Anda di halaman 1dari 49

BAB I

ANAMNESA

Di dalam Ilmu Kedokteran wawancara terhadap pasien di sebut anamnesis.


Anamnesis atau wawancara medis merupakan langkah pertama dalam tata cara
kerja yang ditempuh untuk membuat diagnosis. Anamnesis merupakan kegiatan
komunikasi yang dilakukan antara dokter dan pasiennya dimana dokter sebagai
pemeriksa dengan tujuan untuk mendapatkan informasi utama mengenai penyakit
yang diderita pasien serta informasi lainnya yang dapat mengarahkan diagnosis
pasien (Setyawan, 2017).
Perpaduan keahlian mewawancarai dan pengetahuan mendalam tentang
gejala (symtom) dan tanda (sign) dari suatu penyakit akan memberikan hasil yang
memuaskan dalam menentukan diagnosis banding sehingga dapat membantu
menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan
penunjang. Anamnesis harus dilakukan secara tenang, ramah dan sabar juga dalam
suasana yang nyaman dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh
pasien (Setiati et al, 2014).
Tujuan dari anamnesis adalah untuk mendapatkan informasi yang
menyeluruh mengenai kesehatan pasien dan menjaga hubungan komunikasi yang
baik antara dokter dan pasien secara profesional agar dokter dapat mengekspresikan
empati terhadap pasiennya dan sebaliknya (Markum, 2000). Teknik anamnesis
yang baik disertai dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian
pemeriksaan pasien secara keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran
komunikasi antara dokter dan pasien. Empati dapat mendorong keinginan pasien
agar sembuh karena rasa percaya kepada dokter (Setiati et al, 2014).
Sebelum melakukan anamnesis, perkenalkan diri dulu kepada pasien, dan
tanyakan juga nama pasien secara baik dan sopan. Buatlah catatan penting selama
melakukan anamnesis sebelum dituliskan secara lebih baik didalam status pasien.
Dalam melakukan anamnesis selain melakukan secara verbal, perhatikan juga
perilaku non-verbal pasien yang secara tidak sadar ditunjukkan oleh pasien itu
sendiri yang menggambarkan keadaannya. Anamnesis harus dilakukan dan dicatat
secara sistematis dan harus mencakup semua hal yang diperkirakan dapat

1
membantu untuk menegakkan diagnosis terutama faktor resiko yang dimiliki oleh
pasien dan bagaimana perjalanan penyakitnya (Setiati et al, 2014).
Anamnesis dibagi menjadi dua jenis, yaitu autoanamnesis dan
alloanamnesis. Autoanamnesis adalah wawancara medis yang dilakukan secara
langsung antara dokter dan pasien itu sendiri, sedangkan alloanamnesis dilakukan
oleh dokter dengan keluarga pasien yang membawa pasien tersebut ke dokter.
Alloanamnesis dilakukan bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk
diwawancarai, misalnya keadaan gawat darurat, afasia akibat stroke, pasien anak
kecil atau bayi, orang tua lansia dan pasien sakit jiwa (Markum, 2000).
Anamnesis yang baik harus mengacu pada pertanyaan yang sistematis, yaitu
dengan berpedoman pada empat pokok pikiran (The Fundamental Four) dan tujuh
butir mutiara anamnesis (The Sacred Seven). Yang dimaksud dengan empat pokok
pikiran, adalah melakukan anamnesis dengan cara mencari data :
1. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
2. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
4. Riwayat Sosial dan Ekonomi

Sebelum melakukan anamnesis lebih lanjut, pertama yang harus ditanyakan


adalah identitas pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, bangsa/ras/suku, tempat
tinggal, status pernikahan, agama dan pekerjaan.
- Nama, dipakai untuk identitas diri supaya tidak keliru dengan orang lain, untuk
menyebutkan / memanggil nama agar lebih akrab, dan dapat menunjukkan
suku, bangsa, agama, dan kepercayaanya
- Umur, dipakai untuk melengkapi identitas seseorang dan dapat menunjukkan
kecenderungan penyakit pada umur tersebut
- Jenis kelamin, dipakai untuk melihat kecenderungan penyakit berdasarkan
jenis kelamin, juga dapat dipakai sebagai dasar pemikiran tentang jenis hormon
yang berbeda antara pria dan wanita yang mempengaruhi faal tubuh secara
berbeda pula
- Bangsa/ ras/ suku, dipakai untuk mengetahui ketahanan penyakit tertentu
pada suku bangsa tertentu

2
- Tempat tinggal/ alamat, dipakai untuk mengetahui kondisi lingkungan yang
berkaitan dengan higiene, sanitasi atau daerah endemik penyakit tertentu
- Pekerjaan, dipakai ntuk mengetahui memperkirakan status ekonomi, atau
faktor resiko terhadap penyakit tertentu

Berikut adalah empat pokok pikiran (The Fundamental Four) pada


anamnesis :
1. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Hal ini meliputi keluhan utama dan anamnesis lanjutan. Keluhan utama
adalah keluhan yang membuat seseorang datang ke tempat pelayanan
kesehatan untuk mencari pertolongan, misalnya : demam, sesak nafas, nyeri
pinggang, dll. Keluhan utama ini sebaiknya tidak lebih dari satu keluhan.
Kemudian setelah keluhan utama, dilanjutkan anamnesis secara sistematis
dengan menggunakan tujuh butir mutiara anamnesis, yaitu :
a. Lokasi ® (dimana? menyebar atau tidak ?)
Lokasi Sakit Seorang penderita yang datang dengan nyeri di ulu hati,
perlu ditanyakan lebih lanjut secara tepat bagian mana yang dimaksud, bila
perlu penderita diminta menunjukkan dengan tangannya, dimana bagian
yang paling sakit dan penjalarannya ke arah mana. Bila pusat sakit di tengah
(linea mediana) dicurigai proses terjadi di pankreas dan duodenum; sebelah
kiri ® lambung; sebelah kanan ® duodenum, hati, kandung empedu; di
atas ® hati, oesofagus, paru, pleura dan jantung. Penjalaran nyeri tepat lurus
di belakang menunjukkan adanya proses di pankreas atau duodenum
dinding belakang; di punggung lebih ke atas ® lambung dan duodenum;
bawah belikat kanan ® kandung empedu; bahu kanan ® duodenum,
kandung empedu, diafragma kanan; bahu kiri ® diafragma kiri.
b. Onset / kronologis ® (kapan terjadinya? berapa lama ?)
Perlu ditanyakan kapan mulai timbulnya sakit atau sudah berlangsung
berapa lama. Apakah keluhan itu timbul mendadak atau perlahan-lahan,
hilang timbul atau menetap. Apakah ada waktu-waktu tertentu keluhan
timbul. Misalnya bila nyeri ulu hati timbul secara ritmik ® curiga ulkus

3
peptikum, malam hari ® ulkus peptikum dan tiap pagi ® dispepsia non
ulkus.
c. Kuantitas keluhan ® (ringan atau berat, seberapa sering terjadi?)
Ditanyakan seberapa berat rasa sakit yang dirasakan penderita. Hal ini
tergantung dari penyebab penyakitnya, tetapi sangat subjektif, karena
dipengaruhi antara lain kepekaan seorang penderita terhadap rasa sakit,
status emosi dan kepedulian terhadap penyakitnya. Dapat ditanyakan
apakah sakitnya ringan, sedang atau berat. Apakah sakitnya mengganggu
kegiatan sehari-hari, pekerjaan penderita atau aktifitas fisik lainnya.
d. Kualitas keluhan ® (rasa seperti apa ?)
Bagaimana rasa sakit yang dialami penderita harus ditanyakan,
misalnya rasa sakit yang tajam (jelas) seperti rasa panas, terbakar, pedih,
diiris, tertusuk, menunjukkan inflamasi organ. Rasa sakit yang tumpul (dull)
seperti diremas, kramp, kolik, sesuatu yang bergerak 5 biasanya
menunjukkan proses pada organ yang berongga (saluran cerna, empedu).
Rasa sakit yang tidak khas menunjukkan organ padat (hati, pankreas).
e. Faktor-faktor yang memperberat keluhan
Ditanyakan adakah faktor-faktor yang memperberat sakit, seperti
aktifitas makan, fisik, keadaan atau posisi tertentu. Adakah makanan/
minuman tertentu yang menambah sakit, seperti makanan pedas asam, kopi,
alkohol panas, obat dan jamu. Bila aktifitas makan/ minum menambah sakit
menunjukkan proses di saluran cerna empedu dan pankreas. Aktifitas fisik
dapat menambah sakit pada pankreatitis, kholesistitis, apendisitis, perforasi,
peritonitis dan abses hati. Batuk, nafas dalam dan bersin menambah sakit
pada pleuritis.
f. Faktor-faktor yang meringankan keluhan
Ditanyakan adakah usaha penderita yang dapat memperingan sakit,
misalnya dengan minum antasida rasa sakit berkurang, menunjukkan
adanya inflamasi di saluran cerna bagian atas. Bila posisi membungkuk
dapat mengurangi sakit menunjukkan proses inflamasi dari pankreas atau
hati.

