(Paper Psikologi)
Abd. Halim-453042
abd.halim@mail.ugm.ac.id
Abstrak: Perilaku merokok merupakan fenomena yang biasa ditemukan di sekitar kita. Banyak
faktor yang mempengaruhi perilaku merokok diantaranya lingkungan. Pemahaman tentang
bahaya merokok dan perilaku merokok memunculkan ketidakseimbangan dalam diri
seseorang atau disebut disonansi kognitif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan proses wawancara semi terstruktur dengan 2 partisipan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa partisipan mengalami disonansi pada perilaku merokok namun strategi untuk
menyeimbangkan elemen yang bertentangan tersebut dengan mencari pembenaran bahwa
merokok tidak berbahaya.
Pendahuluan
Perilaku merokok saat ini telah menjadi fenomena yang tidak asing dalam kehidupan.
Mudahnya akses untuk mendapatkan rokok dan banyaknya orang merokok ditempat umum,
kantor, lingkungan pendidikan bahkan dalam lingkungan keluarga sendiri mengakibatkan
perilaku merokok tersebut sulit untuk dihindari. Perilaku merokok merupakan salah satu
penyebab munculnya berbagai penyakit dan tingginya angka kematian. Hal ini disebabkan
karena bahan kimia yang terdapat dalam rokok. Data dari WHO setiap tahun sekitar 225.700
orang Indonesia meninggal akibat merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengantembakau
(World Health Organization). Prevalensi pada orang dewasa masih belum menunjukkan
penurunan selama periode 5 tahun ini, sementara prevalensi merokok pada remaja usia 10-19
tahun meningkat dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% pada 2018 -- peningkatan sebesar kira-
kira 20%.
Data terbaru dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 yang dirilis pada hari
ini menunjukkan bahwa 40.6% pelajar di Indonesia (usia 13-15 tahun), 2 dari 3 anak laki-laki,
dan hampir 1 dari 5 anak perempuan sudah pernah menggunakan produk tembakau: 19.2%
pelajar saat ini merokok dan di antara jumlah tersebut, 60.6% bahkan tidak dicegah ketika
membeli rokok karena usia mereka, dan dua pertiga dari mereka dapat membeli rokok secara
Perilaku merokok juga membawa pengaruh buruk terhadap kebiasaan (habits) para
penggunanya. Kebiasaan merokok menyebabkan seseorang menjadi lebih egois, hal ini dapat
dilihat pada kebiasaan merokok yang dilakukan oleh remaja atau orang dewasa di depan
umum atau di ruang publik. Perilaku merokok disebabkan banyak faktor, faktor lingkungan
seperti keluarga dan teman sebaya berperan penting. Perilaku merokok awalnya dilakukan
dengan coba-coba, namun pada akhirnya menjadi kecanduan. Temuan dari hasil penelitian
Munir (2019) Perilaku merokok juga dapat dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang meliputi
pengaruh keluarga dan lingkungan sekitar, pengaruh teman sebaya dan pengaruh iklan rokok
(16). Penelitian ini menunjukkan perilaku merokok pada responden yang dipengaruhi oleh
keluarga dan teman ada pada tingkat sedang. Sedangkan pengaruh paling tinggi disebabkan
karena iklan.
merokok pada remaja Hasil penelitian menunjukkan 57,8% siswa laki-laki kelas X dan XI
berperilaku merokok dan 42,2% tidak berperilaku merokok. Variabel yang berhubungan
dengan perilaku merokok adalah pengetahuan, sikap, kegiatan ekstrakurikuler dan iklan rokok.
