Anda di halaman 1dari 13

Transcript of PT GREAT RIVER INTERNATIONAL, Tbk

PT GREAT RIVER INTERNATIONAL, Tbk


LATAR BELAKANG
Pada awalnya, PT Great River International mengalami perkembangan yang sangat pesat hal
ini ditandai dengan diperolehnya beberapa kali penghargaan dari majalah Asiamoney dan
berhasil lulus sertifikasi ISO 9002 untuk quality management. 
Kronologi Kasus 23 November 2005
Sejak Agustus 2005, Bapepam menyidik akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan
Great River tahun buku 2003. Bapepam telah menemukan adanya:

a. Overstatement atas penyajian akun penjualan dan piutang dalam Laporan Keuangan GRIV
per 31 Desember 2003; dan
b. Penambahan aktiva tetap perseroan, khususnya yang terkait dengan penggunaan dana hasil
emisi obligasi, yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Kronologi Kasus 28 November 2006
Menteri Keuangan (Menkeu) RI terhitung sejak tanggal 28 Nopember 2006 telah
membekukan izin Akuntan Publik (AP) Justinus Aditya Sidharta selama dua tahun.

Sanksi tersebut diberikan karena Justinus terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar
Profesi Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan
Konsolidasi PT Great River International Tbk (Great River) tahun 2003.

Selama izinnya dibekukan, Justinus dilarang memberikan jasa atestasi (pernyataan pendapat
atau pertimbangan akuntan publik) termasuk audit umum, review, audit kerja dan audit
khusus. 
Kronologi Kasus 8 Desember 2006
Kasus Great River semakin mencuat setelah adanya temuan auditor investigasi Aryanto,
Amir Jusuf, dan Mawar, yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan,
piutang, dan aset hingga ratusan miliar rupiah di Great River. Akibatnya, Great River
mengalami kesulitan arus kas dan gagal membayar utang.

Ketua Bapepam Fuad Rahmany menyatakan telah menemukan adanya indikasi konspirasi
dalam penyajian laporan keuangan perusahaan tekstil tersebut. “Dalam kasus Great River ini,
akuntan dengan emitennya terlibat konspirasi,” katanya. 
Kronologi Kasus 20 Desember 2006
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah melimpahkan
kasus penyajian laporan keuangan Great River ke Kejaksaan Agung pada tanggal 20
Desember 2006. 

Dalam laporan tersebut, empat anggota direksi perusahaan tekstil itu ditetapkan menjadi
tersangka, termasuk pemiliknya, Sunjoto Tanudjaja. 
Bapepam menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great
River. Tak tertutup kemungkinan, Akuntan Publik yang menyajikan laporan keuangan Great
River itu ikut menjadi tersangka.
Kronologi Kasus 2 April 2007
Menunjuk Pengumuman Bursa No. Peng-01/BEJ-PSJ/SPT/01-2005 tertanggal 13 Januari
2005 mengenai suspensi perdagangan saham GRIV yang telah berjalan lebih dari 2 (dua)
tahun, Bursa Efek Jakarta memutuskan untuk menghapuskan pencatatan Efek PT Great River
International Tbk. yang berlaku efektif pada tanggal 2 Mei 2007. 

Selain itu terdapat pertimbangan lain yang mendasari keputusan penghapusan pencatatan
Efek Perseroan yaitu belum dipenuhinya kewajiban penyampaian Laporan Keuangan dan
kewajiban finansial Perseroan kepada Bursa berupa penyampaian Laporan Keuangan
Tahunan Auditan Tahun 2004 dan 2005 serta Laporan Keuangan Triwulan I, Tengah
Tahunan dan Triwulan III Tahun 2005 dan 2006 serta denda keterlambatan penyampaian
Laporan Keuangan baik Auditan maupun triwulanan tahun 2004, 2005 dan 2006 dan
pembayaran Biaya Pencatatan Tahunan (ALF) tahun 2005 dan 2006.

