Anda di halaman 1dari 65

CORPORATE GOVERNANCE

“Protection of Shareholder Right”

Dosen Pengampu : Dr. Ruhul Fitrios, SE, M.Si, Ak, CA

Disusun Oleh :

YENNY WATI ( 1810246359 )

ANSHORI SYAFERNA PUTRA ( 1810246364 )

HENDY TIRTA KURNIA ( 1810246365 )

NOVIA KEPRIYANI ( 1710246649 )

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER AKUNTANSI

UNIVERSITAS RIAU

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 3


1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 6
1.3 Tujuan .......................................................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 7


2.1 OECD Principle (2004) ................................................................................................ 7
2.1.1 Prinsip Corporate Governance menurut OECD................................................. 7
2.2 Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG 2006) Pedoman Umum GCG ......... 21
2.2.1 Asas Good Corporate Governance .................................................................. 21
2.2.2 Pemegang Saham ............................................................................................ 22
2.2.2.1 Prinsip Dasar ..................................................................................... 22
2.2.2.2 Pedoman Pelaksanaan........................................................................ 22
2.3 ASEAN Corporate Governance Scorecard (Bagian A) .............................................. 24
2.4 Tinjauan Umum tentang Perlindungan Pemegang Saham Minoritas ........................... 27
2.5 Asas-Asas yang Harus Terpenuhi untuk Melindungi Pemegang Saham Minoritas ...... 30
2.6 Bentuk Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Menurut UUPT ................ 36
2.7 Bentuk Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Menurut UUPM ............... 47
2.8 Tindakan Derivatif ..................................................................................................... 52
2.9 Hasil Penelitian .......................................................................................................... 54

BAB III ANALISIS KASUS (PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk) .......................................... 55
3.1 Profil Perusahaan ...................................................................................................... 55
3.2 Sejarah Singkat ......................................................................................................... 55
3.3 Tata Kelola Perusahaan ............................................................................................ 57
3.4 Gugatan Pemegang Saham terhadap PT SLJ ............................................................. 58
3.5 Analisis .................................................................................................................... 60

BAB IV PENUTUP ............................................................................................................... 62


4.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 62

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 64

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan berkat, anugrah dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Corporate Governance. Makalah ini akan
memberikan informasi penjelasan mengenai Protection of Shareholder Right.
Isi dari makalah ini diharapkan dapat berguna dan dapat memberikan informasi bagi para
pembaca. Namun, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami menerima saran dan kritik untuk
penyempurnaan makalah ini.

Penyusun,

Kelompok

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan perekonomian Indonesia dewasa ini, menunjukan kecenderungan sektor
swasta semakin menonjol. Terlebih lagi dengan adanya serangkaian deregulasi ekonomi, peran
swasta yang kebanyakan memilih badan usaha berupa Perseroan Terbatas (PT) menjadi semakin
dominan jika dibandingkan dengan bentuk usaha lainnya.
Kedudukan PT sebagai institusi adalah sebagai badan hukum, sehingga ia adalah subyek
hukum, pelaku ekonomi, yang mempunyai beberapa nilai lebih dibandingkan dengan organisasi
ekonomi yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PT mempunyai nilai lebih baik
ditinjau dari aspek ekonomi maupun aspek yuridisnya. Kedua aspek tersebut saling mengisi satu
dengan lainnya. Aspek hukum memberikan rambu agar keseimbangan kepentingan semua pihak
dapat diterapkan dengan baik dalam menjalankan kegiatan ekonomi.
PT sebagai institusi kegiatan ekonomi memiliki struktur organisasi yang dianggap memiliki
kelebihan. Kelebihan tersebut terletak pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan
Komisaris serta tanggung jawabnya terhadap pemegang saham dan pihak ketiga sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Keberadaan RUPS sebagai organ
tertinggi yang mempunyai wewenang tertentu dan kewajiban direksi untuk meminta persetujuan
RUPS dalam melakukan tindakan tertentu dinilai merupakan bentuk perlindungan yang memadai
bagi pemegang saham dan pihak kreditur.
Pemilik modal sebagai pemegang saham dalam sebuah Perseroan Terbatas sangat
bervariatif seperti pemegang saham mayoritas atau pemegang saham minoritas, pemegang saham
mayoritas seringkali bergabung dalam suatu kelompok kekuatan yang kadang-kadang membuat
kedudukan para pemegang saham dalam kelompok tersebut tidak berimbang. Terhadap
pemegang saham mayoritas pada prinsipnya perlindungan hukum kepadanya cukup terjamin
terutama melalui mekanisme RUPS yang jika diambil keputusan secara musyawarah, maka akan
dipastikan kelompok pemilik saham mayoritas cenderung mempengaruhi keputusan RUPS.
Dalam mekanisme pengambilan keputusan di perusahaan dapat dipastikan pemegang
saham minoritas ini akan selalu kalah dibanding pemegang saham mayoritas, sebab pola

3
pengambilan keputusan didasarkan atas besarnya presentase saham yang dimiliki. Keadaan
demikian akan semakin parah, jika ternyata pemegang saham mayoritas menggunakan peluang
ini untuk mengendalikan perusahaan berdasarkan kepentingannya saja dan tidak mengindahkan
kepentingan pemegang saham minoritas. Benturan kepentingan antara pemegang saham
minoritas dan pemegang saham mayoritas seringkali terjadi, tidak jarang minority shareholders
hanya dijadikan sebuah pelengkap dalam sebuah perusahaan. Untuk itu, agar terpenuhinya unsur
keadilan, diperlukan suatu keseimbangan sehingga pihak pemegang saham minoritas tetap dapat
menikmati haknya.
Pemberlakuan prinsip keadilan dalam perseroan terbuka mengharuskan diberikan
kekuasaan tertinggi kepada RUPS dimana suara terbanyak yang akan menentukan arah kebijakan
perusahaan, tetapi kepada pihak pemegang saham minoritas seharusnya dijamin pula keadilan
dengan memberikan kepadanya hak-hak yang sesuai dengan asas Good Corporate Governance.
Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG)
sangatlah penting bagi suatu perusahaan dikarenakan mempunyai banyak manfaat yang
menguntungkan bagi pihak internal maupun eksternal perusahaan. Dan keseluruhan manfaat dari
penerimaan-penerimaan prinsip GCG bagi suatu perusahaan akan berujung pada peningkatan
nilai (value) perusahaan bagi para pemegang saham serta memenuhi kepentingan bagi para
pemangku kepentingan baik stakeholder maupun shareholder. Apalagi dikaitkan dengan
perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan pemegang saham minoritas dikarenakan
mengandung bentuk perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan pemegang saham minoritas.
PT. Sumalindo Lestari Jaya, Tbk merupakan salah satu perusahaan yang tidak melindungi
hak pemegang saham minoritas. Seperti yang dikutip pada www.liputan6.com PT Sumlindo
Lestari Jaya, Tbk diantaranya telah melakukan transaksi berupa peningkatan jualbeli saham pada
anak perusahaan, PT Sumalindo hutani Jaya sebesar 60% atau sebanyak 7.201.500 lembar saham
dengan pihak lain yaitu PT Tjiwi Kimia seharga Rp 7.201.500.000. hal tersebut tidak
didahulukan dengan adanya tindakan mempresentasikan maksud dan tujuan pelepasan saham di
hadapan RUPS-LB. Direksi PT Sumalindo telah melakukan pelanggaran terhadap pemegang
saham minoritas karena seharusnya direksi PT. Sumalindo menyampaikan maksud dan tujuannya
dihadapan RUPS setelah itu baru melakukan peningkatan jualbeli saham. Kedua penerapan Zero
Coupon Bond oleh direksi dan komisaris PT Sumalindo yang tidak disampaikan melalui RUPS
dan tidak diketahui oleh pemegang saham minoritas.

4
Dari contoh kasus tersebut, jelas menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip transparansi
atau keterbukaan. Yang mana prinsip transparansi atau keterbukaan merupakan salah satu unsur
pokok penerapan GCG (Sukamulja, 2004). Minimnya penerapan prinsip GCG berakibat
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas
(ArgaVella, 2016).
Beberapa penelitian tentang good corporate governant telah dilakukan, hasil penelitian
Arga (2016) menunjukan bahwa urgensi dari penerapan prinsip GCG sangatlah penting bagi
suatu perusahaan dikarenakan mempunyai banyak manfaat yang menguntungkan bagi pihak
internal perusahaan maupun pihak eksternal perusahaan. Dari keseluruhan manfaat dari
implementasi atau penerapan prinsip GCG bagi suatu perusahaan akan berujung pada
peningkatan nilai (value) perusahaan bagi para pemegang saham, serta pemenuhan kepentingan
bagi para pemangku kepentingan baik stakeholders maupun shareholders. Apalagi dikaitkan
dengan perlindungan hukum pemegang saham, keberadaan dari prinsip GCG sangat memberikan
perlindungan hukum bagi para pemegang saham pada khususnya pemegang saham minoritas
dikarenakan mengandung bentuk perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan pemegang
saham minoritas.
Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan, Rafael la Portaet (2000). Menunjukkan
bahwa perlindungan investor yang kuat merupakan manifestasi yang sangat penting dari
keamanan hak property terhadap campur tangan politik dibeberapa negara. Secara empiris
perlindungan investor yang kuat dikaitkan dengan tata kelola perushaan yang efektif.
Penerapan prinsip-prinsip good corporate governance dalam pengelolaan perusahaan dapat
memberikan suatu rasa aman bagi para pihak dalam perusahaan, karena dengan prinsip-prinsip
tersebut perusahaan dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya, para pihak dalam suatu perusahaan
tidak akan mendapat kenyamanan dalam perusahaannya bila pengelolaan perusahaan tidak
dijalankan dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.Oleh karena itu, perlu diketahui
bagaimana penerapan Good Corporate Governance dalam pengelolaan perusahaan sehingga
dapat melindungi kepentingan para pihak. Khususnya Kepentingan Pemegang Saham sebagai
pihak yang dirugikan bila terjadi benturan kepentingan. Berdasarkan latar belakang diatas kami
menyajikan pembahasan tentang Protection of Shareholder.

5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu
dikemukakan. Adapun perumusan masalah yang hendak dikemukakan tim penulis adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana prinsip II OECD: perlindungan atas hak-hak Pemegang Saham.
2. Bagaimana hak dan tanggungjawab pemegang saham menurut Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG).
3. Bagaimana aspek Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan) terhadap perlindungan
hak pemegang saham dengan studi dan analisis kasus pada suatu entitas (dikhususkan
perusahaan).

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tim penulis menentukan tujuan penulisan
makalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan perlindungan hak pemegang saham (Prinsip II OECD).
2. Untuk menjelaskan hak dan tanggungjawab pemegang saham menurut Komite Nasional
Kebijakan Governance (KNKG).
3. Untuk menjelaskan aspek Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan) terhadap
perlindungan hak pemegang saham dengan studi dan analisis kasus pada suatu entitas
(dikhususkan perusahaan).

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 OECD Principle (2004)


2.1.1 Prinsip Corporate Governance menurut OECD
Prinsip-prinsip dasar dari corporate governance, pada dasarnya memiliki tujuan untuk
memberikan kemajuan terhadap kinerja suatu perusahaan. Dalam OECD terdapat 6 prinsip yang
mengatur tentang corporate governance. Prinsip-prinsip tersebut secara garis besar menjelaskan
tentang kerangka kerja corporate governance, perlindungan atas hak-hak pemegang saham,
perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham, peranan stakeholders dalam corporate
governance, keterbukaan dan tranparansi, serta tanggung jawab dewan komisaris.
1. Menjamin Kerangka Dasar Coporate Governance Berjalan Efektif
Pada prinsip 1 ini menyatakan bahwa corporate governance harus mendorong terciptanya
pasar yang transparan dan efisien, sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan yang
berlaku, dan dapat dengan jelas memisahkan fungsi dan tanggung jawab otoritas-otoritas
yang memiliki pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum. Prinsip 1 OECD ini secara
lebih jelas membahas 4 subprinsip:
a. Kerangka corporate governance harus dikembangkan dengan mempertimbangkan
pengaruhnya terhadap perkembangan perekonomian secara keseluruhan, integritas pasar
dan insentif yang tercipta bagi pelaku pasar serta meningkatkan transparansi dan
efisiensi pasar.
b. Ketentuan hukum dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pelaksanaan
corporate governance harus sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku,
transparan dan dapat di tegakkan.
c. Pembagian tanggung jawab antar otoritas dalam suatu yurisdiksi harus diungkapkan
secara jelas dan dipastikan bahwa kepentingan masyarakat telah terpenuhi.
d. Otoritas dalam pengawasan, pengaturan dan penegakan hukum harus memiliki
kewenangan, integritas dan sumber daya dalam pemenuhan tugasnya secara profesional
dan objektif. Selanjutnya, keputusan-keputusannya harus tepat waktu, transparan, dan
jelas.

7
2. Hak-hak Pemegang Saham dan Fungsi-Fungsi Penting Kepemilikan Saham
A. Prinsip OECD tentang Tata kelola Perusahaan
Prinsip OECD ini pada dasarnya menjelaskan bahwa kerangka corporate governance
harus melindungi dan menunjang pelaksanaan hak-hak pemegang saham. Prinsip ini
dibagi atas 7 sub prinsip:
a. Hak-hak dasar pemegang saham harus mencakup hak untuk: memperoleh cara
pendaftaran yang aman atas kepemilikan, menyerahkan atau mengalihkan saham,
memperoleh informasi yang relevan atau material tentang perusahaan secara teratur
dan tepat waktu, berpartisipasi dan memberikan hak suara dalam rapat umum
pemegang saham, memilih dan mengganti anggota pengurus, dan memperoleh hak
atas bagian keuntungan perusahaan.
b. Pemegang saham harus memiliki hak untuk berpartisipasi dalam, dan diberikan
informasi yang cukup atas keputusan-keputusan tentang perubahan-perubahan
penting perusahaan seperti: perubahan anggaran dasar, akte pendirian, otorisasi
saham tambahan, dan transaksi luar biasa.
c. Pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara efektif dan
memberikan hak suara dalam RUPS dan harus diberikan informasi tentang aturan-
aturannya, termasuk tata cara pemungutan suara, yang mengatur penyelenggaraan
RUPS.
d. Struktur dan komposisi permodalan yang memungkinkan pemegang saham tertentu
untuk memperoleh tingkat pengendalian yang tidak proporsional dengan
kepemilikan sahamnya harus diungkapkan.
e. Pengalihan pengendalian perusahaan harus diperbolehkan agar berfungsi secara
efisien dan transparan.
f. Pelaksanaan hak-hak atas kepemilikan oleh seluruh pemegang saham, termasuk
investor kelembagaan, harus difasilitasi.
g. Pemegang saham, termasuk pemegang saham institusi, harus diperbolehkan untuk
saling berkonsultasi tentang masalah-masalah berkenaan dengan hak-hak dasar
pemegang saham.

8
Hak-hak pemegang saham yang dimaksudkan adalah hak untuk:
a. Menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan.
b. Mengalihkan atau memindahkan saham yang dimilikinya.
c. Memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur.
d. Ikut berperan dan memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham.
e. Memilih anggota Dewan Komisaris dan Direksi, serta memperoleh pembagian
keuntungan perusahaan.
Ke 5 hak pemegang saham tersebut harus dilindungi dan difasilitasi.

