Anda di halaman 1dari 15

REVIEW JURNAL

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN
PERSONAL

Nama Kelompok 4 :
Budi hariyanto 2221004
Lang lang putr 2221012
Nila januannisa 2221020
Shirly rofi 2221028
Ifan agus 2221036

PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2023/2024

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA


FAKTOR PENENTU INTENSI BERPERILAKU TIDAK MEROKOK PADA
REMAJA PUTRA DI SMA NEGERI 1 TUBAN TAHUN 2015

Hasil Review :

Mayoritas perilaku merokok dimulai pada usia remaja. Menurut data dari WHO (2008),
sebanyak 33,3% dari 1,3 milyar perokok di dunia berasal dari populasi global yang berusia 15
tahun ke atas. Data Riskesdas 2013 juga menunjukkan bahwa di Indonesia, penduduk yang
angka mulai merokoknya tertinggi berada pada kelompok umur 15–19 tahun. Ketika seseorang
mulai untuk merokok, tentu ada intensi (niat) yang mendasarinya, yang seringkali dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor yang menjadi penentu
atau yang memiliki pengaruh terhadap intensi berperilaku tidak merokok pada remaja, dengan
menggunakan variabel subjective norm dan perceived behavioral control. Penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif dengan metode pengambilan sampel proportioned stratifi ed
random sampling.

Sampel terpilih sebanyak 68 orang remaja putra yang tersebar di kelas X dan XI SMA
Negeri 1 Tuban. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel subjective norm memiliki
pengaruh yang signifi kan terhadap intensi tidak merokok (p = 0,002), begitu juga perceived
behavioral control (p = 0,047). Semakin baik subjective norm yang dimiliki oleh remaja putra,
menunjukkan kecenderungan untuk berintensi tidak merokok 56,84 kali lebih besar dibanding
intensi untuk merokok. Begitu pula jika remaja putra memiliki perceived behavioral control
yang semakin baik, maka kecenderungan untuk memiliki intensi tidak merokok 15,06 kali lebih
besar daripada intensinya untuk merokok. Kesimpulan dari penelitian ini adalah intensi remaja
putra di SMA Negeri 1 Tuban untuk berperilaku tidak merokok dipengaruhi oleh subjective
norm dan perceived behavioral control.

Sebagian besar responden merupakan remaja yang berusia di atas 15 tahun.


Sebagaimana yang sudah diketahui dalam data Riskesdas 2013 bahwa usia 15–19 tahun
merupakan kelompok umur yang angka pertama kali merokoknya paling tinggi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa kelompok usia responden (14–17 tahun) memiliki risiko yang cukup
tinggi untuk menjadi perokok pemula. Tingginya angka mulai merokok pada remaja, bisa jadi
disebabkan karena kondisi remaja yang cenderung rawan terkena pengaruh-pengaruh negatif.
Remaja yang pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, menyebabkan remaja mudah
untuk mencoba dan meniru terkait apa yang dilihat dan didengar dari orang lain. Perilaku
merokok merupakan salah satu contoh yang seringkali menjadikan remaja ingin meniru seperti
apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Perilaku merokok pada remaja sejatinya dapat dicegah
dengan mengetahui faktorfaktor apa saja yang mempengaruhinya. Oleh karena itu dilihat
pula intensi seorang remaja untuk melihat besarnya pengaruh subjective norm dan perceived
behavioral control oleh remaja terkait perilaku tidak merokok.

Pada penelitian ini keragaman data pada kedua variabel, yakni subjective norm dan
perceived behavioral control mampu menjelaskan sebesar 61,8% keragaman data yang ada
pada variabel intensi. Mayoritas responden dalam penelitian ini memiliki subjective norm yang
sangat baik terkait intensi berperilaku tidak merokok. Subjective norm yang sangat baik berasal
dari kepercayaan mengenai tingkat persetujuan signifi cant person bagi remaja putra, yaitu
orang tua, teman, dan guru untuk berperilaku tidak merokok, serta kuatnya keinginan remaja
putra tersebut untuk memenuhi tekanan dari orang-orang yang penting menurutnya. Subjective
norm dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang kuat dalam pendugaan intensi remaja putra
untuk memiliki intensi tidak merokok.

Semakin baik subjective norm yang dimiliki responden dalam penelitian ini,
menunjukkan semakin baik persepsi remaja putra untuk berperilaku tidak merokok sesuai
dengan anjuran tokoh yang penting baginya (keluarga, guru, dan teman), yang kemudian
berpengaruh pada kecenderungan untuk memiliki intensi tidak merokok jauh lebih besar
dibanding dengan intensinya untuk merokok. Sebagian besar responden juga memiliki
perceived behavioral control yang sangat baik berkaitan dengan tidak merokok. Perceived
behavioral control yang sangat baik dalam penelitian ini berasal dari persepsi mengenai
kuatnya kontrol yang dimiliki remaja putra untuk mengatasi berbagai hambatan dalam
berperilaku tidak merokok.
FAKTOR PENENTU INTENSI BERPERILAKU TIDAK MEROKOK PADA
REMAJA PUTRA DI SMA NEGERI 1 TUBAN TAHUN 2015

Wemmy Noor Fauzia


Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya
Email: wemmy.fauzia@gmail.com

Abstract: The majority of smoking behavior began in adolescence. According to the data from WHO
(2008), 33,3% of the 1,3 billion smoker in the world came from the global population aged 15 years and
older. Data from Riskesdas 2013 also showed that in Indonesia, the highest population of the first time
smoking in the age group 15–19 years. When someone started to smoke, there must be an underlying
intention, which is often influenced by various factors. The purpose of this study was to know the factors
that influence of no smoking intention in young men, by used subjective norm and perceived behavioral
control. This study was quantitative research with proportioned stratified random sampling method of
sampling. Selected samples were 68 young men that scattered in X and XI class of SMA Negeri 1 Tuban.
The results showed that subjective norm (p = 0,002) and perceived behavioral control (p = 0,047) had a
significant effect of the not smoke intention. Subjective norm owned by the young men, showed a tendency
not to smoke intention 56,84 times greater than the intention to smoke. If young men had a better control
on his behavior, the tendency not to smoke intention 15,06 times greater than the intention to smoke. It
can be concluded that the intention of young men in SMA Negeri 1 Tuban not to smoke is influenced by
subjective norm and perceived behavioral control.

