Oleh:
MOSES DICKY REFA SAPUTRA
8312419001
MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS BISNIS
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA
SURABAY
Maraknya kasus Garuda Indonsia pada tahun 2019 akibat kejanggalan yang terjadi
dalam laporan keuangannya menyebabkan muncul beberapa asumsi bahwa Garuda Indonesia
melakukan kecurangan dalam pelaporan laporan keuangnnya. Kontroversi ini bermula dari
kedua komisari Garuda Chairul Tanjung dan Dony Oskaria yaitu yang menolak untuk
menandatangani hasil laporan keuangan tahun 2018 dengan alasan menolak pencatatan atas
transaksi kerja sama dengan penyediaan layanan konektivitas (wifi) dalam penerbangan
dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) dalam pos pendapatan. Dikarenakan belum
adanya pembayaran yang diterima dari Mahata hingga tahun 2018 berakhir.
Pada 24 april 2019 Garuda mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan
(RUPST) dengan maksud mendapatkan persetujuan dari pemegang saham atas laporan
keuangan tahun 2018, akan tetapi Chairul Tanjung dan Dony Oskaria selaku pemilk saham
tidak memberikan persetujuannya atas perbedaan pendapat yang sudah dijelaskan diatas. Inti
dalam kasus ini adalah terdapat angka transaksi dengan Mahata sebesar US$239,94 juta yang
seharunya masuk dalam piutang akan tetapi oleh Garuda dicatat dalam pos pendapatan,
sehingga sangat mempengaruh neraca keuangan Garuda. Jika nominal dari kerja sama
tersebut tidak dicantumkan sebagai pendapatan, maka perusahaan sebenarnya masih merugi
US$244,96 juta. Sehingga laporan tersebut menyesatkan bagi pengguna informasi dimana
laporan keuangan Garuda yang semula rugi menjadi untung secara drastis. Selain itu terdapat
catatan bahwa laporan keuangan tersebut membuat Garuda membayar Pajak Penghasilan dan
Pajak Penambahan Nilai yang lebih tinggi dikarenakan belum adanya pembayaran dari kerja
sama dengan Mahata tetapi sudah dikenakan PPh dan PPN
Tidak hanya sampai disitu saja pasar saham merespon kasus tersebut, terbukti sehari
setelah kabar tersebut beredar saham Garuda merosot sebesar 4,4% dari sebelum adanya
kasus Rp. 500 per saham menjadi Rp 478 per saham hingga sempat turun di Rp 466 per
saham. Dalam kasus ini Bursa Efek Indonesia selaku penengah akan memanggil manager dan
komisaris terkait timbulnya perbedaan opini antara pihak komisaris dengan manjemen
terhadap laporan keuangan tahun buku 2018 selain itu BEI juga memanggil kantor akuntan
publik Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan selaku auditor laporan keuangan
perusahaan.
Pada 26 april beredar surat dari Sekretariat Bersama Serikat Karyawan Garuda
Indonesia (Sekarga) perihal rencana aksi mogok karyawan Garuda Indonesia. Aksi ini
berkaitan dengan penolakan laporan keuangan tahun 2018 oleh dua komisaris, dalam surat
tersebut tercantum bahwa pemegang saham telah merusak kepercayaan publik terhadap harga
saham Garuda Indonesia dan pelanggan setia maskapai tersebut
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan bahwa PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk melakukan kesalahan dalam pencatatan Laporan Keuangan Tahunan tahun
buku 2018. Pihak OJK mengungkapkan bahwa Garuda Indonesia telah terbukti melanggar
1. Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU PM) “(1)
Laporan keuangan yang disampaikan kepada Bapepam wajib disusun berdasarkan
prinsip akuntansi yang berlaku umum. (2) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bapepam dapat menentukan ketentuan akuntansi di bidang
Pasar Modal.”
2. Peraturan Bapepam dan LK Nomor VIII.G.7 tentang Penyajian dan Pengungkapan
Laporan Keuangan Emiten dan Perusahaan Publik.
3. Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8 tentang Penentuan Apakah Suatu
Perjanjian Mengandung Sewa.
4. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 30 tentang Sewa.
https://akuntansibisnis.files.wordpress.com/2012/11/viii-g-7.pdf
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190430174733-92-390927/kronologi-kisruh-
laporan-keuangan-garuda-indonesia
https://www.merdeka.com/uang/fakta-fakta-kesalahan-laporan-keuangan-garuda-indonesia-
hingga-dikenakan-sanksi/
https://www.wartaekonomi.co.id/read226810/rr-gcg-garuda-bermasalah-direksi-harus-
diganti.html