PROPOSAL SKRIPSI
Disusun Oleh:
Steven M. S. Purba
190901043
MEDAN
2023
DAFTAR ISI
BAB I
Latar Belakang ……………………………………………………………………. 1
Rumusan Masalah ………………………………………………………………… 5
Tujuan Penelitian ………………………………………………………………….. 5
Manfaat Penelitian ………………………………………………………………… 6
Defenisi Konsep ……………………………………………………………………6
BAB II
Perilaku Merokok Pada Siswa Remaja Perantau …………………………………. 11
Teori Interaksionisme Simbolik …………………………………………………... 14
Penelitian Terdahulu ……………………………………………………………… 15
BAB III
Jenis Penelitian …………………………………………………………………… 18
Lokasi Penelitian …………………………………………………………………. 18
Unit Analisis ……………………………………………………………………… 19
Informan ………………………………………………………………………….. 19
Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………………… 19
Interpretasi Data ………………………………………………………………….. 22
i
BAB 1
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa yang akan dilewati setiap orang dari masa kanak- kanak
menuju dewasa. Masa remaja dapat dikatakan sebagai proses perkembangan individu menuju
kematangan baik secara mental, emosi dan juga fisik. Pada masa ini para remaja memiliki
kesempatan yang besar untuk mengalami hal- hal yang baru serta menemukan bakat serta
kemampuan yang ada di dalam dirinya. Sementara itu pada masa remaja juga dihadapkan pada
tantangan, batasan dan kekangan- kekangan yang datang baik dari dalam diri maupun
dari luar dirinya sendiri. Secara umum, rentang usia remaja berada dalam usia antara 13
sampai 21 tahun. Pada masa remaja mereka dituntut untuk menjalani tugas- tugas
perkembangan (Falentini, Taufik, & Mudjiran, 2013). Para remaja karena masih dalam tahap
perkembangan, seringkali belum bisa menentukan mana yang baik dan tidak baik untuk diri
mereka sendiri. Hal inilah yang menyebabkan para remaja seringkali terjebak dalam perilaku
menyimpang, salah satunya adalah merokok.
Rokok adalah hasil olahan tembakau yang dibungkus, baik cerutu atau pun bentuk
lainnya yang didapat dari hasil olahan tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan
spesies lainnya dan sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan
tambahan lainnya (PP No. 19 tahun 2003). Fenomena merokok merupakan salah satu hal yang
sudah menjadi hal yang umum bagi sebagian besar masyarakat. Khususnya bagi negara
Indonesia, merokok sudah menjadi pola perilaku bahkan gaya hidup yang tidak dapat
dipisahkan karena dapat ditemukan dimana pun dan kapan pun. Perilaku merokok sudah
merambat ke seluruh bagian masyarakat, tanpa memandang usia, pekerjaan, dan jenis kelamin.
Perilaku merokok merupakan perilaku yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi masih
banyak orang yang melakukannya, bahkan orang mulai merokok ketika dia masih remaja.
Perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat
diamati secara langsung maupun tidak langsung (Sunaryo, 2004). Oleh karena itu, perilaku
merokok masih dilakukan karena adanya beberapa faktor, bermula dari coba-coba sampai
kecanduan zat aditif dari nikotin yang mereka hisap. Beberapa orang juga menjadi perokok
karena dipengaruhi oleh teman sekitar.
1
Selain pengaruh dari teman sebaya, Selama ini, para siswa remaja terpengaruh pada
citra bahwa orang perokok itu adalah gaul, keren, bisa menghilangkan stress dan lainnya. Hal
ini juga dipengaruhi oleh promosi iklan rokok yang dilakukan di beberapa acara seperti konser,
televisi, maupun acara olahraga. Para siswa remaja yang merupakan usia yang rentan terhadap
pengaruh iklan kemudian mencoba merokok untuk memuaskan rasa penasaran mereka. Para
siswa remaja yang sering melihat iklan rokok akan cenderung mengikuti apa yang terdapat
dalam iklan rokok tersebut. Terlebih lagi jika orang tua dari remaja adalah perokok, juga akan
membuat kemungkinan sang anak menjadi perokok lebih besar.
Di Indonesia, Menurut laporan Global Adult Tobacco Survey 2011, menunjukkan data
prevalensi perokok di Indonesia yaitu sejumlah 67,4% bagi perokok laki-laki dan 4,5%
perokok Perempuan dari total populasi 61,4 juta baik tembakau yang digunakan dalam bentuk
rokok maupun tembakau yang digunakan selain rokok. Penggunaan utama tembakau di
Indonesia adalah untuk merokok. Sebanyak 34,8% penduduk di Indonesia atau sebanyak 59,9
juta dari populasi dewasa Indonesia di Tahun 2011 menggunakan tembakau untuk merokok.
