Anda di halaman 1dari 4

A.

Latar Belakang
Menurut Fauziah et al (2019), merokok merupakan salah satu zat adiktif yang
mengakibatkan bahaya bagi kesehatan yang kebanyakan diminati oleh para lelaki.
Sedangkan rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus, dihasilkan dari
tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintesis yang
mengandung nikotin dan tar dengan bahan tambahan. Nikotin adalah zat alkaloid yang
berada di dalam tanaman tembakau, zat tersebut dapat menguap serta dapat dimurnikan
melalui cara penyulingan uap yang dibasakan (Hidayati, 2019).

Masa remaja merupakan masa peralihan sifat maupun perubahan bentuk tubuh. Remaja
pria akan mengalami perubahan yang sangat tampak pada suara dan itu merupakan
perubahan fisik yang sangat khas bagi pria. Menurut The Health Resources and Services
Administrasions Guidelnes Amerika Serikat, rentang usia remaja dimulai usia 11 sampai
21 tahun. Masa remaja merupakan masa ketika seseorang mengalami perubahan
psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menuju dewasa. Emosi yang tidak
stabil dimana adanya sifat yang menentang, kegelisahan, senag untuk bereksperimen,
serta senang bereksplorasi. Remaja yang senang dalam bereksplorasi selalu ingin
mencoba sesuatu yang baru seperti kebiasaan merokok (Hidayati, 2019).

WHO (World Health Organizations) menyebutkan bahwa angka kejadian konsumsi


rokok di Amerika Serikat sekitar 346 ribu jiwa dan tidak kurang dari 90% dari 60 orang
yang terkena penyakit kanker karena merokok. Di China sebanyak 163 triliun batang
rokok dikonsumsi oleh masyarakat China. Kemudian di Jepang sebanyak 328 miliar
batang yang dikonsumsi dan Rsusia sebanyak 258 miliar batang. Menurut Riskesdas
(2013) menyatakan perilaku merokok pendiduk masih belum mengalami penurunan
bahkan cenderung mengalami peningkatan dari 34.2% pada tahun 2007 menjadi 36.2%
pada tahun 2013. Indonesia merupakan salah satu dari 12 negara yang menyumbangkan
angka sebnayak 40% dari total jumlah perokok dunia. Jumlah pria perokok di Indonesia
meningkat dan menempati peringkat kedua di dunia dengan 57% di bawah Timor Leste
61%. Di bawah Indonesia ada Laos 51,3%, China 45,1%, Kamboja 42,1% (Sodik, 2018).
Dalam Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh badan pusat
statistik (BPS) pada bula maret 2019, jumlah perokok di DKI Jakarta mencapai 26%
untuk usia 15 tahun keatas dan rata-rata menghabiskan 72 batang rokok per minggu atau
10,3 batang rokok per hari. Kelompok penduduk dengan pengeluaran 40% justru
memiliki jumlah perokok terbanyak yakni 27,9%, lebih bantyak dari kelompok
pengeluaran 40% kebawah yang 27,1%, sedangkan kelompok 20% teratas hanya 20,8%
(BPS DKI Jakarta, 2020).

Secara umum terdapat tiga fase klinik dalam kecanduan konsumsi tembakau atntara lain
menciba, kadang-kadang menggunakan, dan menggunakan setiap hari. Adapun bebraoa
factor yang data memengaruhi perilaku menrokok bagi remaja misalnya factor psikologi
Berupa lambang kedewasaan, percaya diri, gengsi, kebosanan dan stress, factor biologi
dan factor lingkungan seperti karena adanya terpengaruh oleh teman sebaya. Fakrtor
terbesar dari kebiasaan merokok pada remaja adalah factor sosial atau lingkungan. Tekait
hal itu telah diketahui bnahwa karakter seseorang banyak dibentuk oleh lingungan
sekitar, baik keluarga, tetangga, ataupum teman pergaulan (Munir, 2019).