Keywords: no smoking intention, perceived behavioral control, subjective norm

Abstrak: Mayoritas perilaku merokok dimulai pada usia remaja. Menurut data dari WHO (2008),
sebanyak 33,3% dari 1,3 milyar perokok di dunia berasal dari populasi global yang berusia 15 tahun
ke atas. Data Riskesdas 2013 juga menunjukkan bahwa di Indonesia, penduduk yang angka mulai
merokoknya tertinggi berada pada kelompok umur 15–19 tahun. Ketika seseorang mulai untuk merokok,
tentu ada intensi (niat) yang mendasarinya, yang seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui faktor yang menjadi penentu atau yang memiliki pengaruh terhadap
intensi berperilaku tidak merokok pada remaja, dengan menggunakan variabel subjective norm dan
perceived behavioral control. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode pengambilan
sampel proportioned stratified random sampling. Sampel terpilih sebanyak 68 orang remaja putra yang
tersebar di kelas X dan XI SMA Negeri 1 Tuban. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel subjective
norm memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi tidak merokok (p = 0,002), begitu juga
perceived behavioral control (p = 0,047). Semakin baik subjective norm yang dimiliki oleh remaja putra,
menunjukkan kecenderungan untuk berintensi tidak merokok 56,84 kali lebih besar dibanding intensi
untuk merokok. Begitu pula jika remaja putra memiliki perceived behavioral control yang semakin baik,
maka kecenderungan untuk memiliki intensi tidak merokok 15,06 kali lebih besar daripada intensinya
untuk merokok. Kesimpulan dari penelitian ini adalah intensi remaja putra di SMA Negeri 1 Tuban untuk
berperilaku tidak merokok dipengaruhi oleh subjective norm dan perceived behavioral control.

Kata kunci: intensi tidak merokok, perceived behavioral control, subjective norm

PENDAHULUAN antara lain: tar, karbon monoksida, sianida,


Rokok merupakan produk adiktif dan arsen, formalin, dan nitrosamin (Promkes
berbahaya. Pernyataan ini sesuai dengan Depkes RI, 2012).
penjelasan yang tercantum pada PP RI Merokok pada dasarnya merupakan
Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan suatu tindakan merusak diri sendiri yang
Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa dapat mengakibatkan timbulnya penyakit
Produk Tembakau bagi Kesehatan. Rokok dan membawa pada kematian (WHO, 2013).
mengandung 4000 zat kimia berbahaya Timbulnya penyakit seperti stroke, kanker
bagi kesehatan, 69 di antaranya merupakan paru, kanker mulut, psoriasis, dan impotensi
karsinogenik. Zat berbahaya dalam rokok dapat disebabkan karena zat-zat kimia

134
135 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 134–145

berbahaya yang terkandung di dalam rokok Wong, dkk (2009) juga menyatakan bahwa
(Promkes Depkes RI, 2012). Perokok yang remaja cenderung lebih meniru pada apa
terus merokok dalam jangka panjang akan yang dilihat atau didengar dari orang lain.
menghadapi kemungkinan kematian tiga Pada kehidupan remaja saat ini,
kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang merokok merupakan suatu pemandangan
bukan perokok (Nasution, 2007). Menurut yang tidak asing. Berdasarkan data Riset
riset yang dilakukan WHO (2008), setiap Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
6,5 detik ada satu orang yang meninggal persentase penduduk yang mulai merokok
karena rokok. tiap hari di Indonesia, terbanyak pada
Masalah merokok hingga saat ini kelompok umur 15–19 tahun. Kelompok
masih menjadi masalah nasional yang umur ini merupakan kelompok usia pelajar
secara terus-menerus perlu diupayakan SMA (Sekolah Menengah Atas).
penanggulangannya (Promkes Depkes RI, Perokok yang mulai merokok pada usia
2012). Meskipun sudah banyak diketahui 15–19 tahun, angkanya lebih tinggi pada
dampak negatif dari merokok, namun laki-laki daripada perempuan. Perokok usia
nyatanya hal tersebut tidak secara signifikan di atas 15 tahun pada laki-laki sebanyak 47,5
mampu mempengaruhi perilaku masyarakat persen, sedangkan untuk perokok perempuan
untuk tidak merokok ataupun berhenti hanya 1,1 persen (Riskesdas, 2013). Seperti
merokok. Merokok dianggap sebagai suatu halnya pada data nasional, umur pertama
hal yang wajar bagi sebagian masyarakat. kali merokok di Provinsi Jawa Timur,
Hal tersebut yang menyebabkan angka persentase tertinggi juga terdapat pada
perilaku merokok cenderung mengalami kelompok umur 15–19 tahun. Persentase
peningkatan dari tahun ke tahun. yang mulai merokok pada kelompok umur
Sebanyak 4,8 persen dari 1,3 milyar ini mencapai 54,9 persen menurut Riskesdas
perokok dunia berada di Indonesia. Itu Jatim 2007.
sebabnya, jumlah perokok di Indonesia Kabupaten Tuban termasuk ke dalam
menduduki peringkat 3 terbesar di dunia 15 besar dari 29 kabupaten di Jawa Timur
setelah China dan India. Sepertiga dari yang memiliki angka umur pertama kali
1,3 milyar perokok di dunia berasal dari merokok cukup tinggi pada kelompok umur
populasi global yang berusia 15 tahun ke 15–19 tahun, yakni mencapai 33,7 persen
atas (WHO, 2008). (Riskesdas Jatim, 2007). Lokasi Kabupaten
Mayoritas perokok memulai aktivitas Tuban yang strategis, yakni di ujung
merokok pada usia remaja (Salim, 2013). perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah,
Pernyataan ini didukung pula dengan studi membuka peluang terjadinya pergerakan
yang dilakukan oleh Doe dan DeSanto yang dinamis terkait pembangunan di
(2009) yang menyatakan bahwa sebagian Kabupaten Tuban. Begitu juga dengan
besar perilaku merokok bermula pada usia kehidupan masyarakatnya, dalam hal ini
remaja. Masa remaja merupakan masa yang terkait gaya hidup. Salah satunya berkaitan
mana mulai terjadinya pembentukan gaya dengan gaya hidup tidak sehat, yaitu
hidup dan penentuan pola perilaku yang merokok, yang tidak hanya pada orang
sesuai dengan keinginan remaja tersebut. dewasa tetapi juga pada pelajar.
Masa remaja adalah masa yang rawan oleh Purnomo (2012) membenarkan bahwa
pengaruh-pengaruh negatif (Alamsyah, terdapat perokok pelajar di Kabupaten
2009). Tuban. Hasil pantauan yang dilakukan
Perkembangan remaja yang ditandai menunjukkan bahwa di beberapa titik
rasa ingin tahu yang tinggi, nyatanya tidak Kota Tuban, ditemukan beberapa siswa
selalu berakibat baik bagi diri remaja yang masih mengenakan seragam sekolah
(Meilinda, 2013). Rasa ingin tahu yang terlihat merokok di luar sekolah. Selain
terlalu besar terkadang menyebabkan itu berdasarkan penelitian yang dilakukan
seorang remaja untuk meniru perilaku orang oleh Qiftiyah (2012) di salah satu SMA
dewasa. Meniru perilaku orang lain, menurut Negeri di kota Tuban, dari 50 siswa laki-
Nasution (2007) merupakan salah satu laki yang disurvei, ditemukan 26 siswa
determinan bermulanya perilaku merokok. yang merokok. Menurut keterangan yang
Wemmy Noor Fauzia, Faktor Penentu Intensi Berperilaku… 136

