Anda di halaman 1dari 9

NAMA : A.

TSAMARA ALIFIA

KELAS : MANAJEMEN SDM B 2020

NIM : 2009035202058

MATA KULIAH : MANAJEMEN PERUBAHAN (PERTEMUAN 4, MATERI 3)

PERSPEKTIF DALAM MENGELOLA PERUBAHAN

PENDAHULUAN

Seiring berjalannya waktu organisasi secara terus menerus pasti akan mengalami perubahan.
Perubahan organisasi mencakup bagaimana organisasi tumbuh berkembang dan pada akhirnya akan
mengalami penurunan. Namun jika organisasi mampu menyesuaikan dengan optimal upaya
merespon perubahan – perubahan yang terjadi di lingkungannya, akan berkembang dengan baik.

Perubahan lingkungan yang teramati, bukan hanya lingkungan sekitar tetapi yang lebih besar
lagi, bahkan lingkungan global merupakan faktor picu yang menstimulasi organisasi harus melakukan
perubahan. Kegagalan organisasi mencermati perubahanperubahan yang terjadi tersebut, pada
gilirannya akan menghasilkan tindakan-tindakan organisasional yang tidak rasional. Begitu pentingnya
mengamati perubahan yang terjadi, Hoy and Miskel (2001: 253) bahwa administrator ...”tend to focus
monitoring and planning process on local environmental elements and often fail to recognize that
environmental factors in the larger society also have often potential to influence not only their schools
but local environments as well”

Perubahan lingkungan memberikan pertimbangan kepada organisasi tentang bagaimanakah


seharusnya meresponsnya yang bukan hanya merupakan respon secara rasional-empirik
(instrumentalistik-teknologis), tetapi juga respons secara sosial, kultural dan psikologis. Konsep
lingkungan dalam telaah perilaku organisasi sering dikaji dalam dua dimensi yaitu lingkungan eksternal
dan internal. Organisasi ibarat suatu organisme adalah pilihan yang paling baik untuk bertahan hidup
dalam lingkungan yang terus berubah, sementara yang lain mati. Asumsi utamanya adalah (1)
organisasi mempunyai kemampuan terbatas untuk beradaptasi dalam lingkungan yang terus berubah;
dan (2) proses perubahan tersebut dikendalikan oleh lingkungan. Organisasi yang mampu
menyesuaikan dengan baik terhadap kendala-kendala lingkungan akan berkembang dengan baik,
sedangkan yang lain cenderung akan gagal dan tidak mampu.

Harles Darwin pernah mengatakan bahwa “Mereka yang berumur panjang bukanlah spesies
yang terkuat namun mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan”
Pernyataan tersebut bukan hanya berlaku pada makhluk hidup saja, namun berlaku juga bagi
organisasi. Menurut Arie de Greus (1997), seperti dikutip dalam Kasali (2005), sebenarnya
perusahaan pada dasarnya adalah sesosok makhluk hidup. Karena ia hidup maka ia dilahirkan,
tumbuh, berkembang, sakit, tua, dan dapat mati seperti makhluk hidup lainnya. Jika ingin berumur
panjang dan mampu bertahan hidup maka organisasi harus selalu adaptif terhadap perubahan
lingkungan.

Manajemen perubahan merupakan proses yang terus menerus untuk melayani setiap
kebutuhan akan perubahan. Perubahan selalu memunculkan kekhawatiran serta harapan.
Penguasaan strategi untuk mengelola perubahan merupakan hal penting. Demikian juga bagaimana
proses perubahan itu terjadi, kapan seharusnya perubahan dilakukan. Seluruh tindakan serta proses
organisasilah yang menentukan berhasil ataupun gagalnya proses tersebut.
PEMBAHASAN

PERSPEKTIF MANAJEMEN PERUBAHAN

Seperti yang telah dikemukakan oleh Genus (1998), dalam Soerjogoeritno (2004), dalam
menjelaskan perubahan organisasional dapat dilakukan melalui perspektif manajemen perubahan.
Perspektif manajemen perubahan tersebut didasarkan pada empat dimensi utama, yaitu:
1) Berkaitan dengan konsep tentang proses perubahan
2) Berkaitan dengan konteks dan ketidakpastian
3) Berkaitan dengan konsep tentang isi dan skala perubahan yang akan dilakukan
4) Berkaitan dengan metode dan strategi yang dipilih dalam mengelola perubahan.