B. Anotasi/ Catatan/ Keterangan Prinsip OECD tetang Tatakelola Perusahaan


Kerangka tata kelola perusahaan harus melindungi dan memfasilitasi pelaksanaan hak
pemegang saham. Investor ekuitas memiliki hak kepemilikan tertentu. Misalnya,
pembagian saham di perusahaan publik dapat dibeli, dijual, atau ditransfer. Bagian
ekuitas juga memberi hak kepada investor untuk berpartisipasi dalam keuntungan
perusahaan, dengan kewajiban terbatas pada jumlah investasi. Selain itu, kepemilikan
saham memberikan hak atas informasi tentang perusahaan dan hak untuk mempengaruhi
perusahaan, terutama dengan berpartisipasi dalam rapat umum pemegang saham dan
dengan memberikan suara.
Namun, sebagai masalah praktis, korporasi tidak dapat dikelola oleh referendum
pemegang saham. Badan pemegang saham terdiri dari individu dan institusi yang
kepentingan, tujuan, cakrawala investasi dan kapabilitasnya berbeda-beda. Apalagi,
manajemen perusahaan harus bisa mengambil keputusan bisnis dengan cepat. Mengingat
kenyataan ini dan kompleksitas pengelolaan urusan korporasi di pasar yang bergerak
cepat dan selalu berubah, pemegang saham tidak diharapkan untuk bertanggung jawab
untuk mengelola aktivitas perusahaan. Tanggung jawab untuk strategi dan operasi
perusahaan biasanya ditempatkan di tangan dewan direksi dan tim manajemen yang
dipilih, termotivasi dan, jika perlu, diganti oleh dewan direksi.
Hak pemegang saham untuk mempengaruhi pusat korporasi pada masalah mendasar
tertentu, seperti pemilihan anggota dewan, atau cara lain untuk mempengaruhi
komposisi dewan direksi, amandemen dokumen organik perusahaan, persetujuan
transaksi luar biasa, dan masalah dasar lainnya sebagaimana ditentukan dalam undang-

9
undang perusahaan dan peraturan perusahaan internal. Bagian ini dapat dilihat sebagai
pernyataan hak-hak yang paling mendasar dari pemegang saham, yang diakui oleh
undang-undang di hampir semua negara OECD. Hak tambahan seperti persetujuan atau
pemilihan auditor, pencalonan langsung anggota dewan, kemampuan untuk
menjaminkan saham, persetujuan distribusi keuntungan, dan lain-lain, dapat ditemukan
di berbagai yurisdiksi.
1. Hak pemegang saham dasar harus mencakup hak untuk:
• Mengamankan metode pendaftaran kepemilikan.
• Menyampaikan atau mengalihkan saham.
• Memperoleh informasi yang relevan dan material mengenai korporasi secara
tepat waktu dan teratur.
• Berpartisipasi dan memilih dalam rapat umum pemegang saham.
• Memilih dan menghapus anggota dewan.
• Berbagi keuntungan perusahaan.
2. Pemegang saham harus memiliki hak untuk berpartisipasi, dan cukup mendapat
informasi, keputusan mengenai perubahan mendasar perusahaan seperti:
• Amandemen undang-undang, atau barang dari penggabungan atau dokumen
pemerintah yang serupa.
• Otorisasi saham tambahan.
• Transaksi luar biasa, termasuk pengalihan semua atau sebagian besar aset, yang
mengakibatkan penjualan perusahaan.

Kemampuan perusahaan untuk membentuk kemitraan dan perusahaan terkait dan untuk
mentransfer aset operasional, hak arus kas dan hak dan kewajiban lainnya kepada
mereka penting untuk fleksibilitas bisnis dan untuk mendelegasikan akuntabilitas dalam
organisasi yang kompleks. Hal ini juga memungkinkan perusahaan untuk melepaskan
diri dari aset operasional dan hanya menjadi perusahaan induk. Namun, tanpa checks
and balances yang tepat, kemungkinan semacam itu mungkin juga disalahgunakan.

C. Pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara efektif dan
memberikan suara dalam rapat umum pemegang saham dan harus diberitahu mengenai

10
peraturan, termasuk prosedur pemungutan suara, yang mengatur rapat umum pemegang
saham:
1. Pemegang saham harus dilengkapi dengan informasi yang cukup dan tepat waktu
mengenai tanggal, lokasi dan agenda rapat umum, serta informasi yang lengkap dan
tepat waktu mengenai hal-hal yang akan diputuskan pada pertemuan tersebut.
2. Pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada
dewan pengurus, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan audit
eksternal tahunan, untuk menempatkan item dalam agenda rapat umum, dan
mengusulkan resolusi, sesuai dengan batasan yang wajar.
Untuk mendorong partisipasi pemegang saham dalam rapat umum, beberapa
perusahaan telah meningkatkan kemampuan pemegang saham untuk menempatkan
item dalam agenda dengan menyederhanakan proses pengajuan amandemen dan
resolusi. Perbaikan juga dilakukan agar lebih mudah bagi pemegang saham
mengajukan pertanyaan sebelum rapat umum dan mendapatkan jawaban dari
anggota manajemen dan dewan direksi. Pemegang saham juga harus dapat
mengajukan pertanyaan terkait dengan laporan audit eksternal. Perusahaan
dibenarkan untuk memastikan bahwa penyalahgunaan kesempatan semacam itu
tidak terjadi. Masuk akal, misalnya, mensyaratkan agar resolusi pemegang saham
ditempatkan dalam agenda, mereka harus didukung oleh pemegang saham yang
memegang nilai pasar tertentu atau persentase saham atau hak suara.
Ambang batas ini harus ditentukan dengan mempertimbangkan tingkat konsentrasi
kepemilikan, untuk memastikan bahwa pemegang saham minoritas tidak secara
efektif dicegah untuk tidak memasukkan barang apapun ke dalam agenda. Resolusi
pemegang saham yang disetujui dan sesuai dengan kompetensi rapat pemegang
saham harus ditangani oleh dewan direksi.
3. Partisipasi pemegang saham yang efektif dalam keputusan tata kelola perusahaan
yang penting, seperti pencalonan dan pemilihan anggota dewan, harus difasilitasi.
Pemegang saham harus dapat membuat pandangan mereka diketahui mengenai
kebijakan remunerasi bagi anggota dewan dan eksekutif kunci. Komponen ekuitas
skema kompensasi untuk anggota dewan dan karyawan harus tunduk pada
persetujuan pemegang saham.

11
Untuk memilih anggota dewan adalah hak pemegang saham pokok. Agar proses
pemilihan efektif, pemegang saham harus dapat berpartisipasi dalam nominasi
anggota dewan dan memberikan suara pada calon individu atau daftar yang berbeda.
Untuk tujuan ini, pemegang saham memiliki akses di sejumlah negara ke materi
proxy perusahaan yang dikirim ke pemegang saham, walaupun terkadang tunduk
pada kondisi untuk mencegah penyalahgunaan. Sehubungan dengan pencalonan
kandidat, dewan di banyak perusahaan telah membentuk komite nominasi untuk
memastikan kepatuhan yang benar terhadap prosedur nominasi yang mapan dan
untuk memfasilitasi dan mengkoordinasikan pencarian dewan yang seimbang dan
berkualitas. Hal ini semakin dianggap sebagai praktik yang baik di banyak negara
bagi anggota dewan independen untuk memiliki peran kunci dalam komite ini.
Untuk lebih meningkatkan proses seleksi, prinsip juga menyerukan pengungkapan
penuh pengalaman dan latar belakang calon dewan dan proses nominasi, yang akan
memungkinkan penilaian informasi tentang kemampuan dan kesesuaian masing-
masing kandidat.
Prinsip-prinsip tersebut meminta pengungkapan kebijakan remunerasi oleh dewan
pengurus. Secara khusus, penting bagi pemegang saham untuk mengetahui hubungan
spesifik antara remunerasi dan kinerja perusahaan saat mereka menilai kemampuan
dewan direksi dan kualitas yang harus mereka cari dalam daftar calon anggota
dewan. Meskipun dewan dan kontrak eksekutif bukan subjek yang tepat untuk
disetujui oleh rapat umum pemegang saham, seharusnya ada cara untuk
mengekspresikan pandangan mereka. Beberapa negara telah memperkenalkan suara
penasehat yang menyampaikan kekuatan dan nada sentimen pemegang saham
kepada dewan tanpa membahayakan kontrak kerja. Dalam kasus skema berbasis
ekuitas, potensi mereka untuk mencairkan modal pemegang saham dan untuk secara
kuat menentukan insentif manajerial berarti bahwa mereka harus disetujui oleh
pemegang saham, baik untuk individu atau untuk kebijakan skema secara
keseluruhan. Dengan semakin banyaknya yurisdiksi, setiap perubahan material
terhadap skema yang ada juga harus disetujui.

12
4. Pemegang saham harus dapat memberikan suara secara langsung atau in absentia,
dan efek yang sama harus diberikan pada suara apakah pemain secara langsung atau
in absentia.
Prinsip-prinsip tersebut merekomendasikan agar pemungutan suara secara umum
diterima. Memang penting untuk promosi dan perlindungan hak pemegang saham
bahwa investor dapat menempatkan ketergantungan pada voting proxy yang
diarahkan. Kerangka kerja tata kelola perusahaan harus memastikan bahwa proxy
dipilih sesuai dengan arahan pemegang kuasanya dan pengungkapan tersebut
diberikan sehubungan dengan bagaimana proxy yang tidak diarahkan akan dipilih.
Dalam yurisdiksi mana perusahaan diizinkan memperoleh kuota, penting untuk
mengungkapkan bagaimana Ketua rapat (seperti penerima biasa dari pemegang
saham yang diperoleh perusahaan) akan menerapkan hak suara yang melekat pada
proxy yang tidak diarahkan. Dimana proxy dipegang oleh dewan atau manajemen
untuk dana pensiun perusahaan dan untuk rencana kepemilikan saham karyawan,
petunjuk pemungutan suara harus diungkapkan.
Tujuan memfasilitasi partisipasi pemegang saham menunjukkan bahwa perusahaan
mempertimbangkan penggunaan teknologi informasi dengan baik dalam
pemungutan suara, termasuk pemungutan suara elektronik yang aman secara in
absentia.

D. Struktur dan pengaturan modal yang memungkinkan pemegang saham tertentu


mendapatkan tingkat pengendalian yang tidak proporsional dengan kepemilikan ekuitas
mereka harus diungkapkan.
Beberapa struktur modal memungkinkan pemegang saham untuk melakukan kontrol
terhadap perusahaan yang tidak proporsional dengan kepemilikan saham pemegang
saham di perusahaan tersebut. Struktur piramid, kepemilikan saham silang dan saham
dengan hak suara terbatas atau multipel dapat digunakan untuk mengurangi kemampuan
pemegang saham yang tidak mengendalikan untuk mempengaruhi kebijakan perusahaan.
Selain hubungan kepemilikan, perangkat lain bisa mempengaruhi penguasaan korporasi.
Perjanjian pemegang saham adalah cara yang lazim bagi kelompok pemegang saham,
yang secara individu dapat memiliki saham ekuitas yang relatif kecil, bertindak dalam

13
konser sehingga dapat menjadi mayoritas efektif, atau setidaknya merupakan pemegang
saham tunggal terbesar. Perjanjian pemegang saham biasanya memberi mereka yang
berpartisipasi dalam perjanjian hak preferensial untuk membeli saham jika pihak lain
dalam perjanjian ingin menjual. Kesepakatan ini juga dapat berisi ketentuan yang
mengharuskan mereka menerima perjanjian untuk tidak menjual saham mereka untuk
waktu yang ditentukan. Kesepakatan pemegang saham dapat mencakup isu-isu seperti
bagaimana dewan atau Ketua akan dipilih. Kesepakatan tersebut juga dapat mewajibkan
mereka yang setuju untuk memilih sebagai blok. Beberapa negara telah merasa perlu
untuk memantau secara ketat kesepakatan semacam itu dan untuk membatasi durasi
mereka.
Voting caps membatasi jumlah suara yang dapat dilontarkan oleh pemegang saham,
berapa pun jumlah saham yang mungkin dimiliki pemegang saham. Dengan demikian,
hak voting mengurangi distribusi dan dapat mempengaruhi insentif bagi partisipasi
pemegang saham dalam rapat pemegang saham.
Dengan kapasitas mekanisme ini untuk mendistribusikan pengaruh pemegang saham
terhadap kebijakan perusahaan, pemegang saham dapat memperkirakan bahwa semua
struktur dan pengaturan modal tersebut harus diungkapkan.

E. Pasar untuk pengendalian perusahaan harus diizinkan berfungsi secara efisien dan
transparan.
1. Aturan dan prosedur yang mengatur perolehan kendali perusahaan di pasar modal,
dan transaksi luar biasa seperti merger, dan penjualan sebagian besar aset
perusahaan, harus diartikulasikan dan diungkapkan dengan jelas sehingga investor
memahami hak dan hak mereka. Transaksi harus dilakukan dengan harga yang
transparan dan dalam kondisi wajar yang melindungi hak semua pemegang saham
sesuai dengan kelas mereka.
2. Perangkat anti-pengambil-alih tidak boleh digunakan untuk melindungi manajemen
dan dewan pengurus dari pertanggungjawaban.
Di beberapa negara, perusahaan menggunakan perangkat anti-pengambil-alih.
Namun, baik investor maupun bursa saham telah menyatakan keprihatinannya atas
kemungkinan bahwa penggunaan perangkat anti-pengambil-alihan secara luas

14
mungkin merupakan hambatan serius bagi fungsi pasar untuk pengendalian
perusahaan. Dalam beberapa kasus, pertahanan pengambilalihan hanyalah perangkat
untuk melindungi manajemen atau dewan dari pemantauan pemegang saham. Dalam
menerapkan perangkat anti-pengambilalihan dan dalam menangani proposal
pengambilalihan, tugas fidusia dari pemegang saham kepada pemegang saham dan
perusahaan harus tetap penting.

F. Pelaksanaan hak kepemilikan oleh semua pemegang saham, termasuk investor institusi,
harus difasilitasi.
Karena investor dapat mengejar tujuan investasi yang berbeda, prinsip tersebut tidak
menganjurkan strategi investasi tertentu dan tidak berusaha menentukan tingkat optimal
dari aktivitas investor. Namun demikian, dalam mempertimbangkan biaya dan manfaat
penggunaan hak kepemilikan mereka, banyak investor cenderung menyimpulkan bahwa
keuntungan dan pertumbuhan finansial yang positif dapat diperoleh dengan melakukan
analisis yang memadai dan dengan menggunakan hak-hak mereka.
1. Investor institusional yang bertindak dalam kapasitas fidusia harus mengungkapkan
keseluruhan tata kelola perusahaan dan kebijakan pemungutan suara sehubungan
dengan investasi mereka, termasuk prosedur yang ada untuk menentukan
penggunaan hak suara mereka.
Hal ini semakin umum bagi saham yang harus dimiliki oleh investor institusi.
Efektivitas dan kredibilitas keseluruhan sistem tata kelola perusahaan dan
pengawasan perusahaan akan, oleh karena itu, sebagian besar bergantung pada
investor institusi yang dapat memanfaatkan hak pemegang saham mereka secara
tepat dan secara efektif menjalankan fungsi kepemilikan mereka di perusahaan
tempat mereka berinvestasi. Meskipun prinsip ini tidak mengharuskan investor
institusional untuk memilih saham mereka, namun peraturan tersebut meminta
pengungkapan tentang bagaimana mereka menggunakan hak kepemilikan mereka
dengan mempertimbangkan efektivitas biaya. Bagi institusi yang bertindak dalam
kapasitas fidusia, seperti dana pensiun, skema investasi kolektif dan beberapa
kegiatan perusahaan asuransi, hak untuk memilih dapat dianggap sebagai bagian dari
nilai investasi yang dilakukan atas nama klien mereka. Kegagalan untuk

15
menggunakan hak kepemilikan dapat mengakibatkan kerugian bagi investor yang
karenanya harus diberi tahu tentang kebijakan yang harus diikuti oleh investor
institusi.
Di beberapa negara, permintaan untuk pengungkapan kebijakan tata kelola
perusahaan ke pasar cukup rinci dan mencakup persyaratan untuk strategi eksplisit
mengenai keadaan dimana institusi tersebut akan melakukan intervensi di
perusahaan; pendekatan yang akan mereka gunakan untuk intervensi semacam itu;
dan bagaimana mereka akan menilai keefektifan strategi. Di beberapa negara
investor institusional diwajibkan untuk mengungkapkan rekaman suara mereka
sebenarnya atau dianggap sebagai praktik yang baik dan diterapkan dengan dasar
"terapkan atau jelaskan". Pengungkapan adalah untuk klien mereka (hanya
berkenaan dengan sekuritas masing-masing klien) atau, dalam hal penasihat investasi
ke perusahaan investasi yang terdaftar, ke pasar, yang merupakan prosedur yang
lebih murah. Pendekatan pelengkap untuk berpartisipasi dalam rapat pemegang
saham adalah untuk mengadakan dialog berkelanjutan dengan perusahaan portofolio.
Dialog antara investor institusi dan perusahaan semacam itu harus didorong,
terutama dengan mengangkat hambatan peraturan yang tidak perlu, walaupun
berkewajiban pada perusahaan untuk memperlakukan semua investor secara setara
dan tidak membocorkan informasi kepada investor institusional yang pada saat
bersamaan tidak tersedia pasar. Informasi tambahan yang diberikan oleh perusahaan
biasanya akan mencakup informasi latar belakang umum tentang pasar di mana
perusahaan beroperasi dan penjabaran lebih lanjut dari informasi yang sudah tersedia
ke pasar.
Ketika investor institusi fidusia telah mengembangkan dan mengungkapkan
kebijakan tata kelola perusahaan, penerapan yang efektif mengharuskan mereka juga
menyisihkan sumber daya manusia dan keuangan yang sesuai untuk menjalankan
kebijakan ini dengan cara yang dapat diterima oleh penerima manfaat dan
perusahaan portofolio mereka.
2. Investor institusional yang bertindak dalam kapasitas fidusia harus mengungkapkan
bagaimana mereka mengelola konflik kepentingan material yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan hak kepemilikan utama terkait investasi mereka.