didapat dari guru BK SMA Negeri tersebut, bahwa meskipun remaja mengetahui tentang
jumlah siswa yang merokok setiap tahunnya bahaya merokok, hal tersebut tidak lantas
terus mengalami peningkatan, dari yang mempengaruhi remaja untuk tidak merokok,
sebelumnya sebesar 38,5 persen menjadi 40 namun ternyata faktor sosial (pengaruh
persen pada tahun 2011. teman, orang tua, dan saudara) yang menjadi
Sejauh ini memang diketahui bahwa pendorong remaja untuk berperilaku tersebut
di Kabupaten Tuban belum ada peraturan (Alamsyah, 2009).
daerah yang mengatur khusus tentang Pengambilan keputusan seorang remaja
aturan merokok maupun terkait kawasan untuk merokok ataupun tidak merokok
bebas rokok. Peraturan tentang kawasan tentunya berawal dari intensi. Intensi
bebas rokok kemungkinan baru akan menurut Ajzen (1985) merupakan niat
diberlakukan pada tahun 2016 sesuai seseorang untuk melakukan suatu perilaku,
penuturan Endah, selaku Sekretaris Dinas yang didasari oleh attitude toward behavior
Kesehatan Kabupaten Tuban (Apriliana, (sikap terhadap perilaku), subjective norm
2015). Kawasan yang dinyatakan bebas (norma subjektif), dan perceived behavioral
rokok dalam peraturan ini nantinya akan control (kontrol perilaku yang dirasakan).
meliputi: tempat-tempat umum, kawasan Dalam penelitian ini intensi diartikan
pendidikan, tempat bermain anak, pelayanan sebagai niat seseorang untuk berperilaku
kesehatan, perkantoran, sarana tranportasi tidak merokok berdasarkan pada persepsi
dan sarana perdagangan. remaja putra terhadap tuntutan orang yang
Sebelum peraturan terkait kawasan mempengaruhinya untuk tidak merokok
bebas rokok tersebut terbentuk, selama serta kontrol akan situasi pendukung dan
ini peraturan berkaitan dengan larangan penghambat yang dirasakannya.
merokok di sekolah yang ada di Penggunaan Theory of Planned
Kabupaten Tuban, beracuan pada pedoman Behavior dalam penelitian ini didasarkan
pelaksanaan UKS (Usaha Kesehatan pada kegunaan teori untuk memahami
Sekolah). Pemberlakuan peraturan ini juga pengaruh motivasional terhadap perilaku
diterapkan oleh SMA Negeri 1 Tuban. yang tidak di bawah kendali diri sendiri.
Sejak mendapatkan penghargaan Adiwiyata Artinya dalam berperilaku, seseorang
Nasional pada tahun 2012, SMA Negeri 1 membutuhkan kontrol atas perilaku yang
Tuban diharuskan untuk memenuhi beberapa dilakukannya, misalnya ketersediaan sumber
persyaratan, salah satunya lingkungan daya dan kesempatan. Begitu halnya dalam
sekolah harus bebas asap rokok. mempelajari intensi untuk berperilaku tidak
Peraturan terkait lingkungan sekolah merokok. Penelitian ini bertujuan untuk (1)
bebas rokok dinilai cukup efektif mengetahui subjective norm yang dimiliki
diberlakukan di SMA Negeri 1 Tuban. Jika remaja putra di SMA Negeri 1 Tuban dalam
melihat data tahun 2011 sesuai penuturan berperilaku tidak merokok, (2) mengetahui
guru BK SMA Negeri 1 Tuban, dalam satu perceived behavioral control remaja putra
kelas ditemukan 5 orang siswa laki-laki di SMA Negeri 1 Tuban dalam berperilaku
yang merokok dari 12 siswa yang disurvei. tidak merokok, dan (3) melihat pengaruh
Namun sejak peraturan terkait larangan subjective norm dan perceived behavioral
merokok tersebut dipertegas, angka pelajar control terhadap intensi berperilaku tidak
merokok yang ditemukan di sekolah merokok remaja putra di SMA Negeri 1
cenderung tidak ditemukan, khususnya pada Tuban.
tahun 2014.
Perilaku merokok pada remaja
METODE
semestinya dapat dicegah. Perlu adanya
faktor-faktor yang mendukung, yang mampu Penelitian ini merupakan penelitian
mengarahkan seorang remaja atau dalam kuantitatif dengan rancang bangun cross
hal ini siswa untuk berperilaku positif, sectional. Penelitian ini dilakukan di SMA
yakni tidak merokok. Faktor tersebut bisa Negeri 1 Tuban. Populasi dalam penelitian
dari keluarga, teman, maupun lingkungan ini adalah seluruh siswa putra kelas X dan
sekolah. Hal ini dikarenakan adanya fakta XI SMA Negeri 1 Tuban.
137 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 134–145