Menurut Wulandari (2014 dalam Filjanatin dan Iroma, 2020) perilaku merokok memiliki
dampak negative yang biasanya terjadi pada beberapa tahun setelah orang tersebut
merokok aktif, seperti kanker paru-paru. Namun, perlu diketahui bahwa terdapat
beberapa efek jangka pendek yang terjadi cukup cepat. Contoh efek jangka pendek yang
dialami yaitu tingkat denyut jantung perokok dua atau tiga kali lebih cepat dari tingkat
denyut jantung bukan perokok. Penelitian lain menyebutkan bahwa hal ini merupakan
tanda awal penyakit jantung dan stroke. Merokok juga dapat menyebabkan penurunan
fungsi paru-paru. Sedangkan efek jangka Panjang bagi perokok yaitu terkena penyakit
jantung coroner.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah salah satunya mengeluarkan peraturan


menganai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Kawasan Tanpa Rokok (KTR) meliputi tempat
umum sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai proses
belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Penetapan
KTR di suatu wilayah pada dasarnya adalah kebijakan untuk perlindungan terhadap
perokok pasif, remaja, ibu hamil dan kelompok rentan, terhadap dampak kesehatan
akibat asap rokok, serta pencemaran udara dalam ruang. Dalam hal mengurangi
kecanduan merokok pada remaja dapat dilakukan melalui cara promotif dan preventif,
salah satu upaya tersebut dengan melakukan pendidikan kesehatan untuk memberikan
informasi dan edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
menumbuhkan sikap yang positif terhadap pencegahan merokok
Menurut Notoatmodjo (2010 dalam Atmasari et al., 2020), pengetahuan merupakan
landasan utama perilaku seseorang khususnya dalam melakukan perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan. Pengetahuan memiliki peranan yang besar dalam
mempengaruhi perilaku merokok khususnya pada remaja. Pengetahuan tentang merokok
merupakan sejauhmana seseorang mampu mengetahui dan memahami tentang merokok.
Pengetahuan yang baik tentang merokok terhadap kesehatan akan berbeda perilaku
merokoknya dibanding mareka yang berpengetahuan kurang.

Menurut Stuart (dalam Nurmala et al., 2018), pendidikan kesehatan adalah suatu upaya
terencana yang bertujuan memodifikasi sudut pandang, sikap maupun perilaku suatu
individu, kelompok maupun masyarakat ke arah pola hidup yang lebih sehat, melalui
proses promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pendidikan kesehatan dapat dijadikan
sebagai salah satu usaha untuk membantu individu meningkatkan kemampuan dalam hal
tingkat pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan, pengalaman diri maupun orang
lain, media massa, lingkungan. Peningkatan pengetahuan ini karena adanya pemberian
informasi, dimana di dalamnya terdapat proses belajar (Ali & Harismayanti, 2018).

Berdasarkan penelitian Puryanto (2012) yakni pada kelompok perlakuan terjadi


perubahan yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan,
menggunakan metode ceramah dengan hasil pretes kategori cukup 50% dan kurang 48%.
Sedangkan saat Postes menjadi 100% (Ali & Harismayanti, 2018). Selain itu penelitian
yang dilakukan oleh Herlina (2013) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan
memperngaruhi tingkat pengetahuan remaja tentang bahaya merokok, dengan perbedaan
nilai rata-rata sebelum diberikan intervensi dan sesudah diberikan intervensi adalah 8.74.
Hal ini membuktikan bahwa pendidikan kesehatan sangat mempengaruhi tingkat
pengetahuan remaja tentang bahaya merokok (Hiyadayati et al., 2019).

Hasil penelitian Kurniawati (2013), menyatakan bahwa pengetahuan siswa sebelum


mendapatkan pendidikan kesehatan tentang perilaku merokok sebagian besar cukup,
sikap sebelum mendapatkan pendidikan kesehatan tentang perilaku merokok sebagian
besar adalah buruk, pengetahuan setelah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang
perilaku merokok adalah baik. Sikap setelah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang
perilaku merokok sebagian besar adalah baik, terdapat perngaruh pendidikan kesehatan
tentang perilaku merokok terhadap pengetahuan siswa SMK Muhammadiyah Kartasura,
dan terdapat pengaruh pendidikan kesehatan tentang perilaku merokok terdapat sikap
siswa SMK Muhammadiyah Kartasura (Pravana, 2018).

Berdasarkan latar belakang dan data-data di atas penulis ingin melakukan studi kasus
dengan memberikan asuhan keperawatan keluarga melalui pelaksanaan pendidikan
kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap bahaya merokok pada
remaja.

Anda mungkin juga menyukai