Dimensi pertama yang muncul dalam perspektif manajemen perubahan adalah konsep
tentang proses perubahan. Konsep mengenai proses perubahan ini akan memunculkan pertanyaan
mendasar mengenai “Kapan perubahan organisasi akan terjadi?”. Pemahaman mengenai proses
perubahan dapat menjadikan dasar dalam menciptakan kondisi sehingga memungkinkan terjadinya
perubahan.
Dimensi kedua, yaitu perubahan yang berkaitan dengan konteks dan ketidakpastian. Dimensi
ini terkait dengan alasan mengenai mengapa harus berubah. Jika dikaitkan dengan fenomena
lingkungan bisnis yang terus mengalami perubahan dinamis maka pertanyaan seperti “Apakah kita
harus berubah?” menjadi tidak relevan lagi untuk dikemukakan. Pertanyaan yang lebih penting adalah
“Darimana perubahan akan dimulai?”, “Apakah perubahan akan menjadikan hal yang lebih baik?”,
“Kapan seharusnya perubahan dilakukan?”. Jawaban dari pertanyaan seperti itu akan menjadi dasar
untuk membangun suatu konsep, suatu kegiatan bahkan landasan dalam mengelola perubahan.
Landasan yang kuat akan menjadi urgen ketika kita memahami bahwa setiap perubahan akan
memunculkan ketidakpastian.
Dimensi ketiga, yaitu menyangkut konsep tentang isi dan skala perubahan yang akan
dilakukan. Dimensi ini mensyaratkan bahwa perubahan haruslah dipersepsikan sebagai sesuatu yang
membumi dan dapat dijangkau oleh mind set dan pemikiran. Ketika arah perubahan dipersepsikan
sebagai sesuatu yang tinggi atau utopis, maka yang tercipta adalah resistensi yang kuat dalam menolak
perubahan. Arah perubahan yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan dan kepentingan anggota sangat
memungkinkan akan memunculkan fenomena status quo. Jika perubahan dipersepsikan sebagai
sesuatu yang membuat anggota organisasi tidak nyaman dengan posisi dan kondisi yang baru, maka
tidak mengherankan jika antusiasme dan komitmen untuk melakukan perubahan sangat kecil.
Demensi yang terakhir, yaitu menyangkut metode atau strategi yang dipilih dalam melakukan
perubahan. Dimensi ini memunculkan pertanyaan ”Tentang strategi apa yang akan digunakan?”.
Pemilihan metode dan strategi yang tepat merupakan faktor penentu keberhasilan organisasi dalam
melakukan perubahan.

KAPAN PERUBAHAN TERJADI DAN KAPAN DILAKUKAN?


Setidaknya terdapat tiga faktor yang mendorong terjadinya perubahan organisasi
(Soerjogoeritno; 2004). Pertama, sejumlah ketidakpuasan dengan kondisi sekarang. Semakin besar
rasa ketidakpuasan dengan kondisi sekarang, akan semakin mendorong untuk melakukan perubahan.
Kedua, ketersediaan alternatif yang diinginkan. Semakin banyak alternatif yang tersedia yang lebih
layak untuk memperbarui kondisi sekarang menuju kondisi yang lebih baik maka semakin
menguntungkan bila melakukan perubahan. Ketiga, adanya suatu perencanaan untuk mencapai
alternatif yang diinginkan. Bila ada perencanaan yang baik dan sistematis berarti semakin terbuka
peluang melakukan perubahan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pengorbanan yang dikeluarkan akan
sebanding dengan hasil yang didapat jika perubahan dilakukan?. Jika hasil melebihi pengorbanan
maka proses perubahan akan lebih mudah dilakukan. Namun sebaliknya, jika keuntungan tidak
sebanding pengorbanan, maka perubahan akan menemui hambatan. Gambar 1 menjelaskan kapan
perubahan akan terjadi.

Menurut Charles Handy (1994), dalam Kasali (2005), setiap organisasi akan berkembang
mengikuti Kurva Sigmoid (Sigmoid Curve), yaitu seperti kurva S yang tertidur. Organisasi akan
menghadapi masa-masa pertumbuhan, puncak dan akhirnya mencapai masa-masa penurunan
(gambar 2).