Sampel dalam penelitian ini adalah Kategori pada subjective norm (SN)
sebagian dari siswa putra kelas X dan XI maupun pada perceived behavioral control
SMA Negeri 1 Tuban yang memenuhi (PBC), terkategori kurang baik apabila
kriteria inklusi, yaitu: 1) Tidak merokok, rentang skor yang didapat adalah 6 < SN,
2) Bersedia menjadi responden, dan 3) PBC < 96. Apabila rentang nilainya 96
Mendapat persetujuan orang tua/wali siswa ≤ SN, PBC < 192, maka termasuk dalam
dan guru. Pengambilan sampel dilakukan kategori baik. Sedangkan untuk kategori
dengan cara proportioned stratified random sangat baik, jika skor yang didapat berada
sampling, yakni pengundian terhadap pada rentang 192 ≤ SN, PBC ≤ 294.
populasi yang telah dibagi ke dalam Masing-masing variabel diwakili dengan
beberapa strata, dan setiap anggota populasi 12 pertanyaan, dan dari setiap pertanyaan
strata memiliki kesempatan yang sama memiliki rentang skor 1–7.
untuk menjadi sampel penelitian (Kuntoro, Analisis data yang dilakukan dalam
2010). Sampel dipilih sebanyak 68 siswa penelitian ini menggunakan uji regresi
putra yang tersebar di kelas X dan XI SMA logistik. Analisis dilakukan untuk
Negeri 1 Tuban. mengetahui pengaruh subjective norm
Sumber data dalam penelitian ini dan perceived behavioral control terhadap
berupa data primer dan data sekunder. Data intensi berperilaku merokok pada remaja
primer diperoleh dari hasil pembagian putra di SMA Negeri 1 Tuban. Intensi
kuesioner pada responden, sedangkan berperilaku merokok yang ingin dilihat
untuk data sekunder didapatkan dari dalam penelitian ini adalah intensi tidak
dokumen sekolah. Variabel bebas dalam merokok.
penelitian ini meliputi subjective norm dan Hasil dari uji tersebut juga dapat dilihat
perceived behavioral control. Sedangkan kecenderungan responden dalam memiliki
untuk variabel tergantung, yakni intensi intensi tidak merokok dibanding intensinya
berperilaku merokok yang lebih ditekankan untuk merokok, yang terlihat dari besarnya
pada intensi tidak merokok, baik untuk saat nilai Exp (B). Selain itu bisa juga melihat
ini dan sampai kapan pun juga. keragaman data yang dijelaskan oleh kedua
Subjective norm dalam penelitian variabel bebas terhadap variabel tergantung.
ini berkaitan dengan persepsi responden Keragaman data tersebut dilihat dari nilai
terhadap tuntutan tokoh yang penting Nagelkerke R Square (R2).
baginya untuk menampilkan atau tidak
menampilkan perilaku tidak merokok.
HASIL
Pengategorian subjective norm terbagi
menjadi tiga, yaitu kurang baik, baik, SMA Negeri 1 Tuban berlokasi di Jl.
dan sangat baik. Kategori ini didapatkan WR. Supratman No. 2 Tuban. SMA Negeri
dari perhitungan skor yang merupakan 1 Tuban merupakan salah satu sekolah
total perkalian untuk masing-masing soal unggulan di Kabupaten Tuban yang mulai
normative beliefs dan motivation to comply berdiri pada tahun 1961. Pada tahun
yang merupakan komponen pembentuk pelajaran 2006/2007, SMA Negeri 1 Tuban
subjective norm. terdaftar sebagai R-SMA-BI (Rintisan
Begitu juga pada perceived behavioral Sekolah Bertaraf Internasional) dan pada
control, yang terkategori menjadi tiga, tahun pelajaran 2008/2009 mulai dibuka
yaitu kurang baik, baik, dan sangat baik. program akselerasi. Tahun 2012, SMA
Kategori ini didapatkan dari perhitungan Negeri 1 Tuban meraih predikat sebagai
skor yang merupakan total perkalian sekolah Adiwiyata Nasional.
untuk masing-masing soal control beliefs Sebagai sekolah Adiwiyata Nasional,
dan perceived power yang merupakan SMA Negeri 1 Tuban diwajibkan untuk
komponen pembentuk kontrol perilaku. menciptakan lingkungan sekolah yang
Perceived behavioral control merupakan bebas dari asap rokok. Sejauh ini aturan
persepsi responden tentang kesulitan atau larangan merokok yang berlaku mengacu
kemudahan dalam menampilkan perilaku pada pedoman pelaksanaan Usaha
tidak merokok. Kesehatan Sekolah. Dalam pedoman UKS,
Wemmy Noor Fauzia, Faktor Penentu Intensi Berperilaku… 138

salah satunya disebutkan tentang intervensi baik dalam penelitian ini menggambarkan
perilaku, seperti tidak merokok di sekolah. anggapan dari tokoh penting bagi responden
Jumlah siswa di SMA Negeri 1 (orang tua, guru, dan teman) bahwa tidak
Tuban pada tahun pelajaran 2014/2015 merokok adalah suatu perilaku yang harus
sebanyak 906 siswa, yang didominasi siswa dilakukan. Pilihan untuk tidak merokok,
perempuan sebanyak 584 orang, dan 322 menurut orang tua, guru, dan teman-teman
orang untuk siswa laki-laki. Siswa laki- responden merupakan pilihan yang tepat.
laki yang tersebar di kelas X sebanyak 100 Subjective norm yang baik, yang dimiliki
siswa, untuk kelas XI sebanyak 110 siswa, oleh responden tidak akan terbentuk
dan 112 siswa untuk kelas XII. Siswa laki- apabila tidak ada kemauan atau motivasi
laki kelas X dan XI sejumlah 68 orang dari responden untuk mengikuti pendapat
terlibat sebagai responden dalam penelitian dari tokoh yang penting menurutnya untuk
ini, yang merupakan gabungan dari 32 orang berperilaku tidak merokok.
siswa kelas X dan 36 orang siswa kelas XI. Pengategorian perceived behavioral
Berdasarkan hasil penelitian diketahui control menggambarkan keterkaitan antara
bahwa responden berusia 14–17 tahun. keyakinan responden terhadap munculnya
Mayoritas responden berusia di atas 15 tahun kondisi yang memudahkan atau menyulitkan
(95,59%), yang didominasi oleh remaja dalam berperilaku tidak merokok dengan
putra berusia 16 tahun (50%). Responden kekuasaan dalam mengendalikan perilaku
dapat dikatakan memiliki risiko menjadi tersebut. Situasi yang menghambat atau
perokok pemula jika melihat pada data memudahkan dalam penelitian ini dikaitkan
Riskesdas 2013 yang menunjukkan bahwa dengan norma masyarakat, peraturan
umur 15–19 tahun merupakan kelompok sekolah, dan sanksi yang diberikan terkait
umur yang angka mulai merokoknya perilaku merokok tersebut. Sebagian besar
tertinggi. Begitu juga pada data Riskesdas responden dalam penelitian ini memiliki
Jatim (2007) yang menunjukkan hasil yang perceived behavioral control yang sangat
sama bahwa kelompok umur yang angka baik dalam berperilaku tidak merokok
mulai merokoknya tertinggi berada pada seperti yang terlihat pada tabel 2.
usia 15–19 tahun.
Pengategorian pada variabel subjective Tabel 2. Perceived behavioral control
norm menggambarkan hubungan keyakinan dalam Berperilaku Tidak Merokok
responden terhadap pendapat tokoh yang Remaja Putra di SMA Negeri 1
penting baginya dengan motivasi untuk Tuban Tahun 2015
memenuhi anjuran tokoh penting tersebut.
Pendapat tokoh penting terkait perilaku tidak Kategori Sikap Jumlah Persentase
merokok dalam penelitian ini didasarkan Kurang Baik 0 0%
pada pendapat orang tua, guru, dan teman. Baik 20 29,41%
Subjective norm yang sangat baik,
Sangat Baik 48 70,59%
yang dimiliki oleh sebagian besar responden
seperti yang terlihat pada tabel 1, merupakan Total 68 100%
representasi dari subjective norm yang
mendukung terbentuknya intensi berperilaku Perceived behavioral control yang
tidak merokok. Subjective norm yang sangat sangat baik merepresentasikan bahwa
sebagian besar responden tidak merasa
terhambat untuk berperilaku tidak merokok.
Tabel 1. Subjective norm dalam Berperilaku Perceived behavioral control yang sangat
Tidak Merokok Remaja Putra di baik dalam penelitian ini menggambarkan
SMA Negeri 1 Tuban Tahun 2015 anggapan responden tentang kemudahan
Kategori Sikap Jumlah Persentase dalam berperilaku tidak merokok yang
Kurang Baik 0 0% didukung oleh tegasnya peraturan dan
Baik 7 10,29% sanksi yang ada di sekolah, maupun norma
Sangat Baik 61 89,71% masyarakat yang menilai buruk pelajar yang
Total 68 100% merokok. Kemudahan situasi yang dirasakan
139 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 134–145

