinan Perilaku Merokok pada Remaja. Jurnal


Endurance, 2(1), 25. https://doi.org/10.22216/jen.v2i1.1372

Chaplin, J. P. (2016). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: RajaWali

Orcullo, Daisy Jane C. (2016). Understanding Cognitive Dissonance in Smoking


Behaviour: A Qualitative Study
Fadholi, F., Prisanto, G. F., Ernungtyas, N. F., Irwansyah, I., & Hasna, S. (2020).

Disonansi Kognitif Perokok Aktif di Indonesia. Jurnal RAP (Riset Aktual

Psikologi Universitas Negeri Padang), 11(1), 1.

https://doi.org/10.24036/rapun.v11i1.108039

Khakim, M. Farid Much. Imron. (2017). Disonansi Kognitif Mahasiswa dalam


Memilih Progam Studi Manajemen di Stienu Jepara. Jurnal Dinamika
Ekonomi & Bisnis. Vol. 8 No. 1.
Libuka, M., & Suyono, H. (2019). Dinamika Psikologis Intensi Merokok Pada

Remaja. 9.

Munir, M. (2019). Gambaran Perilaku Merokok pada Remaja Laki-Laki. Jurnal


Kesehatan, 12(2), 112. https://doi.org/10.24252/kesehatan.v12i2.10553

Sobur, Alex. (2016). Kamus Psikologi. Bandung: Pustaka Setia.


Sarwono, Sarlito W. (2010). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
https://www.who.int/indonesia/news/detail/30-05-2020-pernyataan-hari-tanpa-
tembakau-sedunia-2020
www.who.int/indonesia/news/events/world-no-tobacco-day-2020

Anda mungkin juga menyukai