Disusun Oleh:
M. HAFIDZ AKBAR
01044881719011
Dosen Pengajar :
Relasari, S.E.,M.Si.,Ak.,CA
Dari penjelasan diatas, jelas terlihat tidak ada yang salah dengan adanya transaksi
pihak yang berelasi. Namun transaksi pihak berelasi ini adalah salah satu hal yang
menjadi topik hangat Corporate Governance di dunia bisnis Asia. Asia menjadi fokus
kekhawatiran atas terjadinya transaski pihak berelasi dikarenakan adanya
kecenderungan perusahaan-perusahaan di Asia dimiliki oleh sekelompok atau
keluarga yang menjadi pemegang saham mayoritas sehingga sangat memungkinkan
adanya transaksi yang dilakukan demi kepentingan pribadi. Hal ini membuat transaksi
pihak berelasi merugikan para pihak yang berkepentingan selain dari pihak yang
Fighting Abusive Related Party Transaction in Asia pada September 2009 untuk
mengatur hal ini.
Mengenai transaksi pihak berelasi yang merugikan ini telah disinggung juga
sebelumnya pada prinsip ketiga Corporate Governance OECD. Pada prinsip ketiga,
poin terakhir, menyatakan bahwa adanya kewajiban dari komisaris, direksi dan
manajemen kunci untuk mengungkapkan kepentingannya kepada dewan komisaris
jika baik langsung maupun tidak langsung atau atas nama pihak ketiga mempunyai
kepentingan yang material dalam suatu transaksi atau suatu hal yang mempengaruhi
perusahaan. Pengungkapan kepentingan para pihak di atas kepada dewan komisaris
juga harus diikuti dengan ketidak-ikut sertaan para pihak didalam pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan transaksi yang memuat kepentingan mereka
tersebut.
Tidak hanya OECD, Indonesia pun telah mengadopsi prinsip tersebut untuk
melindungi pemegang saham minoritas atas transaksi-transaksi dengan pihak berelasi
yang mungkin merugikan dengan dikeluarkannya berbagai peraturan. Contohnya
adalah peraturan Bapepam No. IX.E.1 yang mengatur mengenai benturan kepentingan
transaksi tertentu. Benturan kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan
ekonomis perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris,
pemegang saham utama perusahaan atau pihak terafiliasi dari direktur, komisaris atau
pemegang saham utama. Selain itu, peraturan Bapepam No. VIII.G.7 tentang
pedoman penyajian laporan keuangan juga menjelaskan bahwa transaksi hubungan
istimewa harus dirinci pada bagian Catatan Laporan Keuangan.
Dari penuturan diatas, dapat terlihat betapa pentingnya menjaga hak pemegang saham
dengan tidak melakukan transaksi pihak berelasi yang merugikan agar dapat
mencerminkan good corporate governance. Tidak hanya itu, pengungkapan mengenai
transaksi dengan pihak berelasi merupakan juga harus dilakukan agar bisa terhindar
dari transaksi merugikan tersebut.
Ringkasan kasus
Satyam mungkin dikenal karena kasusnya pada tahun 2009 mengenai pengakuan Raju
atas tindakan manipulasi laporan keuangan yang ia lakukan yaitu dengan
menggelembungkan laporan posisi keuangan dan laba rugi. Pada keseempatan kali
ini, kami mengangkat kasus lain dari Satyam yaitu indikasi adanya transaksi
hubungan istimewa yang dianggap merugikan beberapa pihak tertentu dan mengarah
ke pengakuan Raju yang terjadi pada awal 2009.
Dalam suratnya, Raju mengaku telah menggelembungkan dana yang sebenarnya tidak
terjadi di akun kas sebesar 3juta rupee, piutang bunga 3,7juta rupee, dan menurunkan
hutang sebesar 12juta upee.
Pengumuman akan pengakusisian saham oleh Satyam ini mengakibatkan nilai saham
Satyam turun 55% dari nilai yang sebelumnya. Hal ini yang mengakibatkan
pembatalan pengakusisian sehari berikutnya.
Pengakuisisian ini ternyata adalah satu kejadian di balik kecurangan yang dilakukan
Satyam. Dugaan ini dapat dibilang benar, mengingat bahwa setelah pengakuan,
ternyata Satyam memiliki gap besar yaitu 1,6 billion rupee, antara laporan keuangan
dan kondisi keuangan Satyam yang sebenarnya. Penyalahgunaan transaksi berelasi ini
ternyata untuk menutupi dan mengalihkan kas sebanyak 1,6 billion rupee dari buku
Satyam ke Maytas, sehingga perbedaan nilai buku yang telah ditutupi selama
bertahun--tahun dapat ditutupi sekali lagi.