didukung dengan kekuasaan responden Tabel 4. Hasil Uji Regresi Pengaruh


untuk tidak merokok, menghasilkan kontrol Subjective norm dan Perceived
yang baik dalam dirinya untuk menampilkan behavioral control terhadap Intensi
perilaku tersebut. Sehingga keseluruhan Berperilaku Tidak Merokok pada
responden dapat dikatakan meyakini bahwa Remaja Putra di SMA Negeri 1
intensi tidak merokok ada dalam kendali Tuban Tahun 2015
diri sendiri.
Variabel
Intensi untuk berperilaku merokok Koefisien β Sig Exp (B)
Bebas
dalam penelitian ini berkaitan dengan intensi Subjective 4,040 0,002 56,84
tidak merokok. Intensi tidak merokok yang norm
dimaksud adalah intensi (niat) remaja Kontrol 2,712 0,047 15,06
putra untuk berperilaku tidak merokok. Perilaku
Intensi tidak merokok dalam penelitian ini Dependen variabel: intensi
diasumsikan pada dua pernyataan, yakni
intensi untuk tidak merokok saat ini dan Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
intensi untuk tidak merokok sampai kapan kedua variabel bebas, yakni subjective norm
pun juga. Pilihan jawaban yang diberikan dan perceived behavioral control, dapat
terdiri dari ‘Ya’ (tidak berniat merokok) dan digunakan untuk pendugaan intensi dalam
‘Tidak’ (berniat merokok). berperilaku tidak merokok. Persamaan
Keseluruhan responden dalam penelitian regresi yang terbentuk yaitu Y = -4,816
ini menyatakan berniat untuk tidak merokok + 4,040 X1 + 2,712 X2. Artinya, persepsi
pada saat ini, seperti yang terlihat pada tabel responden untuk berperilaku tidak merokok
3. Berkaitan dengan intensi tidak merokok sesuai dengan pendapat orang penting di
sampai kapan pun juga, sebagian besar sekitarnya, dalam hal ini keluarga, guru,
responden menyatakan berniat untuk tidak dan teman memberi pengaruh yang positif
merokok. Sehingga dapat dikatakan bahwa terhadap intensi untuk tidak merokok.
sebagian besar responden dalam penelitian Begitu pula dengan persepsi responden
ini memiliki intensi tidak merokok, baik saat terkait kemudahan atau kesulitan dalam
ini maupun sampai kapan pun juga. Selain menampilkan suatu perilaku, yang turut
itu, data pada tabel 3 juga menunjukkan memberikan pengaruh positif terhadap
bahwa meskipun kondisi responden saat intensi tidak merokok.
ini tidak merokok, terdapat sebagian kecil Keragaman data pada variabel
dari responden yang memiliki intensi untuk subjective norm dan perceived behavioral
merokok di kemudian hari. control, mampu untuk menjelaskan
Dalam melihat pengaruh variabel keragaman data pada variabel intensi
bebas terhadap variabel tergantung, yakni tidak merokok sebesar 61,8%, dilihat dari
intensi, dilakukan uji regresi logistik. Hasil besarnya nilai R 2 . Sedangkan sisanya
uji regresi dari kedua variabel bebas, yakni (38,2%) dapat dijelaskan oleh variabel
subjective norm dan perceived behavioral lain di luar variabel yang diteliti. Variabel
control dapat dilihat pada tabel 4. Kedua subjective norm dan perceived behavioral
variabel bebas tersebut menunjukkan adanya control, juga digunakan untuk pendugaan
pengaruh signifikan (p < 0,05) terhadap dalam membandingkan besarnya
intensi remaja putra untuk berperilaku tidak kemungkinan remaja putra yang memiliki
merokok.

Tabel 3. Intensi Berperilaku Merokok Remaja Putra di SMA Negeri 1 Tuban Tahun 2015
Intensi Berperilaku Merokok Intensi Berperilaku Merokok
Saat Ini Sampai Kapan Pun Juga
Kategori Sikap Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Berniat Merokok 0 0 7 10,29%
Tidak Berniat Merokok 68 100% 61% 89,71%
Total 68 100% 68 100%
Wemmy Noor Fauzia, Faktor Penentu Intensi Berperilaku… 140

intensi tidak merokok dibanding dengan Subjective norm merupakan persepsi


yang berintensi merokok. individu terhadap tekanan sosial yang ada
Berdasarkan besarnya nilai Exp (B) untuk menampilkan atau tidak menampilkan
pada masing-masing variabel seperti terlihat suatu perilaku (Ajzen, 2005). Dalam hal ini,
pada tabel 4, dapat dinyatakan bahwa subjective norm yang dimaksud merupakan
semakin baik subjective norm yang dimiliki persepsi remaja putra terkait tekanan sosial
oleh remaja putra, maka kecenderungannya untuk menampilkan atau tidak menampilkan
untuk memiliki intensi tidak merokok adalah perilaku tidak merokok. Subjective norm
56,84 kali lebih besar dibanding intensinya memasukkan pengaruh-pengaruh yang
untuk merokok. Begitu juga pada variabel kuat dari kelompok yang dianggap penting
perceived behavioral control, remaja putra ke dalam perumusan perilaku (Ajzen
yang memiliki kontrol semakin baik, maka & Fishbein, 2012). Subjective norm
kecenderungan untuk memiliki intensi dipengaruhi oleh seberapa penting individu
tidak merokok adalah 15,06 kali lebih besar atau kelompok menyetujui atau tidak
dibanding intensi untuk merokok. menyetujui perilaku yang akan ditampilkan
(normative belief) dan motivasi untuk
menuruti referensi yang dipilih (motivation
PEMBAHASAN
to comply).
Sesuai dengan hasil penelitian, Berdasarkan hasil penelitian,
responden tersebar pada rentang usia 14- keseluruhan responden dapat dikatakan
17 tahun. Berdasarkan klasifikasi remaja memiliki subjective norm yang baik dalam
menurut Agustiani (2006), maka keseluruhan berperilaku tidak merokok. Sebagian besar
responden dinyatakan sebagai kelompok responden bahkan memiliki subjective norm
umur remaja. Responden dapat digolongkan yang sangat baik. Banyaknya responden
menjadi remaja awal dan tengah. yang memiliki subjective norm sangat baik,
Responden yang berusia 14 tahun tentunya tidak hanya dipengaruhi oleh
termasuk golongan remaja awal, yang mana tuntutan tokoh yang penting bagi responden.
mulai meninggalkan peran sebagai anak- Hal ini tentu juga berkaitan dengan
anak dan berusaha untuk tidak bergantung keinginan responden untuk memenuhi
pada orang tua. Sedangkan untuk responden tuntutan tersebut.
usia 15–17 tahun merupakan remaja yang Dalam penelitian ini, tokoh yang
sedang mengalami masa perkembangan dianggap penting oleh responden yakni
remaja pertengahan. Pada masa orang tua, guru, dan teman sebaya. Tokoh
perkembangan remaja tengah ini ditandai yang dianggap paling penting dalam
dengan berkembangnya kemampuan pikiran mempengaruhi intensi berperilaku tidak
yang baru. Remaja pada masa remaja tengah merokok adalah orang tua. Remaja yang
mulai mengembangkan kematangan tingkah dibesarkan dalam keluarga yang mengalami
laku dan membuat keputusan-keputusan disfungsi, mempunyai risiko menjadikan
yang sesuai dengan tujuan yang ingin remaja berkepribadian anti sosial (tidak
dicapai (Agustiani, 2006). peduli dengan kehidupan sekitar dan
Seperti yang diketahui sebelumnya, bersikap semaunya). Berbeda dengan remaja
kelompok umur 15–19 tahun merupakan yang dibesarkan dalam keluarga yang
kelompok penduduk yang angka mulai harmonis, yang cenderung akan mematuhi
merokoknya tertinggi (Riskesdas, 2013). pendapat yang diberikan oleh orang tua
Remaja pada kelompok usia tersebut, (Yusuf, 2001).
tingkah lakunya cenderung pada Selain itu teman sebaya juga merupakan
eksperimentasi dan penyesuaian (Mar’at, tokoh yang berpengaruh. Teman sebaya
2006). Remaja cenderung ingin mencoba lebih memberikan pengaruh dalam memilih
hal-hal yang baru, salah satu contohnya suatu perilaku, seperti halnya merokok atau
berkaitan dengan merokok. Sehingga dapat tidak merokok (Yusuf, 2001). Intensitas
dikatakan bahwa kelompok umur responden pertemuan yang tinggi dan penyampaian ide
(14–17 tahun), yang merupakan anak usia yang dikemukakan oleh orang tua maupun
SMA ini memiliki risiko yang cukup tinggi teman di sekolah, secara tidak langsung
untuk berperilaku merokok.
141 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 134–145