4
g. Gejala-gejala yang menyertai keluhan utama
Ditanyakan keluhan–keluhan lain yang timbul menyertai dan faktor
pencetusnya, misalnya bila penderita mengeluh nyeri ulu hati, yang perlu
ditanyakan lebih lanjut adalah :
- Apakah keluhan tersebut berhubungan dengan aktifitas makan ?
- Bagaimana buang air besarnya, adakah flatus ?
- Adakah ikterik ?
- Adakah pembengkakan, benjolan atau tumor, atau nyeri tekan ?
- Adakah demam, batuk, sesak nafas, nyeri dada, berdebar-debar,
keringat dingin atau badan lemas ?
- Adakah penurunan berat badan ?
2. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Ditanyakan adakah penderita pernah sakit serupa sebelumnya, bila dan
kapan terjadinya dan sudah berapa kali dan telah diberi obat apa saja, serta
mencari penyakit yang relevan dengan keadaan sekarang dan penyakit kronik
(hipertensi, diabetes mellitus, dll), perawatan lama, rawat inap, imunisasi,
riwayat pengobatan dan riwayat menstruasi (untuk wanita).
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Anamnesis ini digunakan untuk mencari ada tidaknya penyakit
keturunan dari pihak keluarga (diabetes mellitus, hipertensi, tumor, dll) atau
riwayat penyakit yang menular.
4. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Hal ini untuk mengetahui status sosial pasien, yang meliputi pendidikan,
pekerjaan pernikahan, kebiasaan yang sering dilakukan (pola tidur, minum
alkohol atau merokok, obatobatan, aktivitas seksual, sumber keuangan,
asuransi kesehatan dan kepercayaan).

5
BAB II
PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalisata
1. Keadaan Umum
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, dapat diperhatikan bagaimana
keadaan umum pasien melalui ekspresi wajahnya, gaya berjalan, dan tanda-
tanda spesifik lain yang secara tampak. Keadaan umum pasien dapat
seringkali menilai apakah keadaan pasien dalam keadaan darurat medik atau
tidak dan tampak sakit berat/sedang/ringan/tidak sakit.
- Sakit berat : bila pasien sesak hebat, kejang kejang
- Sakit sedang: bila pasien tampak lemah tapi masih dapat duduk
- Sakit ringan : bila pasien masih dapat berjalan-jalan
- Tidak tampak sakit

2. Kesadaran
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respons
seseorang terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan. Kesadaran
pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang
wajar terhadap stimulasi visual, auditor, maupun taktil. Seorang yang sadar
dapat tertidur akan segera terbangun bila dirangsang.
Penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif yang sampai saat ini
masih digunakan adalah Glasgow Coma Scale (GCS). GCS adalah suatu
skala neurologik yang dipakai untuk menilai secara obyektif derajat
kesadaran seseorang. GCS adalah skala yang digunakan untuk mengukur
tingkat kesadaran pasien dengan cara menilai respon pasien terhadap
rangsang yang diberikan oleh pemeriksa. Berikut bagaimana cara menilai
tingkat kesadaran pasien dengan skala GCS :

6
Tabel 1 : Skoring pada Glasgow Coma Scale (GCS)

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan


dalam simbol E V M. Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang
tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Kesimpulan :
a. Composmentis (GCS = 15-14)
Yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya
maupun terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab semua
pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya
b. Apatis (GCS = 13-12)
Yaitu keadaan di mana pasien tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungannya
c. Delirium (GCS = 11-10)
Penurunan tingkat kesadaran seseorang yang disertai kekacauan
motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien akan tampak
gelisah, kacau, disorientasi, dan meronta-ronta.

7
d. Somnolen (GCS = 9-7)
Yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila
dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.
Pada somnolen jumlah jam tidur meningkat dan reaksi psikologis
menjadi lambat
e. Stupor/sopor (GCS = 6-5)
Yaitu keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri,
tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan
jawaban verbal yang baik
f. Semi coma (GCS = 4)
Yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons
terhadap rangsang verbal dan tidak dapat dibangunkan sama sekali,
tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang
nyeri tidak adekuat.
g. Coma (GCS = 3)
Koma merupakan penurunan kesadaran yang terjadi sangat
dalam. Pada tubuh pengidapnya tidak ada gerakan spontan dan tak ada
respon terhadap nyeri yang dirasakan.

3. Status Gizi
Status gizi adalah salah satu unsur penting dalam membentuk status
kesehatan. Penilaian status gizi merupakan upaya interpretasi atas hasil
pengukuran antropometri. Antropometri merupakan salah satu cara
penilaian status gizi yang berhubungan dengan ukuran tubuh yang
disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Interpretasi hasil
pengukuran antropometri dapat digunakan untuk melakukan skrining kasus
kurang gizi atau skrining terhadap risiko penyakit metabolik. Interpretasi
yang benar dapat membantu tenaga kesehatan untuk mengenali faktor-
faktor risiko terhadap berbagai penyakit. Salah satu cara untuk menentukan
status gizi adalah dengan membandingkan Berat Badan dan Tinggi Badan
yang dikenal dengan perhitungan Index Massa Tubuh (IMT).

8
Tabel 2 : Nilai Indeks Massa Tubuh

4. Vital Sign
Vital sign atau tanda-tanda vital adalah ukuran statistik berbagai
fisiologis yang digunakan untuk membantu menentukan status kesehatan
seseorang, terutama pada pasien yang secara medis tidak stabil atau
memiliki faktor-faktor resiko komplikasi kardiopulmonal dan untuk menilai
respon terhadap intervensi. Tanda vital juga berguna untuk menentukan
dosis yang adekuat bagi tindakan fisioterapi, khususnya exercise. Vital sign
terdiri atas :
a. Tekanan darah
Tekanan darah pada pembuluh arteri ketika darah di pompa oleh
jantung ke seluruh anggota tubuh. Pengukuran tekanan darah dapat di
ukur melalui nilai sistolik dan diastolik. Tekanan darah dapat diukur
dengan alat sphygmomanometer dan stestoskop untuk mendengar
denyut nadi.
Cara mengukur tekanan darah :
1. Memasang manset dengan kriteria :
- Posisikan lengan atas sejajar dengan jantung
- Lengan baju tidak terlilit manset
- Tepi bawah manset 2-3 cm di atas fossa cubiti

9
- Balon dalam manset harus menutupi lengan atas di sisi ulnar
(di atas a. brachialis)
- Pipa karet tidak menutupi fossa cubiti. (Manset diikat cukup
ketat tetapi tidak membendung vena).
2. Palpasi denyut a. brachialis untuk menentukan tempat meletakkan
membran stetoskop
3. Memompa manset sambil meraba a. brachialis atau a. radialis
hingga denyut hilang. Kemudian menaikkan tekanan manset 30
mmHg ± 5 mmHg
4. Menurunkan tekanan manset secara lancar dengan kecepatan tetap
(2-4 mmHg/detik) sambil mendengarkan bunyi aliran darah
5. Melaporkan hasil pengukuran tekanan darah
b. Denyut nadi
Pada pemeriksaan denyut nadi yang dinilai ada 3 yaitu :
- Frekunsi denyut nadi
Sangat bervariasi, tergantung dari banyak faktor yang
mempengaruhinya, frekuensi nadi pada saat aktivitas normal :
Normal = 60-100 x/mnt
Bradikardi = < 60x/mnt
Takhikardi = > 100x/mnt
- Irama : Reguler / Irreguler
- Isi, Kualitas nadi

Pengukuran denyut nadi dapat dilakukan pada :


1. Arteri Radialis
Terletak sepanjang tulang radialis, lebih mudah teraba di atas
pergelangan tangan pada sisi ibu jari. Relatif mudah dan sering
dipakai secara rutin

10
Gambar 1 : Pemeriksaan nadi arteri radialis

2. Arteri Brachialis
Terlertak di dalam otot biceps dari lengan atau medial di
lipatan siku, digunakan untuk mengukur tekanan udara.

Gambar 2 : Pemeriksaan nadi arteri brachialis

3. Arteri Karotis
Arteri karotis adalah pembuluh darah utama yang
mengirimkan darah ke otak. Satu arteri karotis terletak di setiap sisi
leher kanan dan leher kiri, arteri karotid berjalan diantara trakea dan
m. sternokleidomastoideus.

Gambar 3 : Pemeriksaan nadi arteri karotis

11
4. Arteri Poplitea

Gambar 4 : Pemeriksaan nadi arteri poplitea

5. Arteri Dorsalis Pedis

Gambar 5 : Pemeriksaan nadi arteri dorsalis pedis

6. Arteri Tibialis Posterior

Gambar 6 : Pemeriksaan nadi arteri tibialis posterior


c. Suhu tubuh
Temperatur (suhu) merupakan besaran pokok yang mengukur
derajat panas suatu benda/makhluk hidup. Suhu tubuh dihasilkan dari :
- Laju metabolisme basal diseluruh tubuh
- Aktifitas otot
- Metabolisme tambahan karena pengaruh hormone

12
Dalam pemeriksaan suhu tubuh alat yang digunakan adalah
thermometer, suhu tubuh normal adalah 36,5℃-37,5℃. Jenis
termometer yang biasa dipakai untuk mengukur suhu tubuh adalah
termometer air raksa dan digital. Metode mengukur suhu tubuh :
- Termometer diletakkan dibawah lidah tiga sampai lima menit.
Tidak dianjurkan pada bayi
- Metode yang paling sering di lakukan. Dilakukan 5-10 menit
dengan menggunakan termometer raksa. Suhu aksila lebih rendah
0.6° C (1°F) dari pada oral 3) Rectal.
- Suhu rektal biasanya berkisar 0.4°C (0.7°F) lebih tinggi dari suhu
oral
d. Respiratory rate (RR)
Respiratory rate (Normal: 16-20 kali/menit). Jika pernapasan lebih
dari 20 x/menit disebut takipnea dan bradipnea bilapernapasan kurang
dari 10 x/menit.