Satyam mengakui bahwa aksi pengakuisisian ini adalah aksinya yang terakhir untuk
menutupi fraud yang sudah ia lakukan selama hampir 6 tahun.
Skema pengakuisisian Maytas Infra dan Maytas Properties
Ramalingga Raju
Controlling
stakeholder
100% 51%
SATYAM
1,3 billion 300 million
Skema kepemilikan saham Maytas Infra dan Maytas Properties oleh Ramalingga Raju
Pelaporan Keuangan
yang Salah dan Satyam
Satyam selama enam tahun terakhir melakukan pelaporan yang salah. Hal ini bermula
dari keinginan Ramalingga Raju untuk mendapatkan ijin perolehan dana dari bank
untuk melakukan ekspansi Satyam. Sehingga Raju melakukan beberapa manipulasi,
seperti dijelaskan di bawah ini :
a. Saldo kas dan bank sebesar 50,40 miliar adalah fiktif jika dibandingkan
dengan RS 53,61 milyar dalam pembukuan
b. Piutang bunga fiktif sebesar RS 3,67 miliar
c. Utang yang understated senilai RS 12,3 miliar
d. Piutang yang terlalu tinggi(overstated) senilai RS 4,90 miliar.
e. Untuk Q2 September, pendapatan lebih besar RS 5,88 milyar dan operating
margin yang dilaporkan senilai Rs 6,49 miliar seharusnya bernilai Rs 610 juta.
Hal ini mengakibatkan adanya saldo kas fiktif senilai Rs 5,88 miliar
Sumber Reuters
Pelaporan keuangan yang salah ini sudah terjadi beberapa tahun, dan seharusnya
ketika prosespengauditan dijalankan dengan benar, hal ini tidak seharusnya bisa
terjadi.
Kejadian ini bisa terjadi sampai beberapa tahun karena auditor dan direktur
independen tidak menjalankan tugas sesuai fungsinya.
Auditor tidak melakukan pengujian, meneliti atas setiap verifikasi
Tidak pernah memverifikasi dengan benar cash and balance
Sengaja membiarkan faktur--faktur palsu
TIdak pernah melaporkan hasil pekerjaan audit kepada komite audit
Perencanaan audit didasarkan pada permintaan chairman
Bukti temuan serius sengaja dibiarkan oleh ketua audit
Proses kerjasama antara auditor dan Satyam bukan tanpa disengaja. Satyam dan
PWC sebagai auditor memiliki hubungan bisnis, di mana Satyam adalah partner dari
PWC dan hal ini tidak dapat dibenarkan dalam hubungan auditor dank klien.
DIketahui pula bahwa perbandingan pembayaran biaya audit dari Satyam ke PWC,
relative jauh lebih besar dibandingkan usaha sejenis Satyam dalam pembayaran
kepada auditornya ,
1. Independensi
Dalam SA Seksi 220, pada paragraph 02, independensi adalah auditor
mempertahankan sikap yang tidak memihak dalam melaksanakan perkerjaannya.
Namun dalam kenyataannya, PwC mengacuhkan bukti-bukti penggelembungan dana.
Misalnya dalam saldo kas dan bank itu fiktif sebanyak Rs 50,40 miliar dibandingkan
dengan Rs 53,61 miliar yang ditunjukkan dalam pembukuan. Independensi
penampilan merupakan independensi yang dipandang dari pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan yang diaudit dan pihak tersebut mengetahui
hubungan antara auditor dan kliennya. PwC India praktis telah melanggar
independensi penampilan karena PwC memiliki hubungan istimewa dengan Satyam,
yakni kemitraan strategis hingga akhir tahun 2009 meski aturan internasional U.S
Securities and Exchange Comission dan standar audit India melarang kemitraan
semacam itu.
2. Integritas dan Objektivitas Akuntan
Integritas mengharuskan seorang auditor untuk bersikap jujur dan berterus terang
tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa, pelayanan dan kepercayaan publik
tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan
yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima
kecurangan atau peniadaan prinsip (Mulyadi). Tetapi dari dokumen sec yang
memeriksa kasus ini, terdapat bukti bahwa PwC melanggar integritas, seperti PwC
yang meskipun mengetahui sistem pengendalian internal Satyam yang lemah, tetapi
tid ak melakukan tindakan untuk melaporkan hasil temuannya itu.