16
Insentif bagi pemilik perantara untuk memilih saham mereka dan menjalankan
fungsi kepemilikan kunci, dalam keadaan tertentu, berbeda dari pemilik langsung.
Perbedaan semacam itu kadang terdengar komersial namun mungkin juga timbul
dari konflik kepentingan yang sangat akut ketika lembaga fidusia adalah anak
perusahaan atau afiliasi dari lembaga keuangan lain, dan terutama kelompok
keuangan terpadu. Bila timbul konflik seperti itu dari hubungan bisnis yang material,
misalnya melalui kesepakatan untuk mengelola dana perusahaan portofolio, konflik
tersebut harus diidentifikasi dan diungkapkan.
Pada saat yang sama, institusi harus mengungkapkan tindakan apa yang mereka
lakukan untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin terjadi pada
kemampuan mereka untuk menggunakan hak kepemilikan kunci. Tindakan tersebut
dapat mencakup pemisahan bonus pengelolaan dana dari yang terkait dengan
perolehan bisnis baru di tempat lain di organisasi.

G. Pemegang saham, termasuk pemegang saham institusional, harus diajak berkonsultasi


satu sama lain mengenai isu-isu mengenai hak pemegang saham dasar mereka
sebagaimana didefinisikan dalam prinsip, tunduk pada pengecualian untuk mencegah
penyalahgunaan.
Sudah lama diketahui bahwa pada perusahaan dengan kepemilikan yang tersebar,
pemegang saham individu mungkin memiliki saham perusahaan yang terlalu kecil untuk
menjamin biaya pengambilan tindakan atau untuk melakukan investasi dalam memantau
kinerja. Apalagi jika pemegang saham kecil melakukan investasi sumber daya dalam
kegiatan semacam itu, yang lain juga akan mendapatkan keuntungan tanpa memberikan
kontribusi (yaitu mereka adalah "pengendara bebas"). Efek ini, yang dapat menurunkan
insentif untuk pemantauan, mungkin kurang menjadi masalah bagi institusi, terutama
lembaga keuangan yang bertindak dalam kapasitas fidusia, dalam memutuskan apakah
akan meningkatkan kepemilikan mereka ke saham signifikan di perusahaan individual,
atau untuk sekadar melakukan diversifikasi. Namun, biaya lain yang berkaitan dengan
memegang saham penting mungkin masih tinggi. Dalam banyak kasus, investor
institusional dicegah melakukan ini karena berada di luar kapasitas mereka atau
memerlukan investasi lebih banyak aset mereka di satu perusahaan daripada mungkin

17
lebih bijaksana.Untuk mengatasi asimetri yang menguntungkan diversifikasi ini, mereka
harus diizinkan, dan bahkan didorong, untuk mengkoordinasikan dan
mengkoordinasikan tindakan mereka dalam mencalonkan dan memilih anggota dewan,
mengajukan proposal dalam agenda dan mengadakan diskusi langsung dengan
perusahaan untuk memperbaiki tata kelola perusahaan. Secara umum, pemegang saham
harus diizinkan untuk berkomunikasi satu sama lain tanpa harus mematuhi formalitas
ajakan proxy.
Namun, harus diakui bahwa kerjasama antara investor juga dapat digunakan untuk
memanipulasi pasar dan untuk mendapatkan kontrol atas perusahaan tanpa tunduk pada
peraturan pengambilalihan. Selain itu, kerjasama juga mungkin untuk tujuan
menghindari undang-undang persaingan. Untuk alasan ini, di beberapa negara,
kemampuan investor institusi untuk bekerja sama dalam strategi pemungutan suara
mereka terbatas atau dilarang. Perjanjian pemegang saham juga dapat dipantau secara
ketat. Namun, jika kerja sama tidak melibatkan masalah pengendalian perusahaan, atau
bertentangan dengan kekhawatiran tentang efisiensi dan keadilan pasar, manfaat
kepemilikan yang lebih efektif mungkin masih dapat diperoleh. Diperlukan
pengungkapan kerjasama antara investor, institusi atau lainnya, mungkin harus disertai
dengan ketentuan yang mencegah perdagangan untuk suatu periode sehingga
menghindari kemungkinan manipulasi pasar.

3. Perlakuan yang sama terhadap Pemegang Saham


Prinsip ke 3 ini menekankan bahwa perlu adanya perlakuan yang sama kepada seluruh
pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Semua
pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk menuntut atas pelanggaran hak-hak
mereka. Prinsip ini dibagi atas 3 sub prinsip. Pertama, perlakuan yang sama antara pemegang
saham dalam kelas saham yang sama. Kedua, larangan transaksi orang dalam dan
perdagangan tutup sendiri yang merugikan pihak lain. Ketiga, kewajiban dari komisaris,
direksi dan manajemen kunci untuk mengungkapkan kepentingannya kepada dewan
komisaris jika baik langsung maupun tidak langsung atau atas nama pihak ketiga mempunyai
kepentingan yang material dalam suatu transaksi atau suatu hal yang mempengaruhi
perusahaan.

18
4. Peranan Stakeholders dalam Corporate Governance
Kerangka corporate governance harus mengakui hak stakeholders yang dicakup oleh
perundang-undangan atau perjanjian dan mendukung secara aktif kerjasama antara
perusahaan dan stakeholders dalam menciptakan kesejahteraan, lapangan pekerjaan, dan
pertumbuhan yang bekesinambungan dari kondisi keuangan perusahaan yang dapat
diandalkan. Pertama-tama, hak-hak pemangku kepentingan yang dicakup dalam perundang-
undangan atau perjanjian harus dihormati. Jika kepentingan stakeholder dilindungi oleh
undang-undang, maka stakeholders seharusnya memiliki kesempatan untuk menuntut secara
efektif atas hak-hak yang dilanggar. Mekanisme peningkatan kinerja bagi partisipasi
karyawan harus diperkenankan untuk berkembang. Jika stakeholders berpartisipasi dalam
proses corporate governance, maka stakeholder harus memiliki akses atas informasi yang
relevan, memadai dan dapat diandalkan secara tepat waktu dan berkala. Stakeholders
termasuk didalamnya individu karyawan dan serikat karyawan, seharusnya dapat secara
bebas mengkomunikasikan kepedulian mereka terhadap praktik ilegal atau tidak etis kepada
dewan, dan tindakan tersebut seharusnya tidak merpengaruhi hak-hak mereka. Terakhir,
kerangka corporate governance harus dilengkapi dengan kerangka insolvency yang efisien
dan efektif serta penegakan hukum yang efektif atas hak-hak kreditur.

5. Keterbukaan dan Transparansi


Kerangka kerja corporate governance harus memastikan bahwa keterbukaan informasi yang
tepat waktu dan akurat dilakukan atas semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan,
termasuk di dalamnya keadaan keuangan, kinerja, kepemilikan dan tata kelola perusahaan.
Keterbukaan yang dimaksud harus meliputi, namun tidak terbatas pada informasi material
atas: keuangan dan hasil operasi perusahaan, tujuan perusahaan, kepemilikan saham
mayoritas dan hak suara, transaksi dengan pihak terkait, faktor-faktor risiko yang dapat
diperkirakan,hal-hal penting berkaitan dengan karyawan dan para stakeholder lainnya, dan
struktur dan kebijakan tata kelola khususnya berkaitan dengan isi dari pedoman atau
kebijakan tata kelola perusahaan dan penerapannya. Selain itu informasi harus disajikan dan
diungkapkan sesuai dengan standar akuntansi yang berkualitas tinggi dan keterbukaan
keuangan dan non-keuangan. Audit tahunan harus dilakukan oleh auditor yang independen,
kompeten dan memenuhi kualifikasi, dalam rangka menyediakan jaminan/kepastian

19
eksternal dan objektif kepada pengurus dan pemegang saham bahwa laporan keuangan
perusahaan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan
kinerja perusahaan. Auditor eksternal harus bertanggung jawab kepada pemegang saham dan
melaksanakan tugasnya terhadap perusahaan dengan menjaga/secara profesional selama
melakukan audit. Sementara itu media penyebaran informasi harus memberikan akses
informasi yang relevan bagi pengguna secara sama, tepat waktu dan biaya yang efisien.
Selanjutnya kerangka corporate governance harus mengarah dan mendorong terciptanya
ketentuan mengenai analisa atau saran dari analis, pedagang perantara efek, pemeringkat dan
pihak lainnya yang relevan dengan keputusan investor, tidak mengandung benturan
kepentingan yang material yang mungkin mempengaruhi integritas analisa atau saran yang
diberikan.

6. Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi


Kerangka kerja corporate governance harus memastikan pedoman strategis perusahaan,
monitoring yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, serta akuntabilitas dewan terhadap
perusahaan dan pemegang saham.
a. Anggota dewan harus bertindak berdasarkan informasi yang jelas, dengan itikad yang
baik, berdasarkan due diligence dan kehati-hatian, serta demi kepentingan perusahaan
dan pemegang saham.
b. Apabila keputusan dewan dapat mempengaruhi suatu kelompok pemegang saham secara
berbeda dengan kelompok pemegang saham lain, maka dewan harus memperlakukan
seluruh pemegang saham secara adil.
c. Dewan harus menerapkan standar etika yang tinggi dan memperhatikan kepentingan para
pemangku kepentingan.
d. Fungsi-fungsi utama harus dimiliki oleh suatu dewan.
e. Dewan harus dapat melaksanakan penilaian yang obyektif dan independen dalam
melakukan pengurusan perusahaan.
f. Dalam rangka memenuhi tanggung jawabnya, anggota dewan komisaris harus memiliki
akses terhadap infomasi yang akurat, relevan dan tepat waktu.

20
2.2 Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG 2006) Pedoman Umum GCG
Penerapan tata kelola perusahaan (corporate governance) dalam sebuah perusahaan
sangat penting sebagai salah satu proses untuk menjaga kesinambungan usaha perusahaan dalam
jangka panjang yang mengutamakan kepentingan para pemegang saham (shareholders).

2.2.1 Asas Good Corporate Governance


Dalam penerapan prinsip GCG, Perseroan telah menganut Pedoman Umum Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik yang ditetapkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
dengan penerapan TARIF, sebagai 5 pilar dasar dari GCG, yaitu: keterbukaan (transparency),
akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi
(independency), dan kesetaraan dan kewajaran (fairness). Penerapan 5 pilar dasar tersebut
diyakini oleh Perseroan sebagai instrumen yang dapat diandalkan dalam mengatur segala aspek
bisnis yang dijalankan oleh Perseroan, baik oleh Dewan Komisaris, Direksi, dan segenap
karyawan Perseroan, sehingga diharapkan dapat menciptakan keseimbangan dalam operasional
usaha Perseroan secara menyeluruh. Keseimbangan operasional usaha yang akan dicapai meliputi
segala bentuk kepentingan, baik individu maupun kelompok, baik internal maupun eksternal,
sehingga kepentingan Perseroan, shareholders, dan stakeholders akan mencapai titik ekuilibrium.

Asas Prinsip Dasar

Transparansi Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan


(Transparency) harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan
cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku
kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk
pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan
pemangku kepentingan lainnya.
Akuntabilitas Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya
(Accountability) secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola
secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan
dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat
yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

21
Responsibilitas Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
(Responsibility) melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam
jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate
citizen.
Independensi Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus
(Independency) dikelola secara independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi
oleh pihak lain.
Kewajaran dan Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
Kesetaraan(Fairness) memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

2.2.2 Pemegang Saham


2.2.2.1 Prinsip Dasar
Pemegang saham sebagai pemilik modal, memiliki hak dan tanggung jawab atas
perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan. Dalam
melaksanakan hak dan tanggung jawabnya, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Pemegang saham harus menyadari bahwa dalam melaksanakan hak dan tanggung jawabnya
harus memperhatikan juga kelangsungan hidup perusahaan.
2. Perusahaan harus menjamin dapat terpenuhinya hak dan tanggung jawab pemegang saham
atas dasar asas kewajaran dan kesetaraan (fairness) sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan anggaran dasar perusahaan.

2.2.2.2 Pedoman Pelaksanaan


1. Hak dan Tanggungjawab Pemegang Saham
a. Hak pemegang saham harus dilindungi dan dapat dilaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan. Hak pemegang saham
tersebut pada dasarnya meliputi:
 Hak untuk menghadiri, menyampaikan pendapat, dan memberikan suara
dalam RUPS berdasarkan ketentuan satu saham memberi hak kepada
pemegangnya untuk mengeluarkan satu suara.

22
 Hak untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan secara tepat waktu,
benar dan teratur, kecuali hal-hal yang bersifat rahasia, sehingga
memungkinkan pemegang saham membuat keputusan mengenai investasinya
dalam perusahaan berdasarkan informasi yang akurat.
 Hak untuk menerima bagian dari keuntungan perusahaan yang diperuntukkan
bagi pemegang saham dalam bentuk dividen dan pembagian keuntungan
lainnya, sebanding dengan jumlah saham yang dimilikinya.
 Hak untuk memperoleh penjelasan lengkap dan informasi yang akurat
mengenai prosedur yang harus dipenuhi berkenaan dengan penyelenggaraan
RUPS agar pemegang saham dapat berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan, termasuk keputusan mengenai hal-hal yang mempengaruhi
eksistensi perusahaan dan hak pemegang saham.
 Dalam hal terdapat lebih dari satu jenis dan klasifikasi saham dalam
perusahaan, maka: (i) setiap pemegang saham berhak mengeluarkan suara
sesuai dengan jenis, klasifikasi dan jumlah saham yang dimiliki; dan (ii)
setiap pemegang saham berhak untuk diperlakukan setara berdasarkan jenis
dan klasifikasi saham yang dimilikinya.
b. Pemegang saham harus menyadari tanggung jawabnya sebagai pemilik modal
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar
perusahaan. Tanggung jawab pemegang saham tersebut pada dasarnya meliputi:
 Pemegang saham pengendali harus dapat: (i) memperhatikan kepentingan
pemegang saham minoritas dan pemangku kepentingan lainnya sesuai
peraturan perundang-undangan; dan (ii) mengungkapkan kepada instansi
penegak hukum tentang pemegang saham pengendali yang sebenarnya
(ultimate shareholders) dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan, atau dalam hal diminta oleh otoritas
terkait.
 Pemegang saham minoritas bertanggung jawab untuk menggunakan haknya
dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan anggaran
dasar.

23
 Pemegang saham harus dapat: (i) memisahkan kepemilikan harta perusahaan
dengan kepemilikan harta pribadi; dan (ii) memisahkan fungsinya sebagai
pemegang saham dengan fungsinya sebagai anggota Dewan Komisaris atau
Direksi dalam hal pemegang saham menjabat pada salah satu dari kedua
organ tersebut.
 Dalam hal pemegang saham menjadi pemegang saham pengendali pada
beberapa perusahaan, perlu diupayakan agar akuntabilitas dan hubungan
antar-perusahaan dapat dilakukan secara jelas.

2. Tanggungjawab Perusahaan terhadap Hak dan Kewajiban Pemegang Saham


a. Perusahaan harus melindungi hak pemegang saham sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan.
b. Perusahaan harus menyelenggarakan daftar pemegang saham secara tertib sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar.
c. Perusahaan harus menyediakan informasi mengenai perusahaan secara tepat
waktu, benar dan teratur bagi pemegang saham, kecuali hal-hal yang bersifat
rahasia.
d. Perusahaan tidak boleh memihak pada pemegang saham tertentu dengan
memberikan informasi yang tidak diungkapkan kepada pemegang saham lainnya.
Informasi harus diberikan kepada semua pemegang saham tanpa menghiraukan
jenis dan klasifikasi saham yang dimilikinya.
e. Perusahaan harus dapat memberikan penjelasan lengkap dan informasi yang
akurat mengenai penyelenggaraan RUPS.
{Sumber: Pedoman GCG Indonesia tahun 2006 – Komite Kebijakan Nasional Governance
(KNKG)}

2.3 ASEAN Corporate Governance Scorecard (Bagian A)


Dalam memberikan penilaian pelaksanaan corporate governance bagi perusahaan go
public, ACMF mengembangkan ASEAN Corporate Governance Scorecard template. Terdapat 2
level penilaian, level 1 adalah five major sections terkait dengan prinsip-prinsip OECD,
sedangkan level 2 adalah two additional sections terkait bonus dan penalti.

24
Prinsip 2 OECD, yaitu hak pemegang saham diatur pada level 1 bagian A - ASEAN
Corporat Governance Scorecard. Terdapat 26 pertanyaan untuk menilai bagian A ini, yaitu :
No Code Question Guiding Reference
Level 1 : Major Section
A Rights of Shareholders
A.1 Basic Shareholder Rights
1 A.1.1 Does the company pay (interim and final/annual) OECD Principle II: The Rights of Shareholders
dividends in an equitable and timely manner; and Key Ownership Functions
that is, all shareholders are treated equally and (A) Basic shareholder rights should include
paid within 30 days after being (i) declared for the right to, amongst others: (6) share in the
interim dividends and (ii) approved by annual profits of the corporation.
general meeting (AGM) for final dividends?