B. Pemeriksaan Kepala dan Leher


Pemeriksaan Kepala
Pada saat melakukan pemeriksaan kepala posisi penderita duduk
berhadapan dengan pemeriksa dengan mata sama tinggi dengan penderita.
Pertama kali yang dilihat adalah bentuk dan ukuran kepala, apakah terdapat
hidrosefalus, mikrosefalus atau mesosefal, apakah terdapat tonjolan tulang,
apakah terdapat asimetri pada kepala dan wajah.
1. Pemeriksaan wajah
Pada pemeriksaan ini dapat dilihat apakah pucat, sianosis atau ikterik.
Pucat kemungkinan adanya insufisiensi aorta atau anemia, sianosis mungkin
terjadi pada penderita dengan cacat jantung bawaan dan ikterik mungkin
dapat disebabkan oleh hepatitis atau tumor pankreas. Penampilan wajah
sering merupakan ciri suatu penyakit, misalnya fasies leonina yang terjadi
pada penderita kusta. Wajah mongoloid maupun pada penyakit Parkinson
sangat khas, yaitu wajah tanpa ekspresi/ wajah topeng. Adanya asimetri
wajah menunjukkan kemungkinan adanya kelumpuhan pada syaraf kranial

13
terutama nervus fasialis atau Bells palsy. Asimetri pada wajah dapat
mengarahkan adanya kelainan pada kelenjar parotis akibat parotitis ataupun
tumor pada parotis.

Gambar 7 : Facies leonina pada Morbus Hansen (kiri) dan facies


mongoloid pada Down Syndrome (kanan)

2. Pemeriksaan rambut
Dalam melakukan pemeriksaan pada rambut, yang harus diperhatikan
adalah warna, jumlah dan distribusi rambut. Pada alopesia areata terjadi
kerontokan rambut yang terjadi mendadak dan berbentuk oval maupun bulat
tanpa disertai adanya tanda-tanda inflamasi. Penderita malnutrisi, rambut
akan mudah dicabut, berwarna kecoklatan dan kering.
3. Pemeriksaan Mata
Dengan tehnik inspeksi dan palpasi :
a. Inspeksi
- Kelengkapan dan kesimetrisan mata pasien (lengkap / tidak, simetris
/ tidak)
- Kelopak Mata : Terhadap ada tidaknya edema, ada tidaknya
lingkaran hitam di sekitar mata, dapat menutup dengan rapat atau
tidak
- Bulu mata : Inspeksi terhadap ada tidaknya bulu mata, arah
pertumbuhannya, bentuknya
- Conjunctiva : Inspeksi terhadap warna, tarik kelopak mata bagian
bawah dan amati konjungtiva (pucat / tidak), adakah peradangan/
perdarahan (warna kemerahan), kiste perlukaan

14
- Sklera mata : Inspeksi terhadap warna, ada tidaknya perdarahan
atau juga ada tidaknya ikterus
- Pupil : Inspeksi terhadap respon cahaya, ukuran, bentuk
- Iris/lensa mata/kornea : Inspeksi terhadap warna atau kekeruhan
- Lakukan test ketajaman penglihatan, periksa visus Okuli Dekstra
(OD) dan Okuli Sinistra (OS)
1. Dengan grafik alfabet Snellen di jarak 5 – 6 meter. Visus 5/5 atau
6/6 = normal
2. > 3/60 = (Normal) Mampu melihat dengan hitung jari
3. 1/300 = Mampu melihat dengan lambaian tangan
4. 1/ ~ = Mampu melihat gelap dan terang
5. 0 = Tidak mampu melihat
b. Palpasi
Mengetahui kekenyalan bola mata dengan menggunakan kedua
jari telunjuk dalam keadaan mata tertutup
4. Pemeriksaan Hidung
a. Inspeksi hidung eksternal
Perhatikan permukaan hidung, ada atau tidak asimetri,deformitas
atau inflamasi
b. Inspeksi bagian dalam dengan speculum
- Perhatikan mukosa yang menutup septum dan turbinasi, warnanya
dan setiap pembengkakan. Kemungkinan yang ditemukan : mukosa
oedema dan kemerahan pada rinitis oleh virus, oedema dan pucat
pada rinitis alergik, polip, ulkus karena penggunaan kokain
- Posisi dan integritas septum nasi. Kemungkinan yang ditemukan :
deviasi atau perforasi septum nasi
5. Pemeriksaan Mulut dan Faring
a. Bibir : Perhatikan warna, kelembaban, oedema, ulserasi atau pecah-
pecah. Kemungkinan kelainan yang ditemukan : sianosis dan pucat
b. Mukosa oral : Mintalah pasien untuk membuka mulut. Dengan
pencahayaan yang baik dan bantuan tongue spatel, lakukan inspeksi

15
mukosa oral. Perhatikan warna mukosa, pigmentasi, ulserasi dan nodul.
Bercak-bercak pigmentasi normal pada kulit hitam
c. Gusi dan gigi : Perhatikan inflamasi, oedema, perdarahan, retraksi atau
perubahan warna gusi, gigi tanggal atau hilang
d. Langit-langit mulut : Perhatikan warna dan bentuk langit-langit mulut.
Kemungkinan yang ditemukan : torus palatinus
e. Lidah : Perhatikan pula dasar mulut, termasuk warna dan papila.
Kemungkinan yang ditemukan : glositis, paralisis syaraf kranial ke-12
f. Mintalah pasien untuk membuka mulut, dengan bantuan tongue spatel
lidah kita tekan pada bagian tengah, mintalah pasien mengucapkan
”aaah”. Perhatikan warna atau eksudat, simetri dari langit-langit lunak.
Kemungkinan yang ditemukan : faringitis, paralisis syaraf kranial ke-10

Pemeriksaan Leher
Inspeksi pada leher untuk melihat adanya asimetri, denyutan abnormal,
tumor, keterbatasan gerakan dalam range of motion (ROM) maupun pembesaran
kelenjar limfe dan tiroid. Pemeriksaan palpasi leher dilakukan pada tulang hioid,
tulang rawan tiroid, kelenjar tiroid, muskulus sternokleidomastoideus, pembuluh
karotis dan kelenjar limfe. Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi (bilateral)
bersamaan.
1. Bentuk Leher
Leher yang panjang terdapat pada orang-orang dengan bentuk badan
ektomorf, kahektis, atau pasien tuberkulosis paru yang lama. Leher yang
pendek dan gemuk terdapat pada orang dengan bentuk badan endomorf,
obesitas, sindrom Cushing, miksedema, kretinisme. Leher bersayap (webed
neck) terdapat pada pasien sindrom Turner.
2. Otot-otot leher
Dengan menyuruh pasien menengok ke kiri dan ke kanan, kita dapat
memeriksa m.Sternokleidomastoideus. Bila pasien tidak dapat menengok,
mungkin terdapat kelumpuhan otot ini.
Otot lain yang juga harus diperiksa adalah m. Trapezius. Perhatikan
keadaan otot ini dalam keadaan istirahat, perhatikan posisi bahu, apakah

16
sama tinggi. Bila terdapat kelumpuhan m. Trapezius, maka bahu sisi yang
lumpuh akan lebih rendah daripada bahu sisi yang sehat. Kemudian letakkan
kedua tangan kita masing-masing pada bahu kiri dan kanan pasien; suruh
pasien mengangkat bahunya dan kita tahan dengan tangan; bandingkan
kekuatan otot itu kiri dan kanan. Kontraksi otot leher yang berlebihan, akan
mengakibatkan kepala dan leher berdeviasi dan berputar; keadaan ini
disbbut tortikolis.
3. Kelenjar getah bening leher
Hampir semua bentuk radang dan keganasan kepala dan leher akan
melibatkan kelenjar getah bening leher. Bila ditemukan pembesaran
kelenjar getak bening di leher, perhatikan ukurannya; apakah nyeri atau
tidak; bagaimana konsistensinya, apakah lunak, kenyal atau keras; apakah
melekat pada dasar atau pada kulit.

Gambar 8 : Kelenjar getah bening leher

Menurut Sloan Kattering Memoriol Concer Center Clossification,


kelenjar getah bening leher dibagi atas 5 daerah penyebaran, yaitu :
a. Kelenjar yang terletak di segitiga submental dan submandibular
b. Kelenjar yang terletak di seper tiga atas dan termasuk kelenjar getah
bening jugularis superiol kelenjar digastrik dan kelenjar servikal
posterior

17
c. Kelenjar getah bening jugularis di antara bifurkasio karotis dan
persilangan m. Omohioid dengan m. Sternokleidomastoideus dan
batas posterior m. Sternokleidomasteoideus
d. Grup kelenjar getah bening di daerah jugularis inferior dan
supraklavikula
e. Kelenjar getah bening yang berada di segitiga posterior servikal

4. Trakea
Perhatikan letak trakea, apakah di tengah atau bergeser atau tertarik
ke samping. Jika ada deviasi pastikan cara memeriksanya dengan
meletakkan jari telunjuk pada diantara trakea dan sternomastoid,
bandingkan pada kedua sisi. Tempatnya yang normal seharusnya simetris di
kanan-kiri linea mediana.

Gambar 9 : Pemeriksaan palpasi trakea

5. Kelenjar tiroid
Tiroid diperiksa dengan cara inspeksi dan palpasi. Palpasi tiroid
dilakukan dari belakang pasien, kemudian pasien disuruh menelan, bila
yang teraba tiroid, maka benjolan tersebut akan ikut bergerak sesuai dengan
gerak menelan. Pembesaran tiroid disebut struma. Perhatikan ukuran tiroid,
konsistensinya, apakah noduler atau difus, adanya nyeri tekan. Kemudian
lakukan auskultasi, bila terdengar bising (bruit), menunjukkan struma
tersebut banyak vaskularisasinya. Struma yang noduler disebut struma
nodusa;. sedangkan struma yang difus disebut struma difusa.