Disarankan ke instansi terkait untuk meningkatkan frekuensi penyuluhan kesehatan tentang
bahaya rokok, memasukan pemahaman bahaya rokok ke dalam kegiatan UKS dan PMR serta
Penelitian yang dilakukan oleh Munir (2019) tentang gambaran perilaku merokok pada
remaja laki-laki Didapatkan hasil bahwa 46% mulai merokok pada usia 17-19 tahun ketika
masih SMA dan termasuk kategori perokok ringan. Perilaku merokok ini dipengaruhi oleh
dukungan keluarga, dorongan teman dan pengaruh iklan. Hasil penelitian lain menunjukkan
bahwa untuk mengurangi disonansi, perokok aktif menambah elemen kognitif dengan
informasi baru seperti informasi bahwa merokok tidak memiliki dampak langsung terhadap
kesehatan mereka, masih banyak yang berbahaya bagi tubuh selain merokok, serta informasi
kognitif baru ini memberikan pembenaran atas perilaku merokok sehingga kampanye anti-
rokok yang selama ini dilakukan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku
Hiraev dan Levy (dalam Sobur, 2016) disonansi kognitif merupakan ketegangan
psikologis yang disebabkan oleh ketidaksesuaian (disonansi) yang dirasakan antara sikap dan
perilaku, dua atau lebih keputusan, dua atau lebih sikap. Menurut Chaplin (2016) disonansi
kognitif adalah suatu keadaan psikologis yang tidak menyenangkan, sehingga individu
merasakan atau mengalami dua kepercayaan atau dua kesadaran yang bertentangan.
Menurut Solomon (dalam Hakim, 2017) disonansi kognitif adalah salah satu
pendekatan terhadap tingkah laku yang mengemukakan bahwa orang termotivasi untuk
mengurangi keadaan negatif dengan cara membuat suatu keadaan sesuai dengan keadaan
lainnya. Elemen kognitif adalah sesuatu yang dipercayai oleh seseorang, bisa berupa dirinya
sendiri, tingkah lakunya atau juga pengamatan sekeliling. Pengurangan disonansi dapat timbul
East (dalam Hakim, 2017) mendeskripsikan disonansi kognitif sebagai suatu kondisi
yang membingungkan, yang terjadi pada seseorang ketika kepercayaan mereka tidak sejalan
bersama. Kondisi ini mendorong mereka untuk merubah pikiran, perasaan dan tindakan
mereka agar sesuai dengan pembaharuan. Disonansi dirasakan ketika seseorang berkomitmen
pada dirinya sendiri dalam melakukan suatu tindakan yang tidak konsisten dengan perilaku
dan kepercayaan mereka yang lainnya. Menurut Festinger dua elemen dikatakan ada dalam
hubungan yang disonan jika (dengan hanya memperhatikan kedua elemen itu saja) terjadi
suatu penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh atau mengikuti suatu elemen yang lain
(Sarwono, 2010).
Dari beberapa tokoh yang telah menjelaskan tentang disonansi kognitif, peneliti dapat
menarik pemahaman bahwa disonansi kognitif merupakan keadaan yang tidak seimbang
antara elemen-elemen kognitif (bisa berupa dirinya sendiri, tingkah lakunya atau juga
mengalami dua kesadaran yang bertentangan, keadaan tersebut akan membuat individu
namun mereka mencari cara untuk menghilangkan ketidakseimbangan tersebut pada dirinya.
Metode
degan beberapa tahap. Peneliti menyebarkan survei terlebih dahulu yang berisi open-ended
question melaui media social. Dari hasil survei tersebut terdapat 56 partisiapan yang mengisi
dan 20 partisipan menyamnggupi untuk diwawancara lebih lanjut. Namun karena terbatasnya
waktu dan beberapa pertimbangan akhirnya peneliti memutuskan untuk memilih 2 partisipan
untuk diwawancara lebih lanjut. Peneliti melakukan kesepakatan dengan partisipan untuk
melakukan wawancara semi terstruktur secara online dikarenakan keadaan yang tidak
memungkinkan untuk bertatap muka secara langsung. Hasil wawancara ditranskrip dalam
bentuk verbatim. Pernayataan yang sesuai dengan topik penelitian diberi tanda (coding).