Angka prevalensi merokok adalah 67% (57,6 Juta) di kalangan laki-laki dan 2,7% (2,3 juta)
perokok di kalangan wanita (dalam Muhd Ar, 2018). Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah
perokok di Indonesia sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan masalah ketergantungan dan
masalah kesehatan bagi perokok. Dari sisi kesehatan, berbagai riset akademis telah
menunjukkan bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, berdasarkan pernyataan
dari Action on Smoking and Health (2007) mengungkap bahwa hampir sebanyak 5 juta orang
di dunia meninggal dunia per-tahun akibat rokok. Dipredikasikan bahwa pada tahun 2030,
tembakau menjadi penyebab kematian terbesar di dunia dengan 70 persen korbannya dari
negara berkembang (World Health Organization, Regional Office for South East Asia, 2015).
Jumlah perokok dewasa di Indonesia mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir.
Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan
(Kemenkes), terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari
60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021. Meskipun prevalensi (jumlah
penyakit) merokok di Indonesia mengalami penurunan dari 1,8% menjadi 1,6% (Kemenkes
2022). Sedangkan Menurut Aris (dalam TCSC Indonesia 2022), hingga saat ini ada 69%
remaja di Indonesia menjadi perokok aktif. Mereka tinggal dalam lingkungan dan keluarga
perokok. Selain itu, ada 89 juta anak yang terpapar asap rokok dan terancam rusak
kesehatannya. Kebanyakan orang dewasa merokok disebabkan karena dapat meredakan stress
2
yang dialami. Sedangkan para remaja kebanyakan disebabkan oleh pengaruh teman, ingin
mencoba, atau pun sekedar gaya- gayaan.
Meskipun sudah banyak kesadaran akan dampak negatif dari merokok, tetapi masih
saja sebagian besar masyarakat kita tetap melakukannya. Perilaku merokok, baik laki-laki dan
perempuan umumnya pertama kali dilakukan ketika memasuki masa remaja. Prevalensi
penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang merokok setiap hari naik sebesar 28,2%. Secara
nasional, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas, tahun 2010), perokok di Indonesia
pada umumnya mulai merokok pertama kali pada umur 15-19 tahun. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa usia remaja merupakan usia umum individu tak terlepas laki- laki atau
perempuan mulai merokok. Data WHO tahun 2008 menyebutkan statistik perokok dari
kalangan remaja Indonesia yaitu 24,1% remaja pria adalah perokok dan 4,0% remaja wanita
adalah perokok. Jumlah remaja perempuan perokok di Indonesia memang tidak sebanyak
jumlah remaja laki-laki perokok. Namun, dari data-data yang ada menyebutkan bahwa jumlah
perokok perempuan terus meningkat. Hal inilah yang mengakibatkan jumlah perokok secara
keseluruhan meningkat juga.
Ada beberapa alasan mengapa seorang remaja memilih untuk merokok. Menurut Levy
(1984, dalam Nasution 2007), setiap individu mempunyai kebiasaan merokok yang berbeda
3
dan biasanya disesuaikan dengan tujuan mereka merokok. Pendapat tersebut didukung oleh
Smet (1994) yang menyatakan bahwa seseorang merokok karena faktor- faktor sosio kultural
seperti kebiasaan budaya, kelas sosial, gengsi dan tingkat pendidikan. Salah satu hal menarik
adalah mengapa remaja melakukan perilaku yang mereka tahu memiliki dampak negatif bagi
kesehatan mereka. Banyak teori tentang hal yang mendorong remaja menjadi perokok, dan rasa
takut akan kemungkinan kematian di usia muda dan adanya pandangan negatif dari masyarakat
mengenai remaja perokok tidak menjadi pencegahnya.
Sedangkan faktor dari dalam remaja sendiri dapat dilihat dari kajian perkembangan
remaja. Remaja mulai merokok dikatakan oleh Erikson (dalam Dian & Avin, 2000), berkaitan
dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya, yaitu masa
ketika mereka sedang mencari jati dirinya. Dalam masa remaja ini, sering dilukiskan sebagai
masa badai dan topan karena ketidaksesuaian antara perkembangan fisik yang sudah matang
dan belum diimbangi oleh perkembangan psikis dan sosial. Upaya- upaya untuk menemukan
jati diri tersebut, tidak semua dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Beberapa
remaja melakukan perilaku merokok sabagai cara kompensatoris. Seperti yang dikatakan oleh
Brigham (1991) bahwa perilaku merokok bagi remaja merupakan perilaku simbolisasi. Simbol
dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan jenis.