MASALAH ETIKA
Masalah yang dilakukan oleh PT Great River International Tbk merupakan masalah yang
sudah jelas melanggar etika. Kejahatan yang telah dilakukan tidak hanya ilegal, tetapi juga
memberikan dampak negatif yang sangat buruk bagi pihak internal maupun eksternal. 

Mereka tidak hanya berbohong dan menunjukkan bentuk ketidakjujuran, tetapi perusahaan
telah mempertaruhkan banyak pekerja yang hidupnya bergantung pada perusahaan. 
Pihak internal pada kasus ini memanaipulasi laporan keuangan dengan menggelembungkan
account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar rupiah pada laporan keuangan
Great River yang mengakibatkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan arus kas dan gagal
dalam membayar utang laba perusahaan. 
Dibenarkan dengan fakta bahwa pihak setempat mengetahuinya dengan sadar melakukan
penipuan tersebut berlandaskan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari hasil pemalsuan
laporan keuangan PT Great River International Tbk.
Tanggung Jawab Profesi
Terkait dengan kasus PT Great River International Tbk berhubung dengan kode etik
tanggung jawab profesi, terlihat bahwa seorang akuntan dan beserta anggota timnya tidak
bertanggung jawab atas profesinya sebagai akuntan. Pada kasus ini tidak terlihat seorang
akuntan memeliharan dan meningkatkan tradisi profesinya dengan baik yang seharusnya
memelihara kepercayaan para pemegang saham atas jasa yang diberikannya.

Kepentingan Publik
Auditor dan selaku akuntan PT Great River International Tbk yaitu Justinus Aditya Sidharta
sama sekali tidak melakukan yang sepenuhnya untuk kepentingan publik. Pada kasus ini
Justinus Aditya Sidharta malah mengutamakan kepentingan pribadinya sendiri dibanding
kepentingan publik seutuhnya. Terlihat bahwa Justinus tidak memiliki sikap tanggung jawab 
profesionalisme dengan integritas yang tinggi sebagai akuntan PT Great River International
Tbk.

Integritas
Bila dilihat menurut kode etik ini pada kasus PT Great River International Tbk , terlihat
sangat jelas bahwa PT Great River selaku perusahaan tidak memiliki integritas atas menjalani
kegiatan bisnis perusahaannya sehingga mengorbankan banyak karyawan dan para investor.
Selaku auditor pun juga tidak berprilaku sesuai dengan kode etik ini karena telah melakukan
penipuan  atau kecurangan pada laporan keuangan PT Great River International Tbk.

Obyektivitas
PT Great River International Tbk pada kasusnya tidak berlaku adil dan memihak kepada
salah satu auditor yang bekerja pada perusahaannya. PT Great River melakukan kecurangan
dengan melakukan perencanaan bersama auditornya untuk memberikan keuntungan terhadap
mereka. Justinus selaku auditor mengakui bahwa hal yang dilakukannya ini adalah hal yang
disadarinya dan disengaja karena ingin menambahkan nominal di beberapa aset untuk
menghindari dugaan dumping dan sanksi perpajakan, sebab katanya saldo laba bersih tidak
berbeda dengan yang diterima perusahaan.
Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Justinus Aditya Sidharta tidak menggunakan jasanya dengan hati-hati malah
menyalahgunakan profesinya sebagai akuntan PT Great River International Tbk. Justinus
tidak memberikan clien informasi yang kompeten dan komperehensif dengan ketekunan ilmu
yang dia miliki dengan disesuaikan informasi yang berlaku dengan sekarang. Sehingga
terlihat bahwa Justinus tidak mematuhi peraturan sebagai auditor yaitu harus kompetensi dan
hati-hati atas profesinya.

Kerahasiaan
Pada kasus PT Great River International Tbk, kode etik kerahasiaan yang diterapkan malah
menyimpang dengan aturan yang sebenarnya harus dipatuhi agar tidak dilanggar. PT Great
River melakukan kerahasiaan tetapi kerahasiaan dalam konteks yang berbeda. Kerahasiaan
yang dilakukannya bukannya menguntungkan pihak clien malah kenyataannya sebaliknya.
Selaku auditornya pun terlibat karena dia yang meberikan jasanya kepada clien atas kasus ini.
Dengan begitu, terlihat bahwa auditor PT Great River International Tbk melanggar kode etik
pada kerahasiaan.