Strategi yang kedua, yaitu strategi turnaroud merupakan strategi yang sering dilakukan oleh
para pelaku usaha. Strategi ini muncul sebagai reaksi dari setiap kejadian atau respon dari signal atau
tanda-tanda yang semakin jelas. Pada kondisi ini, tanda-tanda terjadinya penurunan mulai nampak
namun organisasi masih mempunyai sumberdaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Dalam
Sigmoid Curve, fase ini berada di titik B1. Strategi turnaroud dilakukan sebagai reaksi agar organisasi
tidak terjerembab dalam fase penurunan.
Manajemen krisis sebagai strategi yang ketiga, biasanya dilakukan jika perusahaan sudah
memasuki masa krisis yang identik dengan korban, konflik, kerugian, dan kerusakan-kerusakan. Pada
fase ini organisasi telah hampir kehilangan semua energi. Ada kemungkinan orang-orang yang jernih
dan punya keberanian akan tampil mengambil kesempatan, memimpin, dan mengembalikan krisis
pada keteraturan. Manajemen krisis biasanya melakukan perubahan-perubahan yang sangat
mendasar namun lebih dulu melakukan langkah-langkah penyelamatan. Fase ini digambarkan berada
pada titik B dimana orang-orang yang tersisa adalah orang-orang yang kurang produktif dan organisasi
nyaris tidak punya apa-apa.

Faktor Kontekstual
Kondisi kontekstual lebih luas mempengaruhi kesiapan organisasi untuk berubah. Sebagai
contoh, beberapa berpendapat mengatakan bahwa budaya organisasi yang mencakup inovasi,
pengambilan risiko, dan pembelajaran mendukung kesiapan organisasi untuk berubah. Lainnya
menekankan pentingnya kebijakan-kebijakan organisasi yang fleksibel dan prosedur dan iklim
organisasi positif (misalnya, hubungan kerja yang baik) dalam mempromosikan kesiapan organisasi.
Yang lain menyarankan bahwa pengalaman masa lalu yang positif dengan perubahan dapat
mendorong kesiapan organisasi.
Budaya organisasi, misalnya, bisa memperkuat atau mengurangi change valence, tergantung
pada apakah upaya perubahan cocok dengan nilai-nilai budaya yang hidup pada organisasi
bersangkutan. Demikian juga, kebijakan dan prosedur organisasi bisa positif atau negatif
mempengaruhi penilaian anggota organisasi terhadap tuntutan tugas, ketersediaan sumber daya, dan
faktor situasional. Atau pengalaman masa lalu dengan perubahan bisa positif atau negatif
mempengaruhi perubahan change valence (misalnya, apakah mereka berpikir perubahan itu benar-
benar akan memberikan manfaat) dan penilaian efektivitas (misalnya, apakah mereka berpikir
organisasi dapat secara efektif melaksanakan dan mengkoordinasikan perubahan terkait kegiatan).

KUNCI SUKSES PEMIMPIN DALAM MENGELOLA PERUBAHAN

Setiap keinginan atau inisiatif untuk berubah, hanya timbul dari kesadaran akan pentingnya
suatu perubahan. Keinginan ini kadang timbul hanya pada segelintir orang saja dalam organisasi. Akan
muncul seorang pencetus yang akan memulai dan mungkin memimpin proses perubahan tersebut.
Akan ada upaya untuk mengajak anggota lain melakukan perubahan. Hal ini memungkinkan
perubahan dapat diakui sebagai suatu keharusan oleh seluruh anggota organisasi. Tetapi keinginan ini
pasti akan menimbulkan penolakan terhadap perubahan. Bila keinginan dan kebutuhan untuk
berubah tersebut kuat maka penolakan tersebut akan diupayakan untuk dieliminir.
Dengan lebih dulu mengupayakan penyadaran dan mengeliminir penolakan maka proses
dalam mengelola perubahan akan lebih mudah dilaksanakan. Proses selanjutnya adalah adanya
persetujuan mengenai tipe perubahan yang dibutuhkan, mengidentifikasi dan mengembangkan
critical success factor, penyediaan sistem dan struktur, dan akhirnya akan menimbulkan suatu
pengembangkan strategi. Strategi yang telah dibuat kemudian diimplementasikan, dikontrol, dan
diukur tingkat keberhasilannya. Berdasarkan hasil pengukuran, hal tersebut kemudian dievaluasi
untuk digunakan sebagai learning pada proses selanjutnya.
Berdasarkan proses perubahan yang terjadi, dapat diidentifikasi sebagai faktor kunci dalam
menentukan keberhasilan pengelolaan perubahan. Menurut Ulrich (1996), kunci sukses dalam
mengelola perubahan organisasi, adalah:
1) Leading change merupakan orang yang mensponsori perubahan dan memimpin proses
perubahan tersebut.
2) Creating a share need. Menyakinkan individu, mengapa mereka harus berubah dan
kebutuhan kebutuhan untuk berubah lebih besar dibandingkan penolakan yang
dilakukan.
3) Shaping a vision, yaitu mengatasi hambatan untuk berubah.
4) Mobilizing commitment merupakan identifikasi, mengikat dan membela kepentingan
stakeholder yang harus diperhatikan dalam mengelola perubahan.
5) Changing system and structure. Menggunakan fungsi human resource dan manajemen
(stafffing, development, appraisal, rewards, organization design, communication, systems
dan sebagainya) untuk menyakinkan bahwa perubahan dibangun dalam infrastruktur
organisasi.
6) Monitoring process. Menetapkan benchmark, milestone dan eksperimen yang dapat
mengukur dan menunjukkan proses perubahan tersebut.
7) Making change last. Meyakinkan bahwa perubahan terjadi melalui implementasi
perencanaan, pemikiran dan komitmen.