Seperti halnya yang terjadi di salah satu sekolah terbaik yang ada di Kabupaten
Simalungun yaitu SMA Negeri 1 Raya. Sekolah ini dikatakan terbaik karena persepsi dari
masyarakat yang menganggap sekolah ini merupakan salah satu sekolah terbaik di Kabupaten
Simalungun, karena telah menorehkan sejumlah prestasi, yang salah satunya adalah
keberhasilan salah satu siswa SMA Negeri 1 Raya dalam mendapatkan beasiswa di Seoul
National University. Karena dianggap sekolah terbaik, para orang tua yang berasal dari luar
daerah pun ikut berlomba- lomba untuk menyekolahkan anak mereka di SMA Negeri 1 Raya.
Hal inilah yang menyebabkan terdapat banyaknya siswa perantau di sekolah ini.
Para siswa remaja yang merupakan perantau dari daerah lain ini memiliki kemungkinan
lebih besar untuk terpengaruh mencoba rokok sehingga menjerumuskan mereka ke perilaku
merokok. Para siswa remaja yang berasal dari perantauan pada umumnya memiliki tujuan
untuk melanjutkan Pendidikan. Sebagian besar dari siswa remaja perantau akan lebih memilih
untuk tinggal di kos sekitar sekolah mereka dengan tujuan untuk menghemat waktu tempuh
dan biaya transportasi. Para remaja yang merupakan siswa perantau dari berbagai daerah, Hal
ini menyebabkan tidak adanya lagi pengawasan dari orang tua dan tidak ada lagi hal lain yang
4
mereka lakukan di luar jam sekolah selain berkumpul bersama teman atau langsung kembali
ke kos mereka masing- masing. Para siswa remaja yang biasanya membantu orang tua Ketika
sedang berada di rumah, sudah tidak melakukannya lagi Ketika sudah tinggal di tempat kos
mereka. Mereka cenderung lebih memilih untuk bermain Bersama teman- teman sebelum
Kembali ke kos mereka masing- masing, sehingga dari pergaulan inilah awal mula mereka
menjadi perokok.
Oleh karena itu, penelitian ini menarik untuk diteliti karena melihat fenomena perilaku
merokok yang dilakukan para siswa remaja perantau SMA Negeri 1 Raya Kabupaten
Simalungun yang sudah banyak terjadi. Meskipun sebelum mencoba rokok, mereka yang
sudah mengetahui dampak buruk dari rokok tersebut, tetap melakukannya, dan juga sudah
mendapat larangan dari guru maupun orang tua mereka sendiri. Terlepas dari merokok itu baik
atau buruk, sehat atau tidak sehat, merugikan atau bermanfaat, dan komentar negatif dari
masyarakat atau orang tua, tentunya para siswa remaja perantau SMA Negeri 1 Raya yang
merokok memiliki berbagai alasan, pendapat dan makna masing-masing yang perlu dilihat dan
dipahami secara terbuka, terlebih lagi dari sudut pandang para siswa remaja perantau yang
melakukannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah pada penelitian ini adalah Apa makna merokok bagi para siswa remaja perantau di
SMA Negeri 1 Raya Kabupaten Simalungun?
Ada pun yang menjadi tujuan peenlitian ini adalah untuk mengetahui makna merokok
bagi para siswa remaja perantau SMA Negeri 1 Raya Kabupaten Simalungun dan juga
Bagaimana mereka memaknai perilaku merokok dan apa hal yang membuat mereka tetap
melakukan dan mempertahankan perilaku merokok tersebut meskipun mereka tahu banyaknya
dampak buruk yang diakibatkan oleh perilaku merokok tersebut.
5
1.4 Manfaat Penelitian
Pada penelitian yang dilakukan, diharapkan mampu meberikan manfaat kepada peneliti
maupun kepada pihak lain, baik langsung atau tidak langsung. Adapun penelitian ini memiliki
2 manfaat yaitu:
Selain manfaat secara teoritis, penelitian ini juga memiliki manfaat praktis yang
dimana penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangsih kepada
masyarakat dan juga kepada institusi pemerintah dalam mencegah para remaja
untuk merokok. Mengingat bahwa banyaknya dampak buruk yang disebabkan
oleh perilaku merokok, baik dari segi ekonomi, sosial dan juga kesehatan.
6
dalam menggunakan konsep itu di lapangan. Adapun defenisi konsep dalam penelitian ini
adalah:
1. Makna
Makna bersifat unik dan pribadi, apa yang dianggap bermakna bagi seseorang
belum tentu dianggap bermakna pula oleh orang lain. Makna dapat berubah dari waktu
ke waktu. Makna tercipta dari perilaku yang diinterpretasi. Makna merokok yang
didapat dari para siswa remaja perantau bisa saja berbeda satu dengan lainnya, dan
pemaknaan itu berhubungan dengan interpretasi subjek atas perilakunya.