Perilaku Profesional
Tindakan yang dilakukan perusahaan dan auditor pada kasus PT Great River International
Tbk menurut pandangan kode etik ini sangatlah tidak profesional. Mereka tidak berperilaku
profesional yang seharusnya seorang akuntan berperilaku profesional pada kliennya. Tidak
ada sama sekali rasa tanggung jawab dari diri mereka sendiri atas jasa yang mereka berikan
terhadap kliennya.

Standar Teknis
Standar teknis yang seharusnya relevan dan bersifat profesional pada PT Great River
International Tbk jauh dari kodek etik tersebut. Selaku auditor sama sekali tidak memberikan
jasanya dengan relevan kepada kliennya atas pemeriksaan laporan keuangan PT Great River
International Tbk.
Permohonan PKPU tersebut diajukan sehubungan dengan permohonan pailit yang diajukan
oleh Citibank atas utang senilai US $10 juta 16 November 1995. 

PT Great River International memperkirakan jumlah kewajibannya yang telah dan akan jatuh
tempo, di luar utangnya kepada Citibank, adalah sebesar US $179.291.292. Sedangkan total
aset yang dimiliki diperkirakan sebesar Rp1.674.716.315.355. 

Perusahaan garmen PT Great River International Tbk membukukan laba bersih sebesar Rp
1,023 trilyun per September 2002, melonjak dari periode yang sama tahun sebelumnya yang
masih membukukan rugi bersih Rp 11,298 milyar.

Namun mulai tahun 2002, PT. Great River International mulai mengalami kesulitan keuangan
dengan mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke
Pengadilan Niaga.
PT Great River International Tbk merupakan perusahaan pakaian jadi berkualitas tinggi dan
terkemuka di Indonesia. 

PT Great River International didirikan oleh Sukanta Tanudjaja dan Sunjoto Tanudjaja pada
tahun 1976 dengan nama PT. Great River Garments Industries. 

Kemudian pada tahun 1996 Berganti nama menjadi PT Great River International

Akuntan Publik (AP) Justinus Aditya Sidharta mulai menjadi auditor Great River sejak 2001.
Saat itu perusahaan masih kesulitan membayar utang US$150 Juta kepada Deutsche Bank.
Pada 2002, Great River mendapat potongan pokok utang 85 persen dan sisa utang dibayar
menggunakan pinjaman dari Bank Danamon. Setahun kemudian Great River menerbitkan
obligasi Rp 300 miliar untuk membayar pinjaman tersebut.

Kasus Great River berawal pada sekitar bulan Juli hingga September 2004. 
PT Bank Mandiri telah membeli obligasi PT Great River International, Tbk sebesar Rp50
miliar dan memberi fasilitas Kredit Investasi;  Kredit Modal Kerja;  dan Non Cash Loan
kepada PT. Great River Internasional senilai lebih dari Rp265 milyar yang diduga
mengandung unsur melawan hukum karena obligasi tersebut default dan kreditnya macet.
Obligasi tersebut saat ini berstatus default atau gagal, sedangkan kreditnya macet. Pembelian
obligasi dan pemberian kredit itu diduga kuat melawan hukum.
Thankyouuu
PELANGGARAN KODE ETIK