18
Gambar 10 : Inspeksi kelenjar tiroid saat istirahat (kiri) dan pada
pergerakan meneran (kanan)

Cara pemeriksaan kelenjar tiroid :


1. Mempersilahkan pasien duduk dan sedikit mengekstensikan kepala
2. Melakukan inspeksi dari depan pada daerah kelenjar tiroid dengan cara
menginstruksikan pasien melakukan gerakan menelan dan
mengidentifikasi adanya simetrisitas kanan dan kiri, kelainan kelenjar
tiroid berupa pembesaran, pulsasi, dan tanda peradangan
3. Pemeriksa berdiri di belakang pasien
4. Melakukan palpasi pada kelenjar tiroid dengan menggunakan ujung jari
dari kedua tangan dengan cara menginstruksikan pasien melakukan
gerakan menelan dan merasakan kelenjar tiroid pada saat kelenjar
tersebut bergerak.
Mengidentifikasi adanya : thrill, ukuran, konsistensi, jumlah nodul,
simetrisitas kanan dan kiri, kontur permukaan, pulsasi, dan nyeri
5. Apabila teraba pembesaran, pemeriksa berpindah ke depan pasien untuk
mengukur ukuran nodul, dengan menggunakan kaliper atau pita
pengukur
6. Memeriksa adanya bruit pada kelenjar tiroid dengan menggunakan
stetoskop

19
6. Pengukuran Jugularis Venous Pressure (JVP)
Pemeriksaan vena jugularis, dapat memberikan gambaran tentang
aktifitas jantung. Pada keadaan gagal jantung maka tekanan vena jugularis
akan meningkat, yang menunjukkan terhambatnya pengisian ventrikel. Pada
keadaan yang lebih dini dari gagal jantung akan terjadi konstriksi vena
sebelum peningkatan tekanan vena terjadi.

Gambar 11 : Pemeriksaan Jugularis Venous Pressure (JVP)

Pengukuran tekanan vena jugularis dilakukan sebagai berikut :


1. Posisikan pasien tidur terlentang dengan bantal dengan membentuk
sudur 30-45°
2. Menekan vena dengan 1 jari disebelah atas clavicula
3. Menekan vena disebelah atas dekat mandibula dengan jari yang lain
4. Melepas tekanan disebelah bawah di atas clavicula
5. Menunjuk (berikan tanda) dimana vena terisi waktu inspirasi biasa
6. Membuat bidang datar melalui angulus ludovici sejajar lantai
7. Menghitung jarak antara puncak pengisian vena dengan bidang datar
yang melalui angulus ludovici

C. Pemeriksaan Thorax
Pemeriksaan dada dan paru bagian depan dilakukan pada pasien dengan
posisi berbaring terlentang, sedangkan pemeriksaan dada dan paru belakang
pada pasien dengan posisi duduk. Pada saat pasien duduk kedua lengannya
menyilang pada dada sehingga kedua tangan dapat diletakkan pada masing-
masing bahu secara kontralateral. Dengan 20ea rah20 kedua 20ea rah akan
bergeser 20ea rah lateral sehingga dapat memperluas lapangan paru yang

20
diperiksa. Pakaian pasien diatur sedemikian rupa sehingga seluruh dada dapat
diperiksa. Pada perempuan pada saat memeriksa dada dan paru belakang maka
dada bagian depan ditutup. Pada pasien dengan keadaan umum yang lemah bila
perlu dibantu agar bisa didudukkan sehingga dada bagian posterior dapat
diperiksa. Bila hal ini tidak memungkinkan maka pasien dimiringkan ke salah
satu sisi, kemudian ke sisi yang lainnya. Pemeriksaan pada thorax sebagai
berikut :
1. Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk mengetahui adanya lesi pada dinding dada,
kelainan bentuk dada, menilai frekuensi, sifat dan pola pernapasan.
a. Kelainan dinding dada
Kelainan-kelainan yang bisa didapatkan pada dinding dada yaitu
parut bekas operasi, pelebaran vena-vena superfisial akibat bendungan
vena, spider naevi, ginekomastia tumor, luka operasi dan lain-lain.

Gambar 12 : Spider navy pada thorax

b. Kelainan bentuk dada


Dada yang normal mempunyai diameter latero-lateral yang lebih
besar dari diametera nteroposterior.
Kelainan bentuk dada yang bisa didapatkan yaitu :
1. Dada paralitikum
- Dada kecil, diameter sagital pendek
- Sela iga sempit, iga lebih miring, Angulus costae <90 derajat
- Terdapat pada pasien dengan malnutrisi
2. Dada emfisema (Barrel chest)
- Dada mengembang, diameter anteroposterior lebih besar dari
diameter latero-lateral

21
- Tulang punggung melengkung (kifosis), Angulus costqe >90
derajat
- Terdapat pada pasien dengan bronkitis kronis, PPOK

Gambar 13 : Perbedaan normal chest (kiri) dan


barrel chest (kanan)
3. Pectus excavatum : Dada dengan tulang sternum yang mencekung ke
dalam
4. Pectus corinatum (pigeon chest atau dada burung) : Dada dengan
tulang sternum menonjol ke depan

Gambar 14 : Insperksi pada pectus excavatum (kiri) dan


pecus corinatum (kanan)
5. Kifosis : Kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah
posterior. Kelainan ini akan terlihat jelas bila pemeriksaan dilakukan
dari arah lateral pasien
6. Skoliosis : Kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah
lateral. Kelainan ini terlihat jelas pada pemeriksaan dari posterior

22
c. Frekuensi Pernafasan
Frekuensi pernapasan normal 14-20 kali per menit. Pernapasan
kurang dari 14 kali permenit disebut bradipnea, misalnya akibat
pemakaian obat-obat narkotik, dan kelainan serebral. Pernapasan lebih
dari 20 kali per menit disebut takipnea, misalnya pada pneumonia,
ansietas, dan asidosis.
d. Jenis pernapasan
Beberapa macam jenis pernapasan :
1. Torakal, misalnya pada pasien sakit tumor abdomen, peritonitis
umum
2. Abdominal misalnya pasien PPOK lanjut
3. Kombinasi (jenis pernapasan ini yang terbanyak). Pada perempuan
sehat umumnya pernapasan torakal lebih dominan dan disebut
torakoabdominal. Sedangkan pada laki-laki sehat, pernapasan
abdominal lebih dominan dan disebut abdomino-torakal. Keadaan ini
disebabkan bentuk anatomi dada dan perut perempuan berbeda dari
laki-laki. Perhatikan juga apakah terdapat pemakaian otot-otot bantu
pernapasan misalnya pada pasien tuberkulosis paru lanjut atau
PPOK. Di samping itu adakah terlihat bagian dada yang tertinggal
dalam pernapasan dan bila ada, keadaan ini menunjukkan adanya
gangguan pada daerah tersebut
4. Jenis pernapasan lain yaitu pursed lips breothing (pernapasan seperti
menghembus sesuatu melalui mulut, didapatkan pada pasien PPOK)
dan pernapasan cuping hidung misalnya pada pasien pneumonia.
e. Pola Pernafasan
Irama pernapasan normal berlangsung secara teratur ditandai dengan
adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi yang silih berganti. Macam
irama pernapasan tidak normal :
1. Takipnea : napas cepat dan dangkal
2. Hiperpnea/hiperventilasi : napas cepat dan dalam
3. Bradipnea : napas yang lambat

23
4. Pernapasan Cheyne Stokes : irama pernapasan yang ditandai dengan
adanya periode apnea (berhentinya gerakan pernapasan) kemudian
disusul periode hiperpnea (pernapasan mulamula kecil
amplitudonya kemudian cepat membesar dan kemudian mengecil
lagi). Siklus ini terjadi berulang-ulang. Terdapat pada pasien dengan
kerusakan otak, hipoksia kronik. Hal ini terjadi karena terlambatnya
respons reseptor klinis medula otak terhadap pertukaran gas.
5. Pernapasan Biot (Ataxic breothing) : jenis pernapasan yang tidak
teratur baik dalam hal frekuensi maupun amplitudonya. Terdapat
pada cedera otak. Bentuk kelainan, irama pernapasan tersebut,
kadangkadang dapat ditemukan pada orang normal tapi gemuk
(obesitas) atau pada waktu tidur. Keadaan ini biasanya merupakan
pertanda yang kurang baik
6. Sighing respiration : pola perna pasa n norma I yan g diselingi oleh
tarikan na-pas yang dalam
2. Palpasi
Palpasi dinding dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis
a. Palpasi dalam keadaan statis.
Pemeriksaan palpasi yang dilakukan pada keadaan ini adalah sebagai
berikut :
- Pemeriksaan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang
membesar didaerah supraklavikula dapat memberikan petunjuk
adanya proses di daerah paru seperti kanker paru. Pemeriksaan
kelenjar getah bening ini dapat diteruskan ke daerah submandibula
dan kedua aksila
- Pemeriksaan palpasi selanjutnya diteruskan ke daerah dada depan
dengan jari tangan untuk mengetahui adanya kelainan dinding dada
misalnya tumori nyeri tekan pada dinding dada, krepitasi akibat
emfisema subkutis dan lain-lain
b. Palpasi dalam keadaan dinamis
Pada keadaan ini dapat dilakukan pemeriksaan untuk menilai ekspansi
paru serta pemeriksaan vokal fremitus