memberikan pengaruh yang besar dalam dalam membentuk intensi berperilaku tidak
membentuk pola pikir sehingga terbentuk merokok.
intensi. Intensi merupakan gambaran faktor
Perceived behavioral control, menurut motivasional yang dapat mempengaruhi
Theory of Planned Behavior (Ajzen, 2005) tingkah laku. Intensi merupakan indikasi
diasumsikan sebagai keyakinan mengenai dari seberapa besar keinginan individu
ada atau tidaknya berbagai faktor yang untuk mencoba dan seberapa besar usaha
memfasilitasi atau menghambat dalam yang telah direncanakan individu untuk
menampilkan suatu perilaku. Faktor yang menampilkan suatu perilaku. Semakin
digunakan sebagai tolak ukur kemudahan kuat intensi seseorang untuk menampilkan
atau kesulitan menampilkan perilaku suatu perilaku tertentu, semakin besar
dalam penelitian ini adalah peraturan kemungkinan perilaku tersebut untuk
sekolah terkait larangan merokok, norma di ditampilkan (Ajzen, 1991).
masyarakat, sanksi untuk perokok di bawah Intensi tidak merokok diartikan sebagai
umur, dan harga rokok serta kemudahan niat seseorang untuk tidak menggunakan
membeli. Semakin tersedianya kesempatan rokok dengan tujuan menghirup asapnya,
dan semakin sedikit hambatan yang harus yang didasarkan pada subjective norm atau
diantisipasi dalam suatu perilaku, maka keyakinan orang yang mempengaruhinya
semakin besar persepsi seseorang terkait beserta kontrol yang bisa dilakukan individu
kemampuan mengontrol perilaku tersebut tersebut dalam berperilaku tidak merokok.
(Ajzen, 2002). Intensi, menurut Ajzen (1985) dipengaruhi
Berdasarkan kategorisasinya, semua oleh empat faktor, yaitu perilaku, sasaran,
responden dapat dikatakan memiliki situasi, dan waktu. Itu sebabnya ada
perceived behavioral control yang baik. kecenderungan untuk memiliki intensi
Sebagian besar responden bahkan memiliki yang berbeda terkait jangka waktu seorang
perceived behavioral control yang sangat individu tersebut dalam berperilaku. Hal
baik terkait berperilaku tidak merokok. tersebut seperti yang terlihat pada tabel 3,
Artinya, sebagian besar dari responden tidak yang mana memunculkan adanya intensi
merasa terhambat untuk berperilaku tidak seseorang untuk merokok di kemudian hari,
merokok. meskipun kondisi saat ini responden tidak
Keyakinan yang dimiliki responden dalam kondisi sebagai perokok maupun
terkait kemampuannya untuk mengatasi tidak memiliki niat untuk merokok.
kesulitan maupun hambatan yang mungkin Keragaman data pada variabel intensi
timbul dalam menampilkan perilaku (control dilihat dari besarnya nilai R2, yakni sebesar
beliefs) tidak merokok, menjadi penentu 0,618. Keragaman data pada intensi tidak
munculnya kontrol yang sangat baik dalam merokok, sebesar 61,8% dapat dijelaskan
diri responden. Selain itu didukung pula oleh variabel subjective norm dan perceived
dengan keyakinannya terhadap kekuasaan behavioral control. Sedangkan untuk 38,2%
yang dimiliki dalam mengontrol perilaku sisanya, dijelaskan oleh variabel lain di luar
tersebut (perceived power). Dua komponen penelitian.
tersebut, yakni control beliefs dan perceived Berdasarkan hasil uji regresi, kedua
power, yang kemudian berpengaruh pada variabel bebas dalam penelitian ini
perceived behavioral control remaja putra menunjukkan hasil yang signifikan terkait
dalam berperilaku tidak merokok. intensi tidak merokok. Hal ini sejalan
Hasil dari pengategorian intensi dengan penelitian yang dilakukan Elitha
menunjukkan bahwa sebagian besar (2015) tentang intensi mengurangi merokok.
responden memiliki intensi untuk tidak Dalam hasil penelitiannya, perceived
merokok. Menurut Ajzen (2002), intensi behavioral control dan subjective norm
dapat menjadi dasar seseorang untuk berkontribusi terhadap intensi mengurangi
berperilaku apabila orang tersebut perilaku merokok pada siswa laki-laki usia
mempunyai kontrol terhadap perilakunya. 15–18 tahun di SMAN 20 Bandung.
Ketersediaan fasilitas yang mendukung Penelitian mengenai intensi juga pernah
serta adanya kesempatan, turut berperan dilakukan oleh Wulandari (2007), berkaitan
Wemmy Noor Fauzia, Faktor Penentu Intensi Berperilaku… 142