Objektivitas mengharuskan akuntan publik bebas dari benturan kepentingan dan tidak
boleh membiarkan faktor salah saji material yang diketahuinya dan mengalihkan
pertimbangan kepada pihak lain. PwC jelas melanggar benturan kepentingan karena
tidak memperhatikan independensi penampilan dengan memiliki hubungan kemitraan
strategis dengan Satyam.
3. Standar Umum
Ada beberapa standar yang harus dipatuhi akuntan publik, yakni kompetensi
profesional, kecermatan dan keseksamaan professional, perencanaan dan supervisi,
dan data relevan yang memadai. PwC juga melanggar standar umum akuntan publik.
Dari hasil bukti kasus Satyam, diketahui bahwa PwC tidak memperhatikan
kompetensi, kecermatan dan keseksamaan professional dengan tidak memeriksa
secara keseluruhan sejumlah invoice dalam transaksi Satyam. PwC juga melanggar
standar perencanaan dan supervisi karena tidak melakukan dengan benar pemeriksaan
dari awal perikatan audit hingga akhir perikatan audit.
4. Kepatuhan Terhadap Standar
PwC melanggar aturan Indian Audit and Accounts Service (IAAS), yaitu basic
postulate dimana akuntan publik harus mengikuti standar auditing yang berlaku dan
melaporkan hasil temuannya terhadap laporan keuangan. Sedangkan PwC justru
menutupi laporan pemeriksaan audit tersebut.
5. Prinsip-Prinsip Akuntansi
Prinsip akuntansi mengharuskan akuntan publik untuk memeriksa dan menemukan
kejanggalan dalam laporan keuangan penerima jasa. Dalam perikatan umum, auditor
melaksanakan auditnya atas dasar pengujian, bukan atas dasar pemeriksaan terhadap
seluruh bukti. Namun auditor internal Satyam tidak melakukan pengujian, meneliti
atas verifikasi setiap transaksi mulai dari awal terjadinya transaksi setiap tahun
hingga berakhirnya tahun laporan. Selain itu, auditor juga tidak memverifikasikan
cash and bank balance.
6. Fee Profesional
Besarnya fee anggota bervarasi tergantung risiko penugasan, komplesitas jasa yang
diberikan, tingkat keahlian, biaya yang bersangkutan dan hal-hal lannya. Tetapi ada
kejanggalan dalam audit fee PwC yang dibayarkan oleh Satyam. Dari hasil
perbandingan audit fee yang sama-sama menggunakan jasa PwC, yaitu Satyam,
Wipro dan Infosys didapat bahwa pendapatan PwC 2007 sebagai berikut. Satyam:
Wipro: Infosys = 0,059% : 0,006% : 0,004%. Sedangkan pendapatan PwC tahun
2008 adalah Satyam: Wipro: Infosys = 0,046% : 0,006% : 0,005%. Bisa dilihat
bahwa fee yang dibayarkan oleh Satyam tidak wajar dan berkali-kali lipat dibanding
pesaing Satyam.
Pelanggaran Prinsip GCG
Pengertian GCG menurut Bank Dunia (World Bank) adalah kumpulan hukum,
peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja
sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi
jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun
masyarakat sekitar secara keseluruhan. Satyam juga melakukan pelanggaran prinsip
GCG antara lain:
1. Transparansi (transparency) adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi materil yang relevan
mengenai perusahaan. Raju tidak terbuka dalam mengemukakan informasi materil
perusahaan. Hal ini bisa dilihat dari tindakan Raju yang memalsukan saldo
sebesar Rs 50,40 miliar, piutang bunga sebesar Rs 3,76 miliar dan utang yang
tidak dinyatakan sebesar Rs 12,3 miliar.
2. Pengungkapan (disclosure) adalah penyajian informasi kepada stakeholders, baik
diminta maupun tidak diminta, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kinerja
operasional, keuangan, dan resiko usaha perusahaan. Raju juga menyajikan
informasi palsu dengan bukti seperti poin diatas.
3. Kemandirian (independence) adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola
secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat. PwC India tidak seharusnya menjadi
auditoKemandirian (independence) adalah suatu keadaan dimana perusahaan
dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari
pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. PwC India tidak seharusnya menjadi
auditor
4. (independence) adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat. PwC India tidak seharusnya menjadi auditor
eksternal Satyam karena keduanya memiliki benturan kepentingan berupa
kemitraan strategis dalam bentuk jasa IT
5. Akuntabilitas (accountability) adalah kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban manajemen perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif dan ekonomis. Aksi CEO Satyam, Raju tentu kebalikan
dari prinsip akuntabilitas. Raju melebih-lebihkan dana sebesar Rs 53,61 miliar.