24
- Pemeriksaan ekspansi paru
Dalam keadaan normal kedua sisi dada harus sama-sama
mengembang selama inspirasi biasa maupun inspirasi maksimal.
Pengembangan paru bagian atas dilakukan dengan mengamati
pergerakan kedua klavikula. Berkurangnya gerakan pada salah satu
sisi menunjukkan adanya kelainan pada sisi tersebut. Untuk menilai
pengembangan paru bagian bawah dilakukan pemeriksaan dengan
meletakkan kedua telapak tangan dan ibu jari secara simetris pada
masing-masing tepi iga, sedangkan jari-jari lainnya menjulur
sepanjang sisi lateral lengkung iga. Kedua ibu jari harus saling
berdekatan atau hampir bertemu di garis tengah dan sedikit diangkat
ke atas sehingga dapat-bergerak bebas saat bernapas. Pada saat
pasien menarik napas dalam kedua ibu jari akan bergerak secara
simetris. Berkurangnya ekspansi dada pada salah satu sisi akan
menyebabkan gerakan kedua ibu jari menjadi tidak simetris dan ini
memberikan petunjuk adanya kelainanpada sisi tersebut

Gambar 15 : Pemeriksaan ekspansi paru dinding thorax


anterior dan posterior

- Pemeriksaan vokal fremitus


Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meletakkan kedua
telapak tangan pada permukaan dinding dada, kemudian pasien
diminta menyebutkan angka 77 atau 99, sehingga getaran suara akan
lebihjelas. Rasakan dengan teliti getaran suara yang ditimbulkannya.
Pemeriksaan ini disebut toctile fremitus. Bandingkan toctile fremitus
secara bertahap dari atas ke tengah dan seterusnya ke bawah
baikpida paru bagian depan maupun belakang. Pada saat
pemeriksaan kedua telapak tangan harus selalu disilang secara

25
bergantian. Hasil pemeriksaan fremitus ini dilaporkan sebagai
normal, melemah atau mengeras. Fremitus yang melemah
didapatkan pada penyakit empiema, hidrotoraks, atelektasis.
Fremitus yang mengeras terjadi karena adanya infiltrat pada
parenkim paru (misalnya pada pneumonia, tuberkulosis paru aktif).

Gambar 16 : Pemeriksaan vokal fremitus pada dinding


thorax anterior

3. Perkusi
Perkusi dilakukan dengan meletakkan telapak tangan kiri pada dinding
dada dengan jari-jari sedikit meregang. Jari tengah tangan kiri tersebut
ditekan ke dinding dada sejajar dengan iga pada daerah yang akan diperkusi.
Bagian tengah falang medial tangan kiri tersebut kemudian diketuk dengan
menggunakan ujung jari tengah tangan kanan, dengan sendi pergelangan
tangan sebagai penggerak.

Gambar 17 : Posisi tangan pemeriksa Ketika melakukan perkusi

Berdasarkan patogenesisnya bunyi ketukan yang terdengar dapat


bermacam-macam yaitu :
- Sonor (resonant) : terjadi bila udara dalam paru (alveoli) cukup banyak,
terdapat pada paru yang normal

26
- Hipersonor (Hiperresonant) : terjadi bila udara di dalam paru/dada
menjadi jauh lebih banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas besar
yang letaknya superfisial, pneumotoraks dan bula yang besar
- Redup (dull) : bila bagian yang padat lebih banyak daripada udara
misalnya adanya infiltrat/ konsolidasi akibat pneumonia, efusi pleura
yang sedang
- Pekak (flat / stony dull) : terdapat pada jaringan yang tidak mengandung
udara di dalamnya, misalnya pada tumor paru, efusi pleura masif
4. Auskultasi
Auskultasi merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menilai
aliran udara melalui sistem trakeobronkial. Pemeriksaan auskultasi ini
meliputi pemeriksaan suara napas pokok, pemeriksaan suara napas
tambahan dan jika didapatkan adanya kelainan dilakukan pemeriksaan
untuk mendengarkan suara ucapan atau bisikan pasien yang dihantarkan
melalui dinding dada. Pola suara napas diuraikan berdasarkan intensitas,
frekuensi serta lamanya fase inspirasi dan ekspirasi. Auskultasi dilakukan
secara berurutan dan selang seling baik pada paru bagian depan maupun
belakang. Suara napas pokok yang normal terdiri dari :
a. Vesikular : suara napas pokok yang lembut dengan frekuensi rendah
dimana fase inspirasi langsung diikuti dengan fase ekspirasi tanpa
diselingi jeda, dengan perbandingan 3: 1. Dapat didengarkan pada
hampir kedua lapangan paru
b. Bronkovesikular : suara napas pokok dengan intensitas dan frekuensi
yang sedang, di mana fase ekspirasi menjadi lebih panjang sehingga
hampir menyamai fase inspirasi dan diantaranya kadang-kadang dapat
diselingi jeda. Dalam keadaan normal bisa didapatkan pada dinding
anterior setinggi ICS l dan 2 serta daerah interskapula
c. Bronkial : suara napas pokok yang keras dan berfrekuensi tinggi, dimana
fase ekspirasi menjadi lebih panjang dari fase inspirasi dan diantaranya
diselingi jeda. Terjadi perubahan kualitas suara sehingga terdengar
seperti tiupan dalam tabung, dalam keadaan normal dapat didengar pada
daerah manubrium sterni

27
d. Trakeal : suara napas yang sangat keras dan kasar, dapat didengarkan
pada daerah trakea
e. Amforik : suara napas yang didapatkan bila terdapat kavitas besar yang
letaknya perifer dan berhubungan dengan bronkus, terdengar seperti
tiupan dalam botol kosong
Dalam keadaan normal suara napas vesikular yang berasal dari alveoli
dapat didengar pada hampir seluruh lapangan paru. Sebaliknya suara napas
bronkial tidak akan terdengar karena getaran suara yang berasal dari
bronkus tersebut tidak dapat dihantarkan ke dinding dada karena dihambat
oleh udara yang terdapat di dalam alveoli. Dalam keadaan abnormal
misalnya pneumonia dimana alveoli terisi infiltrat maka.udara di dalamnya
akan berkurang atau menghilang. Infiltrat yang merupakan penghantar
getaran suara yang baik akan menghantarkan suara bronkial sampai ke
dinding dada sehingga dapat terdengar sebagai suara napas bronkovesikuler
(bila hanya sebagian alveoli yang terisi infiltrat) atau bronkial (bila seluruh
alveoli terisi infiltrat). Suara napas tambahan terdiri dari :
a. Ronki basah (crockles atau roles) : Suara napas yang terputus-putus,
bersifat nonmusicol, dan biasanya terdengar pada saat inspirasi akibat
udara yang melewati cairan dalam saluran napas. Ronki basah lebih
lanjut dibagi menjadi ronki basah halus dan kasar tergantung besarnya
bronkus yang terkena. Ronki basah halus terjadi karena adanya cairan
pada bronkiolus, sedangkan yang lebih halus lagi berasal dari alveoli
yang sering disebut krepitasi, akibat terbukanya alveoli pada akhir
inspirasi. Krepitasi terutama dapat didengar fibrosis paru. Sifat ronki
basah ini dapat bersifat nyaring (bila ada infiltrat misalnya pada
pneumonia) ataupun tidak nyaring (pada edema paru)
b. Ronki kering : Suara napas kontinyu, yang bersifat musical, dengan
frekuensi yang relatif rendah, terjadi karena udara mengalir melalui
saluran napas yang menyempit, misalnya akibat adanya sekret yang
kental. Wheezing adalah ronki kering yang frekuensinya tinggi dan
panjang yang biasanya terdengar pada serangan asma

28
c. Bunyi gesekan pleura (Pleural friction rub) : Terjadi karena pleura
parietal dan viseral yang meradang saling bergesekan satu dengan yang
lainnya. Pleura yang meradang akan menebal atau menjadi kasar. Bunyi
gesekan ini terdengar pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi
d. Suara berbisik (The Whispered Voice) : Dalam keadaan tidak
memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan suara napas secara
memuaskan, misalnya nyeri dada bila bernapas atau keadaan keletihan,
maka dapat dilakukan pemeriksaan suara berbisik (the whispered voice).
Dimana pasien disuruh mengucapkan kata 77 (tujuh - tujuh) secara
berbisik sementara pemeriksa mendengarkan dengan stetoskop pada
seluruh lapangan paru. Pada kelainan infiltrat maka suara berbisik
tersebut akan terdengar jelas pada pangkal telinga kita dan disebut
bronchial whispered positif dapat mendeteksi infiltrat yang kecil /
minimal
e. Hippocrotes succussion : suara cairan pada rongga dada yang terdengar
bila pasien digoyang-goyangkan. Biasanya didapatkan pada pasien
dengan hidropneumotoraks

D. Pemeriksaan Jantung
Pada saat melakukan pemeriksaan fisis kardiovaskular pengetahuan
mengenai anatomi dan fisiologi jantung serta sistem pembuluh darah harus
diketahui dengan baik. Bagian-bagian jantung beserta posisi dari semua katup
jantung harus diingat dengan benar.