A.2 Right to participate in decisions concerning fundamental corporate changes.


Do shareholders have the right to participate in:
2 A.2.1 Amendments to the company's constitution? OECD Principle II
(B) Shareholders should have the right to
participate in, and to be sufficiently
informed on, decisions concerning
fundamental corporate changes such as: (1)
amendments to the statutes, or articles of
incorporation or similar governing
documents of the company.

3 A.2.2 The authorisation of additional shares? OECD Principle II (B):


(2) the authorization of additional shares
4 A.2.3 The transfer of all or substantially all assets, OECD Principle II. (B):
which in effect results in the sale of the company? (3) extraordinary transactions, including the
transfer of all or substantially all assets, that
in effect result in the sale of the company

A.3 Right to participate effectively in and vote in general shareholder meetings and should be
5 A.3.1 Do shareholders have the opportunity, evidenced OECD Principle II (C):
by an agenda item, to approve remuneration (3) Effective shareholder participation in key
(fees, allowances, benefit-in-kind and other corporate governance decisions, such as the
emoluments) or any increases in remuneration nomination and election of board members,
for the non-executive directors/commissioners? should be facilitated. Shareholders should
be able to make their views known on the
6 A.3.2 Does the company provide non-controlling remuneration policy for board members and
shareholders a right to nominate candidates for key executives. The equity component of
board of directors/commissioners? compensation schemes for board members
7 A.3.3 Does the company allow shareholders to elect and employees should be subject to
directors/commissioners individually? shareholder approval.

25
No Code Question Guiding Reference
Level 1 : Major Section
8 A.3.4 Does the company disclose the voting and vote OECD Principle II (C):
tabulation procedures used, declaring both Shareholders should have the opportunity
before the meeting proceeds? to participate effectively and vote in general
shareholder meetings and should be
informed of the rules, including voting
procedures that govern general shareholder
meetings
9 A.3.5 Do the minutes of the most recent AGM record OECD Principle II (C):
that there was an opportunity allowing for (2) Shareholders should have the
shareholders to ask questions or raise issues? opportunity to ask questions to the board,
10 A.3.6 Do the minutes of the most recent AGM record including questions relating to the annual
questions and answers? external audit, to place items on the agenda
11 A.3.7 Did the disclosure of the outcome of the most of general meetings, and to propose
recent AGM include resolution(s)? resolutions, subject to reasonable
12 A.3.8 Did the company disclose the voting results limitations.
including approving, dissenting, and abstaining
votes for each agenda item for the most recent
AGM?
13 A.3.9 Did the company disclose the list of board OECD Principle II (C); and
members who attended the most recent AGM? ICGN 2.4.2:
14 A.3.10 Did the chairman of the board of All directors need to be able to allocate
directors/commissioners attend the most recent sufficient time to the board to perform their
AGM? responsibilities effectively, including
15 A.3.11 Did the CEO/Managing Director/President attend allowing some leeway for occasions when
the most recent AGM? greater than usual time demands are made.
16 A.3.12 Did the chairman of the Audit Committee attend
17 A.3.13 Did the company organise their most recent AGM OECD Principle II (C)
in an easy to reach location?
18 A.3.14 Does the company allow for voting in absentia? OECD Principle II (C): (4) Shareholders
should be able to vote in person or in
absentia, and equal effect should be given
to votes whether cast in person or in
absentia.
19 A.3.15 Did the company vote by poll (as opposed to by OECD Principle II (C)
show of hands) for all resolutions at the most
recent AGM?
20 A.3.16 Does the company disclose that it has appointed OECD Principle II (C)
an independent party (scrutineers/inspectors) to
count and/or validate the votes at the AGM?
21 A.3.17 Does the company make publicly available by the OECD Principle II (C):
next working day the result of the votes taken (1) Shareholders should be furnished with
during the most recent AGM for all resolutions? sufficient and timely information
concerning the date, location and agenda of
22 A.3.18 Do companies provide at least 21 days notice for general meetings, as well as full and timely
all resolutions? information regarding the issues to be
23 A.3.19 Does the company provide the rationale and decided at the meeting.
explanation for each agenda item which require
shareholders’ approval in the notice of
AGM/circulars and/or the accompanying
statement?

26
No Code Question Guiding Reference
Level 1 : Major Section
A.4 Markets for corporate control should be allowed to function in an efficient and transparent
24 A.4.1 In cases of mergers, acquisitions and/or OECD Principle II (E):
takeovers, does the board of Markets for corporate control should be
directors/commissioners of the offeree company allowed to function in an efficient and
A.5 The exercise of ownership rights by all shareholders, including institutional investors, should
25 A.5.1 Does the company publicly disclose policies to OECD Principle II (F):
encourage shareholders including institutional The exercise of ownership rights by all
shareholders to attend the AGM? shareholders, including institutional
26 A.5.2 Is the share ownership by institutional investors, investors, should be facilitated.
other than controlling shareholders, greater than
5%?

Bonus dan penalty terkait prinsip 2 OECD, yaitu hak pemegang saham diatur pada level 2
bagian A - ASEAN Corporate Governance Scorecard. Terdapat 2 pertanyaan untuk menilai level
2 bagian A ini, yaitu :
No Code Question Guiding Reference
Level 2 : Additional Section (Bonus & Penalty)
BONUS
A Rights of Shareholders
A.1 Right to participate effectively in and vote in general shareholders meeting and should be
1 A.1.1 (B) Does the company allow the use of secure OECD Principle II (C)
electronic voting in absentia at the general (4) Shareholders should be able to vote in
meetings of shareholders? person or in absentia, and equal effect
PENALTY
A Rights of Shareholders
A.1 Right to participate effectively in and vote in general shareholders meeting and should be
2 A.1.1 (P) Did the company fail or neglect to offer equal OECD Principle II (A)
treatment for share repurchases to all
shareholders?

2.4 Tinjauan Umum tentang Perlindungan Pemegang Saham Minoritas


Secara eksplisit pengertian pemegang saham minoritas tidak begitu dapat di definisikan,
hal ini dikarenakan antara perusahaan yang satu dengan yang lain seringkali berbeda presentase
antara pemegang saham minoritas dan mayoritasnya, sehingga definisi minoritas tiap perusahaan
pun berbeda-beda, akan tetapi Pengertian pemegang saham minoritas dapat kita simpulkan dari
ketentuan Pasal 79 ayat (2) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu
satu orang pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah, atau suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar PT yang bersangkutan.

27
Sehingga seringkali suaranya hanya sebagai pelengkap dalam RUPS. Pemegang saham
minoritas dan pemegang saham mayoritas mempunyai kepentingan yang seringkali bertentangan
satu sama lain, untuk itu agar dapat mencapai adanya suatu keadilan maka diperlukan suatu
keseimbangan sehingga pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas
mendapatkan haknya secara proporsional.
Untuk menjaga kepentingan di kedua belah pihak dikenal adanya prinsip Majority Rule
Minority Protection. Berdasarkan prinsip tersebut, maka setiap tindakan perseroan tidak boleh
membawa akibat kerugian terhadap pemegang saham minoritas perseroan terbatas. Banyak
tindakan curang yang dapat dilakukan dalam perseroan oleh direksi yang dikontrol oleh
pemegang saham mayoritas seperti tindakan yang mempunyai konflik kepentingan dengan
direksi atau pemegang saham mayoritas, seperti akuisisi internal, self deadling dan tindakan
corporate opportunity, menerbitkan saham lebih banyak sehingga pemegang saham minoritas
tenggelam dengan saham yang dipegangnya, mengalihkan asset perusahaan lain sehingga nilai
perusahaan yang mengalihkan tersebut menjadi kecil, tawaran berbagai cara untuk membeli
saham-saham dari pemegang saham minoritas, menjalankan perusahaan lain dengan cara
membeli saham-saham dari pemegang saham minoritas; membuat pengeluaran perusahaan
menjadi besar, seperti membayar gaji yang tinggi, sehingga perusahaan berkurang
keuntungannya, konsekuensinya deviden yang akan dibagikan kepada pemegang saham
minoritas menjadi berkurang, tidak membagi deviden dengan berbagai alasan, memecat direktur
dan/atau komisaris yang pro terhadap pemegang saham minoritas, menerbitkan saham khusus
yang dapat merugikan pemegang saham minoritas dan menghilangkan pengakuan pre-emptive
rights dalam anggaran dasar.
Bagi pemegang saham mayoritas seringkali pihak pemegang saham minoritas ibarat duri
dalam daging. Terutama ketika perusahaan sudah mulai berkembang, dalam hubungan dengan
pihak pemegang saham minoritas, pihak pemegang saham mayoritas mempunyai berbagai
kepentingan, antara lain :
a. Pihak mayoritas berniat untuk menanam lebih banyak lagi uang dalam perusahaan tersebut,
tetapi pemegang saham mayoritas segan untuk mempertaruhkan uangnya jika ada pihak lain
dalam perusahaan tersebut.
b. Pemegang saham mayoritas melalui direksi yang diangkatnya bekerja cukup keras untuk
membesarkan perusahaan, sedangkan pemegang saham minoritas umumnya diam saja, tetapi

28
dia ikut menikmati hasil dari perusahaan atas jerih payah pemegang saham mayoritas
tersebut. Jadi dalam hal ini pemegang saham minoritas ibarat “ penunggang bebas ”.
c. Pihak pemegang saham mayoritas cenderung membeli saham dari pihak minoritas pada saat
harga masih rendah, tidak masuk akal jika pembelian saham tersebut dilakukan pada saat
sahamnya menjadi mahal, dimana mahalnya saham tersebut juga akibat kerja keras dari
pemegang saham mayoritas lewat direksi yang di nominasinya.
d. Pihak pemegang saham mayoritas cenderung tidak terlalu terbuka kepada pemegang saham
minoritas berkenaan dengan keadaan financial perusahaannya, agar pihak minoritas tidak
memprotes penggunaan pemasukan perusahaan yang dianggap kurang layak, seperti
membayar gaji dan bonus yang terlalu besar. Lagipula, jika keadaan keuangan perusahaan
berkembang baik, maka membuka informasi kepada pihak minoritas akan cenderung
membuat pemegang saham minoritas menjual sahamnya kepada pihak mayoritas dengan
harga yang mahal, jika nantinya pihak mayoritas ingin membeli saham tersebut.
Mengingat begitu dominannya posisi pemegang saham mayoritas dalam suatu perusahaan
maka prinsip majority rule minority protection memberikan perlindungan terhadap pemegang
saham minoritas dengan memberikan hak-hak tertentu kepada pihak pemegang saham minoritas
perseroan terbatas yakni dengan memberikan kesempatan kepada pemegang saham minoritas
untuk mengambil inisiatif-inisiatif tertentu sehingga pelaksanaan bisnis perusahaan tidak
menimbulkan kerugian terhadap kepentingannya. Tanpa adanya inisiatif yang diambil oleh
pemegang saham minoritas bisa saja perusahaan tersebut ujung-ujungnya akan merugikan
kepentingan pemegang saham minoritas. Inisiatif tersebut misalnya dengan memberikan
kesempatan untuk memanggil dan menentukan mata agenda Rapat Umum Pemegang Saham
untuk membicarakan hal-hal khusus. Pemegang saham minoritas perlu juga diberikan hak untuk
memblokir atau menghambat tindakan-tindakan tertentu yang diambil oleh perusahaan yang
merugikan kepentingan pemegang saham minoritas. Misalnya dalam perusahaan terbuka,
ditangan pemegang saham minoritas (pemegang saham independent) ada hak untuk melarang
perusahaan melakukan transaksi yang berbenturan kepentingan dengan direksi atau komisaris
atau pemegang saham mayoritas.
Selain hal tersebut diatas pemegang saham minoritas juga perlu diberikan hak untuk
memaksa perusahaan untuk mengelola perusahaan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan anggaran dasar perusahaan, hal ini penting

29
karena pelanggaran hukum oleh perusahaan juga akan mengakibatkan kerugian pada pemegang
saham minoritas. Berikutnya perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas diberikan
dengan memberikan kompensasi atau ganti kerugian kepada pemegang saham minoritas apabila
memang terbukti adanya suatu kerugian yang diderita. Hak pemegang saham Menurut Sumantoro
dalam bukunya Nindyo Pramono berjudul “Sertifikasi Saham PT Go Publik dan Hukum Pasar
Modal di Indonesia”, secara umum dapat disebutkan bahwa hak-hak pemegang saham itu
berkaitan dengan antara lain:
1. Hak untuk mengeluarkan suara.
2. Hak untuk mengetahui jalannya perusahaan.
3. Hak untuk menerima keuntungan.
4. Hak untuk memeriksa pembukuan perusahaan.
5. Hak-hak yang berhubungan dengan likuiditas perusahaan.
6. Hak untuk menentukan pengurusan perusahaan.

2.5 Asas-Asas yang Harus Terpenuhi untuk Melindungi Pemegang Saham Minoritas
1. Keadilan antar pemegang saham untuk melindungi pemegang saham minoritas
Secara umum yang dimaksud dengan asas keadilan adalah kesetaraan atau kewajaran dalam
menemukan rasa adil bagi pihak-pihak yang terkait. Namun bila dikaitkan dengan
perlindungan terhadap pemegang saham minoritas maka asas keadilan yang dimaksud
adalah perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, baik pemegang saham
mayoritas maupun minoritas dengan keterbukaan informasi yang penting. Dalam hukum
perusahaan ataupun hukum secara umum nilai keadilan merupakan tujuan yang paling
utama sehingga perangkat hukum tentang perlindungan hukum terhadap pemegang saham
minoritas juga harus dititikberatkan kepada usaha pencapaian keadilan.
Pemberlakuan prinsip keadilan dalam perseroan terbuka mengharuskan diberikan
kekuasaan tertinggi kepada RUPS dimana suara terbanyak yang akan menentukan arah
kebijakan perusahaan, tetapi kepada pihak pemegang saham minoritas seharusnya dijamin
pula keadilan dengan memberikan kepadanya hak-hak yang sesuai dengan asas Good
Corporate Governance. Hal tersebut terkait dengan kepentingan pemegang saham minoritas
yang sering kali bertentangan dengan kepentingan pemegang saham mayoritas. Untuk
menjaga agar dapat terwujud suatu keseimbangan antara kedua belah pihak maka perlu

30
diterapkan prinsip majority rule minority protection. Menurut prinsip ini yang memerintah
di dalam perseroan tetaplah pihak mayoritas, tetapi kekuasaan tersebut harus dijalankan
dengan selalu melindungi pihak minoritas.
Kurangnya ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan pemegang saham
minoritas dalam perseroan terbatas terbuka terhadap sikap dan perilaku pemegang saham
mayoritas, direksi dan komisaris yang sewenang-wenang serta kurangnya modal
pengetahuan dan ketrampilan dan kemampuan untuk mengelola perusahaan menyebabkan
pemegang saham minoritas berada dalam posisi yang lemah dan otomatis hal tersebut
menyebabkan terdesaknya kepentingan pemegang saham minoritas. Hal inilah yang
menyebabkan tidak tercapainya keadilan sebagai suatu syarat terwujudnya prinsip Good
Corporate Governance.
Menurut John Rawls seperti dikutip oleh Munir Fuady, keadilan antara lain dapat
diperincikan sebagai berikut:
a. Terpenuhinya hak yang sama terhadap kebebasan dasar (equal liberties).
b. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga tercipta keuntungan maksimum
yang reasonable untuk setiap orang, termasuk bagi yang lemah (maximum minimorium)
dan terciptanya kesempatan bagi semua orang.
Senada dengan pendapat John Rawls maka mengingat posisi pemegang saham
mayoritas yang sedemikian dominannya maka diperlukan suatu perlindungan khusus
bagi pemegang saham minoritas untuk mencapai suatu kondisi keseimbangan antar
pemegang saham. Usaha untuk mencapai keadilan bagi pemegang saham minoritas ini
dilakukan antara lain dengan memberikan hak-hak tertentu kepada pemegang saham
minoritas.
2. Transparansi dalam perseroan terbatas terbuka untuk melindungi pemegang saham
minoritas
Kewajiban disclosure atau transparansi (keterbukaan informasi) dalam pengelolaan suatu
perseroan merupakan hal pokok yang harus dilakukan untuk mewujudkan prinsip Good
Corporate Governance. Hal tersebut dinyatakan pula oleh Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) seperti dikutip oleh Siswanto Sutojo dan E John
Aldridge “the corporate governance framework should ensure that timely and accurate