Pada mulanya perilaku merokok hanya untuk coba-coba namun akhirnya menjadi
kecanduan, hal ini seperti yang disampaikan oleh P1 dan P2 dalam pernayataanya:
Pertama kali saya merokok itu, pertama banget waktu kelas 6, kelas 6 itu ketika ke sungai dulu
masih sembunyi-sembunyi dari orangtua dan itupun tidak selalu merokok Cuma waku itu hari
itu saja pertama kali merokok. Kalau merokok yang terus sampai sekarang itu semenjak baru
lulus SMA dan itu mulai merokok aktif samapi sekarang begitu. Dari kelas 6 itu merokok
kemudia berhenti karena mondok tidak boleh merokok, akhirnya berhenti tuh selama 6 tahun,
dan setelah lulus SMA merokok lagi dan aktif sampai sekarang gak berhenti-berhenti.
(P203012020-02)
Perilaku merokok tidak lepas dari peran lingkungan yang menjadi faktor utama untuk
melakukan hal tersebut. Lingkungan bisa berupa keluarga yang semuanya perokok, atau
sehingga sangat memberiak pengaruh pada perilaku merokok seseorang. Teman bermain juga
sangat berpengaruh bagi seseorang untuk berperilaku merokok, seperti pernyataan P1 dan P2:
Mungkin dari faktor lingkungan ya mas, soalnya keluarga kecuali bapak itu rata-rata perokok
mas, terus penasaran ja gitu. (P10122020-03).
Kalau yang mendorong saya untuk merokok itu adalah lingkungan. Jadi awalnya saya itu gak
mau banget merokok. Pokoknya apa sih merokok itu gak baik, tapi karena lingkungan waktu itu
saya sering bersama teman-teman yang merokok jadi seolah-olah waktu itu saya adalah orang
yang paling cupu anggapannya seperti itu. Jadi saya gak mau dan saya langsung merokok.
(P203012020-03)
Semuanya merokok, gak ada yang gak merokok, kecuali kaka ipar gak merokok. Pernah
merokok tapi sakit berhenti sekarang (P203012020-05)
merokok. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir (2019) didapatkan
hasil bahwa 46% mulai merokok pada usia 17-19 tahun ketika masih SMA dan termasuk
kategori perokok ringan. Perilaku merokok ini dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dorongan
teman dan pengaruh iklan. Faktor lain adalah dorongan dalam diri individu untuk merokok
Selain faktor lingkungan pengetahuan tentang bahaya merokok juga penting dalam
dengan mudah merokok tanpa berpikir tentang bahaya merokok terhadap kesehatan. Hasil
penelitian dari Alamsyah (2017) menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan dengan
perilaku merokok. Pengetahuan merupakan modal dasar bagi seseorang untuk berperilaku.
Pengetahun yang cukup memberi memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik.
Orang yang dipenuhi banyak pengetahuan dapat mempersepsikan informasi tersebut sesuai
dnegan presdiposisi psikologinya. Pengetahuan yang tinggi tentang rokok pada seseorang
tidak merokok membuat tidak nyaman atau merasa ada yang kurang. Hal ini sesuai dengan
Ya menurut saya rokok itu gak enak, tapi kalau tidak merokok gak enak, jadi bawaannya pengen
merokok gitu. P10122020-06
Yang dirasakan enak, yang pertama itu enak terus sedap itu rasanya tapi di sisi lain kayak sesak
gitu tapi tidak terlalu, dan mulut gak terasa pahit gitu kalau mulut sudah terasa pahit gitu cepat-
cepat cari rokok, kalau gak merokok itu pahit. (P203012020-07)
Pernyataan di atas sejalan dengan penelitian Libuka dan Suyono (2019) hasil analisis
deskriptif ditemukan bawa intensi memliki kontribusi dalam terbentuknya perilaku merokok
remaja, hal ini merupakan bagian dari model yang dikembangkan dari teori perilaku terencana
yang terbentuk melalui sikap, norma subjektif dan perceived behavioral control. Merujuk pada
hasil uraian di atas dapat dijelaskan bahwa terjadinya perilaku merokok diawali dengan intensi
merokok remaja yang meliputi sikap positif terhadap rokok, dan meremehkan segala
kemungkinan dampak yang ditimbulkan dari perilaku merokok serta banyaknya kesempatan
yang memfasilitasi remaja dalam melakukan perilaku merokok. Perokok akan terus mencari
Seseorang merokok memiliki waktu waktu tertentu yang dirasa pada waktu tersebut
lebih nikmat merokok. Merokok diwaktu waktu tertentu seperti setelah makan dan ingin buang
besar menjadi waktu tersendiri yang memberikan kenyaman bagi perokok. Hal ini seperti yang
Ada mas, ketika nongkrong, ketika bingung, ketika pengen BAB, dan setelah makan. (P10122020-
11)
Kalau sekarang sih waktu tertentu itu yang paling penting merokok dan wajib banget setelah
makan dan selain itu sering banget maksudnya tidak tahu waktu, bangun tidur gitu minum air
langsung merokok, mau tidur merokok, pokoknya mau apa-apa merokok. Yang terpenting juga
mau BAB itu merokok. (P203012020-06)
waktu tertentu yang membuat perokok menjadi semakin nikmat merokok. Waktu tertentu
tersebut akan dirasakan sanga nyaman untuk menikmati rokok dan membuatnya semakin
kecanduan.