dengan intensi merokok dewasa awal. Hasil control dalam pendugaan intensi tidak
penelitian tersebut menyatakan bahwa merokok adalah sebesar 2,712, yang dalam
subjective norm dan persepsi terhadap hal ini masih lebih rendah dari variabel
kontrol perilaku memberikan hubungan subjective norm.
yang signifikan terhadap niat untuk Kecenderungan variabel yang
berperilaku. Hasil penelitian tersebut sejalan berpengaruh terhadap intensi remaja putra
dengan yang dikemukakan oleh Stockdale, dalam penelitian ini, baik untuk tidak
dkk (2005), yang menyimpulkan bahwa merokok maupun untuk merokok, dapat
subjective norm meningkatkan kemungkinan dilihat dari nilai Exp (B). Kecenderungan
seseorang untuk memiliki intensi terkait remaja putra untuk memiliki intensi tidak
suatu perilaku, yang mana dalam penelitian merokok adalah 56,84 kali lebih besar
tersebut berkaitan dengan intensi merokok. dibanding intensi untuk merokok, jika
Variabel subjective norm dalam dilihat dari semakin baiknya subjective norm
penelitian ini memiliki nilai signifikansi p yang dimiliki oleh remaja putra tersebut. Hal
= 0,002. Artinya, ada pengaruh subjective ini bisa didukung dari semakin banyaknya
norm terhadap intensi tidak merokok pada tokoh penting dalam kehidupan responden
remaja putra di SMA Negeri 1 Tuban. yang mempengaruhi untuk berperilaku tidak
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang merokok, sehingga responden akan semakin
dilakukan Permatasari (2015), terkait yakin untuk memunculkan perilaku tersebut
intensi berhenti merokok pada mahasiswa dan menjadi keyakinan normatif bagi
di Kota Malang yang menyatakan bahwa dirinya (Ajzen, 1985). Pernyataan tersebut
subjective norm tidak memiliki pengaruh juga sesuai dengan yang dikemukakan
yang signifikan terhadap intensi. Koefisien oleh Papalia dkk (2001), bahwa meskipun
β sebesar 4,040 untuk subjective norm remaja telah mencapai tahap perkembangan
dalam penelitian ini, menunjukkan besarnya kognitif yang memadai untuk menentukan
kontribusi yang diberikan oleh variabel tindakannya sendiri, namun penentuan
subjective norm dalam menduga intensi diri remaja dalam berperilaku banyak
berperilaku tidak merokok. dipengaruhi oleh tekanan dari orang terdekat
Menurut Padgett (2009), subjective bagi dirinya.
norm adalah determinan yang paling rendah Jika melihat dari perceived behavioral
pengaruhnya terhadap intensi. Namun control, semakin baik kontrol yang dimiliki
dalam penelitian ini, variabel subjective seorang remaja terhadap perilakunya, maka
norm memiliki pengaruh yang lebih kuat remaja tersebut akan cenderung berintensi
terhadap intensi tidak merokok dibanding tidak merokok 15,06 kali lebih besar
dengan variabel perceived behavioral daripada untuk merokok. Kontrol remaja
control. Berbeda pula dengan penelitian terkait perilaku tidak merokok, dalam hal
yang dilakukan oleh Kouthoris dan Sponkis ini merupakan suatu kontrol yang dilakukan
(2005), tentang keikutsertaan dalam alam terkait kesulitan untuk menampilkan perilaku
bebas, yang menyatakan bahwa perceived tidak merokok. Hal tersebut dilakukan
behavioral control merupakan variabel yang dengan merefleksikan pengalaman pada
memiliki pengaruh paling kuat terhadap masa lalu dalam mengantisipasi halangan
intensi. Seperti yang dikemukakan pula oleh yang muncul. Perceived behavioral control
Elitha (2015) dan Pratiwi (2015), bahwa remaja terkait berperilaku tidak merokok
perceived behavioral control, memberi juga dipengaruhi oleh kepercayaan akan
kontribusi terbesar terhadap intensi. ada atau tidaknya sumber daya maupun
Secara statistik, nilai koefisiensi β pada kesempatan yang diperoleh dari pengalaman
variabel perceived behavioral control adalah masa lalu mengenai perilaku tersebut, yakni
sebesar 2,712 dengan nilai signifikansi p tidak merokok (Elitha, 2015). Biasanya hal
= 0,047. Artinya, perceived behavioral ini juga dipengaruhi oleh informasi lainnya
control oleh remaja putra berpengaruh pada terkait perilaku tidak merokok yang dapat
intensinya untuk tidak merokok. Besarnya berasal dari teman ataupun orang tua.
kontribusi variabel perceived behavioral
143 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 134–145

KESIMPULAN sesuai dengan anjuran tokoh yang penting


Sebagian besar responden merupakan baginya (keluarga, guru, dan teman), yang
remaja yang berusia di atas 15 tahun. kemudian berpengaruh pada kecenderungan
Sebagaimana yang sudah diketahui dalam untuk memiliki intensi tidak merokok jauh
data Riskesdas 2013 bahwa usia 15–19 lebih besar dibanding dengan intensinya
tahun merupakan kelompok umur yang untuk merokok.
angka pertama kali merokoknya paling Sebagian besar responden juga
tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa memiliki perceived behavioral control
kelompok usia responden (14–17 tahun) yang sangat baik berkaitan dengan tidak
memiliki risiko yang cukup tinggi untuk merokok. Perceived behavioral control yang
menjadi perokok pemula. sangat baik dalam penelitian ini berasal dari
Tingginya angka mulai merokok pada persepsi mengenai kuatnya kontrol yang
remaja, bisa jadi disebabkan karena kondisi dimiliki remaja putra untuk mengatasi
remaja yang cenderung rawan terkena berbagai hambatan dalam berperilaku tidak
pengaruh-pengaruh negatif. Remaja yang merokok. Keyakinan mengenai banyaknya
pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu fasilitas yang mendukung remaja putra
yang tinggi, menyebabkan remaja mudah untuk tidak merokok, seperti aturan sekolah
untuk mencoba dan meniru terkait apa yang mengenai kawasan bebas rokok, maupun
dilihat dan didengar dari orang lain. Perilaku norma di masyarakat berkaitan dengan
merokok merupakan salah satu contoh yang pelajar yang merokok, juga membuat remaja
seringkali menjadikan remaja ingin meniru putra di SMA Negeri 1 Tuban memiliki
seperti apa yang dilakukan oleh orang persepsi terkait kemampuan dan ketersediaan
dewasa. sumber daya untuk menampilkan perilaku
Perilaku merokok pada remaja sejatinya tidak merokok tersebut.
dapat dicegah dengan mengetahui faktor- Meskipun dalam pendugaan intensi
faktor apa saja yang mempengaruhinya. tidak merokok, variabel perceived
Oleh karena itu dilihat pula intensi seorang behavioral control memiliki pengaruh
remaja untuk melihat besarnya pengaruh yang lebih rendah dibanding subjective
subjective norm dan perceived behavioral norm, namun masih dapat dikatakan bahwa
control oleh remaja terkait perilaku tidak perceived behavioral control berpengaruh
merokok. Pada penelitian ini keragaman data pada intensi remaja putra untuk tidak
pada kedua variabel, yakni subjective norm merokok. Kecenderungan remaja putra
dan perceived behavioral control mampu untuk memiliki intensi tidak merokok jika
menjelaskan sebesar 61,8% keragaman data dilihat dari perceived behavioral control
yang ada pada variabel intensi. yang dimiliki yakni lebih besar dibanding
Mayoritas responden dalam penelitian intensinya untuk merokok. Sehingga dapat
ini memiliki subjective norm yang sangat dikatakan bahwa baik subjective norm
baik terkait intensi berperilaku tidak maupun perceived behavioral control,
merokok. Subjective norm yang sangat keduanya menunjukkan adanya pengaruh
baik berasal dari kepercayaan mengenai terhadap kecenderungan untuk memiliki
tingkat persetujuan significant person bagi intensi tidak merokok dibanding intensi
remaja putra, yaitu orang tua, teman, dan untuk merokok.
guru untuk berperilaku tidak merokok, serta
kuatnya keinginan remaja putra tersebut DAFTAR PUSTAKA
untuk memenuhi tekanan dari orang-orang
Agustiani, Hendrianti. 2006. Psikologi
yang penting menurutnya. Subjective norm
Perkembangan. Bandung: Refika
dalam penelitian ini memiliki pengaruh
Aditama.
yang kuat dalam pendugaan intensi remaja
Ajzen, I. 1985. From intentions to actions:
putra untuk memiliki intensi tidak merokok.
A theory of planned behavior. In J. Kuhl
Semakin baik subjective norm yang
& J. Beckman (Eds.), Action-control:
dimiliki responden dalam penelitian ini,
From cognition to behavior (pp 11–39).
menunjukkan semakin baik persepsi remaja
Germany: Springer.
putra untuk berperilaku tidak merokok
Wemmy Noor Fauzia, Faktor Penentu Intensi Berperilaku… 144