31
disclosure is made on all material matters regerding the corporation, including the
financial situation, performance ownershipand governance of the company”.
Dalam kutipan diatas jelas bahwa transparansi dan tepat waktu pengungkapan informasi
perusahaan (termasuk kondisi keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan dan tata kelola
perusahaan) sebagai salah satu inti dari Good Corporate Governance. Kewajiban disclosure
bagi suatu perseroan terbatas juga merupakan suatu dilema. Pada satu sisi kepentingan
masyarakat atau pihak-pihak lainnya termasuk pihak pemegang saham minoritas perlu
dilindungi dengan mengharuskan adanya keterbukaan informasi, akan tetapi di sisi lain
sampai batas-batas tertentu kepentingan perseroan atau kepentingan organ-organ perseroan
juga perlu dilindungi dengan tidak terlalu membuka diri pada pihak luar.
Prinsip Good Corporate Governance mensyaratkan kewajiban disclosure tersebut dengan
pendekatan yang bersifat lebih aktif. Bukan saja keterbukaan secara konvensional lewat
pengumuman di berita negara, tambahan berita negara atau surat-surat kabar, melainkan
juga secara aktif melakukan keterbukaan dengan menerapkan prinsip manajemen secara
terbuka dengan memberikan secara akurat, tepat waktu dan tepat sasaran terhadap sebanyak
mungkin akses kepada pihak pemegang saham minoritas, bahkan juga kepada pihak
stakeholder lainnya mengenai informasi dan kebijaksanaan dari perusahaan tersebut. Dalam
hal ini banyak informasi yang harus dibuka, seperti informasi tentang transaksi yang
berbenturan kepentingan (conflic of interest), kepemilikan saham oleh direksi atau
komisaris, investasi perusahaan lain, transaksi material, penjualan dan penjaminan aset
penting dari perusahaan.
Prinsip ini dapat diwujudkan antara lain dengan mengembangkan sistem akuntasi
(accounting system) yang berbasiskan standar akuntansi dan best practices yang menjamin
adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas, mengembangkan
information technology (IT) dan management information system (MIS) untuk menjamin
adanya pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif
oleh dewan komisaris dan direksi, mengembangkan enterprise risk management yang
memastikan bahwa semua resiko signifikan telah diidentifikasi, diukur, dan dapat dikelola
pada tingkat toleransi yang jelas, mengumumkan jabatan yang kosong secara terbuka.
Penerapan prinsip transaparansi ini bertujuan agar dapat menghindarkan perusahaan dari
kerugian besar karena tertutupnya informasi sebagai akibat tidak dapat diprediksi

32
sebelumnya. Dengan adanya transparansi maka pemilik dalam hal ini pemegang saham
dapat mendeteksi penyebab kerugian tersebut ataupun memperkirakan resiko yang mungkin
terjadi sebelumnya.
Secara praktis memang penerapan asas transparansi dalam pengelolaan perusahaan demi
terwujudnya prinsip Good Corporate Governance tidak ada hubungannya dengan
perlindungan terhadap pemegang saham minoritas perseroan terbatas terbuka, namun
sebenarnya penerapan keterbukaan informasi ini sangat melindungi kepentingan pemegang
saham minoritas, karena pemegang saham minoritas dapat mengetahui dan membaca
kondisi perseroan tepat pada waktunya sehingga kalau terjadi suatu hal maka dapat
secepatnya menentukan sikap agar resiko kerugian dapat diminimalkan. Selain itu adanya
keterbukaan informasi juga memberikan koridor yang akan memberikan batasan dalam
pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang berkuasa seperti pemegang saham
mayoritas, direksi dan komisaris untuk menyetujui suatu transaksi tertentu yang
menguntungkan pihak-pihak tersebut tapi mengabaikan kepentingan pemegang saham
minoritas.
3. Akuntabilitas dalam perseroan terbatas terbuka untuk melindungi pemegang saham
minoritas
Sebagimana diketahui, Akuntabilitas merupakan salah satu unsur dari Good Corporate
Governance. Dengan prinsip Akuntabilitas ini, maka keterbukaan informasi khususnya
yang berkenaan dengan keadaan keuangan sangatlah penting artinya dalam suatu
perusahaan. Untuk dapat dilakukan transparansi terhadap keadaan finansial perusahaan
tersebut, perhitungan keuangan, pembuatan neraca laba rugi dan pembukuan haruslah
menurut caracara yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam rangka keterbukaan informasi ini, patut didayagunakan kelebihan sistem two-tier
dari manajemen perusahaan sebagaimana yang dianut oleh negara-negara yang menerapkan
sistem hukum Eropa Kontinental termasuk Indonesia. Dengan sistem two-tier ini, yang
dimaksudkan adalah bahwa manajemen suatu perusahaan dipimpin oleh dua komando,
dimana yang satu melaksanakan operasional perusahaan yang dalam hal ini dilaksanakan
oleh direksi, sedangkan komando yang lain adalah dewan komisaris yang bertugas untuk
mengawasi, termasuk mengawasi bidang keuangan, terhadap direksi yang berarti juga
mengawasi jalannya perusahaan.

33
Demi dapat berfungsinya secara baik organ komisaris ini, yang berarti ikut mengawasi
keadaan keuangan perusahaan, maka kepada dewan komisaris tersebut diberikan
kewenangan untuk dapat mengakses ke pembukaan perusahaan, sehingga unsur
Akuntabilitas dapat terpenuhi. Agar fungsi kontrol dari komisaris tersebut dapat
diwujudkan secara baik, maka komposisi dewan komisaris harus sedemikian rupa sehingga
memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat bertindak
secara independen sehingga menjalankan tugasnya dengan mandiri dan kritis, dan dapat
mewakili kepentingan seluruh stakeholder dalam perseroan.
Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan menyiapkan laporan keuangan (financial
statement) pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat, mengembangkan komite
audit dan resiko untuk mendukung fungsi pengawasan oleh dewan komisaris,
mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit sebagai mitra
bisnis strategis berdasarkan best practice (bukan sekedar audit), menjaga manajemen
kontrak yang bertanggung jawab dan menangani pertentangan (dispute), penegakan hokum
(sistem penghargaan dan sanksi), menggunakan external auditor yang memenuhi syarat
(berbasis profesionalisme).
Dari sinilah Akuntabilitas yang merupakan unsur dari prinsip Good Corporate Governance
mampu memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas karena
adanya dewan komisaris dan proses pengawasan yang efektif maka praktek-praktek
kecurangan di dalam perusahaan dapat ditekan menjadi lebih rendah dan dominasi pihak
pemegang saham mayoritas yang merugikan pemegang saham minoritas juga dapat
ditanggulangi lebih baik lagi. Dengan demikian pemegang saham minoritas merasa lebih
aman dalam berinvestasi dan juga tidak merasa terabaikan.
4. Responsibilitas dalam perseroan terbatas terbuka untuk melindungi pemegang saham
minoritas
Yang ditekankan dalam asas responsibilitas disini adalah perusahaan haruslah berpegang
kepada hukum yang berlaku dan melakukan kegiatan dengan bertanggungjawab kepada
seluruh stakeholder dan kepada masyarakat, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan
yang merugikan para stakeholder tersebut. Untuk dapat mencapai sasaran dari asas
responsibilitas tersebut, sangat diperlukan kejelasan tanggung jawab, termasuk kejelasan
tanggungjawab antar organ perseroan atau antara tanggungjawab perseroan dengan

34
tanggungjawab individu. Dalam hubungannya untuk mencapai adanya suatu responsibilitas
maka harus ada hal-hal yang menjadi tanggung jawab Board of Directors (Dewan
pengurus) yaitu:
a. Menyusun strategi dan mengarahkan bisnis perusahaan.
b. Memonitor kinerja manajemen senior perusahaan dalam mencapai tujuan strategis
perusahaan.
c. Menghasilkan keuntungan yang optimal bagi para pemegang saham.
d. Menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak yang terkait dalam perusahaan
misalnya keseimbangan kepentingan pemegang saham mayoritas dan minoritas,
kepentingan pemegang saham dan kreditur.
Disamping keempat hal diatas Board of Directors tanggungjawab yang lain adalah menjaga
perusahaan mereka selalu mematuhi undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku,
termasuk undang-undang perpajakan, ketentuan hukum tentang persaingan usaha yang
sehat, perburuhan, lingkungan hidup, kesehatan dan keselamatan kerja. Selain itu Board of
Directors juga bertanggungjawab melindungi hak dan kepentingan para anggota
stakeholder non pemegang saham, termasuk karyawan perusahaan, para kreditur,
pelanggan, perusahaan pemasok dan masyarakat sekitar lokasi perusahaan atau proyek yang
mereka dirikan.
Dalam rangka menjalankan prinsip Good Corporate Governance, direksi suatu perusahaan
pada prinsipnya haruslah bertanggung jawab secara pribadi tidak hanya terhadap perbuatan
yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai pribadi, tetapi juga dalam hal-hal tertentu
terhadap perbuatan yang dia lakukan dalam kedudukannya sebagai direktur perusahaan.
Apabila melakukan secara sah suatu perbuatan tertentu dalam kedudukannya sebagai
direksi perusahaan tersebut, dalam artian bukan dalam kapasitasnya sebagai pribadi, maka
direksi tersebut telah melakukan tindakan perseroan, baik atau buruk akan dipikul oleh
perseroan. Namun dalam hal-hal tertentu terdapat pengecualian dimana sungguhpun itu
merupakan tindakan perseroan, dibuka kemungkinan bukan perusahaan yang
bertanggungjawab tapi pihak lainnya, dimana dalam hal tersebut sesuai dengan prinsip
piercing the corporate veil, ultra vires dan fiduciary duty yang pada dasarnya melegitimasi
pemindahan kewajiban hukum dari pundak perusahaan kepada pihak lain seperti pemegang
saham mayoritas, direksi atau komisaris.

35
Dari sinilah tampak peranan responsibilitas dalam perseroan terbatas terbuka untuk
melindungi stakeholder termasuk juga pemegang saham minoritas dari tindakan salah atau
tidak terpuji yang dilakukan oleh mereka, manakala kewajiban tersebut dipikulkan ke
pundak perusahaan, sama saja dengan membebankan kepada seluruh stakeholder mengingat
kerugian perusahaan akan menyebabkan bagian yang diterima stakeholder akan berkurang
atau terancam.

2.6 Bentuk Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Menurut UUPT


Kepercayaan dan kredibilitas pasar investasi merupakan hal utama yang harus tercermin
dari keberpihakan sistem hukum korporat pada kepentingan investor dari perbuatan-perbuatan
yang dapat menghancurkan kepercayaan investor. Selain itu, UUPT memberdayakan pemegang
saham minoritas untuk tidak diabaikan kepentingannya oleh siapa saja termasuk pemegang
saham mayoritas.
Penegakan hukum tidak boleh terlepas dari kerangka keadilan, karena kalau tidak
penegakan hukum malah akan menjadi counter productive, yang pada gilirannya akan menjadi
bumerang bagi perkembangan pasar investasi di Indonesia. Secara umum yang dimaksud dengan
asas keadilan adalah kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Namun bila dikaitkan
dengan upaya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas maka asas keadilan yang
dimaksud adalah perlakuan yang adil terhadap pemegang saham mayoritas dan pemegang saham
minoritas. Dalam bidang hukum perusahaan nilai keadilan merupakan tujuan yang paling utama
sehingga perangkat hukum tentang perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas
juga harus dititikberatkan kepada usaha pencapaian keadilan.
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas melakukan beberapa
terobosan, yang sebenarnya telah dilakukan oleh berbagai Undang-undang Perseroan di negara-
negara maju. Diantara terobosan tersebut adalah perlindungan terhadap pemegang saham
minoritas. Perlindungan tersebut terlihat dari beberapa pasal dalam UUPT, baik kepentingan
pribadi pemegang saham maupun kepentingan pemegang saham sebagai bagian dari perseroan,
terhadap perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh organ perseroan. Perlindungan ini berdasarkan
hak perseorangan (personal rights), dan kepentingannya sebagai bagian dari perseroan (hak
derivatif). Perlindungan tersebut meliputi hak-hak dalam UUPT sebagai berikut:

36
1. Hak meminta keterlibatan pengadilan
Pihak pemegang saham minoritas sebagai pihak yang merasa dirugikan kepentingannya
berhak untuk meminta dipulihkan haknya, untuk hal tersebutlah pemegang saham minoritas
berhak meminta keterlibatan pengadilan. UUPT mengatur hak meminta keterlibatan
pengadilan dalam Pasal 61 ayat (1), Pasal 80 ayat (1), Pasal 97 ayat (6), Pasal 114 ayat (6),
Pasal 138 ayat (2).
Pasal 61 ayat (1) :
“Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan
Negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa
alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.”
Pasal 80 ayat (1):
Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang
saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan untuk
menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS
tersebut.
Pasal 97 ayat (6):
“Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan
melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.”
Pasal 114 ayat (6):
“Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota
Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada
perseroan ke Pengadilan Negeri.”
Pasal 138 ayat (2):
“Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan
permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan Perseroan.”

37
Pasal 97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6) diatas merupakan derivative action atau derivative
suit yang telah diberikan UUPT kepada pemegang saham minoritas perseroan. Derivative
suit berarti gugatan yang berdasarkan pada hak utama (primary right) dari perseroan, tetapi
dilaksanakan oleh pemegang saham atas nama perseroan, atau dengan perkataan lain
derivative suit merupakan gugatan yang dilakukan oleh para pemegang saham untuk dan
atas nama perseroan. Jadi, jika dalam gugatan biasa, direksi yang mewakili perseroan, tetapi
dalam gugatan derivatif, justru pemegang sahamlah yang mewakili perseroan. Dalam
gugatan derivatif ini pihak tergugat adalah direksi perseroan atau bisa jadi perseroan itu
sendiri dalam statusnya sebagai badan hukum yang bisa menjadi subjek hukum perdata.
Sebenarnya ada beberapa sistem otoritas dan pembatasan tanggung jawab, namun dalam
hubungannya untuk melindungi pemegang saham minoritas perseroan terbatas, kedua ayat
inilah yang paling berperan. Hak meminta keterlibatan pengadilan sangatlah diperlukan
karena apabila ada hal yang dianggap tidak adil oleh pemegang saham minoritas maka
sektor hukum yang berperan untuk membalikkan keadaan sehingga keadilan yang telah
hilang dapat diketemukan kembali oleh pihak yang dieksploitasi.
2. Hak melakukan pemeriksaan dokumen perusahaan
Secara teoritis, pemegang saham minoritas mempunyai hak untuk mendapatkan akses
terhadap informasi yang berkenaan dengan perusahaan termasuk hak untuk mengakses ke
dokumen perusahaan. Hal ini dalam UUPT diatur dalam Pasal 138 ayat (3) huruf a.
Pasal 138 ayat (3) huruf a:
“Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh 1 (satu) pemegang
saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara.”
Hal itu sangat kontra sekali dengan maksud Pasal tersebut, karena dalam peraturan
selanjutnya, yakni Pasal 138 sampai dengan Pasal 141 UUPT, jelas terlihat bahwa adanya
ketentuan tersebut putus ditengah jalan. Sebab Pasal-Pasal ini hanya memberikan
kewenangan kepada pengadilan sebatas mengangkat ahli untuk memeriksa, menerima
laporan ahli yang memeriksa, dan menentukan biaya yang diperuntukkan untuk maksud
pemeriksaan tersebut. Kewenangan pengadilan dalam prosedur pemeriksaan sesuai dengan
Pasal-Pasal dalam UUPT hanya sampai disitu saja. Misalnya setelah dilakukan pemeriksaan
ternyata ditemukan ada perbuatan melawan hukum, maka pengadilan tidak dapat secara

38
otomatis dapat melanjutkan prosesnya, karena itu terserah kepada pihak-pihak yang
berkepentingan untuk memproses dalam prosedur lain. Jika harus dilanjutkan dengan
menggunakan jasa pengadilan maka harus melalui prosedur pengajuan gugatan kembali,
baik menggunakan gugatan biasa atau dengan gugatan derivatif.
Idealnya dalam hal ini diberikan juga tambahan kewenangan kepada pengadilan seperti
kewenangan memerintahkan penghentian perbuatan melawan hukum tersebut yang
cenderung merugikan pemegang saham minoritas, pemberian ganti rugi, pemberhentian
direksi yang merugikan tersebut, mengangkat direksi baru atas permohonan dari pemohon
dan bahkan pembubaran perusahaan bila keadaan memang sudah serius.
3. Hak mengusulkan dilaksanakannya RUPS
Pemegang saham minoritas juga mempunyai hak untuk mengusulkan agar diadakannya
RUPS jika beranggapan bahwa ada hal-hal penting yang perlu diputuskan dalam rapat. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 79 ayat (2) UUPT: “Penyelenggaraan RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan 1 (satu) atau lebih pemegang
saham yang bersamasama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih
kecil”.
Namun apabila direksi atau komisaris tidak mau menyelenggarakan RUPS atas permintaan
pemegang saham minoritas, pihak pemegang saham yang meminta diselenggarakannya
RUPS dapat mengajukannya ke Pengadilan Negeri untuk memberi izin agar pemegang
saham yang bersangkutan dapat menyelenggarakan sendiri RUPS. Hal ini diatur dalam
Pasal 80 UUPT ayat (1) Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan
pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5)
dan ayat (7), pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan
sendiri pemanggilan RUPS tersebut.
Disamping itu sebagai konsekuensi dari adanya hak untuk meminta diselenggarakannya
RUPS seharusnya pihak pemegang saham minoritas berhak pula untuk mengusulkan mata
agenda RUPS tersebut. Akan tetapi dalam batang tubuh UUPT tersebut tidak secara jelas
disebutkan mengenai hal tersebut.