Perokok memiliki keyakinan dan pemahaman rokok berbahaya pada kesehatan. Mereka
juga khawatir dengan kesehatan meraka ketika orang disekitanya sakit disebabkan merokok.
Rasa takut dan khawatir tentang bahaya merokok membuat mereka berkeinginan untuk
Tidak ada sih mas, Cuma pas nonton video-video orang yang katanya sakit gara-gara merokok,
atau pernyataan orang-orang itu membuat khawatir doang sih tapi tidak takut. (P10122020-20)
Khawatir takut seperti itu juga sih mas, Cuma khawatirnya hilang pas gak ingat lagi. (P10122020-
20)
Kalau saya percaya sebenarnya, merokok ada efek negatifnya dan menimbulkan penyakit.
(P203012020-08)
Penjelasan partisipan memberikan gambaran tentang adanya rasa kahwatir pada diri
individu ketika merokok, tapi perilaku mengabaikan menjadi strategi untuk mengurangi rasa
takut yang ada pada dirinya. Perokok akan membiarkan perasaan khawatir dalam dirinya
Seseorang merokok dikarenakan adanya keyakinan tentang rasa sensasi yang berebeda
saat merokok. Merokok dianggap bisa memberikan kenikmatan dan kenyamanan saat dalam
keadaan stress. Perilaku merokok juga bisa membuat perokok merasa tenang ketika
Intinya tenang, kayak ada kenikmatan tersendiri yang susah dijelaskan. (P10122020-15).
Yang dirasakan enak, yang pertama itu enak terus sedap itu rasanya tapi di sisi lain kayak sesak
gitu tapi tidak terlalu, dan mulut gak terasa pahit gitu kalau mulut sudah terasa pahit gitu cepat-
cepat cari rokok, kalua gak merokok itu pahit. (P203012020-07).