Selain bersifat individual, makna juga memiliki aspek sosial karena makna
dipengaruhi oleh budaya. Budaya menyediakan gambaran atau kerangka, tetapi
individu yang pada akhirnya menentukan maknanya sesuai dengan tujuan dan
interpretasinya. Makna melibatkan adanya tujuan atau perlunya mencapai tujuan
tertentu. Baumeister menyatakan bahwa makna dapat memberikan arahan pada setiap
individu, sehingga perilaku pada akhirnya memiliki tujuan.
Makna merokok yang didapat oleh setiap siswa remaja perantau tentu saja
berbeda antara satu dengan lainnya. Ada yang mungkin memaknai perilaku merokok
sebagai gaya- gayaan, beberapa mungkin memaknai perilaku merokok sebagai pemberi
kenikmatan. Namun, bagi kebanyakan remaja, rokok memiliki sifat adiktif yang
mengakibatkan ketergantungan atau pun kecanduan. Pemaknaan merokok yang
berbeda ini juga menunjukkan tujuan dan sarana bagaimana mereka mendapatkannya.
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, penulis berupaya mengkaji bagaimana para siswa
remaja perantau memaknai perilaku mereka dalam merokok.
2. Siswa Remaja
Menurut Sarwono (2007) siswa merupakan orang yang secara resmi terdaftar
untuk mengikuti pelajaran di dunia Pendidikan. Menurut Sudirman (2003) pengertian
siswa adalah orang yang datang ke sekolah untuk memperoleh atau mempelajari
beberapa tipe Pendidikan. Pada masa ini, siswa mengalami berbagai perubahan, baik
7
fisik maupun psikis. Selain itu, juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berpikir
abstrak seperti orang dewasa. Mengacu pada Undang- Undang Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2003, siswa disebut dengan peserta didik yang dimana diartikan
sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis Pendidikan tertentu.
Para Siswa remaja, yang masih merupakan usia peralihan, tentunya akan
memiliki rasa percaya diri dan ingin diterima di lingkungan tempat dia tinggal. menurut
Monks, dkk Nashori (1998), remaja menginginkan agar penampilan, gaya, tingkah
laku, cara bersikap dan lain- lainnya akan menarik perhatian orang lain, terutama
kelompok teman sebaya. Dengan kata lain, remaja ingin sekali eksistensinya diakui di
lingkungan sosial sehingga mereka akan berusaha untuk mengikuti gaya hidup yang
ada sesuai dengan kondisi alam dan kondisi sosial tempat dia tinggal saat ini.
Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain atau kelompok
masyarakat yang mereka tinggali menyebabkan para siswa/ siswi saling berusaha untuk
mengikuti gaya hidup masyarakat di sekeliling mereka, mulai dari cara berbicara, cara
berpakaian dan lainnya.
8
penulis ingin menjelaskan bahwa para remaja yang karena masih dalam usia peralihan
dari anak- anak menuju dewasa, rentan sekali terpengaruh pada lingkungannya.
3. Perantau
4. Perilaku Merokok
9
alat bantu merokok seperti pipa rokok. Aktivitas utama yang dilakukan dalam merokok
adalah menghisap asap rokok yang bersumber dari pembakaran tembakau ke dalam
tubuh (Muhd Ar, 2018).
Dalam Tomkins (1996), terdapat 4 tipe perilaku merokok secara umum. Yaitu:
(1) habitual smoking, (2) positive affect smoking, negative affect smoking, and (4)
addictive smoking. Kebanyakan orang menjadi perokok disebabkan oleh efek
kecanduan yang disebabkan oleh nikotin yang terkandung di dalamnya. Kecanduan
atau ketergantungan ini menurut mereka memberikan perasaan nikmat ketika
menghisap rokok sehingga kalau tidak merokok mereka akan merasakan mulut terasa
asam atau ada perasaan kurang enak dalam diri mereka.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Merokok adalah proses menghisap asap tembakau yang dibakar kedalam tubuh dan
menghembuskannya kembali keluar baik secara langsung, atau menggunakan pipa. Selain
berdampak pada diri sendiri, merokok juga berdampak pada orang lain karena asap yang
dikeluarkan Kembali dapat terhirup oleh orang lain di sekitarnya.
Sarwono (1993) Mendefenisikan perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan individu satu
dengan individu lain yang bersifat nyata, dan tidak seperti perasaan, perilaku merupakan
sesuatu yang konkrit dan bisa dilihat, diobservasi, maupun diamati. Perilaku dalam hal ini
merupakan suatu hal yang dilakukan manusia sebagai respon terhadap lingkungan sekitarnya.
Berbagai macam perilaku yang dilakukan manusia dalam menanggapi stimulus yang
diterimanya, dan salah satunya ialah perilaku merokok. Perilaku merokok telah banyak
dilakukan sejak zaman Tiongkok kuno dan Romawi, yang pada saat itu, orang sudah
menggunakan suatu ramuan yang mengeluarkan asap dan menimbulkan kenikmatan dengan
jalan dihisap melalui hidung atau mulut (Danusantoso, 1991).