39
4. Hak untuk meminta RUPS membubarkan perseroan
UUPT memberikan hak kepada pemegang saham minoritas dalam hal mengusulkan kepada
RUPS untuk membubarkan perusahaan yakni dalam Pasal 144 ayat (1) UUPT “Direksi,
Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit
1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat
mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS”. Sesuai dengan ketentuan Pasal
tersebut RUPS “dapat” tapi tidak “harus” membubarkan perseroan jika ada usulan dari
pemegang saham minimal 10% (sepuluh perseratus). Hal tersebut senada dengan Pasal 144
ayat (2) UUPT bahwa pembubaran PT sah apabila keputusan pembubaran tersebut telah
diambil RUPS yang sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89 yaitu :
Pasal 87 ayat (1):
“Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.”
Pasal 89 :
(1) RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan,
pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu
berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling
sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir
atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4
(tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan
keputusan RUPS yang lebih besar.
(2) Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat
diadakan RUPS kedua.
(3) RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil
keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika
disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang
dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan
tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8),
dan ayat (9) mutatis mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

40
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengenai
kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan
RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
Selain dari pengajuan pembubaran dalam RUPS, Pemegang saham (baik mayoritas maupun
minoritas) dapat mengajukan pembubaran perseroan kepada pengadilan, hal ini sesuai
dengan Pasal 146 ayat (1) :
Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan atas:
a. Permohonan Kejaksaan berdasarkan alasan perseroan melanggar kepentingan umum
atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan.
b. Permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam
akta pendirian.
c. Permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan
Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan. UUPT tidak menentukan dengan alasan
apakah suatu perusahaan dapat dibubarkan pengadilan atas permintaan pemegang
saham, namun UUPT menggarisbawahi bahwa alasan permohonan pembubaran
perseroan berdasarkan alasan perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan. Akan tetapi
secara ideal dapat dikatakan bahwa pengadilan membubarkan perusahaan jika setelah
dipertimbangkan ternyata perusahaan tersebut lebih baik dibubarkan daripada terus
dilanjutkan.
Suatu perusahaan lebih baik dibubarkan oleh pengadilan manakala terjadi salah satu atau
lebih dari hal-hal sebagai berikut :
1. Perusahaan, Direksi dan/atau Dewan Komisaris telah melakukan kegiatan untuk dan
atas nama perusahaan yang menyebabkan kerugian bagi stakeholder.
2. Sebelumnya telah ada kesepakatan tertulis antara seluruh pemegang saham bahwa pihak
pemegang saham minoritas tersebut berwenang meminta pembubaran perusahaan jika
terjadi hal-hal tertentu.
3. Meskipun barangkali belum insolvent tetapi keadaan keuangan perusahaan sudah
sedemikian parah sehingga memang perusahaan tersebut lebih tepat untuk dibubarkan.
4. Masa berlaku bagi perusahaan sudah berakhir.
5. Hak memperoleh keterbukaan informasi

41
UUPT sebagai sentral dalam perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas di
Indonesia, juga mengatur mengenai perwujudan dari asas transparansi yang merupakan
bagian terpenting dalam kerangka piker perlindungan hukum terhadap pemegang saham
minoritas, dalam hal ini UUPT mengimplementasikan asas transparansi terhadap pemegang
saham pada umumnya dan pemegang saham minoritas pada khususnya dalam Pasal-Pasal
yang mewajibkan PT untuk mengumumkan kegiatan atau dokumen tertentu PT melalui
beberapa sarana. Kewajiban pengumuman tersebut diantaranya adalah :
1. Pendirian perseroan yang diumumkan dalam Tambahan Berita Negara, diatur dalam
Pasal 30 ayat (1): Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia:
a. Akta pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4);
b. Akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
c. Akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri.
Pengaturan mengenai pengumuman perseroan juga diatur dalam Peraturan Menteri
Hukum Dan HAM nomor M. 02.HT.01.10 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengumuman
Perseroan Dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, yang berdasarkan
peraturan menteri tersebut dalam pasal 2 kewenangan untuk mengumumkan tersebut
dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen
Hukum dan HAM.
2. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau bentuk
lainnya, untuk penyetoran dalam bentukbenda tidak bergerak UUPT mengharuskan
diumumkan dalam satu surat kabar atau lebih, seperti yang diatur dalam Pasal 34 ayat
(3): “Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1
(satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta
pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut”.
3. Mengenai pengurangan modal, UUPT mewajibkan direksi sebagai organ pengurus
perseroan untuk memberitahukan tentang pengurangan modal perseroan yang
merupakan hasil keputusan RUPS yang telah dianggap sah dengan memperhatikan
persyaratan ketentuan kuorum dan jumlah suara setuju kepada semua kreditor dengan

42
mengumumkan dalam satu surat kabar atau lebih. Hal tersebut seperti diatur dalam
Pasal 44 ayat (2): “Direksi wajib memberitahukan keputusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada semua kreditor dengan mengumumkan dalam 1 (satu) atau lebih
Surat Kabar dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
keputusan RUPS”.
4. Perwujudan asas transparansi dalam UUPT juga nampak dalam hal laporan tahunan,
yang sangat memungkinkan pemegang saham untuk memeriksa secara langsung laporan
tahunan tersebut, hal ini sesuai dengan amanat Pasal 67 ayat (1): “Laporan tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) ditandatangani oleh semua anggota
Direksi dan semua anggota Dewan Komisaris yang menjabat pada tahun buku yang
bersangkutan dan disediakan di kantor Perseroan sejak tanggal panggilan RUPS untuk
dapat diperiksa oleh pemegang saham”.
5. Senada dengan transparansi dalam laporan tahunan, UUPT juga mewajibkan audit
laporan keuangan perseroan terbuka untuk dilakukan oleh akuntan publik, bukan
akuntan internal yang bertujuan untuk mendapatkan hasil audit yang lebih valid dan
terpercaya yang akan berimbas pada melindungi para pemegang saham termasuk
pemegang saham minoritas. Hal ini diatur dalam Pasal 68 ayat (1),
Pasal 68 ayat (1)
Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik untuk
diaudit apabila:
a. Kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/ atau mengelola dana
masyarakat;
b. Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat;
c. Perseroan merupakan Perseroan Terbuka;
d. Perseroan merupakan persero;
e. Perseroan mempunyai aset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah nilai
paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau
f. Diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. dan lebih lanjut lagi perwujudan
transparansi dalam perseroan terbuka terlihat dari neraca dan laporan laba rugi dari
laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik tersebut juga diumumkan dalam
satu surat kabar, hal ini sesuai dengan Pasal 68 ayat (4).

43
Pasal 68 ayat (4)
“Neraca dan laporan laba rugi dari laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b, dan huruf c setelah mendapat pengesahan RUPS diumumkan dalam
1 (satu) Surat Kabar”.
6. Keterbukaan dalam RUPS perseroan terbuka juga dianut UUPT yaitu kewajiban
dilakukannya pengumuman sebelum dilakukannya pemanggilan RUPS, hal ini diatur
dalam Pasal 83 ayat (1):
“Bagi Perseroan Terbuka, sebelum pemanggilan RUPS dilakukan wajib didahului
dengan pengumuman mengenai akan diadakan pemanggilan RUPS dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal”.
7. Mengenai pembatalan penggangkatan anggota direksi yang ternyata tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan juga wajib diumumkan dalam surat kabar, hal ini sangat
beralasan karena posisi direksi yang tidak berkualitas akan mengakibatkan kerugian
pada perseroan. Hal ini diatur dalam Pasal 95 ayat (2):
“Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, anggota
Direksi lainnya atau Dewan Komisaris harus mengumumkan batalnya pengangkatan
anggota Direksi yang bersangkutan dalam Surat Kabar dan memberitahukannya kepada
Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan”.
8. Untuk menjamin dilaksanakannya kewajiban disclosure, UUPT memberikan tugas
pelaporan kepada organ-organ tertentu dalam perseroan diantaranya adalah laporan
tahunan, laporan sewaktu-waktu, laporan kepada Menteri Hukum Dan HAM dan
laporan Conflict Of Interest. Mengenai laporan Conflict Of Interest, UUPT telah
mengatur kewajiban disclosure direktur dan komisaris tersebut dalam Pasal 101 ayat (1)
dan 116 :
Pasal 101 ayat (1):
“Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki
anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan
Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus”.
Pasal 116
Dewan Komisaris wajib :

44
a. Membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya;
b. Melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau
keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain; dan
c. Memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun
buku yang baru lampau kepada RUPS.
Diberlakukannya ketentuan wajib lapor oleh direktur maupun komisaris yang
sebenarnya merupakan salah satu pengejawantahan dari pemberlakuan prinsip fiduciary
duty, bertujuan antara lain untuk menghindari hal-hal yang tidak fair yang mungkin
timbul dan dapat merugikan kepentingan pemegang saham minoritas.
9. Perwujudan transparansi dalam UUPT juga nampak dalam hal rencana dilakukannya
penggabungan, pengambilalihan, atau pemisahan yaitu dengan mengumumkan
ringkasan rancangan dalam surat kabar dan pengumuman secara tertulis kepada
karyawan sebagai salah satu stakeholder yang akan cukup mendapatkan dampak dari
proses tersebut.
Hal ini diatur dalam Pasal 127 ayat (2):
Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan,
atau Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu)
Surat Kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang
akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
Sejalan dengan rencana dilakukannya penggabungan, pengambilalihan, atau pemisahan
yang harus diumumkan ke publik, maka hasil peleburan juga wajib diumumkan dalam
surat kabar, sesuai dengan amanat Pasal 133 ayat (1):
“Direksi Perseroan yang menerima Penggabungan atau Direksi Perseroan hasil
Peleburan wajib mengumumkan hasil Penggabungan atau Peleburan dalam 1 (satu)
Surat Kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal berlakunya Penggabungan atau Peleburan”.
Dalam hal likuidasi, juga terselip asas transparansi didalamnya, yaitu dalam Pasal 147
ayat (1),Pasal 149 ayat (1), Pasal 152 ayat (3):
Pasal 147 ayat (1):

45
Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan:
a. Kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara
mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara
Republik Indonesia; dan
b. Pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa
Perseroan dalam likuidasi.
Pasal 149 ayat (1):
Kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam
proses likuidasi meliputi pelaksanaan:
a. Pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan;’
b. Pengumuman dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai
rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;
c. Pembayaran kepada para kreditor;
d. Pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan
e. Tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan.
Secara garis besar perwujudan transparansi dalam UUPT menganut sistem
pengumuman tunggal, hanya dalam pendirian dan likuidasi yang menganut sistem
pengumuman ganda. Pengumuman tunggal disini lebih mengarah pada pengumuman
dengan media massa surat kabar, karena dengan pengumuman melalui surat kabar
cukup beralasan karena dewasa ini surat kabar sudah menjangkau pelosok negeri dan
sudah merupakan kebutuhan bagi setiap masyarakat sehingga pengumuman melalui
media massa surat kabar lebih transparan, efektif, dan cepat.

6. Hak untuk tidak menanggung kerugian yang diakibatkan oleh organ perseroan
Hak ini berkaitan erat dengan asas responsibilitas. UUPT juga telah mengatur tentang
responsibilitas yaitu dalam Pasal 97 ayat (3): “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab
penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)” dan
Pasal 114 ayat (3) : “Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan

46
tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. Secara umum kedua Pasal diatas
menunjukkan bahwa tanggung jawab seorang direksi dan komisaris tidak hanya bertugas
semata-mata untuk menjalankan bisnis perusahaan sehari-hari, membuat financial report,
mengikuti seluruh aturan hukum yang berlaku, akan tetapi prinsip resposibilitas
mengharapkan juga agar direksi dapat memenuhi kehendak masyarakat di lingkungannya
dan memenuhi kepentingan stakeholder-nya.
Hal lain yang juga terlihat sebagai perwujudan asas responsibilitas dalam UUPT adalah
Pasal 97 ayat (4) : “Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih,
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi
setiap anggota Direksi. Ini berarti bahwa dalam hal lebih dari seorang direktur yang
mewakili perseroan, apabila ada tindakan salah satu direksi yang merugikan perusahaan,
meskipun direksi yang lain tidak ikut selama itu masih tindakan perseroan maka direktur
yang lainnya yang sebenarnya tidak ikut berbuat, juga ikut bertanggung jawab secara
bersama-sama (renteng).
Dalam hal menghadapi kemungkinan adanya tindakan-tindakan direksi, komisaris ataupun
pemegang saham mayoritas yang merugikan kepentingan pemegang saham minoritas,
UUPT telah mengakomodasi tiga jenis gugatan yakni gugatan derivatif berdasarkan Pasal
97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6), gugatan pemegang saham yang bersifat keperdataan
untuk mempertahankan hak yang diatur dalam Pasal 61 ayat (1), dan gugatan pemegang
saham yang berkaitan dengan penyelenggaraan RUPS yang diatur dalam Pasal 79 ayat (2).

2.7 Bentuk Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Menurut UUPM


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1995 tentang pasar Modal yang
selanjutnya disebut UUPM maupun peraturan perundang-undangan dibawahnya juga ikut pula
mengatur mengenai upaya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, yaitu dalam
bentuk:
1. Pasal 82 ayat (2) UUPM jo. peraturan Bapepam Nomor IX.E.1 tahun 2008 tentang
pengaturan terhadap transaksi yang mengandung benturan kepentingan tertentu (conflict of
interest).
Secara jelas dalam UUPM yaitu dalam Pasal 82 ayat (2) UUPM pemegang saham minoritas
terlindungi dalam hal terjadinya transaksi berbenturan kepentingan, akan tetapi dalam pasal

47
tersebut keterlibatan pemegang sahm minoritas tidak mutlak, hal ini dikarenakan dalam pasal
tersebut UUPM hanya memberi otoritas kepada Bapepam untuk “Dapat” mewajibkan, jadi
dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa otoritas sepenuhnya ada di Bapepam, bukan
UUPM.seperti kutipan Pasal 82 ayat (2) UUPM di bawah ini:
“ Bapepam dapat mewajibkan emiten atau perusahaan publik untuk memperoleh persetujuan
pemegang saham independen untuk secara sah dapat melakukan transaksi yang berbenturan
kepentingan, yaitu antara emiten atau perusahaan publik dengan kepentingan ekonomis
pribadi direksi atau komisaris atau juga pemegang saham utama emiten atau perusahaan
publik”.
Dengan adanya otoritas yang diberikan oleh UUPM kepada Bapepam yang menentukan wajib
tidaknya keterlibatan pemegang saham minoritas dalam persetujuan transaksi berbenturan
kepentingan, maka Bapepam mempertegas dengan peraturan Bapepam Nomor IX.E.1 tahun
2008 tentang benturan kepentingan transaksi tertentu yang tercantum dalam pasal 3 huruf b :
“Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan wajib terlebih dahulu disetujui oleh para
Pemegang Saham Independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu dalam
Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana diatur dalam peraturan ini. Persetujuan
mengenai hal tersebut harus ditegaskan dalam bentuk akta notariil”.
Dengan peraturan Bapepam diatas maka semakin jelas bahwa secara mutlak pemegang saham
minoritas harus menyetujui apabila akan ada transaksi yang berbenturan kepentingan.
Pada umumnya pemegang saham independen adalah pemegang saham publik atau pemegang
saham minoritas yang harus mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Perseroan Terbatas. Peraturan Bapepam Nomor IX.E.1 pada pokoknya
merupakan penghormatan hak dan perlindungan kepentingan pemegang saham minoritas.
Ketentuan mengenai transaksi yang mengandung benturan kepentingan tertentu menunjukkan
bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal menjunjung hak dan
perlindungan pemegang saham minoritas suatu perseroan berdasarkan asas kesetaraan. Setiap
pemegang saham secara hukum dinyatakan berhak untuk ikut menentukan kebijakan
perseroan berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam RUPS yang teramat penting dan
membawa dampak bagi kepentingan pemegang saham. Secara prinsip peraturan ini bertujuan
:

48
a. Melindungi kepentingan pemegang saham independen yang umumnya merupakan
pemegang saham minoritas dari perbuatan yang melampaui kewenangan direksi dan
komisaris serta pemegang saham mayoritas dalam melakukan transaksi benturan tertentu
(Pasal 82 ayat (2) UUPM jo. Peraturan Bapepam Nomor IX.E.1).
b. Mengurangi kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh direksi, komisaris, atau
pemegang saham mayoritas untuk melakukan transaksi yang mengandung benturan
kepentingan tertentu.
c. Melaksanakan prinsip keterbukaan dan penghormatan terhadap hak pemegang saham
berdasarkan asas kesetaraan, persetujuan pemegang saham independen yang mewakili
lebih dari 50 % saham yang asa merupakan keharusan (Pasal 82 ayat (1) UUPM).
Pengaturan ini memberikan koridor yang akan membatasi pengambilan keputusan oleh pihak-
pihak yang berkuasa seperti pemegang saham mayoritas, direksi, dan komisaris perseroan
untuk bersepakat mengenai transaksi tertentu yang memberikan keuntungan pada pihak-pihak
tersebut dengan mengabaikan hak dan kepentingan pemegang saham minoritas. Pada
dasarnya ketentuan mengenai transaksi yang mengandung benturan kepentingan tertentu
bersifat preventif, menerapkan prinsip keterbukaan sebagai asas fundamental dalam pasar
modal dan lebih memberdayakan pemegang saham minoritas.
Pasal 82 ayat (2) jo. Peraturan Bapepam Nomor IX.E.1 merupakan bentuk perlindungan dari
dua sisi. Pertama, Bapepam sebagai otoritas tertinggi di bidang pasar modal mempunyai
kapasitas untuk menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang
berkaitan dengan transaksi benturan kepentingan tertentu. Penegakan hukum atas pelanggaran
benturan kepentingan tertentu merupakan tindakan represif. Artinya, perbuatan telah terjadi
dan kemungkinan kerugian pun telah dialami, sedangkan penerapan prinsip keterbukaan dan
pemberdayaan pemegang saham independen di dalam proses pengambilan keputusan
merupakan sarana hukum untuk mencegah transaksi benturan kepentingan tertentu yang biasa
menguntungkan pihak-pihak tertentu dan sekaligus merugikan perseroan.
Penerapan prinsip keterbukaan dan pemberdayaan pemegang saham independen merupakan
sarana preventif. Tindakan preventif jauh lebih baik daripada tindakan represif, namun
pemegang saham perlu memahami hak dan menggunakan haknya untuk memproteksi
kepentingannya sendiri.

49
2. Hak mendapatkan jaminan keamanan atas efek yang dimiliki, yang diatur dalam pasal 48 dan
49 UUPM
Dalam pasal 48 UUPM yang berbunyi : “Kustodian hanya dapat mengeluarkan Efek atau
dana yang tercatat pada rekening Efek atas perintah tertulis dari pemegang rekening atau
Pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya”. Dalam hal ini UUPM
memberikan perlindungan kepada pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas
dalam hal penitipan efek oleh Kustodian, yaitu Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek
dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga,
dan hak - hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang
menjadi nasabahnya yang memberikan hak kepada pemegang saham pada umumnya dan
pemegang saham minoritas pada khususnya untuk mendapatkan jaminan keamanan atas
seluruh efek yang dititipkan, sehingga secara yuridis kustodian juga harus bertanggung jawab
atas kerugian yang timbul akibat kelalaian dan kesalahannya. Hal ini sejalan dengan asas
responsibilitas dalam asas Good Corporate Governanace.
Dalam pasal 49 UUPM memungkinkan pemegang saham memperoleh kenyamanan dan
keamanan dalam mendaftarkan sahamnya dengan memperbolehkan perusahaan melimpahkan
wewenang pengadministrasian, pemindahan pemilikan, penyerahan atau penerimaan efek
kepada Biro Administrasi Efek (BAE). Dalam peraturan No. IX.J.1 angka 11 diatur mengenai
tata cara pemindahan hak atas nama harus dibuktikan dengan dokumen yang ditandatangani
oleh atau atas nama pihak yang menerimanya. Biro Administrasi Efek (BAE) bertanggung
jawab baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pemegang saham atas kerugian
yang timbul sebagai akibat kelalaiannya dalam melaksanakan tugas selain itu hak dasar
pemegang saham juga diwujudkan dengan adanya hak untuk mendapatkan informasi yang
relevan tentang perseroan tepat waktu dan mudah.
Dengan adanya jaminan keamanan dalam pendaftaran maka akan menimbulkan rasa aman
kepada investor dalam hal ini pemegang saham minoritas sesuai dengan tujuan pembangunan
di bidang pasar modal yaitu ikut meningkatkan minat investasi dan peningkatan
pembangunan ekonomi secara makro di Indonesia.
3. Hak memperoleh keterbukaan informasi
Dalam UUPM juga mengatur mengenai keterbukaan informasi dalam bidang pasar modal
yang merupakan pasar bagi perseroan terbuka dalam menawarkan perusahaan dan

50
memberikan pelayanan kepada investor yang termasuk didalamnya adalah pemegang saham
minoritas. Hak memperoleh keterbukaan informasi ini diatur dalam Pasal 85 sampai dengan
Pasal 89 UUPM yang mengatur kewajiban emiten atau perusahaan publik memberikan
informasi kepada publik termasuk pemegang saham minoritas mengenai keadaan perseroan
baik secara berkala maupun secara insidentil dalam hal terjadi peristiwa-peristiwa materiil
yang menyangkut perseroan.
Hak mengenai keterbukaan informasi yang terdapat dalam UUPM juga diperkuat dengan
peraturan Bapepam Nomor X.K.1 tahun 1996 Tentang Keterbukaan Informasi Yang Harus
Segera Diumumkan Kepada Publik yang mewajibkan Setiap Perusahaan Publik atau Emiten
yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif, harus menyampaikan kepada
Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat secepat mungkin, paling lambat akhir hari
kerja ke-2 (kedua) setelah keputusan atau terdapatnya Informasi atau Fakta Material yang
mungkin dapat mempengaruhi nilai Efek perusahaan atau keputusan investasi pemodal. Fakta
material yang dimaksud adalah :
a. Penggabungan usaha, pembelian saham, peleburan usaha, atau pembentukan usaha
patungan.
b. Pemecahan saham atau pembagian dividen saham.
c. Pendapatan dari dividen yang luar biasa sifatnya.
d. Perolehan atau kehilangan kontrak penting.
e. Produk atau penemuan baru yang berarti.
f. Perubahan dalam pengendalian atau perubahan penting dalam manajemen.
g. Pengumuman pembelian kembali atau pembayaran Efek yang bersifat utang.
h. Penjualan tambahan efek kepada masyarakat atau secara terbatas yang material
jumlahnya.
i. Pembelian, atau kerugian penjualan aktiva yang material.
j. Perselisihan tenaga kerja yang relatif penting.
k. Tuntutan hukum yang penting terhadap perusahaan, dan atau direktur dan komisaris
perusahaan.
l. Pengajuan tawaran untuk pembelian Efek perusahaan lain.
m. Penggantian Akuntan yang mengaudit perusahaan.
n. Penggantian Wali Amanat.

51
o. Perubahan tahun fiskal perusahaan.

2.8 Tindakan Derivatif


Ketentuan ini mengatur bahwa Pemegang saham dapat mengambil alih untuk mewakili
urusan perseroan demi kepentingan perseroan, karena ia menganggap Direksi dan atau Komisaris
telah lalai dalam kewajibannya terhadap perseroan.
1. Pemegang saham dapat melakukan tindakan-tindakan atau bertindak selaku wakil perseoran
dalam memperjuangkan kepentingan perseroan terhadap tindakan perseroan yang merugikan,
sebagai akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota Direksi dan atau pun
oleh komisaris (lihat ps.85 (3) jo. ps.98 (2) UUPT).
2. Melalui izin dari Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan
perseroan, pemegang saham dapat melakukan sendiri pemanggilan RUPS (baik RUPS
tahunan maupun RUPS lainnya) apabila direksi ataupun komisaris tidak menyelenggarakan
RUPS atau tidak melakukan pemanggilan RUPS (lihat ps.67 UUPT).
Hal ini memang dinilai wajar karena apabila perusahaan mengalami kerugian maka
pemegang saham mayoritas mengalami kerugian lebih besar daripada pemegang saham
minoritas. Dengan demikian, wajar jika pemegang saham mayoritas memiliki kekuasaan yang
lebih besar. Namun yang menjadi masalah adalah apabila kewenangan tersebut disalahgunakan
sehingga menimbulkan kerugian bagi pemegang saham minoritas. Untuk itu UUPT perlu
melindungi pemengang saham minoritas. Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan oleh
pemegang saham minoritas untuk melindungi kepentingannya bedasarkan UUPT antara lain :
a. Pengajuan gugatan.
Dalam pasal 61 ayat 1 UUPT disebutkan bahwa “Setiap pemegang saham berhak mengajukan
gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan
yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi,
dan/atau Dewan Komisaris”. Pada mekanisme ini, pemegang saham minoritas mengajukan
gugatan atas nama pribadi.
b. Derivative action / tindakan derivatif.
Tindakan derivatif ini dimaksudkan agar pemegang saham minoritas dapat mengajukan
gugatan atas nama perusahaan untuk membela kepentingannya. Tindakan derivatif ini diatur
dalam pasal 97 ayat 6 UUPT dimana disebutkan bahwa “Atas nama Perseroan, pemegang

52
saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota
Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan”.
Selain pasal 97 ayat 6, juga terdapat pasal 114 ayat 6 UUPT dimana disebutkan bahwa “Atas
nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh)
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan
Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke
pengadilan negeri”. Pada mekanisme ini, pemegang saham minoritas mengajukan gugatan
kepada baik anggota Direksi maupun Anggota Dewan Komisaris atas nama perseroan, namun
syaratnya adalah jumlah sahamnya minimal 1/10.
c. Hak untuk mengajukan pemeriksaan terhadap perusahaan.
Hak ini diatur dalam pasal 138 hingga 141 UUPT. Dalam pasal ini disebutkan bahwa satu
pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan permohonan pemeriksaan
terhadap perseroan dengan cara menyampaikan permohonan tertulis beserta alasannya ke
Pengadilan Negeri tempat kedudukan perseroan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan data dan keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa perseroan
melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pemegang saham atau
pihak ketiga. Ataupun terdapat dugaan bahwa anggota Direksi ataupun anggota Dewan
Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pemegang
saham atau pihak ketiga. Hak tersebut berlaku apabila pemegang saham minoritas telah
secara langsung meminta kepada perseroan mengenai data ataupun keterangan yang
dibutuhkan, namun perseroan menolak atau tidak memperhatikan permintaan tersebut.
d. Hak untuk menerima harga saham yang wajar.
Hak untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas pada saat pemegang saham
minoritas tidak setuju dengan keputusan yang diambil perseroan dan memutuskan untuk
menjual sahamnya. Hak ini mewajibkan perseroan untuk membeli saham tersebut dengan
harga yang wajar. Hak ini diatur dalam pasal 62 UUPT dimana disebutkan bahwa :
“Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan
harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang
merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:

53
1. perubahan anggaran dasar;
2. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50 %
(lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau
3. Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan”.
Meskipun terdapat beberapa ketentuan dalam UUPT yang ditujukan untuk melindungi
kepentingan pemegang saham minoritas, namun cara terbaik adalah dengan melakukan
tindakan preventif atau pencegahan. Nama perseroan akan menjadi rusak apabila diketahui
bahwa perseroan tersebut digugat oleh salah satu pemegang sahamnya. Untuk itu, seluruh
stakeholders dalam perseroan haruslah mengedepankan prinsip good corporate governance.
Jangan ada informasi-informasi yang ditutupi untuk menguntungkan diri sendiri.

2.9 Hasil Penelitian (Effects of Corporate Governance and Board Equity Ownership on
Earnings Quality)
Ada bukti bahwa orang dalam dapat mengatasi mekanisme pemantauan dan melaporkan
pendapatan berkualitas rendah, bahkan di perusahaan yang memenuhi legislatif baru dan standar
pertukaran untuk tata kelola. Oleh anggota dewan dan anggota dewan yang independen dan orang
dalam dapat menjadi sekutu. Kami menerapkan model kualitas pendapatan Dechow dan Dichev
(2002) untuk perusahaan publik di tahun 2002, dan mengidentifikasi ambang batas terkait dengan
kualitas pendapatan. Meskipun kualitas laba berkorelasi negatif dengan insider ownership untuk
perusahaan, kami juga menemukan bahwa efek entrenchment dapat menjadi mode yang dinilai
oleh struktur tata kelola. Temuan kami mendukung gabungan faktor-faktor tata kelola yang
menciptakan lingkungan tata kelola yang baik sebagai lawan dari kontrol tunggal (dewan
independen dan/atau komite audit). Kami menunjukkan bahwa kualitas laba dipengaruhi secara
langsung (Pergola et al., 2010).

54
BAB III
ANALISIS KASUS

PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk


3.1 Profil Perusahaan
PT.Sumalindo Lestari Jaya, Tbk adalah perusahaan kayu di Kalimantan Timur yang
terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sejak 21 Maret 1994.
Visi:
Menjadi industri perkayuan terpadu terbaik di dunia dan bertanggung jawab sosial, memberikan
solusi dengan menghasilkan produk-produk ramah lingkungan yang menggunakan bahan baku
dari hutan yang dikelola secara lestari.

Misi:
 Mengelola kelompok usaha industri perkayuan terpadu di bidang kayu lapis dan kayu lapis
olahan, MDF serta produk-produk turunan lainnya yang berkaitan dengan industri perkayuan
serta mempunyai tanggung jawab sosial;
 Menjaga keberlangsungan kebutuhan bahan baku yang dipenuhi dari hutan alam dan hutan
tanaman yang dikelola berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari;
 Melakukan proses produksi yang memenuhi standar ramah lingkungan; dan
 Memberikan nilai tambah produk melalui peningkatan nilai disetiap proses tahapannya,
pengembangan produk, sumber daya manusia dan jalur distribusi.
PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk berdiri sejak tanggal 14 April 1880 dan memiliki empat anak
perusahaan.

3.2 Sejarah Singkat


Sejak mulai awal dibentuk, PT SLJ mengkhususkan diri di bidang kehutanan dan industri
perkayuan dengan mengelola 1 areal IUPHHK (dahulu Hak Pengusahaan Hutan) seluas 132.000
ha dan pabrik kayu lapis dengan kapasitas produksi 66.000 m3/tahun. Pada Tahun 1985 PT SLJ
melakukan penggabungan usaha dengan 4 (empat) Perseroan perkayuan yakni PT. Rimba
Nusantara, PT. Emporium Lumber, PT. Rimba Lapis Permai dan PT. Gonpu Indonesia Limited.

55
Melalui penggabungan usaha tersebut PT SLJ mendapat tambahan areal hutan alam seluas
150.000 ha dan kapasitas produksi kayu lapis dan kayu lapis olahan menjadi 120.000m3/tahun.
PT SLJ kian berkembang hingga pada Tahun 1994 dan resmi menjadi Perseroan terbuka (Go
Publik) melalui Penawaran Umum 25.000.000 saham biasa atas nama kepada masyarakat dan
mencatatkan seluruh saham yang telah dikeluarkan di Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Dana yang dihasilkan dari penawaran umum ini membiayai investasi pembangunan industri
MDF dengan kapasitas produksi 100.000/m3 pertahun serta untuk membiayai pengembangan
hutan tanaman PT SLJ dan anak perusahaan. Pada tahun 1998 PT SLJ melakukan Penawaran
Umum Terbatas I dalam rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Right Issue I)
dengan menawarkan 343.750.000 saham. Dana yang dihasilkan untuk mengakuisisi seluruh
saham yang ditempatkan dan disetor di PT. Suryaraya Wahana (PT. SRW). PT.SRW adalah
Perseroan yang memiliki investasi di bidang industri MDF (MDF Line II) berkapasitas
100.000/m3 dengan spesifikasi produk berukuran tipis, industri perekat, memiliki ijin industri
pulp and paper serta pengembangan hutan tanaman. Pada tahun yang sama, usaha PT.SRW
tersebut digabungkan ke dalam PT SLJ.
Pada tahun 2002, PT. Astra International Tbk selaku pemegang saham mayoritas PT SLJ
sebesar 75% menjual seluruh kepemilikan sahamnya kepada PT. Sumber Graha Sejahtera (PT.
SGS). PT.SGS merupakan sebuah perseroan telah cukup lama berkecimpung di bidang
Perkayuan Indonesia. Pada bulan Juli 2006, PT SLJ melakukan Penawaran Umum Terbatas II
dengan menawarkan 155.713.448 saham dan sebanyak 155.713.488 waran seri I. Dana yang
dihasilkan dari Right Issue II sebagian besar digunakan untuk membiayai program Strategic Cost
Reduction Perseroan (pembangunan power plant dan mini rotary plant ). Diakhir tahun 2006, PT
SLJ mengakuisisi 60% saham PT. Orica Resindo Mahakam yang bergerak dibidang industri
perekat. Sebagian besar hasil produksi industri ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku perekat bagi pabrik PT SLJ.
Tahun 2008, PT SLJ mengambil alih areal IUPHHK Hutan Alam PT. Essam Timber yang
berlokasi di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur dengan luas 355.800 hektar.
Melalui anak perusahaan mereka yaitu PT. Sumalindo Alam Lestari, mereka mengambil alih 99.2
% saham PT. Wana Kaltim Lestari berupa suatu unit usaha hutan tanaman industri dengan luas
16.280 hektar di propinsi Kalimantan Timur.