Gambar 18 : Letak posisi katub jantung

29
Batas-batas jantung dijelaskan sebagai berikut :
- Batas atas jantung : dimulai dari batas bawah tulang rawan iga ke-2 sebelah
kiri ke batas atas tulang rawan iga ke-2 sebelah kanan
- Batas bawah jantung : dimulai dari tulang rawan iga ke 6 kanan hingga ke
apeks jantung di sela iga ke-5 garis midklavikula kiri
- Batas kanan dan kiri jantung : mengikuti garis yang menghubungkan ujung
kiri dan kanan batas atas dan bawah jantung. Batas kanan dan kiri jantung
disebut juga batas pulmonal

Secara umum, pemeriksaan jantung meliputi :


1. Inspeksi
Inspeksi habitus, bentuk dada, dan kelainan yang ditemukan. Inspeksi
dada terutama untuk mencari adanya asimetri bentuk dada. Adanya asimetri
bentuk rongga dada dapat menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal
dalam jangka panjang. Inspeksi letak iktus kordis dan menyebutkan dengan
benar letak iktus kordis (apabila terlihat). Pada orang dewasa normal yang
agak kurus, seringkali tampak dengan mudah pulsasi yang disebut ictus
cordis pada sela iga V, linea midclavicularis kiri. Pulsasi ini letaknya sesuai
dengan apeks jantung.
2. Palpasi
Dengan palpasi dapat mencari iktus kordis (bila tidak terlihat pada
inspeksi) dan mengkonfirmasi karakteristik iktus kordis. Palpasi dilakukan
dengan cara :
1. Meletakkan sisi palmar jari-jari tangan atau seluruh telapak tangan pada
dinding toraks di lokasi apeks jantung
2. Jika iktus kordis tidak dapat diidentifikasi dengan posisi supine, meminta
pasien untuk mengangkat lengan kiri pada posisi lateral dekubitus kiri.
Palpasi kembali dengan tekanan lembut.
3. Pada palpasi iktus kordis, identifikasi pula apakah ada thrill, heaving,
lifting, atau tapping.
3. Perkusi
Perkusi merupakan metode pemeriksaan dengan cara mengetuk-ngetuk
permukaan, dalam hal ini dinding dada, untuk menentukan struktur yang ada

30
di bawahnya. Kegunaan perkusi adalah menentukan batas-batas jantung, ,
terutama pada pembesaran jantung. Perkusi batas kiri redam jantung (LBCD
- left border of cardiac dullness) dilakukan dari lateral ke medial dimulai
dari sela iga 5, 4 dan 3. LBCD terdapat kurang lebih 1-2 cm di sebelah medial
linea midklavikularis kiri dan bergeser 1 cm ke medial pada sela iga 4 dan 3.
Batas kanan redam jantung (RBCD - right border of cardiac dullness)
dilakukan dengan perkusi bagian lateral kanan dari sternum. Pada keadaan
normal RBCD akan berada di medial batas dalam sternum. Kepekakan
RBCD diluar batas kanan sternum mencerminkan adanya bagian jantung
yang membesar atau bergeser ke kanan.

Gambar 19 : Batas, ukuran dan bentuk jantung

Batasan normal jantung :


- ICS II (area aorta pada sebelah kanan dan pulmonal pada sebelah kiri)
- ICS V Mid Sternalis kiri (area katup trikuspid atau ventrikel kanan)
- ICS V Mid Clavikula kiri (area katup mitral)

Untuk mengetahui batas, ukuran dan bentuk jantung secara kasar.


Batas-batas jantung normal adalah :
- Batas atas : ICS II Mid sternalis
- Batas bawah : ICS V
- Batas Kiri : ICS V Midclavikula kiri
- Batas Kanan: ICS IV Midsternalis kanan
4. Auskultasi
Pemeriksaan auskultasi merupakan pemeriksaan fisik terpenting pada
jantung. Auskultasi jantung berguna untuk menemukan bunyi-bunyi yang

31
diakibatkan oleh adanya kelainan struktur jantung dan perubahan-perubahan
aliran darah yang ditimbulkan selama siklus jantung. Bunyi yang timbul
akibat aktifitas jantung dapat dibagi dalam :
- BJ1 : disebabkan karena getaran menutupnya katup atrioventrikuler
terutama katup mitral, getaran karena kontraksi otot miokard serta aliran
cepat saat katup semiluner mulai terbuka. Pada keadaan normal terdengar
tunggal
- BJ2 : disebabkan karena getaran menutupnya katup semilunaris aorta
maupun pulmonalis. Pada keadaan normal terdengar pemisahan
(splitting) dari kedua komponen yang bervariasi dengan pernafasan pada
anak-anak atau orang muda
- BJ3 : disebabkan karena getaran cepat dari aliran darah saat pengisian
cepat (rapid filling phase) dari ventrikel. Hanya terdengar pada anak-
anak atau orang 17 dewasa muda (fisiologis) atau keadaan dimana
komplians otot ventrikel menurun (hipertrofi/ dilatasi)
- BJ4 : disebabkan kontraksi atrium yang mengalirkan darah ke ventrikel
yang kompliansnya menurun. Jika atrium tak berkontraksi dengan efisien
misalnya fibrilasi atrium maka bunyi jantung 4 tak terdengar

Gambar 20 : Posisi pemeriksaan auskultasi katup jantung

Cara pemeriksaan auskultasi jantung :


1. Melakukan pemeriksaan auskultasi sambil membandingkan dengan
meraba pulsasi arteri karotis
2. Auskultasi pada daerah sela iga 2 linea parasternalis kanan untuk
mendengarkan bunyi katup aorta

32
3. Auskultasi pada daerah sela iga 2 linea parasternalis kiri untuk
mendengarkan bunyi katup pulmonal
4. Auskultasi pada daerah sela iga 4-5 linea parasternalis kiri untuk
mendengarkan bunyi katup trikuspid, dibandingkan waktu inspirasi dan
ekspirasi
5. Auskultasi pada daerah sela iga 4-5 linea midclavicula kiri untuk
mendengarkan bunyi katup mitral

Dengarkan adanya Murmur (bising jantung), yaitu suara tambahan pada


fase sistolik, diastolic, maupun keduanya yang disebabkan karena adanya
fibrasi/getaran dalam jantung atau pembuluh darah besar yang disebabkan
karena arus turbulensi darah. Derajat murmur :
I : Hampir tidak terdengar
II : Lemah
III : Agak keras
IV : Keras
V : Sangat keras
VI : Masih terdengar jelas ketika stetoskop diangkat sedikit

E. Pemeriksaan Abdomen
Dinding anterior abdomen adalah muskulus rectus abdominis, dapat
ditemukan apabila seseorang dalam posisi terlentang mengangkat kepala dan
bahunya. Untuk tujuan deskripsi, biasanya abdomen dibagi menjadi 4 kuadran
menurut dua garis imaginer yang saling tegak lurus dan berpotongan di
umbilikus. Berdasarkan pembagian ini didapatkan 4 kuadaran, yaitu :
- RUQ : Right upper quadrant - RLQ : Right lower quadrant
- LUQ : Left upper quadrant - LLQ : Left lower quadrant
Sistem pembagian yang lain, abdomen dibagi menjadi sembilan regio :
1. Hypokhondrium dekstra 6. Lumbalis sinistra
2. Epigastrium 7. Iliaka dekstra
3. Hypokhondrium sinistra 8. Hipogastrium
4. Lumbalis dekstra 9. Iliaka sinistra
5. Umbilikalis

33
Gambar 21 : Pembagian sembilan regio amdomen

Kepentingan pembagian ini yaitu bila kita meminta pasien untuk


menunjukkan dengan tepat lokasi rasa nyeri serta melakukan deskripsi
penjalaran rasa nyeri tersebut. Dalam kondisi ini sangat penting untuk membuat
peta lokasi rasa nyeri beserta penjalarannya, sebab sudah diketahui karakteristik
dan lokasi nyeri akibat kelainan masing-masing organ intraabdominal
berdasarkan hubungan persarafan viseral dan somatik.
Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kepala
rata atau dengan satu bantal, dengan kedua tangan disisi kanan-kiri pasien.
Usahakan semua bagian abdomen dapat diperiksa, sebaiknya kandung kencing
dikosongkan dulu sebelum pemeriksaan dilakukan. Pemeriksaan abdomen ini
terdiri 4 tahap yaitu inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi :
1. Inspeksi
Dengan berdiri di sebelah kanan pasien, perhatikan :
- Kulit
Perhatikan tinggi dinding perut dibanding dinding dada, wujud
kelainan kulit, jaringan parut pelebaran vena. Kemungkinan yang
ditemukan pink purple striae pada Cushing’s syndrome, dilatasi vena pada
sirosis hepatis atau obstruksi vena cava inferior, jaringan parut bekas
operasi, cullen”s sign dan grey turner’s sign (hematoma pada daerah
umbilikus dan pinggang) sebagai tanda pankreatitis akut
- Umbilikus
Perhatikan bentuk, lokasi dan adanya tanda-tanda inflamasi atau
terdapat bulging yang dicurigai ke arah hernia
- Bentuk perut

34
Perhatikan simetris, pembesaran organ atau adanya massa. Perhatikan
juga daerah inguinal dan femoral. Kemungkinan yang ditemukan tonjolan
nyata, tonjolan suprapubik, hepar atau limpa yang membesar, tumor,
pembesaran perut seperti bentuk perut katak
- Adanya gelombang peristaltik
Normal ditemukan pada orang yang kurus. Abnormal pada obstruksi
gastrointestinal
- Adanya pulsasi
Normal pada orang kurus terlihat pulsasi aorta abdominalis.
Aneurisma aorta, terlihat massa dengan pulsasi. Pulsasi epigastrium,
pembesaran ventrikel kanan
2. Auskultasi
Auskultasi dilakukan para dokter setelah pemeriksaan inspeksi, sehingga
gerakan dan bunyi usus tidak dipengaruhi pemeriksaan palpasi dan perkusi.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa :
1. Suara/bunyi usus : frekuensi dan pitch meningkat pada obstruksi,
menghilang pada ileus paralitik (Normal 5 - 30 kali permenit)
2. Succussion splosh : untuk mendeteksi obstruksi lambung
3. Bruit arterial
4. Venous hum : pada kaput medusa
5. Borborygmi dan metalic sound : didapatkan pada ileus obstruktif
3. Palpasi
Palpasi dinding abdomen sangat penting untuk menentukan ada tidaknya
kelainan dalam rongga abdomen. Palpasi dilakukan secara sistematis dengan
seksama, pertama kali tanyakan apakah ada daerah-daerah yang nyeri tekan.
Perhatikan ekspresi wajah pasien selama pemeriksaan palpasi. Sedapat
mungkin seluruh dinding perut terpalpasi. Kemudian cari apakah ada
pembesaran massa tumo[ apakah hati, limpa dan kandung empedu membesar
atau teraba. Pada pemeriksaan ginjal, di lakukan pemeriksaan ballotement
(periksa apakah ginjal, bollottement positif atau negatif).
Palpasi dilakukan dalam 2 tahap yaitu palpasi permukaan (superficial)
dan palpasi dalam (deep palpation). Palpasi dapat dilakukan dengan satu

