Anda di halaman 1dari 3

Analisis Kasus Kejanggalan Laporan Keuangan Tahunan Garuda

Indonesia (Persero) Tbk

Menurut Ekonom Indef, Enny Sri Hartati, apa yang dilakukan oleh Garuda Indonesia
termasuk kegiatan manipulasi penyajian laporan keuangan. Padahal Garuda Indonesia sebagai
perusahaan yang tercatat di pasar modal sudah seharusnya sadar untuk melakukan hal-hal yang
terbuka (transparan) karena akan diketahui oleh publik.
Beberapa waktu ini masyarakat Indonesia sedang dihebohkan dengan adanya kasus
kejanggalan atas hasil laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018. Kejanggalan tersebut
dapat terjadi karena adanya penolakan tanda tangan dari dua komisaris PT. Garuda Indonesia
yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria yang menolak untuk menandatangani laporan
keuangan tahunan Garuda 2018. Mereka pun merupakan pemilik saham yang menguasai
sekitar 28,08 persen saham GIAA itu sendiri. Dalam laporan keuangan tahunan tersebut
Garuda memperoleh untung hingga $809,85 juta AS (Rp.11,54 miliar), dimana hasil tersebut
jauh lebih baik dari neraca 2017 yang rugi hingga $216,58 juta AS. Hal tersebut membuat dua
komisaris ini yaitu Chairal dan Dony mempertanyakan Realisasi Perjanjian Kerjasama
Penyediaan Layanan Konektivitas dalam Penerbangan antara PT. Mahata Aero Teknologi
dengan dua anak perusahaan Garuda yaitu PT. Citilink Indonesia dan PT. Sriwijaya Air yang
diteken 31 Oktober 2018 lalu. Dalam kerja sama itu, Mahata berkomitmen untuk menanggung
seluruh biaya penyediaan, pelaksanaan, pemasangan, pengoperasian, perawatan dan
pembongkaran dan pemeliharaan termasuk jika ada kerusakan, mengganti atau memperbaiki
peralatan layanan konektivitas.

Melalui kesepakatan ini, Garuda mengklaim mendapat keuntungan hingga $239,94 juta
AS (sekitar Rp2,98 triliun) termasuk $28 juta AS di antaranya adalah bagi hasil Garuda dengan
PT Sriwijaya Air. Namun, kedua komisaris tersebut menganggap bahwa laporan keuangan dari
PT. Garuda Indonesia ini tidak sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Indonesia
(PSAK).