LEADING CHANGE SEBAGAI KUNCI UTAMA

Kehadiran seorang change agent yang akan memimpin proses perubahan organisasi
merupakan faktor yang paling esensial dalam menentukan sukses tidaknya suatu organisasi
menghadapi perubahan. Tanpa pemimpin maka proses perubahan tersebut akan menjadi tidak
teratur dan kehilangan arah. Kehadiran seorang change leader ini dapat muncul dari orang dalam
maupun luar organisasi.
Moran dan Brightman (2000) berpendapat bahwa untuk menjadi seorang change leader yang
efektif seorang pemimpin harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1) Mengetahui gambaran mengenai perubahan secara menyeluruh serta mengetahui
dampaknya terhadap individu-individu dalam organisasi. Mampu mendorong anggota
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan baru yang terjadi dan mampu menyediakan
sumber daya yang diperlukan.
2) Menciptakan lingkungan yang memungkinkan individu untuk mencoba perubahan yang
terjadi, mendorong semangat, mempunyai pengalaman dengan cara-cara baru yang
dioperasikan dan mampu mendobrak budaya yang telah mengakar.
3) Memimpin usaha untuk berubah dalam setiap kata-kata dan tindakannya. Bertanggung
jawab pada pelaksanaan proses kinerja yang telah berlangsung dan mengidentifikasi
penolakan yang potensial muncul.
4) Menunjukkan dedikasi yang kuat untuk melakukan perubahan. Fokus pada hasil maupun
proses, menganalisis kesalahan, menentukan mengapa hal tersebut terjadi dan berani
untuk mencoba.
5) Berinteraksi pada individu-individu dan group-group dalam organisasi. Mampu
menerangkan siapa, apa, kapan, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana terjadinya
perubahan.
Menurut Ulrich (1996), dalam proses perubahan organisasi seorang change leader harus
mampu menjadi seorang champion, yaitu harus mampu menyebarkan visinya dan mendorong
individu mencapai visi tersebut. Mampu berperan tidak hanya sebagai knowledge worker tetapi juga
sebagai knowledge broker. Change leader harus mau dan mampu menyebarkan knowledge kepada
anggota lainnya. Seorang pemimpin perubahan juga dituntut untuk mampu menjadikan orang lain
sebagai pemimpin.

CREATING SHARE NEED: MEMBANGUN KESIAPAN MENGHADAPI PERUBAHAN


Michael Beer (1987) memberikan saran mengenai kondisi yang harus juga diperhatikan dalam
mempersiapkan perubahan organisasi. Kondisi tersebut meliputi adanya dissatisfaction mengenai
status quo anggota yang harus mengubah perilaku mereka. Membangun kesiapan untuk berubah,
tergantung pada rasa membutuhkan adanya perubahan.
Hal ini dapat dilakukan dengan membuat dan menumbuhkan rasa tidak puas dengan adanya
status quo dan memotivasi mereka untuk mencoba sesuatu yang baru. Membangkitkan perasaan
bersalah dan tertinggal, dengan menyadarkan bahwa kinerja saat ini masih jauh dari harapan. dan
memberi gambaran yang lebih luas mengenai kinerja yang seharusnya dapat dicapai pada masa yang
akan datang. Proses dalam membangun motivasi dan kesiapan ini dinamai Kurt Lewin sebagai proses
unfreezing.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Berr (1987) survey yang dilakukan secara
berturut-turut dapat membantu mengembangkan rasa tidak nyaman dengan adanya status quo.
Survey yang dilakukan untuk menilai sikap bawahan terhadap manajer mereka dapat meningkatkan
dissatisfaction pada gaya kepemimpinan manajer. Beer juga menyimpulkan bahwa data feedback dan
diskusi merupakan kunci sukses dalam mengembangkan kesiapan organisasi dalam menghadapi
perubahan.