35
tangan dapat pula dua tangan (bimanual) terutama pada pasien gemuk.
Biasakan palpasi dengan seksama meskipun tidak ada keluhan yang
bersangkutan dengan penyakit traktus gastrointestinal. Pasien diusahakan
dalam posisi terlentang dengan bantal secukupnya, kecuali bila pasien sesak
napas. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien :
1. Palpasi permukaan
Posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya penekanan
dilakukan oleh ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung
jari. Sistematika palpasi dilakukan dengan hati-hati pada daerah nyeri yang
dikeluhkan oleh pasien. Palpasi superfisial tersebut bisa juga disebut
palpasi awal untuk orientasi sekaligus memperkenalkan prosedur palpasi
pada pasien
2. Palpasi dalam
Palpasi dalam dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang
tidak didapatkan pada palpasi permukaan dan untuk lebih menegaskan
kelainan yang didapat pada palpasi permukaan dan yang terpenting yaitu
untuk palpasi organ secara spesifik misalnya palpasi hati, limpa, dan
ginjal.

Gambar 22 : Palpasi abdomen permukaan (kiri) dan palpasi


dalam (kanan)

4. Perkusi
Sama seperti pada perkusi di rongga toraks tetapi dengan penekanan
yang lebih ringan dan ketokan yang lebih perlahan. Pemeriksaan ini
digunakan untuk :
a. Menentukan penyebab distensi abdomen : penuh gas (timpani), massa
tumor (redup-pekak) dan asites
b. Mendeteksi kandung empedu atau vesika urinaria, dimana suaranya
redup/pekak

36
c. Menentukan ukuran hati dan limpa secara kasar
Perkusi abdomen sangat membantu dalam menentukan apakah rongga
abdomen berisi lebih banyak cairan atau udara, dalam keadaan normal suara
perkusi abdomen adalah timpani kecuali di daerah hati suara perkusjnya
adalah pekak. Hilangnya sama sekali daerah pekak hati dan bertambahnya
bunyi timpani di seluruh abdomen harus dipikirkan akan kemungkinan
adanya udara bebas didalam rongga perut, misal pada perforasi usus.

Cara Pemeriksaan Ascites


a. Teknik Shifting Dullness
1. Melakukan perkusi dari umbilikus (bagian puncak abdomen) ke lateral
kiri atau kanan
2. Menentukan batas perubahan bunyi perkusi dari timpani ke redup
3. Memberikan tanda batas perubahan suara tersebut dengan meletakkan
jari sebagai plesimeter tetap pada batas tersebut lalu penderita diminta
miring ke arah kontralateral gerakan perkusi
4. Menunggu beberapa saat (30-60 detik)
5. Melakukan perkusi kembali di tempat yang telah ditandai dan tentukan
apakah ada perubahan suara dari redup ke timpani
6. Ascites (+) bila terjadi perubahan bunyi dari timpani ke redup pada lokasi
yang sama

Gambar 23 : Ilustrasi perpindahan cairan pasien ascites pada


pemerikssan Shifting Dullness

37
b. Teknik Undulasi
1. Minta asisten untuk menekan perut di linea mediana dengan tepi kedua
tangan
2. Letakan tangan kanan pemeriksa di flank kanan dan tangan kiri di sisi kiri
3. Melakukan hentakan pada dinding perut dengan jari, ketukkan ujung jari
tangan kanan secara tegas dan tangan kiri merasakan adanya getaran
impuls lewat cairan
4. Merasakan getaran pada tangan lain yang menempel pada dinding perut
yang kontralateral Uji undulasi positif bila merasakan getaran

Gambar 24 : Pemeriksaan ascites dengan teknik undulasi

c. Teknik Puddle sign


1. Baringkan pasien dengan prone posisi (siku dan lutut naik/tiarap) selama
5 menit
2. Letakkan diafragma stetoskop di permukaan tengah bawah perut (tempat
pengumpulan cairan terbanyak)
3. Dengarkan suara yang dibuat oleh jari-jari yang diketukkan pada sisi
lateral abdomen
4. Ketukan dilanjutkan terus sambil steteskop digerakkan menjauhi
pemeriksa
5. Bila pinggir dari kumpulan (puddle) cairan dicapai, intensitas suara
ketukan akan lebih keras

38
Gambar 25 : Pemeriksaan ascites dengan teknik Puddle sign

Cara Pemeriksaan Hati


Pada inspeksi harus diperhatikan apakah terdapat penonjolan pada regio
hipokondrium kanan. Pada keadaan pembesaran hati yang ekstrim (misal pada
tumor hati) akan terlihat permukaan abdomen yang asimetris antara daerah
hipokondrium kanan dan kiri.

Gambar 26 : Pemeriksaan palpasi hepar

Berikut ini adalah langkah-langkah pemeriksaan pembesaran hati :


1. Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua tungkai kanan dilipat agar
dinding abdomen lebih lentur. Dinding abdomen dilemaskan dengan cara
menekuk kaki sehingga membentuk sudut 45-60°
2. Pasien diminta untuk menarik napas panjang
3. Melakukan palpasi lobus kanan dimulai dengan meletakkan tangan kanan
pada regio illiaka kanan dengan sisi palmar radial jari sejajar dengan arcus
costae kanan
4. Palpasi dilakukan dengan menekan dinding abdomen ke bawah dengan arah
dorsal pada saat pasien ekspirasi maksimal, kemudian pada awal inspirasi jari
bergerak ke kranial dalam arah parabolik
5. Palpasi dilakukan ke arah arcus costae kanan

39
6. Pemeriksaan lobus kiri dengan palpasi pada daerah garis tengah abdomen ke
arah epigastrium dimulai dari umbilikus dengan cara seperti diatas
7. Bila meraba tepi hati, deskripsikan ukuran, permukaan, tepi, konsistensi,
nyeri tekan, dan apakah terdapat pulsasi

Gambar 27 : Pemeriksaan palpasi Murphy sign

Pemeriksaan Murphy sign :


1. Palpasi batas hati pada batas lateral m.rectus
2. Meminta pasien menarik napas dalam
3. Menilai adanya nyeri

Cara Pemeriksaan Limpa


Pengukuran splenomegali dapat dilakukan dengan menggunakan dua
metode yaitu Hacket yang lebih sering digunakan dalam penelitian endemisitas
penyakit dan Schuffner yang lebih sering digunakan dalam klinik.
a. Metode Hacket, metode ini membagi splenomegali menjadi 5 kelas :
1. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring dan kedua tekuk kedua lutut
2. Mulai dengan meraba dan melakukan penekanan dengan menggunakan
bagian pinggir dalam palmar dan jari tangan pada abdomen sampai
sedalam 4-5 cm dari arah kaudal ke kranial di bawah arcus costa kiri
3. Lakukan penekanan saat pasien melakukan inspirasi
4. Metode Hacket diintepretasikan sebagai berikut :
- Kelas 0 tak teraba walau dengan inspirasi normal
- Kelas 1 teraba di tepi costa dengan inspirasi dalam
- Kelas 2 teraba di bawah costa sampai pertengahan puting susu dan
umbilicus
- Kelas 3 teraba sampai garis horizontal umbilicus

40
- Kelas 4 teraba antara umbilicus dan symphisis pubis
- Kelas 5 teraba di luar dan di bawah daerah kelas 4

Gambar 28 : Metode Hacket membagi splenomegali menjadi 5 kelas

b. Metode Schuffner, metode ini membagi splenomegali menjadi 8 :


1. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring dan kedua tekuk kedua lutut
2. Mulai dengan meraba dan melakukan penekanan dengan menggunakan
bagian pinggir dalam palmar dan jari tangan pada abdomen sampai
sedalam 4-5 cm dari arah SIAS (Spina Iliaca Anterior Superior) ke arah
arcus costa kiri
3. Lakukan penekanan saat pasien melakukan inspirasi, dan berikan
penilaian mengenai ukuran, pinggir, konsistensi, nyeri
4. Metode Schuffner membagi splenomegali menjadi 8, dimana
pembesaran mulai dari arcus costa kiri sampai umbilicus adalah Scuffner
I – IV dan umbilicus sampai SIAS adalah Scuffner V – VIII
5. Metode Schuffner diintepretasikan sebagai berikut :
- Tarik garis imajiner (A) yang melalui perpotongan antara linea mid-
clavicularis kiri dengan arcus costa dengan umbilicus
- Dengan membagi 4 garis A tersebut maka didapatkan area yang
membatasi Scuffner I-IV
- Kemudian tarik garis imajiner kedua (B) yang tegak lurus dengan A,
yang melalui umbilicus, garis ini juga merupakan batas Scuffner VI
- Dari B tarik garis imajiner ketiga (C) yang tegak lurus dengan B
sampai berpotongan dengan SIAS
- Dengan membagi 4 garis C tersebut maka didapatkan area yang
membatasi Scuffner V-VIII