56
Pada tahun 2009, PT SLJ kembali mendapatkan kepercayaan dari pemerintah dengan
memberikan 1(satu) ijin pengelolaan hutan alam seluas 69.765 ha yakni PT. Sumalindo Lestari
Jaya Tbk (PT. SLJ Tbk) sesuai SK 438/Menhut-II/2009 tanggal 27 Juli 2009. Areal baru ini
berlokasi di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, berdampingan dengan areal hutan alam PT
SLJ dan anak perusahaan lainnya yakni IUPHHK-HA PT. SLJ-Unit- II Long Bagun dan areal
IUPHHK- HA PT. Essam Timber.
Akhirnya pada tahun 2010, PT SLJ melaksanakan Penawaran Umum Terbatas (PUT) III
pada 24 Maret sampai 30 Maret 2010 dengan melepas saham sejumlah 1.236.022.311 lembar
saham. Diakhir tahun tersebut, PT SLJ melakukan divestasi sebagian saham pada anak
perusahaan mereka yaitu PT. Sumalindo Mitra Resindo.

3.3 Tata Kelola Perusahaan


Berikut adalah penjabaran tata kelola perusahaan yang tercantum dalam laporan keuangan
tahunan mereka yang dipublikasikan tahun 2015:
Dalam menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dengan sungguh-sungguh,
Dewan Komisaris perusahaan melakukan kontrol melalui fungsi utamanya sebagai pengawas
Direksi dalam menjalankan tata kelola perusahaan. Fungsi pengawasan Dewan Komisaris tersebut
dilaksanakan melalui mekanisme yang sudah ditentukan antara lain melalui optimalisasi fungsi
Komite Audit sebagai Komite independen yang dibentuk oleh Dewan Komisaris dan berperan
membantu Komisaris mendapatkan informasi mengenai kondisi serta aktifitas-aktifitas tertentu
yang sedang atau telah dilaksanakan oleh perusahaan, melalui laporan rutinnya.
Sementara itu Direksi perusahaan memastikan bahwa setiap rencana kerja, strategi maupun
kebijakan yang akan diambil dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan sehari-hari selalu
mengikutsertakan peran para karyawannya melalui divisi-divisi yang dibentuk dalam organisasi
sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dengan demikian apa yang diputuskan dan dilaksanakan
tetap berpedoman pada prinsip GCG, dan tentu berpedoman pula pada peraturan dan ketentuan
yang berlaku di bidang pasar modal, bidang kehutanan, anggaran dasar perusahaan serta peraturan
dan ketentuan lain yang berlaku.
Dalam menganut prinsip keterbukaan, perusahaan juga menugaskan salah seorang personil
sebagai sekertaris perusahaan. Fungsi dan peran utama dari Sekretaris perusahaan adalah:

57
 Sebagai penghubung antara perusahaan dengan lembaga regulator pasar modal yakni
Bapepam dan LK serta BEI dimana saham-saham perusahaan dicatatkan.
 Sebagai pusat informasi bagi para pemegang saham dan seluruh stakeholders yang
memerlukan informasi-informasi penting dan akurat yang berkaitan dengan kegiatan maupun
perkembangan perusahaan.
 Memberikan masukan kepada Direksi perusahaan agar tindakan korporat yang dilakukan
Direksi maupun transaksi yang dilakukan oleh korporat sesuai dengan peraturan dan
perundangan yang berlaku di pasar modal (Undang-undang no. 8 tahun 1995).
 Menyelenggarakan Rapat Pemegang Rapat Direksi, Rapat Dewan Komisaris.
 Menyampaikan setiap hal yang pertimbangan Direksi dan sesuai peraturan yang berlaku perlu
segera disampaikan kepada masyarakat.

3.4 Gugatan Pemegang Saham terhadap PT SLJ


Kasus sengketa di Sumalindo cukup menarik perhatian karena melibatkan pemegang saham
mayoritas sekaligus pendiri perusahaan (Sampoerna dan Sunarko), dengan pemegang saham
minoritas (Deddy Hartawan Jamin). Konflik di Sumalindo dipicu oleh anjloknya kinerja
perusahaan, bahkan terus merugi setiap tahunnya. Padahal dalam laporan tahunan perusahaan
patungan keluarga Sampoerna dan Sunarko pada 2012, total menguasai lebih dari 840 ribu
hektare hutan alam dan 73 ribu hektar hutan tanaman industri (HTI).
Dengan kapasitas produksi kayu lapis hingga 1,1 juta meter kubik per tahun, Sumalindo
menguasai lebih dari 30 persen pasar Indonesia dan termasuk lima besar produsen kayu di dunia.
Sejak 1980-an, keluarga Hasan Sunarko sudah malang melintang di bisnis kayu dengan bendera
Hasko Group dan PT Buana Alam Semesta. Adapun Sampoerna baru masuk ke industri hutan
pada 2007 dengan mengibarkan bendera Samko Timber, Ltd di bursa Singapura.Sebagai
perusahaan raksasa pemegang hak penguasaan hutan terbesar, hal itu tentu bukanlah sebuah hal
yang wajar. Indikator paling nyata adalah harga saham perusahaan yang pada 2007 senilai Rp
4.800, terjun bebas terjun bebas di kisaran Rp 100 pada 2012. Terkait hal tersebut, Deddy
Hartawan Jamin, pemilik 336, 27 juta saham atau 13,6 persen, sejak awal mempertanyakan
duduk soalnya kepada Direktur Utama Amir Sunarko bin Hasan Sunarko. Ketika itu, Direktur
Utama hanya menjawab bahwa Sumalindo merugi karena dampak krisis ekonomi 2008.
Sementara upaya untuk mendapat keterbukaan selalu kandas, bahkan di RUPS upaya ini selalu

58
digagalkan melalui voting, karena manajemen mendapat dukungan dari pemegang saham
mayoritas/pengendali.
Kenyataan bahwa selalu kalah dalam voting ketika meminta audit perusahaan, Deddy
Hartawan Jamin akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ada dua
hal yang dituntutnya, yakni audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit dalam bidang
industri kehutanan. Hasilnya, pada 9 Mei 2011 majelis hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan
permohonan tersebut. Upaya memperjuangkan keterbukaan ini sempat mendapat halangan dari
Sumalindo dengan mengajukan Kasasi di MA, namun mendapat penolakan tahun 2012.
Selain persoalan tersebut, Deddy Hartawan Jamin marasa yakin untuk memperkarakan
konflik tersebut ke meja hijau karena adanya sejumlah temuan penting, yakni:
1. Pada laporan keuangan Sumalindo tercetak “Piutang Ragu-Ragu” tanpa ada penjelasan
sedikit pun tentang siapa yang menerima utang tersebut. Padahal selama ini laporan keuangan
PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk diaudit oleh auditor Ernst & Young. Belakangan diketahui
bahwa Piutang Ragu-Ragu tersebut adalah pinjaman tanpa bunga sama sekali yang diberikan
kepada anak perusahaan Sumalindo, yakni PT Sumalindo Hutani Jaya (SHJ) mencapai lebih
dari Rp 140 miliar sejak 1997.
2. Terkait pernyataan Direktur Utama kepada Pemegang Saham Publik Minoritas bahwa PT
Sumalindo Hutani Jaya telah dijual kepada PT Tjiwi Kimia Tbk. Selain tidak memiliki
manfaat sama sekali bagi Sumalindo, penjualan tersebut dinilai sangat merugikan. Pada 1 Juli
2009, SHJ telah menerbitkan Zero Coupon Bond (surat utang tanpa bunga) atas utangnya
kepada Sumalindo sebesar 140 miliar lebih, untuk jangka waktu satu tahun. Atas dasar itulah,
bisa dikatakan arah dan tujuan penjualan anak perusahaan ini cukup mencurigakan. Pada 15
Juli 2009, tak lama setelah surat utang diterbitkan, Sumalindo dan pabrik kertas Tjiwi Kimia
menandatangani akta pengikatan jual beli. Selain memberi uang muka, Tjiwi Kimia
membayar kepada Sumalindo dengan cara mencicil selama tiga tahun, sebagian lainnya
dibayar dengan kayu hasil tebangan yang ada di areal eks lahan SHJ. Penentuan nilai aset
SHJ pun sarat kongkalikong, karena penilaian hanya didasarkan atas saham dan besaran utang
kepada Sumalindo. Padahal, banyaknya pohon yang ada di areal SHJ pun seharusnya masuk
dalam perhitungan aset.
3. Surat Menteri Kehutanan yang menyetujui penjualan SHJ kepada Tjiwi Kimia patut
dipertanyakan. Menteri Kehutanan merilis surat persetujuan pengalihan saham tersebut

59
tertanggal 1 Oktober 2009. Padahal Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB)
yang mengagendakan penjualan SHJ baru dilangsungkan pada 15 Oktober 2009. Apalagi
dalam salah satu klausulnya, ditegaskan bahwa jika terjadi sengketa di antara pemegang
saham, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan dan tidak melibatkan
Kementerian Kehutanan.

3.5 Analisis
Tidak adanya transparansi terkait audit pembukuan perusahaan dan audit dalam bidang
industri kehutanan. Berdasarkan OECD pada Prinsip II point A, mengenai hak dasar pemegang
saham point 3, yang berbunyi “ pemegang saham mendapatkan informasi perusahaan yang
relevan dan material secara tepat waktu dan teratur. Tidak adanya tranparansi yang dilakukan PT.
Sumalindo Lesatri Jaya, Tbk, melanggar salah satu prinsip Corporate Goverance yakni
Transparansi. Prinsip transparansi atau keterbukaan merupakan salah satu unsur pokok dalam
penerapan GCG dalam suatu perusahaan dan penerapan prinsip GCG dalam suatu perusahaan
sudah merupakan kebutuhan mutlak dalam suatu praktek korporat yang modern.
Pada PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk , RUPS ini selalu digagalkan melalui voting, karena
manajemen mendapat dukungan dari pemegang saham mayoritas/pengendali. Menurut KNKG,
Pedoman Pokok Pelaksanaan tentang “Pemegang saham minoritas bertanggung jawab untuk
menggunakan haknya dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan anggaran
dasar”. Hak Pemegang Minoritas, pada dasarnya ketentuan-ketentuan di bawah ini terutama
ditujukan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas dari kekuasaan pemegang
saham mayoritas.
1. Hak Menggugat
Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan melalui Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan perseroan, bila tindakan perseroan
merugikan kepentingannya (ps. 54 UUPT).
2. Hak Atas Akses Informasi Perusahaan
Pemegang saham dapat melakukan pemeriksaan terhadap perseroan, permintaan data atau
keterangan dilakukan apabila ada dugaan bahwa perseroan dan atau anggota direksi atau
komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau
pihak ketiga (lihat ps.110 UUPT).

60
3. Hak Atas Jalannya Perseroan
Pemegang saham dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk
membubarkan perseroan (lihat ps.117 UUPT).
4. Hak Perlakuan Wajar
Pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang
wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan
pemegang saham atau perseroan, berupa:
a. perubahan anggaran dasar perseroan;
b. penjualan, penjaminan, pertukaran sebagian besar atau seluruh kekayaan perseroan; atau
c. penggabungan, peleburan atau pengambilalihan perseroan.

Kesimpulan :
1. Perusahaan tidak memenuhi prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
2. Penerapan taata kelola perusahaan yang baik akan menambah nilai perusahaan bagi para
pemegang saham.
3. PT Sumalindo Lestari Jaya tidak menerapkan prinsip transparansi dan kewajaran sehingga
tidak terpenuhinya beberapa hak pemegang saham.

61
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Corporate governance atau tata kelola perusahaan adalah rangkaian proses, kebiasaan,
kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan
suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola perusahaan juga mencakup hubungan antara para
pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan pengelolaan perusahaan. Pihak-
pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang saham, manajemen, dan dewan
direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan, pemasok, pelanggan, bank dan
kreditor lain, regulator, lingkungan, serta masyarakat luas. Saat ini, penerapan corporate
governance bukan lagi merupakan pilihan bagi perusahaan, tetapi sudah menjadi keharusan untuk
diimplementasikan. Hal ini diperkuat dengan adanya tuntutan dari publik kepada perusahaan
untuk menerapkan corporate governance serta adanya regulasi yang mengatur penerapannya.
OECD mengelompokkan prinsip-prinsip corporate governance menjadi 6 bagian, yaitu :
1. Kerangka tata kelola (ensuring the basis for an effective corporate governance framework),
2. Perlindungan atas hak-hak pemegang saham (the rights of shareholders and key ownership
function),
3. Perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham (the equitable treatment of shareholders),
4. Peranan stakeholders dalam corporate governance (the role of stakeholders in corporate
governance),
5. Keterbukaan dan tranparansi (disclosure and transparency), dan
6. Tanggungjawab dewan komisaris (the responsibilities of the board).
Di Indonesia, praktek Good Corporate Governance (GCG) mulai banyak dikenal pada
saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Banyaknya bank dan perusahaan besar yang jatuh
pada saat krisis tersebut diduga karena buruknya corporate governance. Pengaturan penerapan
GCG di Indonesia berawal dari usulan penyempurnaan peraturan pada Bursa Efek Jakarta (BEJ),
yang sekarang bernama Bursa Efek Indonesia (BEJ) atau Indonesia Stock Exchange (IDX),
dimana para emitennya diwajibkan untuk mengangkat komisaris independen serta membentuk
audit commitee. Pada tahun 1999, pemerintah membentuk lembaga khusus yang bernama Komite

62
Nasional mengenai Kebijakan Corporate Governance (KNKCG). Tugas utama KNKCG adalah
merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional mengenai GCG, serta memprakarsai
dan memantau perbaikan di bidang corporate governance di Indonesia. Pedoman umum GCG
pertama kali muncul di tahun 2001 melalui KNKGC, disusul dengan pedoman CG bidang
Perbankan tahun 2004 dan Pedoman Komisaris Independen serta Pedoman Pembentukan Komite
Audit yang Efektif. Pada tahun 2004, KNKGC diubah menjadi Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) dengan diperluas cakupan tugasnya, yaitu tidak hanya sosialisasi
governance di sektor korporasi, tetapi juga sektor publik. KNKG menyempurnakan pedoman CG
pada tahun 2006.
ASEAN menyepakati rencana implementasi ASEAN Capital Market Forum (ACMF)
Implementation Plan pada tahun 2009 untuk mempromosikan pengembangan pasar modal yang
terintegrasi. Salah satu alat yang digunakan dalam memeringkat kinerja CG perusahaan publik di
ASEAN adalah dengan ASEAN Corporate Governance Scorecard. Prinsip-prinsip CG pada
OECD digunakan sebagai acuan dalam penyusunan scorecard tersebut. Hasil atas penilaian di
Indonesia adalah bahwa sebagian besar perusahaan publik belum menerapkan prinsip-prinsip CG
yang berlaku global. Hal ini terlihat dari rata-rata nilai 43,4% dengan nilai maksimum 75,4% dan
nilai minimum 20,8%. Berdasarkan hasil penilaian di tahun 2012 dan 2013, terdapat peningkatan
yang signifikan dalam tata kelola emiten di Indonesia. Namun, masih terdapat beberapa aspek
yang memerlukan perbaikan, terutama terkait dengan informasi agenda dan hasil RUPS,
informasi pada situs web emiten, serta proses nominasi direksi dan dewan komisaris.

63
DAFTAR PUSTAKA

ASEAN Capital Market Forum (ACMF). ASEAN Corporate Governance Scorecard: Country
Reports and Assesments 2012-2013.

Komite Kebijakan Nasional Governance (KNKG). 2006. Pedoman GCG Indonesia.

OECD. 2015. G20/OECD Principles of Corporate Governance. Paris: OECD Publishing.

Peraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) No.32/POJK.04/2014 tentang Rencana dan


Penyelenggaraan RUPS Perusahaan Terbuka.

64

Anda mungkin juga menyukai