Tindakan tidak benar itu diketahui sistem pengendalian internal Satyam yang
hanya mengabaikan Raju dan justru mengindahkan faktur-faktur palsu dalam
transaksi Satyam. Pelaksanaan tugas masing-masing pihak menjadi tidak jelas.
6. Pertanggungjawaban (responsibility) adalah kesesuaian dalam pengelolaan
perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-
prinsip korporasi yang sehat. Jika dilihat dari standar aturan Indonesia, ada
pelanggaran yang dilakukan Auditor Satyam dan PwC. Misalnya dalam Pasal 55
khususnya ayat (b) dan Pasal 56 UU RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan
Publik yang dijadikan sebagai subjek uji materiil Pemohon dinyatakan bahwa
akuntan publik yang dengan sengaja melakukan manipulasi, memalsukan,
dan/atau menghilangkan data atau catatan pada kertas kerja, atau tidak membuat
kertas kerja yang berkaitan dengan jasa yang diberikan.
Dalam hal ini, auditor satyam dan PwC bersalah karena tidak melakukan
pengujian dan verifikasi dari awal terjadinya transaksi hingga pelaporan tiap
tahun juga mengabaikan bukti-bukti berupa invoice palsu dalam transaksi. Raju
juga melanggar Pasal 56 dinyatakan bahwa pihak terasosiasi yang melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak 300 juta rupiah.
Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi
Kerangka kerja corporate governance harus memastikan pedoman strategi
perusahaan, monitoring yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, serta
akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham. Setahun sebelum
munculnya skandal tersebut, Satyam memenangkan penghargaan Golden Peacock
untuk kesempurnaan dalam corporate governance dari World Council for Corporate
Governance. Dewan tersebut kemudian membatalkan penghargaan dan mengeluhkan
kegagalan perusahaan Satyam untuk mengungkap fakta-fakta materi sebenarnya.
Namun, reporter Business Week Beverly Behan menulis bahwa dewan Satyam jelas-
jelas mencemooh praktik-praktik corporate governance yang baik. Para wartawan
dapat mengetahui dengan menelaah komposisi dewan bahwa dewan direksi Satyam
kurang memiliki keahlian ekonomi, hampir sama sekali tidak independen dan gagal
untuk memenuhi syarat manajemen yang independen dimana hal ini berlawanan
dengan praktik-praktik corporate governance yang baik. Seperti yang diperlihatkan
kasus Satyam, penghargaan bisnis yang mengesankan dan laporan tahunan yang
mengkilap bukanlah jaminan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi
secara legal dan penuh etika.
Banyak bisnis keluarga yang menunjuk dewan keluarga untuk menyelaraskan
kepentingan mereka dan bertindak sebagai penghubung utama antara keluarga, dewan
dan manajemen senior. Dewan juga mengajukan kandidat untuk keanggotaan dewan
dan membuat rancangan kebijakan atas hal-hal seperti mempekerjakan keluarga,
kompensasi dan kepemilikan saham. Kemandirian Dewan merupakan isu utama
dalam kelanjutan skandal Satyam Computer Systems Ltd. di India.
Laporan BusinessWeek menghitung sinyal-sinyal masalah yang tidak
terdeteksi pada kasus Satyam sebagai berikut:
1. Dewan di Satyam memiliki enam direktur non-manajemen, tetapi empat
diantaranya akademisi dan satu adalah seorang mantan sekretaris kabinet pada
pemerintahan. Hanya satu anggota dewan yang sebelumnya pernah menjabat
eksekutif puncak di suatu perusahaan teknologi.
2. Perusahaan tersebut tidak memiliki pakar keuangan pada komite auditnya.
3. Meskipun Satyam membedakan posisi CEO dan kepala dewan, dua posisi
tersebut diduduki oleh bersaudara yang memiliki kepentingan utama dalam
perusahaan dan anggota manajemen.
4. Dewan tidak memiliki kepemimpinan dewan independen.
http://www.nytimes.com/2009/01/27/business/worldbusiness/27accounting.html?page
wanted=all&_r=0
http://www.asialaw.com/Article/2097602/Channel/16709/The-great-deception.html
http://articles.economictimes.indiatimes.com/2009-01-17/news/27647068_1_maytas-
properties-maytas-deal-board-meeting
http://www.rediff.com/money/2008/dec/22maytas-deal-impact-on-the-companies.htm
http://www.ingovern.com/2014/02/business-world-article-on-contentious-related-
party-transactions/
http://articles.economictimes.indiatimes.com/2008-12-20/news/27735298_1_upaid-
systems-simon-joyce-maytas-deal