Pasalnya Garuda Indonesia memasukan keuntungan dari PT. Mahata Aero Teknologi.
Padahal dari nilai kontrak sebesar $239,94 juta AS itu, Mahata ternyata baru membayar $6,8
juta AS. Sisanya kemudian dicatatkan sebagai piutang lain-lain. Bagaimana mungkin kontrak
kerjasama antara Garuda dengan Mahata senilai $239,94 juta AS yang berlaku untuk 15 tahun
kedepan, namun sudah dibukukan di tahun pertama, dan masuk ke pendapatan lain-lain.
Pencatatan itu yang kemudian membuat laporan keuangan Garuda Indonesia menjadi terlihat
baik. Chairal dan Dony menyatakan kurang sependapat dengan pencatatan tersebut dan
mengisyaratkan tudingan Perseroan telah melakukan manipulasi laporan keuangan.
Chairal menyatakan, catatan transaksi kontrak Mahata dengan Garuda seharusnya tidak
dapat diakui sebagai pendapatan dalam tahun buku 2018. Keputusan manajemen memang
berhasil membuat pasar terlena dengan catatan positif di laporan keuangan. Namun, Chairal
dan Dony berpendapat hal ini justru merugikan perusahaan dari sisi arus kas. Sebab, ada
kewajiban bayar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari laba yang
diraih Garuda Indonesia. Padahal, beban itu seharusnya belum menjadi kewajiban karena
pembayaran dari kerja sama dengan Mahata belum masuk ke kantong perusahaan. Mereka
melihat hal ini bertentangan dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor
23 paragraf 28 dan 29. Pada paragraf 28 tertulis pendapatan yang timbul dari penggunaan aset
entitas oleh pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti, dan dividen diakui dengan dasar yang
dijelaskan di paragraf 29 jika kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan
transaksi tersebut akan mengalir ke entitas dan jumlah pendapatan dapat diukur secara andal.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam kasus ini adalah pilihan Garuda Indonesia untuk
tidak menggunakan Kantor Akuntan Publik (KAP) yang masuk ke dalam kelompok The Big
Four, yakni Deloitte, PwC, EY, dan KPMG. Sebagaimana diketahui, dalam pembuatan laporan
keuangan 2018 Garuda Indonesia menggunakan jasa auditor independen Tanubrata Sutanto
Fahmi Bambang & Rekan (Member of BDO International).
Direktur Keuangan Garuda Indonesia, Fuad Rizal, menegaskan tak ada yang keliru
dengan penggunaan jasa auditor dari Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan (Member
of BDO International) yang merupakan Big Five Accounting Firms Worldwide karena mereka
pun pasti telah menerapkan standar audit internasional yang baik.
Menurut Faisal Basri, selaku Ekonom Senior di Indonesia menyatakan bahwa
kekeliruan yang terjadi di Garuda Indonesia ini dapat saja terjadi dikarenakan adanya kurang
ketelitian yang dilakukan oleh Menteri BUMN yakni Rini Soemarno yang semasa jabatannya
sering kali terjadi bongkar pasang pimpinan Garuda Indonesia (Direksi). Hal ini dapat
berdampak negatif karena akan berpengaruh terhadap kinerja pimpinan Garuda yang tidak
pernah mencapai tahap maksimal oleh karena pergantian direksi GIAA yang terlalu sering
siklusnya sehingga tujuan yang ingin dicapai akan selalu tertunda atau bahkan gagal. Faisal
Basri pun juga menyatakan bahwa kejanggalan yang terjadi pada kasus GIAA ini juga dapat
disebabkan oleh karena adanya tata kelola perusahaan yang buruk. Dimana hal ini dinyatakan
dengan analisis bahwa Garuda ingin menarik perhatian dengan membalikan keadaan dari yang
sebelumnya mengalami kerugian menjadi mengalami keuantungan walaupun jumlah
keuntungannya hanya sedikit yang terpenting adalah bisa memberikan laporan yang positif
dengan diperolehnya keuntungan tersebut.
Sementara, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku belum bisa menetapkan
sanksi kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan
(Member of BDO Internasional). KAP merupakan auditor untuk laporan keuangan tahun 2018
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang menuai polemik.
Tindakan yang dilakukan oleh PT. Garuda Indonesia ini dapat dikatakan sebagai hal
yang kurang etis, karena Garuda terindikasi melakukan window dressing. Adanya Window
Dressing yang dilakukan oleh Garuda Indonesia, tentunya semakin menurunkan kualitas
Garuda Indonesia. Selain itu, banyaknya pihak luar yang semakin tidak percaya terhadap
Garuda Indonesia dan mulai takut untuk berinvestasi di Garuda Indonesia. Semakin turunnya
kepercayaan publik (public trust) atas kesalahan dalam penyajian laporan keuangan tersebut
akan sangat berdampak negatif bagi keberlangsungan usaha Garuda Indonesia. Bahkan Garuda
sempat membatalkan kontrak untuk membeli pesawat baru dengan pihak lainnya, namun
dengan adanya kasus tersebut, pihak luar tidak percaya terhadap Garuda Indonesia sehingga
dengan berat hati Garuda Indonesia harus membatalkan kontrak pembelian pesawat baru.
Window dressing merupakan praktik rekayasa dengan menggunakan trik akuntansi untuk
membuat neraca perusahaan dan laporan laba rugi tampak lebih baik daripada yang sebenarnya.
Umumnya praktik ini dilakukan dengan menetapkan aktiva/pendapatan terlalu tinggi atau
menetapkan kewajiban/beban terlalu rendah sehingga perusahaan tercatat mendapat laba yang
lebih tinggi. Banyak hal yang mendorong perusahaan melakukan praktik ini, mulai dari
mengejar target yang tinggi dari atasan, menghindari pajak, mengejar bonus, menarik minat
investor, dan lainnya.

Pada kasus manipulasi laporan keuangan PT. Garuda Indonesia yang perlu disalahkan
adalah pihak dari Audit laporan keuangan yang ikut mengaudit laporang keuangan 2018 yaitu,
Akuntan Publik (AP) Kasner Sirumapea dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata,
Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan, auditor laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk (GIAA) dan Entitas Anak pada laporan keuangan tahunan 2018. Namun, bukan hanya
semata kesalahan dari pihak KAP saja tetapi juga tidak lepas peranan dari pihak manajemen
Garuda Indonesia sendiri yang harus dipantau lebih lagi kinerjanya.

Anda mungkin juga menyukai