SOAL LATIHAN:
1. Jika perubahan terjadi apakah pengorbanan yang dikeluarkan akan sebanding dengan hasil
yang didapat jika perubahan dilakukan?
2. Sebutkan Perspektif manajemen perubahan tersebut didasarkan pada empat dimensi utama
menurut Genus (1998)!
3. Jelaskan kapan perubahan terjadi dan kapan dilakukan?
4. Jelaskan bagaimana Kondisi kontekstual mempengaruhi kesiapan organisasi untuk berubah?
5. Karakteristik apa yang harus dipunyai seorang pemimpin untuk menjadi seorang change
leader yang efektif? Sebutkan!
RANGKUMAN MATERI

Tidak ada sesuatu yang tidak berubah, semua pasti akan mengalami suatu perubahan. Begitu
juga dengan organisasi, yang harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Dibutuhkan suatu
perencanaan dalam proses perubahan, sehingga perubahan menjadi lebih terarah. Pemahaman
mengenai perubahan dapat dilihat melalui perspektif manajemen perubahan. Pertanyaan-pertanyaan
yang mucul dari perspektif manajemen perubahan dapat memberikan jawaban bahwa perubahan
harus dilakukan. Manajemen perubahan tidak menyarankan untuk menunggu sampai muncul
dorongan yang kuat akan perubahan, namun kondisi organisasi yang selalu siap melakukan perubahan
harus diciptakan. Segala penolakan dan hambatan untuk berubah harus dieliminir terlebih dahulu.
Sehingga dengan begitu pemimpin perubahan akan lebih mudah menciptakan lingkungan yang lebih
mendukung adanya perubahan. Melalui kombinasi tindakan strategi dengan fase organisasi dalam
sigmoid curve dapat memberikan arahan dalam mengelola perubahan. Bagi seorang pemimpin,
critical succes factor dapat menjadi landasan dalam mengelola perubahan. Dengan memperhatikan
berbagai dimensi dalam perspektif manajemen perubahan tersebut diharapkan proses perubahan
menuju kesuksesan.
DAFTAR PUSTAKA

Beer, M, 1987, “Revitalilzing Organizations: Change Process and Emergent Model”, Academy of
Management Executive, February.
Greiner, LE, 1998, “Revolution as Organizations Grow”, Harvard Business Review, May-June.
Kasali, Rhenald, 2005, ”Change”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Handoko, Hani T dan Reksohadiprodjo, S., 1997, ”Organisasi Perusahaan”, Cetakan kesepuluh,
Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Ivancevich, JM, Matteson, M T, 1999, “Organizational Behavior and Management”, McGraw- Hill,
Singapore.
Moran, JW and Brightman, BK, 2000, “Leading Organizational Change”, Journal of Workplace
Learning, MCM University Press.
Siegal, W, 1996, “Understanding Management of Change”, Journal of Organizational Change
Management, MCB University Press.
Soerjogoeritno, ER, 2004, “Total Organizational Change Berkelanjutan: Perspektif Manajemen
Perubahan”,
Strebel, P, 1996, “Why Do Employees Resist Change?”, Harvard Business Review, May-June.
Ulrich, D, 1996, “Human Resource Champions”, Harvard Business School Press, Boston Massachusetts.
GLOSARIUM

Apreori : Pengetahuan yang ada sebelum bertemu dengan pengalaman.

Budaya : Cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok

orang dan diwariskan dari generasi ke generasi namun tidak turun

temurun, dan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan

akal manusia.

Diagnosis : Upaya menentukan penyakit atau kelemahan yang dialami seseorang

melalui pengujian untuk mendapatkan suatu keptusan yang saksama atas

gejala tentang suatu hal.

Diferensiasi : Menyesuaikan instruksi untuk memenuhi kebutuhan individu.

Dinamika : Perubahan yang selalu bergerak secara dinamis karena ada dorongan dari

tenaga yang dimiliki.

Efisien : Suatu usaha untuk mencapai tujuan yang maksimal dengan meminimalisir

pengeluaran sumber daya.

Elemen : Bagian-bagian dasar yang mendasari sesuatu.

Era : Kurun waktu dalam sejarah.

Fleksibel : Luwes atau mudah dan cepat menyesuaikan diri.

Global : Secara umum dan keseluruhan; meliputi seluruh dunia.

Hierarki : Suatu susunan hal di mana hal-hal tersebut dikemukakan sebagai berada di

atas dan bawah atau pada tingkat yang sama dengan yang lainnya.

Horizontal : Terletak pada garis atau bidang yang sejajar dengan horizon atau garis datar.

Anda mungkin juga menyukai