Sumber : https://prezi.com/fibq61zxjv5p/pt-great-river-international-tbk/

CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK YANG TERJADI PADA


SEBUAHKANTOR AKUNTAN PUBLIK (KAP)
Kasus 1
Akuntan Publik Petrus Mitra Winata Dibekukan Sulistiono
Kertawacana Wed, 28 Mar 2007 03:35:32 -0800
Kasus pelanggaran Standar Profesional Akuntan Publik kembali muncul.
Menteri Keuangan pun memberi sanksi pembekuan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membekukan izin Akuntan
Publik (AP) Drs. Petrus Mitra Winata dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs.
Mitra Winata dan Rekan selama dua tahun, terhitung sejak 15 Maret 2007.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan Samsuar Said
dalam siaran pers yang diterima Hukumonline, Selasa (27/3), menjelaskan
sanksi pembekuan izin diberikan karena akuntan publik tersebut melakukan
pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
Pelanggaran itu berkaitan dengan pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan
PT Muzatek Jaya tahun buku berakhir 31 Desember 2004 yang dilakukan
oleh Petrus. Selain itu, Petrus juga telah melakukan pelanggaran atas
pembatasan penugasan audit umum dengan melakukan audit umum atas
laporan keuangan PT Muzatek Jaya, PT Luhur Artha Kencana dan Apartemen
Nuansa Hijau sejak tahun buku 2001 sampai dengan 2004.
Selama izinnya dibekukan, Petrus dilarang memberikan jasa atestasi
termasuk audit umum, review, audit kinerja dan audit khusus. Yang
bersangkutan juga dilarang menjadi pemimpin rekan atau pemimpin cabang
KAP, namun dia tetap bertanggungjawab atas jasa-jasa yang telah diberikan,
serta wajib memenuhi ketentuan mengikuti Pendidikan Profesional
Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu tersebut sesuai dengan
Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor
359/KMK.06/2003.
Pembekuan izin yang dilakukan oleh Menkeu ini merupakan yang kesekian
kalinya. Pada 4 Januari 2007, Menkeu membekukan izin Akuntan Publik (AP)
Djoko Sutardjo dari Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno
selama 18 bulan. Djoko dinilai Menkeu telah melakukan pelanggaran atas
pembatasan penugasan audit dengan hanya melakukan audit umum atas
laporan keuangan PT Myoh Technology Tbk (MYOH). Penugasan ini
dilakukan secara berturut-turut sejak tahun buku 2002 hingga 2005.
Sebelumnya, di bulan November tahun lalu, Depkeu juga melakukan
pembekuan izin terhadap Akuntan Publik Justinus Aditya Sidharta. Dalam
kasus ini, Justinus terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap SPAP
berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT
Great River International Tbk (Great River) tahun 2003.
Kasus Great River sendiri mencuat ke publik seiring terjadinya gagal bayar
obligasi yang diterbitkan perusahaan produsen pakaian tersebut. Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)
mengindikasikan terjadi praktik overstatement (pernyataan berlebihan)
penyusunan laporan keuangan yang melibatkan auditor independen, yakni
akuntan publik Justinus Aditya Sidharta. Cukup satu saksi ahli Terhadap
kasus Great River, saat ini Bapepam-LK sedang meminta penilaian
independen dari saksi ahli untuk menuntaskan pemeriksaan kasus
overstatement laporan keuangan emiten berkode saham GRIV itu. Kepala
Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK Wahyu Hidayat mengatakan
akuntan publik akan dipanggil untuk memberikan penilaian terhadap kasus
laporan keuangan Great River. “Penyidikan Great River masih pada tahap
penyempurnaan, kami menyiapkan saksi ahli dari akuntan publik,” tuturnya
kepada pers, pekan lalu.
Pemanggilan saksi ahli oleh penyidik Bapepam-LK ini dibenarkan oleh UU No
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Alasannya, dalam Pasal 101 ayat 3 h UU
Pasar Modal disebutkan, penyidik Bapepam-LK berwenang meminta bantuan
ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
pasar modal.
Pasca pengambilan keterangan akuntan publik, otoritas pasar modal segera
menyusun berkas pemeriksaan overstatement laporan keuangan Great River
yang akan dilimpahkan ke Kejaksaan. Berkas itu, kata Wahyu, akan dibuat
terpisah dari berkas pemeriksaan direksi.
Ditambahkan oleh Wahyu saksi ahli kasus Great River bisa diambil dari
anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) asalkan independen. Dalam waktu
dekat ini, akuntan yang akan ditetapkan sebagai saksi ahli segera diumumkan
oleh otoritas pasar modal itu. “Satu saksi ahli cukup. Bisa dari IAI atau
siapapun, yang pasti independen. Kalau sudah cukup dengan saksi ahli itu,
langsung kami berkas,” sambungnya.
Sumber : http://akhmadfakhrudin11.blogspot.co.id/2012/10/contoh-kasus-pelanggaran-
kode-etik-yang.html

Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. Kimia


Farma Tbk.
Permasalahan

PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada
audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih
sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM).
Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu
besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002
laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan
kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang
disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau
24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku
yaitu kesalahan berupa overstatedpenjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral
berupaoverstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar
Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan
sebesar Rp 10,7 miliar.

Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam
daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya,
menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari
2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar
penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan
kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan
ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak
disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan
Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah
mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain
itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.

Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa


Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT
KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam
laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar
Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 –
Khusus huruf m – Perubahan Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan
Mendasar, sebagai berikut:

“Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan


dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan atau
kelalaian.

Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus
diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement) untuk
periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap masa
sebelum periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode.
Pengecualian dilakukan apabila dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur lain dalam
ketentuan masa transisi penerapan standar akuntansi keuangan baru”.

Sanksi dan Denda

Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang Nomor
8 tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 jo
Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di
Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero) Tbk. dikenakan sanksi administratif
berupa denda yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka:

1. Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan membayar
sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena
melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31 Desember 2001.

2. Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT Kimia Farma
(Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk
disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya
penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk. tersebut, meskipun
telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan
tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar
denda karena dianggap telah gagal menerapkan Persyaratan Profesional yang disyaratkan di
SPAP SA Seksi 110 – Tanggung Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04 Persyaratan
Profesional, dimana disebutkan bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor
independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor
independen.

 
Keterkaitan Akuntan Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk.

MUSTOFA—Mulai merintis kantor akuntan di Surabaya dengan nama Kantor Akuntan


Publik (KAP) Drs. Mustofa pada 1983. Setelah berkembang, KAP Mustofa merger
menjadi Kantor Akuntan Publik Mustofa, Tony dan Surjadinata (MTS) pada tahun 1987.
Pada tahun 1990, MTS merger dengan Kantor Akuntan Publik Hans & Co (Deloitte) dan
Capelle & Tuanakotta (CT). Kantor-kantor tersebut kemudian dikenal dengan Kantor
Akuntan Publik Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) yang menjadi member dari Deloitte
Touche Tohmatsu (DTT) International. HTM menjadi salah satu kantor akuntan Big Four
di Indonesia. Inilah sebuah perjalanan penting dalam sejarah karier Mustofa dan juga
KAP yang dirintisnya. Setelah pensiun sebagai akuntan publik, Mustofa menjabat
penasihat keuangan, Komisaris Utama, dan Komisaris Independen beberapa
perusahaan publik dan non-publik.

Sumber : http://buku.kompas.com/Produk/Buku/Technical/BRANDING-KANTOR-
AKUNTAN.aspx

Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan pemeriksaan atau penyidikan baik atas
manajemen lama direksi PT Kimia Farma Tbk. ataupun terhadap akuntan publik Hans
Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Dan akuntan publik (Hans Tuanakotta dan Mustofa) harus
bertanggung jawab, karena akuntan publik ini juga yang mengaudit Kimia Farma tahun buku
31 Desember 2001 dan dengan yang interim 30 Juni tahun 2002.

Pada saat audit 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan atas
laporan keuangan. Tapi setelah audit interim 2002 akuntan publik Hans Tuanakotta Mustofa
(HTM) menemukan kesalahan pencatatan alas laporan keuangan. Sehingga Bapepam sebagai
lembaga pengawas pasar modal bekerjasama dengan Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai
Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi para
akuntan publik untuk mencari bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan
pencatatan laporan keuangan pada PT. Kimia Farma Tbk. untuk tahun buku 2001.

Namun dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena mereka
adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam
pencatatan laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan apabila di temukan
adanya kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah
melaporkannya ke Bapepam. Dan apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor
tersebut dapat dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi
akuntan itu wajib melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran
peraturan pasar modal. Sehingga perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan PT.
Kimia Farma Tbk. dikarenakan adanya kesalahan pencatatan yang mendasar, akan tetapi
kebanyakan auditor mengatakan bahwa mereka telah mengaudit sesuai dengan standar
profesional akuntan publik. Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam
manipulasi laporan keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans
Tuanakotta & Mustofa (HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu
apakah berdasarkan laporan fiktif atau tidak.