Merokok merupakan suatu hal yang sangat merugikan dan memiliki dampak buruk
bagi Kesehatan seperti tekanan darah tinggi, dan gangguan kinerja jantung yang disebabkan
oleh kandungan yang terkandung di dalam rokok itu sendiri, seperti nikotin dan tar. Bagi
perokok pasif, yang merupakan orang- orang yang berada di sekeliling perokok, memiliki
dampak yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena asap rokok yang terhirup tanpa melalui
proses filterisasi atau penyaringan. Dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok bisa
berdampak pada orang- orang sekitar dan dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi setiap
orang yang berada di sekeliling perokok.
Menurut Kurt Lewin (dalam Tristanti, 2016), perilaku merokok merupakan fungsi dari
lingkungan dan individu yang berarti perilaku merokok selain disebabkan oleh faktor dari
dalam diri juga disebabkan oleh faktor lingkungan. Pada remaja, faktor dari dalam diri terkait
dengan adanya krisis psikososial yang dialami pada masa perkembangannya yaitu masa dimana
11
mereka mencari jati diri. Remaja menjadi seorang perokok karena berusaha untuk mencari
kompensasi atau usaha kompensatoris dalam upaya pencarian jati diri. Selain itu menurut
Brigham (1991), merokok merupakan perilaku simbolisasi bagi remaja yang menganggap
bahwa dengan merokok mereka akan terlihat lebih matang, dewasa, kuat, bisa menjadi
pemimpin dan bisa menarik lawan jenis. Selain itu, merokok juga dapat sebagai media relaksasi
karena dengan merokok dapat meredakan ketegangan, memudahkan berkonsentrasi dan
pengalaman yang menyenangkan. Selain itu, kandungan nikotin yang merupakan zat adiktif
menyebabkan seseorang ketagihan untuk merokok lagi dan lagi sampai menjadi kesulitan
untuk menghentikan kebiasaan tersebut.
Tentu saja perilaku merokok pada remaja dipengaruhi oleh agen- agen yang berperan
dalam proses sosialisasi bagi para siswa remaja perantau. Dengan merujuk konsep tranmisi
perilaku, pada dasarnya perilaku dapat ditranmisikan melalui tranmisi vertikal dan horisontal
(Berry dkk, 1992). Tranmisi vertikal dilakukan oleh orang tua dan tranmisi horisontal
dilakukan oleh teman sebaya. Dalam kesempatan ini yang dimaksud dengan tranmisi horisontal
adalah lingkungan teman sebaya dan tranmisi vertikal adalah sikap permisif orang tua terhadap
perilaku merokok.
Mu`tadin (dalam Indri 2002) mengemukakan alasan mengapa remaja merokok, antara
lain:
12
Pertama, dari pengaruh Orang Tua yang dimana Menurut Baer & Corado, remaja
perokok adalah anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang
tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dibandingkan dengan remaja yang berasal dari
lingkungan rumah tangga yang bahagia. Remaja yang berasal dari keluarga konservatif akan
lebih sulit untuk terlibat dengan rokok maupun obat-obatan dibandingkan dengan keluarga
yang permisif, dan yang paling kuat pengaruhnya adalah bila orang tua sendiri menjadi figur
contoh yaitu perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin sekali untuk mencontohnya.
Perilaku merokok lebih banyak didapati pada mereka yang tinggal dengan satu orang tua (
Single Parent). Selain itu, tidak adanya larangan merokok dari orang tua juga akan membuat
para remaja memiliki penngaruh besar karena mereka tidak akan takut untuk mencoba rokok.
Kedua, pengaruh teman dan dari berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin
banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok
juga dan demikian sebaliknya. Ada dua kemungkinan yang terjadi dari fakta tersebut, pertama
remaja tersebut terpengaruh oleh teman-temannya atau sebaliknya. Diantara remaja perokok
terdapat 87 % mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu
pula dengan remaja non perokok.
Ketiga, faktor kepribadian dimana orang yang mencoba untuk merokok karena alasan
ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit dan kebosanan. Satu sifat kepribadian yang
bersifat pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Bagi para siswa
remaja perantau yang sudah tidak tinggal bersama orang tua lagi seringkali merasa bosan
karena tidak ada aktivitas lain selain belajar. Hal ini menyebabkan timbulnya keresahan dalam
diri mereka sehingga merokok seperti obat untuk mengisi kebosanan itu. Selain itu, merokok
bagi sebagian remaja merupakan perilaku untuk meredakan stress. Para siswa remaja perantau
seringkali dituntut oleh orang tua agar memiliki prestasi yang bagus di sekolah mengingat
bahwa tugas mereka hanyalah belajar, sehingga para siswa remaja perantau yang sudah
mendapatkan ketenangan setelah mencoba rokok memiliki kecenderungan untuk
melakukannya lagi untuk meredakan stress yang dialami.