Perokok sebenarnya meyakini bahwa rokok tidak itu tidak enak dan memberikan efek
yang kurang baik pada kesehatan. Perokok juga merasa bahwa fisik mereka semakin kurus dan
pengeluaran semakin boros dikarenakan merokok. Akan tetapi rasa kecanduan untuk merokok
selalu mendorong mereka untuk tetap merokok. Sesuai dengan pernyataan P1 dan P2:
Ya menurut saya rokok itu gak enak, tapi kalau tidak merokok gak enak, jadi bawaannya pengen
merokok gitu. (P10122020-06)
Karean sudah candu mas suasah yang mau nabung, biasanya boros ((P10122020-18)
Setelah saya merokok yang saya rasakan pertama lebih boros, itu yang paling tampak. Kemudian
untuk ke tubuh tidak terlalu Cuma lebih kurus sih karean gak doyan makan, terus ke suar,
dulusaya kan belajar qori’ masih enak sebelum merokok. Setelah merokok nafas gak kuat dan
suara gak tinggi, berat gitu. (P203012020-04)
Pernyataan dari P1 dan P2 memberikan penjalasan adanya dua pemahaman yang saling
bertentangan dalam dirinya. Pemahaman bahwa rokok tidak enak namun juga membuat
dirinya kecanduan sehingga jika tidak merokok merasa ada yang kurang. Keadaan ini sesuai
dengan definisi disonansi kognitif dimana adanya dua elemen pemahaman yang saling
kasus merokok, perokok mungkin merasionalisasi bahwa 1) merokok itu layak karena
orang lain, 3) mustahil baginya untuk menghindari melakukan apapun hanya untuk tetap
hidup, dan 4) ada kemungkinan terpapar bahaya lain yang juga berdampak buruk bagi
kesehatan meskipun tidak merokok. Dengan merasionalisasi perilaku merokok dengan alasan
perokok merasa terbebas dari ketidaknyamanan psikologis yang disebabkan oleh inkonsistensi
(Orcullo, 2019). Perokok menghilangkan disonansi pada dirinya dengan jalan melakukan
pembenaran bahwa merokok itu tidak berbahaya. Pembenaran ang dilakukan dengan
menambahkan informasi bahwa meroko itu tidak berbahaya, sehingga dia akan merasa
Ya mencari argumen dari orang-orang bahwa rokok itu tidak bahaya (P10122020-24)
Sebenarnya sakit, mati semuanya dari yang maha kuasa gitu ja mas, tapi semisal sakit karena
rokok yak arena memang waktunya gitu ja mas (P10122020-25)
Ya santai aja mas, kalau waktunya mati ya mati kalau waktunya sakit ya sakit, tapi kalau
sakitnya Karena rokok ya mungkin waktunya gitu aja mas (P10122020-26)
supaya dia tetap bisa merokok tanpa rasa takut tentang bahaya merokok. sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Fadholi, dkk (2020) menunjukkan bahwa untuk mengurangi
disonansi, perokok aktif menambah elemen kognitif dengan informasi baru seperti informasi
bahwa merokok tidak memiliki dampak langsung terhadap kesehatan mereka, masih banyak
yang berbahaya bagi tubuh selain merokok, serta informasi mengenai rokok sebagai
penyumbang pendapatan ekonomi terbesar di Indonesia. Elemen kognitif baru ini memberikan
pembenaran atas perilaku merokok sehingga kampanye anti-rokok yang selama ini dilakukan
Strategi lain yang dilakukan seseorang untuk mengurangi rasa yang tidak nyaman saat
merokok yaitu dengan berusaha menggantikan rokok dengan objek lain, misal dengan camilan
Pernah waktu itu ingin berhenti merokok, usahanya tuh saya beli snack banyak, kan gabut
katanya coba beli snack atau permen tapi gak mempan, terus akhirnya saya berhenti merokok
waktu itu ngevape, pake vape selam 2 bulan itu memang rasa rokok gak enak setelah ngepave,
tapi karena pavenya waktu itu rusak coba-coba lagi merokok akhirnya sampe sekarang merokok
lagi, tapi pas masa-masa ngepave gak enak merokok, terus trek record berhenti merokok itu 3
bulan dan itu karena saya ngegym olahraga itu jadi males merokok, berhenti ngegym merokok
lagi. (P203012020-13).
Disonansi kognitif yang dirasakan oleh seseorang merokok merupakan adanya rasa
khawatir tentang bahaya merokok dan berbahaya pada kesehatan tubuhnya. Kedua elemen ini
saling bertentangan sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman di dalam diri individu. Setiap
individu melakukan strategi yang berbeda untuk mengurasi disonansi kognitif yang
dirasakannya. Sebagain orang melakukan pembenaran dan mencari sumber informasi bahwa
rokok itu tidak berbahaya dan menambah keyakinan tentang datangnya penyakit dari tuhan,
sehingga hal tersebut bisa mengurangi ketidaknyamanan pada dirinya. Selain itu, sebagian
ornag juga memilih berhenti merokok untuk mengurangi ketegangan yang terjadi pada dirinya,
namun ini sangat sulit dilakukan. Seseorang selalu merasa sulit untuk berhenti merokok
Kesimpulan
keluarga dan teman bermain. Perilaku memberikan efek kecanduan pada perokok, perokok
meyakini merokok berbahaya namun sulit ntuk berhenti. Dua hal yang bertentangan di dalam
diri perokok merupakan disonansi kognitif yang mengakibatkan rasa tidak nyaman yang
dialami. Perokok melakukan pembenaran untuk mengurangi rasa khawtir terhadap bahaya
Referensi
Alamsyah, A. (2017). Determinan Perilaku Merokok pada Remaja. Jurnal Endurance, 2(1), 25.