Keterkaitan Manajemen Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk

Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus
dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik
negara untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor akuntan itu
menyatakan kembali (restated) hasil sesungguhnya dari laporan keuangan Kimia Farma
tahun buku 2001. Sementara itu, direksi lama yang terlibat akan diminta
pertanggungjawabannya. Seperti diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu
telah mencatatkan laba bersih 2001 sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa
dan telah terjadi penggelembungan. Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001
seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar. Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan
keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya
akan dipublikasikan kepada publik.

Setelah hasil audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta & Mustafa,
akan segera dilaporkan ke Bapepam. Dan Kimia Farma juga siap melakukan revisi dan
menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti ternyata ditemukan kesalahan dalam
pencatatan. Untuk itu, perlu dilaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa sebagai
bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada publik. Meskipun nantinya laba bersih Kimia
Farma hanya tercantum sebesar Rp 100 miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan
keuangan. Dalam persoalan Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab atas
terjadinya kesalahan pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba terlihat di-mark
up ini, merupakan kesalahan manajemen lama.

Kesalahan Pencatatan Laporan Keuangan Kimia Farma Tahun 2001

Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan
keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan dan
menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Bukti-bukti tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak
sengaja atau memang sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada
karena laporan keuangan itu telah dipakai investor untuk bertransaksi. Seperti diketahui,
perusahaan farmasi itu sempat melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam laporan
keuangan tahun buku 2001. Namun, kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku
pemegang saham mayoritas mengetahui adanya ketidakberesan laporan keuangan tersebut.
Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma, yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM)
menyajikan kembali (restated) laporan keuangan Kimia Farma 2001. HTM sendiri telah
mengoreksi laba bersih Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99 milliar. Koreksi ini
dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati para pemegang
saham Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam rapat tersebut,
akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui tidak memakai lagi jasa
HTM sebagai akuntan publik.

Dampak Terhadap Profesi Akuntan

Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas
dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi yang
menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair. Akuntan sudah
melanggar etika profesinya. Kejadian manipulasi pencatatan laporan keuangan yang
menyebabkan dampak yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak fair membuat
pemerintah campur tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan
dengan maksud mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika oleh para
akuntan publik.

PEMBAHASAN

Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP HTM
selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia Farma Tbk.)
dan pemberian opini atas laporan keuangan klien.

Dalam kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutanstakeholder mana ditinjau
dari segi kepentingan stakeholder adalah:

1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk.

2. Pemegang saham

3. Masyarakat luas

Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa
audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu
melakukan reviewmenyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena
kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan
penggelembungan nilai persediaan.

Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu tugas audit.
Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan ada risiko
manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM adalah KAP yang
telah berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah
ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti
hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan
pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya Kantor
Akuntan Publik tersebut.

Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan
dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan
keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus manipulasi
tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.

Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat diterapkan
oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai risiko etika, serta
menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder.

1. Mengidentifikasi dan menilai risiko etika

Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian risiko
etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:

A.) Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM

HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja parastakeholder yang
berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja
para stakeholder dan apa kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat
melakukan penilaian dalam pemenuhan harapan stakeholder melalui pembekalan kepada
para auditor senior dan junior sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.

B) Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi para stakeholder, dan


menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas audit.

C) Mengutamakan reputasi KAP HTM

Yaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran, kredibilitas,


reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja dalam
melakukan perbandingan.

Tiga tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM dapat
mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk
menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis mengambil
keuntungan dari kesempatan tersebut.

2. Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis


dengan stakeholder
KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari segi
kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stakeholder yang
dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi harapan
para stakeholder HTM.

https://davidparsaoran.wordpress.com/2009/11/04/skandal-manipulasi-laporan-
keuangan-pt-kimia-farma-tbk/

Anda mungkin juga menyukai