Keempat, dari pengaruh iklan dan dengan melihat iklan di media massa dan elektronik
yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour,
membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan
tersebut. Seringkali kita melihat bahwasanya perilaku merokok yang ditampilkan merupakan
sikap yang keren sehingga memicu para remaja untuk melakukan hal tersebut.
13
Dalam hal ini, kebanyakan para siswa remaja perantau yang ada di SMA Negeri 1 Raya
Kabupaten Simalungun menjadi perokok adalah karena faktor coba- coba yang dipengaruhi
oleh teman sebaya mereka. Para siswa Remaja yang mendapatkan ketenangan setelah mencoba
rokok akan mengulangi aktivitas tersebut sampai seterusnya.
14
Dalam bahasa Herbert Blumer, aktor tidak semata-mata beraksi terhadap tindakan
yang lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon
aktor secara langsung maupun tidak, selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut. Dalam
hal ini, interaksi manusia dihubungkan oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan
menemukan makna dalam tindakan orang lain (Riyadi Soeprapto dalam Bunyamin 2022).
Lebih lanjut, Interaksi simbolik menekankan pada perspektif pandangan sosiologi dan
psikologi yang dimana sasaran utamanya adalah individu dengan kepribadian diri secara
pribadi dan pada interaksi antara pendapat intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku
sosialnya. Individu dipandang sebagai pembentuk aktif dari wataknya sendiri yang
menafsirkan, mengevaluasi, menentukan dan merencanakan perbuatannya sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, individu melihat dirinya bukan sebagai objek saja, melainkan
juga menganggap diri sendiri adalah aktor yang bertanggung jawab atas tindakannya sendiri
sesuai dengan makna yang didapatkan atau ditafsirkannya melalui proses adaptasi dengan
lingkungan sekitarnya.
Teori interaksionisme simbolik menurut Blumer mengandung beberap ide dasar, yakni
Masyarakat terdiri dari manusia yang saling berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian
melalui tindakan bersama dan membentuk suatu struktur sosial. Dalam sebuah interaksi
terdapat berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi
non- simbolis mencakup stimulus respons, sedangkan interkasi simbolis mencakup penafsiran
Tindakan- tindakan. Objek- objek tidak memiliki makna yang intrinsik. Makna merupakan
produk dari interaksi simbolis. Terdapat tiga kategori dalam objek-objek tersebut yaitu objek
fisik, objeks sosial, serta objek abstrak. Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal
melainkan juga melihat dirinya sebagai objek. Tindakan yang dilakukan oleh manusia
merupakan tindakan interpretasi yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Tindakan yang
dilakukan oleh manusia tersebut saling berkaitan dan disesuaikan oleh anggota-anggota
kelompok yang disebut sebagai “tindakan bersama”.
Dalam interaksionisme simbolik ini, Blumer bertumpu pada tiga premis utama, yaitu :
15
Perspektif interaksionisme simbolik mendasarkan pandangannya pada asumsi bahwa
manusia mengembangkan suatu simbol yang kompleks untuk memberi makna terhadap
lingkungannya. Makna muncul melalui interaksi manusia dengan lingkungannya. Lingkungan
pertama yang memengaruhi pembentukan makna adalah kelurga. Keluarga adalah kelompok
sosial terkecil dan individu mengembangkan konsep diri dan indetitas melalui interaksi sosial
tertentu.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis membutuhkan penelitian terdahulu yang sudah
dilakukan, Sebagai acuan dasar dalam menelaah hal- hal yang akan diteliti. Penelitian terdahulu
ini sudah dibaca dan akan menjadi referensi penulis dalam melakukan penelitian. Adapun
beberapa penelitian terdahulu yang digunakan penliis adalah sebagai berikut:
16
Pada penelitian ini, meneliti tentang fakto- faktor yang menjadi
penyebab remaja merokok melalui pendekatan cross- sectional. Penelitian ini
menemukan bahwa ada faktor intrinsik dari dalam diri remaja itu sendiri untuk
merokok. Dan faktor lingkungan adalah faktor yang paling mempengaruhi
remaja untuk merokok.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Fathin dengan penelitian yang
akan diteliti adalah dalam penelitian Fathin (2015), perilaku merokok
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, khususnya teman sebaya. Sedangkan pada
penelitian yang akan dilakukan adalah adanya pemaknaan yang berbeda
terhadap perilaku merokok antara remaja satu dengan remaja lainnya.