Ajzen, Icek. 1991. The Theory of Planned Meilinda, Endah. 2013. Hubungan antara
Behavior. Amherst: University of Penerimaan Diri dan Konformitas
Massachusetts. terhadap Intensi Merokok pada Remaja
Ajzen, I. 2002. Perceived Behavioral Control, di SMK Istiqomah Muhammadiyah 4
Self-efficacy, Locus of Control, and The Samarinda. Jurnal. Samarinda: Universitas
Theory of Planned Behavior. Journal of Mulawarman.
Applied Social Psychology, 32: 665–683. Nasution, Indri Kemala. 2007. Perilaku
Ajzen, I. 2005. Attitudes, Personality, and Merokok pada Remaja. repository.usu.
Behavior (2nd Edition). England: Open ac.id (Sitasi 29 Juli 2015)
University Press/McGraw-Hill. Padgett, Bobbi Crill. 2009. Applying The
Ajzen, I. dan Fishbein, M.. 2012. The Theory Theory of Planned Behavior to Chinese
of Planned Behavior. In P. A. M. Lange, Millennials Purchase Behavior on Foreign
A. W. Kruglanski & E. T. Higgins (Eds.). Fast Food Restaurants. Journal. Texas
Handbook of theories of social psychology. Tech University.
London, UK: Sage. Papalia, D.E., Olds, S.W., dan Feldman,
Alamsyah, Rika Mayasari. 2009. Faktor- Ruth D. 2001. Human Development (8th
faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan edition). Boston: McGraw-Hill.
Merokok dan Hubungannya dengan Permatasari, Lely Putri. 2015. Pengaruh Sikap,
Status Penyakit Periodontal Remaja. Tesis. Subjective norm, dan Kontrol Perilaku
Medan: Universitas Sumatera Utara. terhadap Intensi Berhenti Merokok
Apriliana, Wanti Tri. 2015. Tuban Siapkan sebagai Dampak Peraturan Gambar
Ancaman Perokok Berat. seputartuban. Peringatan: Studi pada Mahasiswa S1 di
com (Sitasi 29 Juli 2015). Kota Malang. Jurnal. Malang: Universitas
Departemen Kesehatan RI. 2007. Riset Brawijaya.
Kesehatan Dasar Jawa Timur. Jakarta: Pratiwi, Suci Dwi. 2015. Pengaruh Sikap,
Badan Litbang Kemenkes RI. Subjective norm, dan Perceived
Departemen Kesehatan RI. 2013. Riset Behavioral Control terhadap Intensi
Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Litbang Berhenti Merokok. Jurnal. Malang:
Kemenkes RI. Universitas Brawijaya.
Doe, Jan dan Chris DeSanto. 2009. Smoking’s Promkes Depkes RI. 2012. Dampak Rokok
Immediate Effects on The Body. Report terhadap Kesehatan - factsheet 2. Jakarta:
from Campaign for Tobacco-Free Kids Departemen Kesehatan RI.
Program. Georgetown: Georgetown Promkes Depkes RI. 2012. Dampak Rokok
Hospital’s Community Pediatrics terhadap Ekonomi - factsheet 3. Jakarta:
Program. Departemen Kesehatan RI.
Elitha, Cynthia. 2015. Studi Korelasional Purnomo, Edy. 2012. Jam Sekolah, Banyak
Prediktif Mengenai Intensi Mengurangi Pelajar Berseragam Ngopi Sambil
Perilaku Merokok pada Siswa Laki- Merokok di Warkop. seputartuban.com
Laki Usia 15–18 tahun di SMAN 20 (Sitasi 29 Juli 2015).
Bandung Berdasarkan Theory of Planned Qiftiyah, Mariyatul. 2012. Perbedaan
Behavior. Jurnal. Bandung: Universitas Penyuluhan dengan Metode Ceramah
Padjajaran. dan Diskusi terhadap Perilaku Merokok
Kouthoris, CH. dan Spontis A. 2005. Outdoor di SMA Negeri 4 Tuban. Jurnal. Tuban:
Recreation Participation: An Aplication STIKES NU.
of The Theory of Planned Behavior. The Republik Indonesia. 2012. Peraturan
Sport Journal, Vol. 8., Number 3, United Pemerintah RI Nomor 109 Tahun 2012
States Sport Academy. tentang Pengamanan Bahan yang
Kuntoro. 2010. Metode Sampling dan Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Penentuan Besar Sampel. Surabaya: Tembakau bagi Kesehatan. Sekretariat
Pustaka Melati. Negara. Jakarta.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2006. Psikologi Stockdale, M.S., Dowson-Owons, H.L.,
Perkembangan. Bandung: PT. Remaja dan Sagrestano, L.M. 2005. Social,
Rosdakarya. Attitude, and Demographic Correlates of
145 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 134–145

Adolescent Vs College Age Tobacco use Wong, Donna L, dkk. 2009. Buku Ajar
Initiation. American Journal of Health Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Behavior, 29:311–322. Yu s u f , S y a m s u . 2 0 0 1 . P s i k o l o g i
WHO. 2008. WHO Report on The Global Perkembangan Anak dan Remaja.
Tobacco Epidemic 2008. Geneva: WHO Jakarta: PT Remaja Rosdakarya.
Library Catalouging.
WHO. 2013. WHO Report on The Global
Tobacco Epidemic 2013. Luxembourg:
WHO Library Catalouging.

Anda mungkin juga menyukai