0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
11 tayangan2 halaman
Bencana banjir dan tanah longsor mengguncang 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada pertengahan bulan Ramadhan, menyebabkan 35 orang meninggal dunia, 25 orang hilang, dan ratusan rumah rusak. Bencana alam ini merupakan peringatan akan pentingnya menjaga lingkungan agar tidak terjadi kerusakan, sesuai dengan ajaran agama. Selain itu, bencana ini terjadi pada bulan suci Ramadhan, sehingga dapat
Bencana banjir dan tanah longsor mengguncang 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada pertengahan bulan Ramadhan, menyebabkan 35 orang meninggal dunia, 25 orang hilang, dan ratusan rumah rusak. Bencana alam ini merupakan peringatan akan pentingnya menjaga lingkungan agar tidak terjadi kerusakan, sesuai dengan ajaran agama. Selain itu, bencana ini terjadi pada bulan suci Ramadhan, sehingga dapat
Bencana banjir dan tanah longsor mengguncang 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada pertengahan bulan Ramadhan, menyebabkan 35 orang meninggal dunia, 25 orang hilang, dan ratusan rumah rusak. Bencana alam ini merupakan peringatan akan pentingnya menjaga lingkungan agar tidak terjadi kerusakan, sesuai dengan ajaran agama. Selain itu, bencana ini terjadi pada bulan suci Ramadhan, sehingga dapat
Pertengahan Ramadhan ini, bangsa Indonesia kembali diguncang nestapa.
Momentum bulan Ramadhan
sebagai bulan sakral nan suci bagi kaum Muslimin untuk menjalankan ibadah teriringi oleh ujian yang begitu berat. Bencana banjir dan tanah longsor kembali mengguncang 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah yang meliputi Purworejo, Banjarnegara, Kendal, Sragen, Purbalingga, Banyumas, Sukoharjo, Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Klaten, Magelang, Wonogiri, Cilacap, Karanganyar, dan kota Solo. Bencana tersebut mengakibatkan 35 orang meninggal dunia, 25 orang hilang, dan ratusan rumah rusak (Jawa Pos, 20 Juni 2016). Bencana alam di atas adalah secuil dari bukti tanda kebesaran Allah SWT. Peristiwa memilukan tersebut merupakan sunnatullah yang menyimpan berbagai hikmah dan pelajaran di dalamnya. Salah satu hikmah tersebut adalah kewajiban kita untuk terus menjaga alam dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi kerusakan di muka bumi sebagaimana Firman Allah SWT dalam Ar Ruum: 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah SWT menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Ayat di atas secara implisit menyadarkan kita akan berlakunya hukum timbal balik yang terjadi secara alamiah di muka bumi ini. Jika kita menjaga alam sebagai salah satu makhluk Allah SWT dengan baik, maka ia akan memberikan respon yang baik bahkan lebih baik kepada kita. Begitu juga sebalikanya. Satu hal hikmah yang bisa kita raih dari bencana alam di Jawa Tengah ini adalah terjadi pada bulan Ramadhan yang notabene banyak dari kaum Muslimin sedang menjalankan ibadah dengan porsi lebih semangat. Itulah kekuasaan Allah SWT. Bencana apa pun, kapan pun dan dimana pun merupakan hak prerogratif sekaligus bukti rahasia Allah SWT sebagai pencipta makhluk (Al- Khaliq) dan sang penguasa jagad raya (Al-Mulk). Tidak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang dapat menyamai atau menandingi kebesaran Allah SWT. Kita sebagai hamba-Nya dapat menjadikannya sebagai bahan evaluasi dan introspeksi diri. Jika itu terjadi, maka akan muncul berbagai pertanyaan reflektif dan evaluatif sebagai berikut. Seberapa besar rasa syukur kita kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang tercurah? Seberapa besar tekad kita dalam beribadah dalam bulan yang penuh maghfirah ini? Seberapa luas upaya kita dalam berkasih sayang kepada makhluk di sekitar kita? Tiga pertanyaan di atas seharusnya dapat menjadi bahan pijakan untuk mengevaluasi sejauh mana diri kita dalam memaknai Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Kita pun mahfum, keistimewaan