Pemaknaan ini didapat melalui proses yang berbeda sehingga makna yang
tercipta pun berbeda.
17
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
18
3.3 Unit Analisis Dan Informan
3.3.1 Unit Analisis
Unit analisis merupakan hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian dari
keseluruhan unsur-unsur yang menjadi fokus dalam suatu penelitian (Bungin, 2007). Unit
analisis erat kaitannya dengan fenomena sosial yang telah dipilih sebagai topik penelitian,
Bungin menjelaskan bahwa unit analisis penelitian dapat berupa individu, kelompok atau
keluarga, masyarakat, serta kelembagaan sosial atau pranata sosial. Dalam penelitian ini, yang
menjadi unit analisisnya adalah para siswa remaja perantau yang berusia 14- 18 tahun dan
merupakan siswa SMA Negeri 1 Raya Kabupaten Simalungun dan merupakan perantau dari
luar kecamatan Raya.
3.3.2 Informan
Informan merupakan subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku
ataupun orang yang paham akan permasalahan yang terdapat dalam penelitian (Bungin,2007).
Penentuan informan dalam penelitian ini alah menggunakan teknik purposive sampling
dikarenakan informan dipilih berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Berikut
merupakan kriteria informan dalam penelitian ini :
Menurut Sugiyono (2013), teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, dikarenakan tujuan utama dari penelitian ialah mendapatkan data.
Peneliti dapat memperoleh data sesuai dengan yang dibutuhkan harus didasari oleh tekni
pengumpulan data yang tepat, maka dari itu Teknik pengumpulan data yang tepat sangat
memberikan pengaruh yang besar. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengumpulan
data primer dan sekunder :
19
3.4.1 Data Primer
Menurut Sugiyono (2013), data primer adalah sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data. Berdasarkan teknik pengumpulan data primer, maka
pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi, kuesioner (angket), wawancara
mendalam (in-depth interview), dan dokumentasi.
1. Observasi
Nasution dalam Sugiyono (2013) menyatakan observasi ialah dasar dari semua
ilmu pengetahuan, hal tersebut dikarenakan para ilmuwan hanya dapat bekerja jika
didasari oleh data yang berisi fakta atau kenyataan yang didapatkan melalui
observasi. Terdapat klasifikasi observasi menurut Sanfiah Faisal dalam Sugiyono
(2013) yakni observasi berpartisipasi yaitu peneliti terlibat langsung dengan
kegiatan setiap orang yang ia amati, observasi terus terang atau tersamar, dan
observasi tak berstruktur yang dimana data penelitian yang terus berkembang dan
belum jelas saat melakukan observasi.
Tujuan utama dalam pengumpulan data observasi ini ialah untuk
menggambarkan keadaan yang dilihat secara langsung secara menyeluruh dan
komprehensif saat melakukan observasi. Peneliti dapat mengerti suatu gejala,
persitiwa, fakta, hingga masalah yang hendak diteliti dalam penelitian. Semakin
dalam peneliti mengetahui fakta yang terjadi di lapangan, sangat mempengaruhi
kualitas penelitian.
2. Wawancara
Esterberg (dalam Sugiyono2013), menjelaskan bahwa wawancara merupakan
pertemuan dua orang untuk bertukar informasi serta ide melalui tanya jawab,
sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Teknik
pengumpulan data melalui wawancara dilakukan ketika peneliti hendak melakukan
studi pendahuluan dengan tujuan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti dan juga ketika peneliti hendak mengetahui hal-hal yang lebih mendalam
dari responden yang tidak bisa diperoleh dari teknik pengumpulan data secara
observasi. Melalui wawancara ini, peneliti dapat meengajukan pertanyaan, dan
akan dijawab oleh sang informan. Dalam wawancara ini, peneliti dapat menemukan
permasalahan secara lebih terbuka yakni dengan melakukan wawancara mendalam
(indepth interview). Melalui wawancara mendalam tersebut peneliti akan
20
mendapatkan pendapat dan pengalaman yang dijelaskan oleh informan, selanjutnya
pendapat dan pengalaman itu dijadikan sebagai bahan dasar data yang akan
dianalisis. Peneliti dalam membuat suatu pertanyaan dalam wawancara tidak boleh
bias dikarenakan dapat mempengaruhi proses wawancara, mempengaruhi validitas
data, dan menghasilkan data yang tidak akurat. Pertanyaan yang bias akan
memberikan informasi yang bias pula, yakni tidak sesuai dengan yang sebenarnya,
dikarenakan informan tidak memahami maksud dari pertanyaan yang diajukan
kepadanya.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan mencatat data-data
yang sudah ada. Dokumentasi ini ialah sumber data yang digunakan untuk
melengkapi penelitian. Menurut Sugiyono (2013), dokumentasi dapat berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen dalam
bentuk tulisan, misalnya seperti biografi, peraturan, catatan harian, sejarah
kehidupan. Dokumen dalam bentuk gambar, misalnya seperti foto ataupun sketsa.
