Anda di halaman 1dari 2

Nama : Ayu Winarti

NIM : 200803500003
Mata Kuliah : Kajian Tari II

Tari Pajaga Andi Makkunrai

Pajaga Andi Makunrai merupakan salah satu tari Tradisional dari daerah
rumpun bugis Bone. Yang hadir pada masa kerajaan Fatimah Banri (1871-1895), raja
Bone yang ke 30. Pada saat baju bodo/ tokko diubah menjadi baju ponco.
Tari Pajaga Andi Makkunrai ditarikan oleh putri- putri dari kalangan
bangsawan (Anak Arung) yang memiliki perilaku anggun dan sopan satun yang dapat
dilihat dari gerakan tarian yang lemah lembut yang di iringi oleh alat musik yang
berirama datar dan tidak bernada tinggi yang memiliki makna bahwa perempuan
bugis itu mencerminkan karakter feminim dan malebbi, tari ini berfungsi sebagai
hiburan untuk Raja dan para tamu dari luar kerajaan, yang di tarikan di dalam Istana
Kerajaan. Pada Tarian ini lebih memperkenalkan etika seorang perempuan. Etika
dalam tarian Pajaga Andi Makkunrai bukan hanya ditunjukan dalam geraknya namun
pada pertunjukannya juga. Dahulu saat pertunjukan akan dimulai maka akan
disediaka sebuah tirai yang akan menutupi panggung dan penoton hanya dapat
melihat penari dari bayang-bayangnya saja dengan maksud untuk saling menghormati.
Pada saat itu, perempuan sangat tabu untuk ditampilkan didepan laki-laki.
Musik yang dinamakan Tette Genrang Bali Sumange yang berirama pelan
dan datar dengan menggunakan beberapa instrumen, yaitu Gendang sebagai simbol
pemersatu, Ana’ Baccing dan kancing yang merupana alat musik tari tradisional dan
merupakan bagian dari tari klasik Bugis sebagai simbol spiritual, dan Gong.

Definisi Teori/ Makna

Makna atau arti adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya.
Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam
komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki.
Menurut Laksmi Kusuma Wardani (2010) Makna bersifat intersubyektif
karena ditumbuh-kembangkan secara individual, namun makna tersebut dihayati
secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat. Untuk menginterpretasikan
secara komprehensif makna yang terjalin dalam berbagai jejaring hubungan sosial
yang luas dan rumit.
Ferry Adenan (2000) mengatakan bahwa makna didapatkan di dalam teks dan
teks terdapat di dalam konteks. Di dalam bahasa sebagai sumber segala pilihan makna
dikenal adanya konteks budaya disebt genre yang mengandung tujuan sosial tertentu
dan konteks situasiyang memiliki tiga faset utama yaitu bidang tenor dan modus.
Menurut Abdul Chaer dan Lilianan Muliasturi (2014) Makna, (yang lazim
disinonimkan dengan kata arti) untuk mengacu kepada pengertian, konsep, gagasan,
ide, dan maksud yang diwujudkan dalam bentuk ujaran, lambang atau tanda. Makna
di dalam ujaran bahasa sebenarnya sama saja dengan makna yang ada dalam sistem
lambang atau sistem tanda lainnya karena bahasa sesungguhnya juga merupakan suatu
sistem lambang. Hanya bedanya makna dalam bahasa diwujudkan dalam lambang-
lambang yang berupa satuansatuan bahasa, yaitu kata/leksem, frase, kalimat, dan
sebagainya.

Daftar Pustaka
 Narasumber
1. Andi Muhammad Yunus, S.Sos., M.Si. (Budayawan) - 05 Maret 2023 - Wawancara
Online (WhatsApp)
2. Burhanuddin Khalik (Pemusik) - 05 Maret 2023 - Wawancara Online (WhatsApp)
3. Andi Muhammad Taslim, S.Sos (Pemusik) - 05 Maret 2023 - Wawancara Online
(WhatsApp)
4. Aurel Sriwahyuni (Penari) - 06 Maret 2023- Wawancara Online (Instagram)
5. Nurjannah Sisilia (Penari) - 06 Maret 2023 - Wawancara Online (Instagram)
6. Ervina Dian Isnaeni (Penari) - 06 Maret 2023 - Wawancara Online (Instagram)

Wardani, Laksmi Kusuma. "Fungsi, makna dan simbol (sebuah kajian teoritik)."
(2010). http://repository.petra.ac.id/17181/
Adenan, Ferry. "Makna dalam bahasa." Humaniora 12.3 (2000): 261-270.
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/698
Chaer, Abdul, and Liliana Muliastuti. "Makna dan semantik." Semantik Bahasa
Indonesia (2014): 1-39. https://core.ac.uk/download/pdf/198234669.pdf

Anda mungkin juga menyukai