https://doi.org/10.22216/jen.v2i1.1372
Fadholi, F., Prisanto, G. F., Ernungtyas, N. F., Irwansyah, I., & Hasna, S. (2020). Disonansi
Kognitif Perokok Aktif di Indonesia. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi Universitas Negeri
Khakim, M. Farid Much. Imron. (2017). Disonansi Kognitif Mahasiswa dalam Memilih Progam
Studi Manajemen di Stienu Jepara. Jurnal Dinamika Ekonomi & Bisnis. Vol. 8 No. 1.
Libuka, M., & Suyono, H. (2019). Dinamika Psikologis Intensi Merokok Pada Remaja. 9.
Munir, M. (2019). Gambaran Perilaku Merokok pada Remaja Laki-Laki. Jurnal Kesehatan, 12(2),
112. https://doi.org/10.24252/kesehatan.v12i2.10553
P10122020-25 Argumen yang selam ini Sebenarnya sakit, mati Sakit, mati Strategi
anda utarakan itu seperti semuanya dari yang maha semuanya dari mengurangi
apa? kuasa gitu ja mas, tapi yang maha kuasa disonansi kognitif
semisal sakit karena rokok
yak arena memang
waktunya gitu ja mas
P10122020-26 Apa yang diraskan saat Ya santai aja mas, kalau Santai saja, Strategi
melakukan pembenaran waktunya mati ya mati waktunya mati ya mengurangi
kalau waktunya sakit ya mati kalau disonansi kognitif
sakit, tapi kalau sakitnya waktunya sakit ya
Karena rokok ya mungkin sakit
waktunya gitu aja mas
P10122020-27 Ada perasaan bersalah Ada mas Ada
ketika anda merokok di
tempat umum?
P10122020-28 Apa yang dilakukan untuk Mematikan rokok dan Mematikan rokok Strategi
menghilangkan rasa meminta maaf dan meminta maaf mengurangi
bersalah tersebut? disonansi kognitif
P10122020-29 Menurut anda rokok itu Karena saya seorang Rokok itu tidak Disonansi
berbahaya apa tidak untuk perokok jadi mungkin berbahaya kognitif
kesehatan? menurut saya rokok itu
tidak berbahaya mas
P10122020-30 Apakah anda khwatir Tidak khawatir mas, biasa Tidak khawatir Strategi
dengan kesehatannya saja kalau saya khawatir mengurangi
dengan merokok setiap mungkin sudah berhenti disonansi kognitif
hari?
P10122020-31 Da keinginan untuk Ada mas tapi nanti Ada Strategi
berhenti? mengurangi
disonansi kognitif
P10122020-32 Baik terimakasih atas Baik mas, sama-sama, ya
waktu yang telah mas boleh
diberikan, dan sekali lagi
kami ucapkan banyak
terimakasih atas partisipasi
saudara dalam penelitian
ini, jika nanti ada data yang
kurang, apakah kami
menghubungi anda lagi?
Nama : Partisipan 2 Waktu Wawancara
Usia : 23 Tahun Tanggal: 03 Desember 2020
Alamat : Pamekasan Madura Jatim
Tempat: Via WhatsApp (voice note)
Domisili : Jl. Monjali blunyah Gede
Status : Mahasiswa (Semester 7)
Anak ke : ke 2 dari 4 bersaudara
Pekerjaan Ayah: Petani