bulan Ramadhan sangatlah besar dan tiada bandingnya. Ia bak samudra dan limpahan air di atasnya dapat diibaratkan sebagai pahala yang terlimpah luas. Pada fase awal, Rasulullah SAW mengabarkan bahwa dengan “hanya” merasa gembira dalam menyambut Ramadhan saja dapat menghindarkan diri dari api neraka, apalagi bila kita mampu melewatinya dengan ibadah yang baik pula. Sungguh luar biasa pesona Ramadhan tersebut. Namun terkadang diri ini alpa, ada beberapa hal yang salah dalam pola pikir kita dalam memaknai Ramadhan. Kita sering melabeli Ramadhan sebagai bulan untuk bermalas-malasan. Wajar memang, dengan berpuasa, energi dan fungsi organ tubuh terasa lebih lemah sehingga berdampak pada perilaku bermalas-malasan dalam beraktivitas. Karena hal itulah, sering kita mendapati banyak dari kita menjadikan tempat-tempat strategis untuk menabung pahala seperti masjid dan mushala digunakan hanya untuk sekadar tidur-tiduran. Ironi memang, maka berlaku produktif dalam memanfaatkan setiap detik Ramadhan dengan perilaku yang benar merupakan pilihan terbaik bagi kita. Ramadhan bukan hanya menganjurkan kita untuk beribadah, baik sunah maupun wajib, ia juga memberikan kita makna besar untuk mengorelasikan hablum minallah (interaksi individual dengan Allah SWT) dan hablum minannas (interaksi sosial dengan makhluk) secara seimbang. Hal ini memanglah benar adanya. Mengingat dr. Ratib an-Nabusi, ulama terkemuka Suriah pernah mengatakan, ibadah formal (syar’iyah) seseorang tidak diterima selama ibadah interaktif (ta’amuliyah) tidak benar. Pada pekan awal Ramadhan ini, kita mendapati pro kontra tentang larangan berjualan pada siang hari. Maka di sinilah diperlukan kesadaran hati dan kepekaan jiwa dari semua pihak yang berkepentingan. Seberapa manfaat dan madarat dari setiap aturan perlu dikaji ulang secara rasional dan sistematis. Maka menghargai—seseorang yang tidak berkewajiban puasa—juga menjadi titik poin yang patut mendapatkan perhatian. Inilah bentuk apresiasi pada makna keberagaman yang tercipta di negeri ini secara turun temurun. Pada perkembangan selanjutnya di pertengahan bulan Ramadhan, bangsa ini, terutama kaum muslimin kembali diuji dengan adanya pemberitaan tentang penodaan agama Islam yang dilakukan oleh oknum remaja di Banyuwangi dan Tulungagung. Kedua daerah tersebut ada di wilayah Jawa Timur. Keduanya menggunakan jejaring sosial Facebook sebagai media untuk menjalankan aksi kejinya. Lantas, bagaimanakah kita menyikapi fenomena ini? Rentetan kasus dan bencana alam yang datang silih berganti menunjukkan betapa besar cinta Allah SWT yang tercurah kepada umat Islam. Maka berlaku penuh kesabaran adalah jalan yang ditempuh dalam melewati fase ini. Bersabar bukan berarti pasif akan tetapi justru lebih aktif dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bukankah kesabaran dapat mendatangkan pertolongan dari setiap kesusahan? Jika hal ini terlaksana, bukan tidak mungkin akan tercipta pribadi muslim yang tegar, taat dan berakhlakul karimah. Bagaimanakah cara menumbuhkan kasih sayang kepada sesama manusia? Marilah kita belajar dari cara Rasulullah SAW dalam menyayangi keluarganya. Rasulullah SAW dikenal sebagai pribadi yang ringan tangan dan murah senyum. Hal itulah yang menjadikan beliau disegani tidak hanya oleh sahabatnya, tetapi juga musuh- musuhnya sehingga dengan kewibawaan dan kesederhanaanya, beliau mampu meluluhkan hati kaum kafir sehingga mereka berbondong-bondong masuk Islam. Adapun bentuk kasih sayang Rasulullah SAW termaktub dalam QS Ali Imran (159) yang berbunyi “maka berkat rahmah Allah SWT engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah SWT mencintai orang yang bertawakal” Marilah kita jadikan kembali Ramadhan ini sebagai bulan intropkesi (syahrul muhasabah) untuk merenungi makna setiap langkah kita dalam meniti kehidupan di muka bumi sebagai bekal untuk akhirat nanti sehingga kita bisa berlaku adil dalam beribadah maupun kepada sesama. Sem