41
Gambar 29 : Metode Schuffner membagi splenomegali
menjadi 8 bagian

Cara Pemeriksaan Ginjal


Ginjal terletak pada daerah retroperitoneal sehingga pemeriksaan harus
dengan cara bimanual, palpasi ginjal :
a. Ginjal kanan
1. Letakkan tangan kiri di belakang penderita tepat di bawah dan paralel
dengan iga 12 dan ujung jari tepat di sudut kostovertebra kanan,
kemudian dorong ginjal ke arah depan
2. Letakkan tangan kanan secara halus di kwadran kanan atas di lateral dan
paralel terhadap tepi otot rektus sedikit di bawah lengkung iga kanan
3. Minta penderita bernapas dalam. Pada akhir inspirasi tekan tangan kanan
kuat dan dalam dan raba ginjal kanan antara 2 tangan
4. Penderita disuruh menghembuskan napas, bersamaan itu tekanan tangan
kanan dikurangi pelan-pelan
5. Pembesaran ginjal (akibat tumor atau hidronefrosis) akan teraba di antara
kedua tangan tersebut, dan bila salah satu tangan digerakkan akan teraba
benturannya di tangan lain. Fenomena ini dinamakan bollotemenf
positif, pada keadaan normal pemeriksaan ballottement negatif
b. Ginjal kiri
Prinsipnya sama dengan ginjal kanan, bedanya :
1. Pemeriksa pindah ke sisi kiri penderita
2. Gunakan tangan kanan untuk mendorong ginjal ke arah belakang
3. Gunakan tangan kiri untuk melakukan palpasi dari depan

42
Gambar 30 : Pemeriksaan palpasi bimanual ginjal

Pemeriksaan nyeri ketok ginjal, dilakukan penekanan atau pukulan pada


sudut kostovertebra :
1. Meminta pasien duduk
2. Pemeriksaan dilakukan dari arah belakang pasien, meletakan tangan kiri sisi
palmar pada sudut kostovertebra kanan
3. Meletakan bagian ulnar kepalan tangan kanan diatas tangan kiri pada sudut
kostovertebra kanan
4. Memperhatikan pasien dan menanyakan pasien apakah pasien merasakan
nyeri
5. Memukulkan bagian ulnar kepalan tangan diatas tangan kiri pada sudus
kostovertebra kanan dengan kekuatan yang cukup, melakukan tindakan yang
sama pada sudut kostovertebra kiri

Gambar 31 : Pemeriksaan nyeri ketok ginjal

43
F. Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas Atas
a. Shoulder
1. Inspeksi pada shoulder dari anterior, lateral, dan posterior
- Membandingkan shoulder kanan dan kiri
- Melihat adanya perubahan warna kulit : hematom, echymosis, dll
- Menilai adanya deformitas pada shoulder yang mengalami dislokasi

Gambar 32 : Dislokasi Anterior, abduksi dan rotasi external (kiri) dan


dislokasi Posterior, adduksi dan rotasi internal (kanan)
2. Palpasi pada shoulder; dilakukan pada kedua sendi, dimulai dengan
sendi yang tampak sehat dulu
- Meraba kulit untuk menilai suhu pada daerah sendi dengan daerah
sekitarnya
- Melakukan palpasi di axilla untuk menilai letak caput humerus.
Biasanya letak caput humerus berada di bagian proximal. Pada
dislokasi posterior biasanya teraba massa di belakang bahu
sedangkan bagian depan rata
- Melakukan penekanan ringan pada :
a. Sendi acromioclavicular pada ujung clavicula; jika terdapat nyeri
tekan mengindikasikan adanya instabilitas clavicula distal dan
terpisahnya acromion dan clavicula
b. Tendon supraspinatus pada daerah acromion; jika terdapat nyeri
tekan mengindikasikan adanya bursitis dan/atau robekan tendon
supraspinatus
c. Tuberositas mayor pada tonjolan pada caput humerus lateral; jika
terdapat nyeri tekan mengindikasikan adanya rotator cuff tendinitis
atau robekan rotator cuff

44
- Menilai axillary nerve injury, menilai sensasi dengan pin prick test
di daerah deltoid
3. Menilai ROM secara aktif dan pasif kedua shoulder
- Menilai gerak flexi 0°-180° dan extensi 0°-60°
- Menilai gerak rotasi eksternal dan internal 0°-90°
- Menilai gerak abduksi 0°-180° dan adduksi 0°-30°

Gambar 33 : Menilai ROM secara aktif dan pasif pada kedua


shoulder
b. Elbow
1. Inspeksi
- Membandingkan elbow kanan dan kiri
- Menilai adanya perubahan warna : hematom, echymosis, dll
- Menilai adanya edema dan instabilisasi dari elbow
- Menilai adanya tanda-tanda deformitas :
a. Cubitus Varus : Ekstremitas distal berdeviasi secara medial
terhadap sendi elbow
b. Cubitus valgus : Extremitas distal berdeviasi secara lateral
terhadap sendi elbow

Gambar 34 : Tanda deformitas pada elbow


- Menilai adanya edema dan instabilisasi dari elbow

45
2. Palpasi Elbow, dilakukan pada kedua elbow
- Meraba kulit untuk menilai suhu pada daerah sendi dengan daerah
sekitarnya
- Melakukan palpasi pada daerah epicondylus dan olecranon dan
membentuk segitiga sama sisi untuk menilai ada tidaknya subluksasi
elbow
- Melakukan palpasi pada epicondylus median dan garis supracondylar,
jika terdapat nyeri tekan mengindikasikan adanya epicondylitis
medial (golfer elbow) atau fraktur
- Melakukan palpasi pada epicodylus lateralis dan garis supracondylar,
jika terdapat nyeri tekan mengindikasikan adanya epicondylitis
lateralis (tennis elbow) atau fraktur
- Menilai status neurovaskular
3. Pemeriksaan ROM pada kedua elbow secara aktif dan pasif
- Menilai gerak flexi (Normal = 145°, Fungsional = 30°- 130°)
- Menilai gerak ekstensi (Normal = 0° laki-laki, 15° perempuan)
- Menilai gerak supinasi (Normal = 90° , fungsional = 50°)
- Menilai gerak pronasi (Normal = 90°, fungsional = 50°)
4. Pemeriksaan Khusus elbow
- Jika dicurigai adanya tennis elbow, maka: lakukan pronasi lengan
bawah pasien, ekstensi wrist dan jari-jari dengan diberikan tahanan.
Jika nyeri ada pada epycondilus lateralis, maka tes positif
- Jika dicurigai adanya golfer elbow, maka: lakukan supinasi lengan
bawah pasien, ekstensi wrist dan jari-jari dengan diberikan tahanan.
Jika nyeri ada pada epycondilus medialis, maka tes positif

Gambar 35 : Pemeriksaan khusus elbow

46
c. Wrist
1. Inspeksi pada wrist
- Membandingkan wrist kanan dan kiri
- Menilai adanya perubahan warna : hematom, echymosis, dll
- Menilai adanya edema dan tanda-tanda inflamasi
- Menilai adanya tanda-tanda deformitas
2. Palpasi pada wrist, dilakukan pada kiri dan kanan
- Meraba kulit untuk menilai suhu pada daerah sendi dengan daerah
sekitarnya
- Melakukan penekanan ringan pada wrist untuk menilai nyeri tekan
3. Pemeriksaan ROM pada kedua wrist
- Flexi - Deviasi Radial
- Ekstensi - Deviasi Ulnar

Gambar 36 : Pemeriksaan ROM pada wrist

d. Pemeriksaan Fisik pada Telapak Tangan


1. Inspeksi Telapak Tangan, dilakukan baik kanan maupun kiri
- Membandingkan telapak tangan kanan dan kiri
- Menilai ada tidaknya amputasi jari
- Menilai perubahan warna pada telapak tangan dan ujung jari seperti
sianosis dan gangrene

Gambar 37 : Sianosis (kiri) dan gangrene (kanan)

47
- Menilai adanya tanda-tanda deformitas
a. Osteoarthritis : adanya Nodus Herbenden (DIP) atau Bouchard
(PIP)
b. Rheumatoid Arthritis : Pembengkakan MCP, Swan neck
deformities, Deviasi Ulnar pada sendi MCP, Nodul di sepanjang
tendon sheaths

Gambar 37 : Deformitas pada telapak tangan


- Pada daerah palmar
a. Menilai warna kulit
b. Menilai ada tidaknya nodul, atrofi otot-otot thenar dan hypothenar
dan deskripsikan sesuai “web space” lokasinya
c. Menilai tanda “cascade”: Fleksikan jari-jari pada PIP: positif jika
semua jari mengarah pada daerah scaphoid ® Normal
2. Pemeriksaan ROM telapak tangan, dilakukan baik pada kanan dan kiri :
- Flexi dan Extensi pada sendi MCP, PIP, dan DIP: mengepalkan jari-
jari, membuka jari-jari, menggerakkan jari pada MCP, PIP, dan DIP
- Abduksi dan adduksi pada sendi MCP: gerakan menjauhkan dan
mendekatkan sesama jari-jari

48
DAFTAR PUSTAKA

Markum. 2000. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Bagian Penyakit Dalam
Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia.
Rinaldi I, Hidayat R, Edi T, Nelwan E, Nugroho P, Rizka A, Jasirwan C, Sinto R
dan Kurniawan F. 2017. Pemeriksaan dan Prosedur Klinis Ilmu Penyakit
Dalam untuk Peserta Didik Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam, Kolegium Ilmu Penyakit Dalam.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B dan Syam A. 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keenam, Jilid I. Jakarta : Interna
Publishing.
Setyawan F. 2017. Medical Communications : Doctor – Patient Relations. Malang
: Ilmu Kedokteran Keluarga, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Malang, Volume 1, Nomor 4. Dalam (https://jurnal.
unimus.ac.id).
Triyanta Y, Aritantri D, Siti W. 2019. Buku Pedoman Ketrampilan Klinis
Pemeriksaan Abdomen Lanjut untuk Semester 4. Fakultas Kedokteran UNS
Surakarta.

49

Anda mungkin juga menyukai