Dokumen dalam bentuk karya misalnya seperti karya seni berupa film, patung serta
gambar.
Menurut Sugiyono (2013), data sekunder ialah sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, seperti misalnya melalui dokumen, orang lain, serta
juga melalui media perantara. Dalam penelitian, data sekunder digunakan sebagai pendukung
dan pembanding terhadap data primer yang sudah didapatkan. Melalui data sekunder, peneliti
mendapatkan sumber data yang berkembang dari waktu ke waktu, dikarenakan biasanya data
sekunder di hasilkan oleh banyak ahli dibidangnya dengan anggaran dan sumber daya yang
luas serta dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Data sekunder ini dapat berbentuk seperti
jurnal, skripsi, artikel, dan internet.
21
3.5 Interpretasi Data
Interpretasi data merupakan proses penyusunan data yang telah diperoleh sehingga
dapat ditafsirkan atau mendapatkan pemahaman makna dari serangkaian data yang sudah
disajikan sebelumnya dan diungkapkan dalam bentuk teks atau narasi. Interpretasi data dapat
juga dikatakan sebagai penafsiran data, dan penafsiran berkaitan dengan analisis data. Analisis
data dilakukan dengan pengelolaan data yang diperoleh melalui catatan lapangan, dokumentasi
foto, hingga hasil rekaman yang diperoleh melalui observasi, wawancara, dokumentasi, serta
perekaman yang dilakukan saat si peneliti melakukan penelitiam di lapangan. Data tersebut
dipisah dalam kategori-kategori yang sesuai untuk memudahkan peneliti dalam memeriksa
keabsahan data. Interpretasi data ini, dikemukakan secara obyektif berdasarkan data serta fakta
yang ada, sehingga hasil penelitian dapat ditemukan dan dapat dilakukan penarikan
kesimpulan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Rahmadi, A., Lestari, Y., & Yenita, Y. (2013). Hubungan pengetahuan dan sikap terhadap rokok
dengan kebiasaan merokok siswa smp di kota padang. Jurnal kesehatan andalas, 2(1),
25-28.Fathin Faridah. (2015). Analisis Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Merokok
Remaja di SMK “X” Surakarta. (e-Journal) Volume 3, Nomor 3, April 2015 (ISSN:
2356-3346).
Fitri, E., Zola, N., & Ifdil, I. (2018). Profil kepercayaan diri remaja serta faktor-faktor yang
mempengaruhi. JPPI (Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia), 4(1), 1-5.
Lestarina, E., Karimah, H., Febrianti, N., Ranny, R., & Herlina, D. (2017). Perilaku konsumtif
di kalangan remaja. JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 2 (2).
Komasari, D., & Helmi, A. F. (2000). Faktor-faktor penyebab perilaku merokok pada
remaja. Jurnal psikologi, 27(1), 37-47.
Ika Tristanti. (2016). Remaja Dan Perilaku Merokok. STIKES, Muhammadiyah Kudus.
2407-9189.
Masdalina, Dkk. (2021). Perilaku Merokok Pada Siswa Laki-Laki Kelas XI Jurusan TKR
SMK Sinar Husni Medan. Journal of Healthcare Technology and Medicine Vol. 7 No.
2 Oktober 2021: Universitas Sari Mutiara Indonesia.
Hanesty, F. (2022). Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penjualan Rokok Pada Anak
Dihubungkan Dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Doctoral
dissertation, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN).
Riauan, M. A., Sari, G. G., Aslinda, C., & Qurniawati, E. F. (2018). Konstruksi Makna
Ketergantungan dalam Perilaku Merokok. Relasi Negara Industri Dan Masyarakat
Dalam Perspektif Komunikasi, 171.
Bunyamin, Dkk. (2022). Makna Simbolik Tradisi Compo Sampari Dan Compo Baju Dalam
Kajian Teori Interaksionisme Simbolik Teori Herbert Blumer. ISSN: 2599-2511.
Haris, A., & Amalia, A. (2018). Makna Dan Simbol Dalam Proses Interaksi Sosial (Sebuah
Tinjauan Komunikasi). Jurnal Dakwah Risalah, 29(1), 16-19.
23
Teresia Derung. Iteraksionisme Simbolik Dalam Kehidupan Bermasyarakat. https://e-
journal.stp-ipi.ac.id/c04d6ee2-17fa-44d0-8a58-3930b1d27a7a
Vivi Shintaviana. Konsep Diri serta Faktor-Faktor Pembentuk Konsep Diri Berdasarkan
Teori Interaksionisme Simbolik. https://core.ac.uk/download/pdf/35389459.pdf
24